Jam delapan malam dan aku masih berada di metromini nol sembilan –sebuah rongsokan tua.
Bus lama. Tidak lagi layak pakai, kupikir. Tapi dari empat puluh lima menit yang lalu tidak ada bus melintas menuju alamat yang kumau; jalan kepada rumahku. Jadi dengan terpaksa, bus tak ber-ase nan panas ini jadi satu-satunya penghantar pulangku.
Lampu ruang tamu sudah nyala, it means Mama has arrived here earlier.
Aku agak kesal, aku yang ingin sampai duluan. Aku yang ingin buka kulkas dan minum air dinginnya dalam kondisi penuh. Aku yang ingin melihat rumah tanpa kedatangan siapa-siapa. Tanpa sampiran pakaian dimana-mana.
Ah, if the bus came faster…
Kubuka pintu, Mama di kamarnya.
Tengah bermain dengan ponsel, seperti biasa. Baguslah, dengan begitu, ia tidak perlu merecokiku.
“Uki.”
Aduh. “Ya.”
“Udah pulang, Ki? Kok malem banget sih?”
“Sibuk tadi.”
“Naik bus apa kesini, denger-denger bus arah sini lagi jarang nongol.”
“Yang biasa.”
“Katanya kan lagi ada razia…”
“…”
“Ki, makan dulu sana.”
“…”
“Itu Ki, ikannya di meja.”
“…”
“Ki.”
“Uki ngantuk, capek banget, Ma.”
___
Di rumah ini kami tinggal berdua. Ayahku, Papa, membungkus kopernya; pakaian, aksesoris Arsenal dan alat-alat cukurnya dari rumah setelah resmi bercerai dengan Mama. Sedang aku satu-satunya anak mereka tidak menginginkan perpindahan, apapun itu; segala sesuatu yang bermuara pada perbedaan. Aku ingin yang berubah hanyalah ketidak-beradaan Papa, hidupku ya biar begini saja.
Tapi biar begitu, biarpun aku memilih tinggal bersama Mama, bukan berarti aku lebih dekat dengannya. Tidak, aku tidak pernah berakrab-ria dengan salah satunya. Apalagi setelah perpisahan, segala obrolan menjadi begitu sensitif, menyinggung perasaan, dan membangkitkan emosi.
Berdua saja bersama Mama, segala yang dibicarakan rasanya serba salah.
Sudah empat tahun sejak hari itu.
Tapi aku benar-benar tidak bisa menempatkan di mana seharusnya aku. Keberpihakanku. Menurut orang-orang yang merasa benar, sebaiknya anak pecah belah sepertiku tidak perlu berpihak pada siapa-siapa. Mari dukung keduanya.
Tapi rasanya aku tidak mencintai mereka lagi?
Lihat, Mama atau Papa hidup sendiri-sendiri. Tanpa melibatkanku.
Papa sudah menikah dua tahun lalu. Aku hadir di pernikahannya tanpa perasaan apa-apa. Bahkan ketika kulihat ia bersanding dengan istri barunya, wanita asing yang jauh dari peradaranku, perasaanku tetap sebiasa saat datang ke pesta pernikahan orang lain, sebiasa melakukan tradisi duduk takzim di kursi undangan untuk makan kudapan dan akhirnya bersalaman dengan senyum yang terpaksa dipasang.
Hanya berdiam agak lama setelah pesta untuk mengembalikan jaket papa yang waktu itu belum sempat dibawanya. “Makasih ya, Ki.”
Sekarang Mama.
It’s her turn, omg.
Akhir-akhir ini ia sedang dekat dengan salah seorang pria yang dipertemukannya pada sebuah proyek kerjaan. Aku tahu hal ini bukan karena Mama sendiri yang bilang padaku.
Tapi telepon tiap malam itu. Percakapan mereka yang menyusup gendang telingaku.
Aroma-aromanya, sebentar lagi mereka akan menggelar pernikahan. Tapi Mama tidak pernah minta persetujuanku. Ia hidup, jalan terus, melesat tanpa peduli kanan kiri, memutuskan semua hal dalam hidupnya sendiri.
