Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Reason
MENU
About Us  

"Sean! Tunggu!"
Sebuah panggilan memaksa Sean dan Jhon menghentikan langkah mereka di lobi Paris Philharmonie tempatnya konser beberapa saat lagi. Ia menoleh, melihat sosok yang memanggilnya berjalan mendekat.

Ekspresinya begitu datar saat tahu siapa yang menyerukan namanya.
Erika, Seorang super model cantik dengan rambut pirang, riasan wajah yang tebal, Gaun sangat ketat di atas lutut menempel di tubuhnya. Memperlihatkan setiap lekuk dengan jelas. dan heels setinggi sepuluh centi melengkapi penampilannya.

"Ini untukmu."
Wanita itu menyerahkan sebuah kotak kado selebar telapak tangan.
Tanpa kata dan dengan ekspresi yang masih datar, Sean menerima benda itu. Lantas memberikannya pada Jhon.

"Bisakah kita bertemu lagi setelah acara selesai."
"Tidak."
"Sebentar saja. Aku ingin membicarakan sesuatu di antara kita."
"Tidak ada apapun diantara kita."
"Tapi..."
Sean mengibaskan tangan dan berlalu. Tak ingin berlama-lama menanggapi ocehan si Erika. Sementara gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Sudah berbagai cara dia lakukan untuk mendekati pria tampan satu itu. Tapi rasanya ia berhadapan dengan tembok batu.

"Kau tidak mau berhubungan lagi dengannya tapi menerima pemberiannya?"
Jhon berkata sambil menimbang-nimbang kotak di tangannya.
"Dari pada dia membuangnya. Ambil saja untukmu."
"Benarkah? Bahkan kau belum melihat isinya."
Sean mengedikkan bahu tanpa menjawab. Ia bahkan tak peduli jika itu berisi emas ribuan karat. Sedangkan Jhon terlihat sibuk membuka pembungkus kotak.

Mereka tiba di backstage tak berapa lama kemudian. Para penata rambut dan make up artist mulai mengerumuni Sean untuk melakukan tugas mereka. Ia duduk di tempat yang ditunjuk Jhon.

"Gadis itu sepertinya kecanduan nonton Cristian Grey."
Jhon mematut diri di depan cermin dengan dasi baru pemberian Erika. Sean mendengus pelan dan hanya melirik sekilas sebelum berujar.
"Dan syukurlah aku bukan si Grey."
Jhon tergelak mendengar celetukan Sean. Ia paham, jika pianis satu itu benar-benar tidak menyukai Erika. Perempuan yang terlalu agresif.

"Oh ya. Malam ini kau akan memainkan lagu apa?" Setelah selesai dengan dasinya, Jhon bertanya.
"L’Isle Joyeuse."
"Debussy? Kau yakin? Lagu secepat itu?"
"Aku sudah mencobanya beberapa kali."
"Baiklah.. aku tak pernah meragukan kemampuanmu. Lima menit lagi on stage."
Sean mengangguk. Penata rambut dan make up yang mengurus penampilan Sean mulai undur diri. Kini pria itu terlihat semakin tampan. Rambut tembaganya dibuat sedikit berantakan di bagian depan. Tubuh atletisnya terbalut setelan mahal. Kemeja Linen putih, Jas berwarna hitam kebiruan dengan celana bahan yang sama serta sepatu fantofel mengkilat.

"Ok.. this is your time.. enjoy it.." Jhon menepuk pelan bahu Sean saat pembawa acara memanggil namanya.

Dengan langkah elegan, dia berjalan ke stage. Gemuruh tepuk tangan dari ribuan penonton menyambutnya. Blitz dari kamera ratusan awak media menyerbu. Mengabadikan setiap geraknya. Sean duduk di depan Grand piano hitam mengkilat yang terlihat sedingin ekspresi wajahnya. Cahaya keemasan menyorot dari atas. Menjadikan sosoknya sebagai fokus.

Pria itu memejamkan mata sejenak. Merasakan keheningan yang mulai menyelimuti Hall berkapasitas dua ribu lima ratus orang tersebut. Hanya hela napas para penonton yang terdengar.

Perlahan, ia meletakkan kesepuluh jemarinya di atas tuts. Tapi sekelebat ingatan membuatnya berubah pikiran.

Ia membuka mata. Jantungnya mendadak berdebar ketika mengingat seraut wajah cantik dengan senyum tulus beberapa hari lalu. Seorang gadis yang mengenggam tangannya saat hujan.

Satu sentuhan ringan di atas tuts, disusul nada lain yang perlahan mengikuti. Kiss The Rain mengalun indah. Membuat Ribuan penonton terkesiap ketika mengenali lagu yang dimainkan Sean. Bahkan hampir semua pengunjung menahan napas saat wajah tampan sang pianis di clouse up di layar yang tempampang sangat besar.

Wajah malaikat yang begitu lembut dengan mata terpejam. Seulas senyum samar tersunging di bibir tipisnya. Pria itu sedang mematri senyum Kinan dalam hatinya.

