Usia tujuh belas tahun. Pesta mewah, gaun yang gemerlap, high heel mahal, dan kado-kado yang menumpuk. Mungkin itu yang diinginkan ketika seseorang menginjak usia tujuh belas tahun, terutama perempuan.
Tidak kupungkiri, aku juga menginginkan pesta sweet seventeen-ku diadakan di hotel berbintang, gaun malam ala selebriti hollywood, high heel branded, kado-kado besar, dan teman-teman yang meramaikan pestaku. Namun sayang, perayaan ulang tahun yang kutunggu dan kunantikan ini hanya dirayakan dengan sederhana. Bersama dengan Papa. Tidak di hotel berbintang, tidak ada gaun, dan tidak ada segunung kado.
Papa mengajakku pergi ke sesuatu tempat. Saat kutanya beliau hanya tersenyum penuh arti.
“Nanti kau akan tahu.”
Akhirnya aku tahu ke mana tujuan Papa, rumah sakit. Aku tidak mengerti kenapa kami ke sini. Aku tidak sakit, begitu pula dengan Papa. Kami juga sepertinya tidak punya kenalan yang perlu dijenguk. Aku ingin bertanya, tapi pasti Papa tidak akan menjawab pertanyaanku.
“Sudah berubah ternyata.”
Aku mengerutkan kening. “Apanya yang sudah berubah?”
“Dulu di sini tempat persalinan Mama.”
Aku menatap Papa kemudian ruangan administrasi. “Dulu ini ruang persalinan?”
“Ya, Papa masih ingat. Dulu ini ruangan di mana kamu lahir.”
Aku kembali menatap ruangan itu. Sedang membayangkan kejadian tujuh belas tahun lalu.
“Waktu itu Papa baru saja pulang kantor. Kemudian Mama memegangi perutnya. Papa panik setengah mati tiba-tiba Mama mendadak kontraksi. Kata dokter kamu lahir di awal September. Mungkin kamu tidak tahan di dalam, jadi kamu memutuskan lahir di pertengahan Agustus, ya.”
Aku hanya tertawa. Aku geli membayangkan kepanikan Papa waktu aku akan lahir.
“Waktu itu Papa ingin merekam proses kelahiranmu, tapi…”
Papa tidak melanjutkan kalimatnya.
“Tapi?” Aku penasaran dengan kelanjutannya.
“Tapi itu tidak penting.”
Aku memutar bola mataku. Mulai kesal dibiarkan penasaran begini. “Papa!”
“Papa pingsan karena tidak kuat melihat darah dan Mama terus saja menjerit.”
Tawaku pecah. Aku tertawa keras sekali sampai-sampai orang-orang melirikku dengan jengkel. Aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku. Papa memang tidak tahan melihat darah. Itulah alasan Papa banting setir dari mahasiswa kedokteran menjadi mahasiswa teknik sipil.
“Ayo kita pergi dari sini,” kata Papa jengkel. Sepertinya kesal ditertawakan anak sendiri.
Aku menyeka air mataku yang keluar. “Ke mana lagi?”
“Lihat saja nanti.”
Sepertinya Papa senang sekali membuatku penasaran.
***
Tempat selanjutnya yang kami datangi adalah sebuah jembatan kecil. Aku tidak mengerti kenapa Papa membawaku ke sini. Ini hanya jembatan kecil yang selalu kulewati saat akan berangkat ke sekolah. Menurutku, tidak ada istimewanya.
“Manda.” Papa memanggil namaku dengan lembut sambil mengelus kepalaku. Beliau menyematkan beberapa helai rambut ke belakang telingaku. Ia juga menyingkirkan beberapa helai yang menutupi pandanganku.
“Pa?”
Papa tersenyum kemudian berjongkok. Tangannya yang dingin menyentuh tumitku. “Sudah memudar, tentu saja. Sudah lima belas tahun.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Papa.
“Dulu, saat umurmu dua tahun kamu pernah jatuh. Kakimu berdarah dan lukanya sangat besar. Sampai-sampai kamu harus mendapatkan lima jahitan.”
Aku mengelus bekas luka itu. Aku tidak ingat kejadian itu. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat sesuatu.
“Ayo kita pergi.”
Kami pergi ke destinasi berikutnya. Aku tak bertanya ke mana selanjutnya kita akan pergi. Tapi aku tahu kami akan pergi ke sesuatu tempat yang berhubungan denganku di masa lalu.
“Kau tahu tempat apa ini?” tanya Papa.
Ini bukan sebuah tempat. Ini sebuah jalan. Bagi orang lain ini hanyalah jalan biasa yang ramai. Tapi bagiku jalan ini tidak biasa. Begitu pula bagi Papa. Jalan ini mengingatkanku pada kecelakaan saat umurku tujuh tahun. Kecelakaan yang membuat Mama harus meninggalkan Papa dan aku selama-lamanya. Mama mengorbankan nyawanya untuk melindungiku dari terjangan mobil yang hilang kendali.
“Papa baik-baik saja?” tanyaku begitu menyadari suasana yang terlalu hening. Papa teringat Mama, aku yakin itu. “Selanjutnya kita ke mana?” Aku ingin segera pergi dari sini. Tempat ini terlalu menyakitkan bagiku dan Papa.
***
Aku tidak mengerti. Benar-benar bingung. Tempat selanjutnya adalah supermarket biasa. Semua tempat yang kami datangi berhubungan denganku. Rumah sakit di mana aku lahir, jembatan di mana aku pernah terluka, dan sebuah jalan di mana Mama harus meninggal karena kecelakaan. Tapi supermarket? Apa yang istimewa dari tempat ini? Oke, aku memang sering berbelanja di sini dengan Papa. Hanya itu, tidak ada yang lain.
