Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Bet
MENU
About Us  

Setiap hari, Aram selalu mampir di rumah Aretha setelah pulang sekolah. Sudah empat hari Aretha tidak pergi kemana-mana sehabis pulang sekolah, setiap harinya dia habiskan untuk belajar dengan Aram.

Hari ini adalah hari sabtu yang tidak lain adalah hari libur dan hari ini juga adalah hari ke lima Aretha belajar dengan Aram. Berbeda dengan hari sabtu lainnya, Aretha memutuskan untuk belajar lagi dengan Aram. Sebenarnya, Aretha merutuki kebodohannya karena mengajak guru biologinya taruhan yang tidak masuk akal untuknya dan taruhan itu membuatnya terpaksa memilih belajar ketimbang jalan-jalan. Tapi mau bagaimana lagi, Aretha juga tidak bisa membatalkan taruhannya, jadi dengan berat hati Aretha meminta Aram untuk ke rumahnya dan mengajarinya lagi.

Terhitung empat hari ia belajar dengan Aram, dan Aretha merasa pintar karena sudah mengerti perkalian, tapi kembali merasa bodoh saat Aram mengajarinya bahan ulangan matematikanya yang tinggal empat hari lagi. Seperti saat ini, Aretha kembali merasa sangat bodoh karena tidak mengerti satu pun penjelasan Aram.

“Aram. Penjelasan lo dari tiga puluh menit yang lalu... gak ada satu pun yang gue ngerti.” Aretha menampilkan cengiran lebarnya.

“Sabar, sabar.” Aram menatap Aretha gemas. “Gue harus ngajarin lo kayak gimana lagi? Itu udah penjelasan ter-simple yang bisa gue kasih, kalo lo masih gak ngerti juga, gue harus ngajarin kayak gimana lagi?”

Aretha tidak menjawab, masih terus menampilkan cengirannya. Sementara Aram, laki-laki itu tidak marah, tapi dia juga sudah terlampau gemas dengan kapasitas otak Aretha yang baru bisa mengerti perkalian setelah dua hari. Perempuan itu sudah SMA, harusnya sudah terbiasa dengan perkalian.

“Empat hari lagi lo ulangan, tapi lo belom ngerti sama sekali bahan ulangannya.”

“Ini gue lagi berusaha, Aram.”

 

t h e  b e t

 

“Istirahat dulu, mau?” tanya Aram karena kasihan melihat wajah kusut Aretha.

“Dari tadi gue udah nunggu lo ngomong kayak gitu, akhirnya lo peka juga.” Aretha menaruh kepalanya di atas tumpukan buku dan kertas, menempelkan pipinya pada kertas yang terletak di atas meja sambil menatap Aram dengan tatapan memelas.

“Laper?”

“Banget. Gue belom makan dari pagi, ini udah jam dua belas siang.”

“Gue yakin lo gak bisa masak. Lo mau makan di luar atau delivery?”

Delivery aja, gue masih mau belajar lagi dan lo gak boleh bosen ngajarin gue, walaupun gue gak ngerti-ngerti.” Aretha menampilkan cengiran lebarnya lagi, sepertinya perempuan itu sedang senang menampilkan cengiran lebarnya hari ini.

Aram merasa kagum, dan sedikit kasihan? Aram kagum dengan semangat perempuan itu yang tidak menyerah, walaupun dia tidak mengerti pelajaran anak sekolah dasar dan harus mempelajari semuanya dari awal. Tapi Aram juga merasa kasihan karena sikap perempuan di hadapannya ini terlalu polos, sepertinya kelakuan bar-barnya adalah kebohongan yang sengaja dibuatnya agar tidak menunjukkan sisi aslinya.

“Lo mau apa?” tanya Aram melihat Aretha yang sudah mulai mencoba mengerjakan soal yang diberikan Aram lagi.

“Apa aja,” jawab perempuan itu acuh tak acuh.

Fokusnya seperti teralihkan pada soal-soal di hadapannya. Bukannya berlebihan, tapi kelakuannya saat ini terlihat seperti orang yang akan mati jika tidak bisa menyelesaikan soal-soal itu.

Tiga puluh menit kemudian, Aretha mengerutkan kening saat melihat Aram membawa berkantong-kantong makanan. Bahkan mungkin, makanan itu cukup untuk dimakan sepuluh orang. Hal itu membuat Aretha bingung, mereka hanya berdua, jadi kenapa Aram memesan makanan sebanyak itu?

“Biar lo gak kelaperan dan tetep fokus belajar.”

“Lo, cenayang?” tanya Aretha dengan ekspresi seramnya.

“Gue udah berbaik hati, malah dikatain cenayang.”

“Makasih.”

Aram tambah merasa kasihan pada Aretha, saat perempuan itu memakan makanannya sambil belajar? Seingin itukah Aretha untuk menang? Rasanya Aram ingin memecat guru itu saja, sehingga taruhan itu batal. Aram lebih senang melihat kelakuan Aretha yang bar-bar, sering bolos dan tidak pernah belajar, ketimbang melihat Aretha yang diam dan fokus belajar. Tapi jika dia melakukan itu, dia takut Aretha akan marah padanya.

“Lo gak makan?” tanya Aretha.

“Nggak.”

“Gak laper?”

