Sepulang sekolah Manda menepati janjinya mengajak Dhita pulang barsama dengan menaiki motor barunya. “gimana Dhit, mau tambah lagi kecepatannya?” teriak Manda agar Dhita yang dibelakangnya mendengar.
“iya Man!”
Dengan seketika Manda langsung menaikan kecepatan motornya. Ini sudah ketiga kalinya mereka mengitari komplek perumahan Dhita, menurut Manda memacu kecepatan di komplek yang jalannya sepi lebih baik dari pada kebut-kebutan di jalan raya. Bukan hanya membahayakan keselamatan mereka, tapi juga keselamatan pengendara lain. Ia tidak ingin mengambil resiko sekecil apapun itu, terlebih menyakut Dhita.
Semakin Manda memacu kecepatan motornya, semakin erat pula pelukan Dhita di perutnya. Hal itu membuat ia tersenyum sepanjang jalan. Ini kali pertama wanita yang sudah menjadi sahabatnya ini menyentuhnya dengan intens, bukan hanya pukulan dan toyoran kepala lagi. Ini lebih, ia berharap ini akan terus seperti ini. Tuhan, begitu bahagianya dua insan ini. Doanya.
Dilain sisi, ini sudah ketiga kalinya ia melihat kedua sahabatnya itu melalui rumah Dhita. Irza yang duduk diatas motornya memperhatikan jalan yang sepi kendaraan itu, hanya ada satu atau dua mobil yang lewat. Tidak jauh dari sana ia melihat seorang wanita, mungkin lebih muda darinya beberapa tahun. Pandangannya terus terus memperhatika wanita tersebut yang berjalan semakin dekat melalui ia.
Hingga ia tidak sadar kedua sahabatnya telah berhenti tepat disamping motornya.
“Za?” panggil Dhita, tapi tidak ada gubrisan. Hingga ia turun dari motor dan langsung menoyor bahu temannya itu hingga Irza hampir terjungkal dari atas motor.
“astagfirullah” refleks Irza berdiri dan menengok kebelakang siapa yang sudah menoyornya.
Manda yang baru selesai memparkirkan motornya tertawa melihat reaksi wajah sohib-nya itu. “ada-ada saja” pikirnya.
“apa-apaan sih Ta?” judes Irza, dan melihat Manda yang tertawa dengan tatapan membunuh.
“sorry sorry ngga sengaja ketawa” jawab Manda sambil menahan tawa, mengerti maksud tatapan sohibnya.
Merasa ada yang terlupakan, Irza langsung kembali melihat kearah jalanan. Sepi. “kemana wanita itu?” pikir Irza. Ia sama sekali tidak melihat siapa pun yang lewat dijalan sekarang.
Melihat Irza yang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu Dhita langsung melirik Manda. Mengerti maksud Dhita, mereka berdua menghampiri Irza, “Za, cari siapa?” Tanya Dhita lembut.
Merasa terpanggil Irza langsung mengalihkan pembicaraan, tanpa menjawab terlebih dulu ia langsung berbalik badan dan mengambil kunci motornya yang masih menggantung dan berjalan melewati Dhita dan Manda menuju pintu rumah yang terbuka sedari tadi.
Merasa tidak ada yang patut dicurigakan ataupun dibahas lebih lanjut mereka berdua pun mengikuti Irza. Tapi bukan Manda namanya kalau tidak hiper aktif, laki-laki itu langsung berlari kecil mengejar sohib-nya dan langsung merangkul pundak Irza. Tidak sampai disitu laki-laki itu juga beberapa kali mnyentuh pipi Irza dengan jari telunjuknya dan beberapa kali pula memeluk dan bermanja dengan Irza.
“dasar gay” celetuk Dhita merasa menjadi orang ketiga.
Setibanya mereka didalam, tiga-tiganya memisahkan diri. Dhita memilih kekamarnya yang berada di lantai dua untuk mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian yang lebih santai, sedangakan Manda lebih memilih langsung kedapur dan membuka kulkas mencari sesuatu yang bisa iya sediakan untuk makan mereka. Dan Irza memilih langsung keruang tamu dan menyalankan TV sambil menunggu kedua temannya.