“Pa?”
Aku melayangkan pandangan tidak mengerti.
“Kamu pasti bingung.” Papa membaca pikiranku. “Kita tidak salah. Ini memang tidak menyangkut dirimu secara langsung. Atau lebih tepatnya ini menyangkut Papa.”
Aku semakin tidak mengerti.
“Setelah Mama meninggal, semua tugas rumah tangga menjadi tugas Papa. Memasak, mengurusmu yang masih kecil, membersihkan rumah, dan sejenisnya.”
Perlahan aku mulai ingat. Aku ingat betapa repotnya Papa mengurusku sendirian sambil bekerja.
“Papa benar-benar kagum dengan tenaga ibumu. Setiap hari mengurusmu dan Papa serta membersih rumah. Mengurus satu orang saja Papa kewalahan apalagi dua.”
Aku tersenyum. Aku ingat. Rumah menjadi berantakan karena Papa tidak mengerti bagaimana mengurus rumah. Mesin cuci rusak karena Papa salah menekan tombol. Panci banyak yang hangus karena Papa lupa kalau sedang memasak. Baju-bajuku sering bolong karena panas setrika yang berlebihan.
“Belum lagi memasak untukmu. Papa benar-benar hampir menyerah.” Papa mendesah. “Kamu bahkan menangis karena masakan Papa tidak enak.”
“Masa?” Aku tidak percaya omongan Papa. “Tidak mungkin.” Masakan Papa enak sekali. Tidak mungkin aku menangis gara-gara masakannya tidak enak.
“Papa tidak bohong. Kamu benar-benar menangis karena makanan yang Papa masak tidak enak. Belum lagi Papa tidak bisa menata rambutmu seperti Mama.”
Kalau bagian itu aku ingat. Biasanya Mama menata rambutku dengan cantik. Begitu Papa yang mengurusku, rambutku tidak pernah cantik lagi. Aku ingat pernah marah selama seminggu karena Papa tidak bisa mengepang rambutku dengan rapi.
“Kamu ingat ini?”
Papa mengambil sebuah kotak bekal berwarna biru dari rak. Aku langsung tersenyum. “Ingat. Aku minta yang warna pink dengan gambar kucing, tapi Papa malah membelikanku yang bergambar robot.”
Dulu Papa orang yang kaku dan tidak peka. Aku minta dibelikan kotak bekal dengan gambar yang imut, tapi malah dibelikan kotak bekal untuk anak laki-laki. Aku marah dan tidak mau bicara. Akhirnya Papa membelikan yang sesuai permintaanku pagi-pagi. Papa rela menunggu sampai supermarketnya buka.
“Terima kasih, Pa.” Aku memeluk Papa dengan erat.
“Kita belum selesai, lho.”
Aku melepaskan pelukan. Keningku berkerut. “Memangnya masih ada lagi?”
Papa menggaruk kepalanya. “Papa bingung harus mulai bagaimana?”
Aku heran dengan gelagat Papa. Wajahnya memerah. Papa juga mondar-mandir seperti orang bingung.
“Papa kenapa, sih?” Aku mulai gemes dengan tingkah Papa.
Papa menghela napas. “Ikut Papa.”
Aku mengikuti Papa. Kami menerobos di antara para pengunjung yang sedang berbelanja. Setelah melewati beberapa rak akhirnya kami sampai di tempat rak tisu.
“Tisu?”
“Bukan tisu, tapi yang di sana.”
Papa menunjuk rak di sebelahnya. Seketika aku langsung menutup mulut sebelum tawaku pecah. Tentu Papa malu jika berdiri di depan rak itu. Ah, tidak. Tidak hanya Papa, semua laki-laki akan malu berdiri di depan rak pembalut wanita.
“Papa laki-laki, tidak tahu kapan saatnya pubertas anak perempuan datang.”
Aku tidak mendengarkan apa yang dikatakan Papa. Aku masih sibuk dengan tawaku yang tak bisa kutahan lebih lama lagi. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian konyol itu.
“Malam-malam kamu tergeletak sambil memegangi perut. Papa panik lalu membawamu ke rumah sakit. Begitu sampai di sana perawat hanya tersenyum sambil menyodorkan secarik kertas berisi pesan.”
“Tolong pergi ke mini market dan beli pembalut wanita.” Aku masih mengingat jelas pesan itu. Aku bahkan masih menyimpan kertas itu di laci.
“Kamu tidak tahu bagaimana perasaan Papa waktu itu.”
Membayangkan Papa harus menahan malu saat membeli pembalut wanita membuatku tak bisa menahan tawa lagi. Aku tertawa lepas dan menjadi pusat perhatian. Aku membayangkan ekspresi Papa waktu itu. Bingung dan malu. Bingung karena begitu banyak merek dan jenis pembalut wanita. Malu karena tidak ada pria yang membeli pembalut wanita.
“Papa.”
“Apa?” Papa menjawab dengan nada ketus. Jengkel karena aku terus tertawa.
“Terima kasih, Pa.” Aku memeluk Papa seerat mungkin.
Papa mengelus kepalaku. “Selamat ulang tahun. Maaf, hanya ini yang bisa Papa berikan untukmu. Papa tidak sempat memesan restoran dan membelikanmu hadiah.”
Aku menggeleng di dada Papa. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutku kaku. Aku tidak bisa mengeluarkan suara.
“Terima kasih sudah hadir di hidup Papa. Terima kasih sudah menemani Papa sampai hari ini.”
Tangisku semakin deras. Aku memeluk Papa semakin erat. “Terima kasih, Pa.” Akhirnya suaraku keluar. “Ini jauh lebih manis dibanding semua pesta sweet seventeen di seluruh dunia. Terima kasih atas hadiah yang berharga ini.”