“Nggak. Lo makan aja.”

“Tapi lo harus makan, nanti sakit.” Aretha menyodorkan makanan pada Aram.

Nah, kan. Sepertinya kata-kata Aram memang benar, kelakuan bar-bar Aretha itu seperti topeng yang menutupi sikap aslinya yang sangat polos menurut Aram.

“Hm.”

“Menurut lo, gue bisa menang gak?”

Aram diam, bingung harus menjawab apa. Masalahnya, sikap bar-bar Aretha seperti lenyap ditelan bumi. Rasanya terlalu kasar kalau Aram jawab tidak akan menang, tapi kalau Aram jawab pasti menang dan nanti kenyataannya Aretha kalah, gimana? Aretha pasti kecewa, kan?

“Gak usah dijawab. Gue tau lo pasti bakal jawab gue gak akan menang.”

“Siapa yang bilang gitu? Gue yakin lo bakal menang kok.”

 

t h e  b e t

 

Hari menjelang malam, bahkan makanan yang tadi dipesan Aram sudah habis tidak tersisa padahal makanan sebanyak itu seharusnya bisa dimakan oleh sepuluh orang. Aretha masih fokus pada kegiatan belajarnya dan Aram masih dengan sabar menjelaskan jika Aretha tidak mengerti.

Sedangkan Aretha sudah seperti orang yang gila belajar dan gila nilai, karena hari sabtunya dihabiskan untuk belajar. Sampai saat ini, pukul tujuh malam, Aretha masih setia duduk di tempatnya, mendengarkan penjelasan Aram dan mengerjakan soal-soal.

“Udah dulu, ya, belajarnya?” tanya Aram.

“Kalo gue kalah, gimana? Katanya lo gak mau pacar lo kalah taruhan sama guru kayak gitu.”

Ini sudah terhitung ke tiga kalinya Aram menawarkan untuk menyudahkan kegiatan belajar-mengajarnya hari ini, tapi Aretha selalu menjawab seperti itu, membuat Aram jadi bingung sendiri. Laki-laki itu jadi menyesal karena sudah mengatakan hal itu.

Lalu sekarang, laki-laki itu harus mengulang penjelasan yang baru saja dia jelaskan sekitar lima menit yang lalu karena Aretha masih tidak mengerti.

Aretha melipat tangannya di atas meja dan menaruh kepalanya di atas tangan. Masih mendengarkan penjelasan Aram yang sedang mencoret-coret kertas dengan rumus-rumus sambil menjelaskan. Tapi bukannya mengerti penjelasan Aram, perlahan-lahan mata Aretha terpejam.

Aram menghela napasnya saat melihat Aretha tertidur lagi, seperti beberapa hari yang lalu. Harusnya Aram sudah memecat guru itu, tapi karena kemungkinan Aretha akan marah jika guru itu tiba-tiba dipecat, Aram sepertinya harus menunda keputusan itu sampai dia menemukan kesalahan telak yang bisa menjadi alasan pemecatan guru itu.

Aram kembali mengangkat tubuh Aretha seperti beberapa hari yang lalu. Laki-laki itu berdiri dengan tubuh Aretha yang berada digendongannya dan berjalan menuju kamar Aretha. Membaringkan perempuan itu dan menyelimuti tubuhnya, persis seperti apa yang dilakukannya beberapa hari yang lalu.

“Gimana caranya gue gak tertarik sama lo. Kalo tingkah lo aja ngegemesin kayak gini.”

***

Jangan lupa tinggalkan jejak buddy!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kutu Beku
404      272     1     
Short Story
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang berusaha dengan segala daya upayanya untuk bertemu dengan pujaan hatinya, melepas rindu sekaligus resah, dan dilputi dengan humor yang tak biasa ... Selamat membaca !
Mengejar Cinta Amanda
2458      1302     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
BACALAH, yang TERSIRAT
10464      2218     4     
Romance
Mamat dan Vonni adalah teman dekat. Mereka berteman sejak kelas 1 sma. Sebagai seorang teman, mereka menjalani kehidupan di SMA xx layaknya muda mudi yang mempunyai teman, baik untuk mengerjakan tugas bersama, menghadapi ulangan - ulangan dan UAS maupun saling mengingatkan satu sama lain. Kekonyolan terjadi saat Vonni mulai menginginkan sosok seorang pacar. Dalam kata - kata sesumbarnya, bahwa di...
Voice Note Sebuah Jawaban
367      235     3     
Humor
Bangunan berjejer rapih dan seragam, menjadi tempat penuh tawa dan duka. Bangunan bertingkat dua yang terdiri dari beberapa ruang kelas membuatnya nampak indah ketika mengelilingi taman, serta membelakangi sebuah lapang upacara. ukiran unik dibuat di setiap dinding untuk terus memperindahnyameski akan menghapus jejak namun kenangannya tak akan terhapus. Kembali lagi ke sekolah tempat yang paling ...
Flyover
485      347     0     
Short Story
Aku berlimpah kasih sayang, tapi mengapa aku tetap merasa kesepian?
Sendiri
480      324     1     
Short Story
Sendiri itu menyenangkan
Run Away
8518      2012     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
666      375     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
ADITYA DAN RA
19793      3521     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Broken Wings
1395      838     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...