Selama menunggu Irza tidak benar-benar menonton serial di TV. Melainkan pikirannya masih penasaran dengan wanita yang ia lihat beberapa waktu tadi. Wanita berwajah oval, berhijab, dan memiliki kulit putih mulus. Gadis yang belum pernah ia lihat di sekitar komplek rumah Dhita.
“siapa wanita itu?”
“siapa?” suara Dhita menyelannya dari arah belakang, dan langsung duduk disebelahnya.
Tidak menjawab Irza langsung memperhatikan Dhita. “cantik” pikirnya, “tapi lebih cantik wanita barusan, bedanya wanita tadi mengenakan hijab. Sedangakn Dhita tidak.” Bisiknya dalam hati membandingakan keduanya.
“bukan siapa-siapa” jawab Irza dingin yang langsung kembali menatap layar TV.
Setelah percakapan singkat itu keduannya diam. Hanya suara TV saja yang terdengar memecah kesunyian.
*****
Didapur Manda masih disibukan dengan memasak telur dadar dan mie instan. Sedangkan untuk minumnya ia membuat dua jus jeruk, dan satunya lagi ia membuat jus apel buat dirinya sendiri. Selama ia didapur selama itu pula ia terus senyum-senyum sendiri memikirkan kembali bagaimana Dhita memeluknya waktu dimotor. Mungkin terdengar tabu, tapi ia suka dengan Dhita.
Selama mereka bertiga dekat, selama itu pula ia selalu berharap wanita itu akan memperlakukannya sebagai seorang pria bukan lagi sosok laki-laki yang selalu wanita itu anggap sahabat. Terdengar naif memang. Tapi, jika dipikir-pikir kembali ia tidak pernah tahu sejak kapan rasa itu tumbuh.
Ia selalu berharap Dhita akan menyentuhnya dan berharap wanita itu akan meminta pertolongannya dan perlindungan sebagai seorang pria, bukan sahabat. Ia memang cemburu dengan Irza yang paling sering dekat dengan Dhita. Bahkan sering kali ia melihat kedua temannya itu berpelukan.
Tapi ia cukup berpikir dengan logika bukan dengan ego, ia tahu Dhita dan Irza sudah seperti dua orang yang gembar namun tidak serahim. Mengingat sudah lama keduanya saling kenal dan bersahabat.
Ia tersadar kalau mie yang ia buat sudah masak, ia meninggalkan pikir gilannya itu. Dan menetralkan kondisi seolah yang terjadi hari ini hanya hoki bagi dia. Beberapa kali ia merenggangkan wajahnya agar tidak terlihat kalau ia sedari didapur senyum-senyum sendiri.
Setelah selesai memindahkan mie instan kedalam mangkuk dan menyusun semua yang ia buat diatas nampan, ia membawanya keruang tengah dimana kedua temannya berada.
“makan siang datang!”
Mendengar suara dari arah dapur, Dhita langsung menengok dan beteriak cukup nyaring, “yeeee…… aku udah laper dari tadi” akunya.
“masak apa?” Tanya Irza.
“ini doang, abis nggak tahu mau masak apa”
“oh….”
“nggak papa, yang penting aku udah laper banget” potong Dhita, sambil mengambil semangkuk mie yang baru sampai diatas meja, tidak sabar melahapnya.
“awas pan….!”
Belum selesai Manda memeberi peringatan, Dhita lebih dulu teriak “AW!!”
“mangkanya jangan rakus” kata Irza sambil meraih tangan Dhita yang melepuh dan meniup-niupnya.
“ayolah Manda, kamu nggak boleh kepancing. Ingat mereka sahabat lo” lirihnya dalam hati.
“udah mendingan?”
“udah, terima kasih Irza….” Manja Dhita yang langsung memeluk Irza.
“Allah….kenapa engkau memporak-porandakan hati hambamu ini? Baru tadi engkau memberi kesempatan. Dan sekarang….. sakit!”
“sama-sama,” angguk Irza.
Manda langsung menepis perasaan cemburunya itu. Dan kembali fokus dengan mie instan yang sudah membuatnya lapar sedari tadi. Mereka pun menghabiskan mangkuk mie instan dalam diam sambil beberapa kali tertawa menonton tom and jerry. Hingga menjelang sore dua laki-laki itu pulang kerumah masing-masing