Ada rasa hangat yang menelusup dalam hati seluruh penonton, karena Sean juga merasakan hal yang sama. Hanya beberapa detik, tapi hal itu cukup membuat semua orang tersentuh. Hingga kemudian raut dingin kembali menyelimuti wajah tampannya. Ia kembali mengingat kegelisahan yang selalu muncul tiba-tiba.

Pria itu membuka mata, kembali fokus pada permainnya. Tak berapa lama,  sekerlip cahaya kecil muncul diantara deretan kursi penonton yang entah mengapa terlihat sangat gelap. Hingga perlahan muncul kerlip cahaya lain. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, sampai akhirnya dari seluruh bangku penonton muncul kerlip cahaya kecil yang berasal dari ponsel mereka.

Tanpa menghentikan permainan, Sean mengamati semua. Merekam dalam memorinya. Betapa ia tak akan pernah bisa melupakan kejadian malam ini. Untuk pertama kali ia bermain piano menggunakan hatinya, bukan hanya menghapal. Dan respon penonton sungguh diluar dugaan. Bahkan beberapa ada yang terlihat menghapus sudut mata karena terharu, terbawa oleh lagu yang ia mainkan.

Permainan berakhir, Sean berdiri dan membungkuk hormat di hadapan ribuan penonton. Standing aplause menggema di ruangan luas tersebut. Tapi ada yang berbeda malam ini, jika biasanya Sean sudah pergi sebelum gemuruh tepuk tangan reda, kali ini ia masih di tempatnya, bahkan setelah tepuk tangan berakhir.

"Wow...." Satu kata sambutan dari Jhon begitu Sean menapak di backstage.
" It's amazing, Bro.... aku bahkan sampai tidak bisa berkata-kata. ." Jhon menepuk bahu Sean pelan. Mereka berjalan bersisihan ke lobby.
"Thanks."
"Ayo, kita rayakan hari ini. Kita bersenang-senang."
"Antar aku pulang saja."
Sean mengelak karena ia paham maksud Jhon dengan bersenang-senang.

"Tidak kah kau tertarik mecoba sekali saja?"
"Mabuk-mabukan dan merusak kesehatanku?"
"Oh Man.... kau ini hidup di jaman apa sih? Minum-minum sekali saja tidak akan membuatmu sakit keras."

Sean menatap Jhon dengan ekspresi yang tak dapat dibantah. Membuat managernya kehilangan nyali.

"Oke... oke... aku akan pulang bersamamu. Seharusnya tadi aku bawa mobil sendiri saja." Jhon mengerutu sambil mengemudi. Sementara Sean sudah duduk nyaman di bangku sebelah Jhon sambil memainkan ponsel.

"Ngomong-ngomong, lagu yang kau mainkan tadi bukan Claude Debussy?"
"Memang bukan."
"Mendadak berubah pikiran?"
"Sepertinya begitu."
"Dan ekspresimu mendadak berubah seperti malaikat."
Sean menghentikan kegiatan dengan ponselnya. Ia memandang Jhon dengan raut bertanya.
"Kau lihat saja rekamannya besok. Aku benar-benar melihat wajahmu melembut beberapa detik tadi. Dan semua orang bilang kau seperti malaikat."
"Berati biasanya aku seperti iblis."
Tawa Jhon meledak mendengar gumaman asal dari pria disampingnya.

Hingga tak terasa mobil sudah sampai di rumah besar Sean. Tanpa berkata apapun, ia turun dari mobil dan bergegas ke kamarnya. Sementara Jhon langsung mengambil mobilnya dan kembali ke apartemen.

Sean sudah berada di kamar mandi. Setelah melepas seluruh kostum konser, ia membiarkan tubuh polosnya tersiram rintik air hangat dari shower yang perlahan menderas. Berharap aliran air bisa menjernihkan pikirannya. Tapi nyatanya, bayangan Kinan masih melekat kuat dalam otaknya. Senyumnya, tatapan matanya, ekspresi wajahnya ketika tersipu, saat gugup, atau saat dia sedang terlihat sangat santai.

Siapa dia? Darimana dia berasal? Hingga berhasil menampakkan sosok lain dari seorang Sean Altezza.
Mungkin benar, jika pria tampan itu adalah malaikat yang terjebak dalam tubuh lucifer berhati dingin. Dan Kinan lah yang berhasil memunculkan sisi malaikat dalam dirinya. Menghangatkan hati dan mengacaukan pikirannya.

Sean menyugar rambutnya yang basah dan mematikan shower. Menyudahi acara mandi yang terasa terlalu lama. Sebuah senyum samar tersungging di bibirnya. Dan lagi-lagi karena memikirkan Kinan. Gadis yang membuat kadar kewarasannya bergeser sekian inci dari tempatnya.