Hari ini tanggal merah.
Karena tidak bekerja, kuputuskan untuk bangun agak siang –dan ketika bangun, kejutan, pria milik Mama sudah ada di ruang keluarga dan aku disapanya.
“Halo, Uki.”
“Iya, halo,” Aku yang baru bangun tidur menjawab spontan, dengan suara serak dan tenggorokan sakit karena kurang minum semalam.
Senyum yang kaku kupasang.
Sedang dalam hati, aku sangat kesal. Aduh wajahku yang berantakan sana sini ini diperlihatkan di hadapan orang asing?
Mama tidak bisa seenaknya begini, mengundang orang lain masuk ketika aku masih menggumam dalam selimut. Dan ya ampun, di ruang keluarga? Mama benar-benar tidak mempertimbangkan etika kesopanan dari oma, keterlaluan. Apakah ia tidak kesampaian berpikir bahwa ketika aku bangun, yang kutuju pertama kali adalah kamar mandi, sehingga ruang keluarga pasti kulewati?
Mama menyebalkan.
Kamu tahu? Sekarang mama orang yang paling tidak kuinginkan.
___
Hal trivial macam itu membuatku sangat marah.
Setelah orang asing itu sudah mengalihkan obrolannya secara intensif dengan mama dan lengah akan keberadaanku, langsung kutancap gas dan pergi menuju kafe yang kuharap terlalu jauh untuk dijangkau Mama.
Bertemu teman-teman, menghancurkan tembok kesendirian.
“Uki!”
Dalam tawa bersama mereka, aku tenggelam.
__
Sembilan panggilan tak terjawab.
Dan betul saja, Mama.
Kuletakan teleponku lagi dan melanjut tidur kembali.
Semalam aku menolak pulang, semalam aku enggan melihat tempat kejadian perkara di mana orang asing itu menyaksikan; wajahku yang berantakan, suara yang sakit serak, dan senyum kaku yang menjijikan.
Tidak di hadapan orang itu.
Tidak.
Dari dulu mama tahu aku seorang perfeksionis. Dalam pelajaran kesenian waktu sekolah dasar, sewaktu berkesempatan marancang karya ilmiah di SMA, skripsi waktu kuliah. Hampir dalam segala hal aku tidak ingin membuat kesalahan!
Mama tahu, tapi mama mempermalukanku.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana laki-laki itu menikahi mama dan tinggal bersama kami. Halah, makin kikuk-lah hari-hari.
Jadi, rencanaku sekarang adalah; sesegera mungkin mengangkut barang-barang dari rumah –seperti yang dilakukan papa, dan menyewa kamar sendiri dekat tempatku bekerja.
Ya, sudah saatnya aku pergi.
___
Genap enam bulan aku pergi dari rumah dan hidup mandiri.
Kepergianku melahirkan banyak drama, entah antara aku dan mama, atau mama dengan pria-nya. Terserah, telah kutebalkan kulit dan mengangkut barang-barangku naik.
Tidak lama, akhirnya mereka menikah juga. Tentu saja aku datang untuk melahap banyak-banyak semangkanya yang dipotong segitiga. Karena aku suka, karena selain alasan itu, aku tidak tahu.
Mama hidup-hiduplah di sana bersama yang mama suka, biar aku di sini.
Tanpa siapa-siapa.
Seperti Papa, mama juga tidak bisa terus memeliharaku di sana.
Sore ini adalah sebuah petang yang tenang di sebuah kamar rumah susun nomor empat puluh dua. Tenang saja, untuk waktu yang lama, telah kubayar sewa.
Senang rasanya setelah pulang bekerja berdiam diri di sini, di balkon yang langsung menghadap udara terbuka. Tempat ini membiarkanku menghirup udara kota. Dan lihatlah ke bawah, antrean angkutan umum. Jajaran perumahan Jakarta.
