Loading...
Logo TinLit
Read Story - CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
MENU
About Us  

                                                                                                          Cinlov? Apa itu?

 

            Soto kuning cap Mang Kardun yang ada di jalan Surya Kencana adalah salah satu kuliner paling di cari oleh para pelancong. Letaknya ada di pinggir jalan. Tepatnya di atas pedestrian. Setiap kali makan di sini pasti ada sedikit rasa penyesalan di hati Mala dan Malto. Bukan karena masakannya tidak enak. Tapi karena mereka harus makan di atas pedestrian, yang mana kita tahu pedestrian itu adalah hak pejalan kaki.

            "Kapan ya terakhir kali kita kesini?" Mala menambahkan perasan jeruk nipis kedalam soto kuningnya.

            "Mmm... lupa. Seinget gue sih, semenjak lo pacaran sama Valdi kita udah gak pernah lagi kesini." Malto memakan cincangan daging ayam yang ada di dalam soto kuning.

            "Lo nyindir gue ya?"

            Malto meanggukan kepalanya. "Di bumi ini ada dua tipe teman. Pertama teman selalu ada waktu untuk temannya meskipun dia udah punya pasangan. Kedua teman yang lupa dengan temannya ketika dia sudah punya pasangan."

            Mala duduk di bangku kayu memanjang. Ia menggeser lututnya untuk lebih dekat dengan Malto. "Menurut lo gue yang pertama atau kedua?"

            Laki-laki yang masih menggunakan seragam SMA itu tersenyum. Di menyeruput kuah soto lalu meletakan sendok di atas mangkuk. "Tenang aja lo yang pertama. Meskipun lo punya pacar tapi lo tetap ada waktu buat gue. Makasih ya."

            Mala mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa perkataan Malto barusan memiliki makna yang tersembunyi. Kenapa Malto mengucapkan terima kasih padanya. Seumur hidup kenal dengan laki-laki itu, Mala sangat jarang mendengar Malto mengucapkan kata terima kasih. Mala menjilati bibirnya. Ia tidak mengerti kenapa perasaannya mendadak jadi aneh.

            Hari sudah sore semilir angin senja berhembus pelan. Dedaunan berguguran ketika angin melayang terbang di sekitar pepohonan. Mala dan Malto berjalan perlahan di atas pedestrian. Di samping kiri mereka terdapat kebun raya bogor.

            "Lo tuh kenapa sih gak pernah pacaran. Padahal banyak cewek yang suka sama lo. Dan setahu gue juga lo kayanya sering banget godain cewek-cewek di sekolah." Mala harus sedikit mengangkat wajahnya karena Malto sepuluh centimeter lebih tinggi darinya.

           "Karena gue pengen cinlov." Malto memasukan kedua tangannya kedalam saku jaket yang sedang ia kenakan.

            "Cinlov? Apa itu?" Mala baru pertama kali dengar kata itu.

            "Iya cinlov. Karena cinta pasti love kan. Sementara kalau suka belum tentu cinta atau love. Jadi intinya gue cuma mau pacaran sama cewek yang gue cinta atau love. Bukan sama cewek yang gue suka."

            Mala meangguk pelan ia kini sudah mengerti arti kata cinlov. Baru kali ini Malto menjelaskan arti kata aneh yang ia ucapkan. Karena biasanya setiap kali Malto mengucapkan kata-kata aneh pasti orang itu menjelaskannya dengan asal-asalan. Tanpa sadar mereka sudah sampai di sebuah halte, belum sampai satu menit ada bus GoTrans yang berhenti di depan depan mereka.

            Mereka berdua naik bus itu. Tidak ada bangku yang kosong terpaksa kedua remaja SMA itu harus berdiri. Mala berdiri di samping Malto kondisi bus lumayan penuh sehingga mereka berdua saling berdempetan. Tubuh Mala menempel di tubuh Malto. Gadis itu menyadarinya ia berusaha menjauh namun tidak bisa.

            Malto menatap Mala dari samping. Ia lihat kedua mata gadis itu mengerjap. Sepertinya Mala sedang gugup. Kondisi bus bergoyang goyang kepala Mala menempel di dada Malto yang bidang. wanita muda itu menelan ludahnya. Kenapa ia jadi gugup Malto kan hanya temannya.

            Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya bus itu me-rem secara mendadak. Dengan cepat Malto memegangi pundak Mala dan mendekapnya erat. Mala menengadahkan wajahnya. Ini yang kedua kalinya wajah kedua orang itu berhadapan sangat dekat. Mala bisa merasakan hembusan napas Malto. Namun sepertinya gadis itu bisa mengendalikan dirinya. Mala menjauh dari tubuh Malto. Mala bergerak tidak jelas. Sementara Malto hanya berdeham pelan.

            "Maaf ya, bannya meletus jadi kayanya kalian harus ganti bus," ucap sopir dari pintu masuk.

            Semua penumpang turun. Untunglah jarak rumah Mala sudah dekat sehingga mereka hanya perlu jalan beberapa menit. Kejadian di dalam bus tadi membuat kedua anak muda itu saling diam. Mala berjalan di depan Malto. Sebenarnya ia ingin sekali jalan sambil mengobrol namun mulutnya terasa membeku. Jalan berdua tapi saling diam memang membosankan itu juga yang saat ini sedang di rasakan Malto. Tapi ya mau bagaimana lagi ia tidak tahu harus mulai membicarakan apa.