Jam dinding putih polos di tembok kamar Sean menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sepi. Bibi Mer sudah kembali ke rumah belakang sejak tadi. Sementara seorang security terlihat berjaga di pos dekat pagar. Sedangkan Aland sudah mendekam di kamarnya sendiri. Sibuk dengan dunianya.

Petikan nada samar terdengar dari balkon kamar Sean. Meski tubuhnya terasa sangat lelah, tapi rasa kantuk tak juga menghampiri. Pria itu memutuskan menghirup udara segar di balkon sambil memetik gitar. Mengalunkan sembarang nada.

Tak banyak orang tahu, selain jago bermain piano, Sean juga ahli memainkan alat musik petik satu itu.

Jemarinya memetik pelan, tapi pikirannya berkelana. Ia kembali teringat pada keributan saat dengan Kinan beberapa waktu lalu.

"Lagu yang indah, tapi tidak menyentuh hati..."
Perkataan Kinan saat itu masih terekam jelas dalam memorinya.

Gadis itu memang benar, selama ini ia bermain piano hanya mengandalkan memori fotografisnya. Menghapal not dan angka dengan sempurna.

Tapi apa yang terjadi tadi? Hatinya menghangat, reaksi penonton juga menakjubkan.
Ia yakin jika permainannya tadi bisa mengubah pendapat gadis itu. Bahkan mungkin membuatnya terpesona.

Tapi sesaat kemudian, Sean mengetuk-ngetuk pelispis. tak habis pikir sejak kapan ia jadi peduli dengan pendapat Kinan. Gadis yang sikapnya tak tertebak. Berbeda dengan Erika yang selalu mengejarnya.

Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Erika, salah satu dari sekian banyak gadis yang tak lelah mengejarnya. Seribu satu cara ia lakukan untuk menjerat pria tampan berhati dingin tersebut. Tapi sampai saat ini tak pernah berhasil mendapatkan hatinya.

Jangankan hati, sebuah senyuman darinya pun seperti hal yang mustahil. Tapi seorang gadis yang baru dikenalnya beberapa saat telah berhasil mendapatkan senyumnya. Atau bahkan hatinya?

Angin malam bertiup pelan, menembus kaos tipis yang Sean kenakan. Membuat lelaki itu merasa jika udara semakin dingin.

Ia menengok arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul dua belas malam.

Sean beranjak dari tempatnya setelah menyandarkan gitar di kursi. Ia harus tidur. Karena sejauh yang ia tahu, udara malam dan begadang sangat tidak cocok bagi seorang pianis seperti dirinya.

Ia menutup pintu balkon dan menenggelamkan diri dalam selimut tebal. Mencoba untuk tidur meski banyak pikiran berputar di otaknya. Ia harus menemui Kinan besok. Untuk menjawab semua rasa penasaran yang berkecamuk di hatinya.

Ia benar-benar ingin tahu penilaian gadis itu tentang permainannya semalam. Yang berarti ia harus menekan segala rasa resah dan gelisah yang selalu ia rasakan saat bersama Kinan.

Dan hal itu membutuhkan usaha yang sangat keras.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Takdir
332      234     2     
Short Story
kita memang pernah bersama tapi kita tidak ditakdirkan untuk bersama
Our Tears
3113      1386     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Forget Me After The Rain
440      320     1     
Short Story
\"Kalau begitu, setelah hujan ini, lupakan aku, seperti yang aku lakukan\" Gadis itu tersenyum manis
Violetta
626      373     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
In Your Own Sweet Way
446      318     2     
Short Story
Jazz. Love. Passion. Those used to be his main purpose in life, until an event turned his life upside down. Can he find his way back from the grief that haunts him daily?
Kuncup Hati
678      467     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
Forgetting You
4174      1524     4     
Romance
Karena kamu hidup bersama kenangan, aku menyerah. Karena kenangan akan selalu tinggal dan di kenang. Kepergian Dio membuat luka yang dalam untuk Arya dan Geran. Tidak ada hal lain yang di tinggalkan Dio selain gadis yang di taksirnya. Rasa bersalah Arya dan Geran terhadap Dio di lampiaskan dengan cara menjaga Audrey, gadis yang di sukai Dio.
The Last Name
2266      807     5     
Fan Fiction
Ketika wanita dan pria saling mencintai satu sama lain apakah sebuah hal yangsalah? Tidak, tidak ada yang salah. CInta menjadi salah jika kau mencintai seseorang yang secara takdir memang tidak bisa kau cintai.
Memoria
354      294     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
The Puzzle
1246      723     4     
Fantasy
Banyak orang tahu tentang puzzle, sebuah mainan bongkar-pasang untuk melatih logika. Namun berbeda dengan puzzle yang dimiliki Grace, awalnya Grace hanya menganggap puzzle yang dimilikinya sama seperti puzzle yang dimiliki orang lain. Dia sering memainkan puzzle itu sejak kecil tapi setelah dia dewasa, puzzle itu mulai memunculkan teka-teki baginya. Grace heran saat ayahnya benar-benar menjaga pu...