Kadang layang-layang mampir di pagar kamarku karena tersangkut, pemiliknya, seorang anak kelas lima (aku hanya menebak) meneriakiku, bermaksud meminta mainannya kembali.
Kadang kukembalikan.
Kadang kuabaikan, biar aku yang jadi pemilik baru si layang-layang.
Senyumku mengembang. Betapa perilaku yang kekanak-kanakan. Konyol, nakal.
Pintu kamarku diketuk, mengaburkan pikiran tentang layang-layang.
Orang asing itu.
“Uki, ayo ikut saya. Kita pulang.” Wajahnya kusut.
“Apa?”
“Bawa barangmu yang perlu, saya tunggu di bawah.” Kuperhatikan baju belakangnya sudah terlepas dari ikat pinggang.
Kemudian laki-laki empat puluh itu pergi, membiarkanku berdiri di ambang pintu, berbingung ria. Tentang apakah perlu aku menuruti maunya.
Tidak banyak hal yang kubawa. Hanya handphone, dompet dan kartu-kartu identitas, itu saja.
Kudapati sebuah mobil sedan biru navy, itu mobilnya.
“Kenapa?” Kataku sambil buka pintu tanpa membubuhkan kata sapaan apa-apa. Betul, Karena aku tidak tahu harus memanggilnya apa.
“Mamamu.”
Aku memikirkan kemungkinan.
“Apa, masih memintaku pulang?”
“Kali malah ia sendiri yang berpulang.”
“Apa?”
“Tidur siang barusan. Saya di sampingnya.”
“…”
“She just fainted and died.”
___
Perubahan ini terlalu cepat. Waktu yang berjinjit di belakang terasa menakutkan.
Tiga hari yang lalu mama dikebumi, saudara-saudara berdatangan dan kemarin mereka sudah pergi lagi.
Sementara sekarang pria yang menjemputku waktu itu, ya baik, papa tiri-ku tengah memberesi barang-barangnya. Ia akan kembali ke rumahnya yang lama.
Aku tercenung di teras.
Memikirkan masa depan. Segala hal. Perubahan terasa mencekam.
“Uki,” Dia memanggil.
“Ya?”
“Saya pamit.”
“…” Ia mendekat, langsung duduk di hadapanku.
“Menurut diagnosa dokter penyakit jantung. Ya, jantung. Jarang diketahui gejalanya. Halus datangnya, tapi sekali ia menyerang, habis sudah waktu kita hidup di dunia.” Terdengar napas dihembusnya.
“…”
“Jantung, Uki. Kamu jaga kesehatanmu.”
“…”
“Nah sekarang, baiknya kamu kembali. Tinggal lagi di sini. Bagaimanapun rumah sendiri jauh lebih nyaman, kan?”
Aku mengangguk.
“Maaf kalau kehadiran saya untuk mamamu malah mengganggu hidupmu.”
“…”
“Kalau kedatangan saya buat kamu nggak lagi nyaman.”
“…”
Kalau suatu waktu butuh perlu, hubungi saya, ya. Saya pasti siap bantu, apapun.”
Lelaki itu berdiri, menarik kopernya pergi. Langkah kakinya menjauh.
Seperti bocah yang ditinggal sendirian, aku mulai menangis. Sesenggukan.
Laki-laki itu menoleh, “Uki, saya pergi. Kamu baik-baik, ya.”
Sesenggukku masih kedengaran.
Dalam hidup, perubahan memang tidak bisa dihindari. Sekejap semua berubah dan plop, keadaan menjadi sekarang ini.
Tapi bagimanapun, perjuangan menunaikan penghabisan usia untuk hal-hal berguna harus tetap dilanjutkan. Demikian, kan? Aku akan jadi Uki yang baru, yang menerima segala perubahan dan menganggapnya sebagai batu pijakan(*)
Terima kasih suguhannya. Saya menikmati cerpen ini, pembawaannya tidak berat. pesan moralnya tidak dipaksakan. Ditunggu cerpen yang lain.