            Mala berhenti tepat di depan rumahnya. Ia membalikan tubuhnya dan menghadap Malto. "Udah nyampe. Gue masuk dulu ya."

            Malto tersenyum manis. "Iya. Kalau gitu gue duluan." Malto pergi meninggalkan Mala di depan rumahnya. Gadis itu terdiam ia masih belum mau beranjak pergi dari sana. Ia masih ingin melihat Malto walaupun hanya punggungnya saja.

 

===

 

            Di rumah, Sulis, ibu Malto sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. Hari ini ia memasak Paella ayam olahan nasi khas Spanyol. Tidak lama Malto datang kedapur dan langsung membuka isi kulkas. Ia mengambil sebotol jus jeruk dan langsung meminumnya.

            "Mal, ayo kita makan dulu. Mamah udah buatin Paella," ucap Sulis.

            "Aku enggak laper."

            "Masa gak laper sih. Setiap kali pulang pasti jawabnya enggak laper, belum laper." Sulis menatap wajah Malto yang tidak acuh.

            "Ya memang gak laper gimana dong."

            Di tengah perbincangan antar anak dan ibu itu, datang seorang pria dewasa yang kelihatannya masih muda. Pria itu berjalan mendekati kulkas.

            "Baru pulang Mal." pria itu mengelus elus kepala Malto.

            Malto menyingkirkan kepalanya. Ia terlihat sangat tidak suka di sentuh oleh pria itu. "Jangan sentuh kepala saya. Harus berapa kali sih saya bilang jangan sentuh saya."

            "Oh, maaf Mal Papah cuma."

            Malto mengacungkan telunjuknya. "Ssttt... stop bilang diri kamu papah kamu bukan papah saya. Papah saya udah di kubur sepuluh tahun lalu. Jadi jangan pernah sebut diri kamu papah."

            "Malto!" teriak Sulis.

            Anak laki-lakinya itu lalu pergi dari dapur dan menuju kamarnya. Sebenarnya laki-laki itu adalah Ginto ayah tiri Malto. Usia Ginto yang sepuluh tahun lebih muda dari Sulis membuat Malto sampai detik ini tidak merestui hubungan mereka. Padahal Sulis dan Ginto sudah menikah dua tahun lalu. Dan sejak mereka berdua menikah Malto sering berbuat ulah, ia sering pulang malam dan tidak suka makan satu meja dengan kedua orang tuanya itu.

            Malto terbaring di atas kasurnya. Ia menghela napas cukup kencang. Pikirannya jadi kacau tidak jelas ia ingin memikirkan apa. Hatinya sekarang jadi kesal ingin rasanya ia pergi ke hutan lalu berteriak sekencang mungkin. Di tengah kegusarannya pintu kamar Malto ada yang mengetuk. Sulis lalu masuk ia melihat anaknya sedang terbaring di atas kasur.

            "Malto, Mamah tau kamu gak suka sama Papah Ginto. Tapi kamu gak boleh kasar seperti itu. Mamah gak pernah kan ngajarin kamu kaya gitu." Sulis duduk di ujung kasur.

            Malto bangun ia duduk bersila di atas kasurnya. "Waktu aku kecil Papah pernah bilang kalau aku harus jagain Mamah. Aku cuma gak mau Mamah di sakitin sama dia. Mama pasti sering denger banyak perempuan yang nikah sama laki-laki yang usianya jauh di bawah mereka, akhirnya di sakitin, di porotin terus di tinggal. Aku gak mau Mamah jadi korban laki-laki itu."

            Sulis menarik napasnya. Ia sangat mengerti sekali kekhawatiran yang di rasakan oleh anaknya itu. Tapi biar bagaimanapun ia mencintai Ginto begitu juga sebaliknya. Dan ia berharap agar Malto bisa menerima suaminya itu mungkin bukan sebagai ayah tapi sebagai teman yang bisa menjaga Malto.

            "Hanya karena di luar sana banyak laki-laki seperti itu bukan berarti semuanya sama kan. Kamu harus kasih kesempatan papah Ginto untuk membuktikan kalau dia gak seperti apa yang kamu takutkan. Coba deh kamu pikir. Kalau kamu bilang dia mau porotin Mamah itu gak mungkin banget. Mamah cuma punya toko kue sementara dia, kamu tahu kan dia itu pemilik dari Gota FM, jelas penghasilan dia lebih besar dari Mamah."

            Malto terdiam ia sebenarnya tahu hal itu. Malah dirinya sering mendengarkan siaran dari Gota FM sebuah stasiun radio terbesar di Bogor. Ia juga sering melewati gedung dari Gota FM yang ada di jalan Pajajaran. Namun baginya sulit untuk bisa menerima kehadiran orang baru di keluarganya. Apalagi orang itu saat ini berperan sebagai ayah di kehidupannya.

            "Aku capek Mah. Aku mau tidur."

            Sulis berdiri. "Ya udah kamu tidur ya." Sulis berjalan keluar ia menutup pintu kamar anak satu-satunya itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • ajunatara

    jadi inget dulu pernah di jambak sama cewek gue di kelas

    Comment on chapter JAMBAKAN MALA
Similar Tags