Loading...
Logo TinLit
Read Story - Peneduh dan Penghujan
MENU
About Us  

Addi sedikit panik lalu menjauh dari hujan. Jok motor klasiknya dibuat nyaman duduk menyamping. Dia lepas resleting jaket kulitnya dan merogoh kantong dalam yang kembali bergetar untuk keempat kalinya.

"Iya, halo Ayah?" Ponsel lipatnya hening sejenak. "Bapak nelpon, tapi sudah pakai alat bantu dengarnya belum?"

"Kamu dimana, Addi?"

"Oh, belum dipasang Ibu ya."

"Halo? Dimana?"

"Aku di kota, Ayah. Bersiap pulang dari kantor," bohongnya.

Hening kembali. Lalu suara parau wanita terdengar samar.

"Addi, bapakmu bilang kamu hebat, Di, bisa bikin hujan sendiri."

"Aku hanya menentukan lokasinya, Bu, Yah. Bukan aku yang buat," sabarnya.

"Iya, Ibu tahu, nak. Maklumi saja Bapakmu---"

"Pakai apa, Di, bikinnya? Kalau bisa pakai bawang, masih ada sisa petikan yang kemarin, Bapak bisa bikin juga di rumah," sela suara ayahnya.

"Bukan, Yah. Itu pakai Argentium Iodida buat---"

"An, antum, antum---Hah?"

"Argentium, Ayah. AR-GEN-TI-UM!" Addi melemaskan kepalanya. "Pakai bahan kimia, Ayah. Pokoknya, Ayah dan ibu tunggu saja ya. Seharusnya disana sudah mendung---"

"Bapak kangen hujan, Di. Tapi sudah mau masuk bulan ke-4, belum turun juga. Bawa hujannya kesini, Di."

Addi menghela napas lesu yang besar, memastikan ponsel jauh dari mulutnya. Dia membalikkan badan menuju ujung terowongan dan mendongak ke langit mendung di selatan--arah rumahnya. "Iya, aku bawa sekarang ya."

"Iya, hati-hati ya, nak. Ibu tunggu."

"Akunya nggak ikut kesana, Ibu. Hujannya saja," dan suasana kembali monoton oleh suara gerimis.

Addi terdiam. Tidak setiap hari dia mengakali orang tuanya. Bahkan mungkin ini yang pertama tahun ini. Rasa janggal membuatnya perlahan menyeret kakinya mundur, meresapi kesendirian yang dia buat sendiri.

"Ayo dong, lebih deras lagi!" serunya pada langit-langit terowongan, namun dengan suara tertahan.

Tatapannya setengah kosong dan menembus tetesan air yang semakin sedikit menyerbu aspal. Satu gubuk, dua rumah, dan tiga traktor memperlihatkan ilusi sepi pada pemandangan ladang warna cokelat. Jelas sebuah pemandangan jauh di ufuk selatan yang tidak memperlihatkan adanya kehidupan bergerak. Seperti halaman belakang rumahnya. Hampir setahun Addi merindukan sepi seperti ini, namun tidak hari ini. Sepi kali ini membuatnya cemas.

Addi sudah lama sadar, tetesan hujan yang dia saksikan sekarang banyaknya berasal dari saluran air dan pepohonan di atasnya--dia hanya baru pasrah mengakuinya. Seret kaki lemasnya pun sudah samar-samar mampu didengarnya. Sesekali dia hidupkan ponselnya sekadar mengintip pojok kanan atas layar--dibuka, lalu ditutupnya lagi. Jam 17.12. Wajahnya tidak mampu menutupi ketegangan dan keringat dingin. Seiring menit ketiga belas yang tidak dapat dia hentikan, Addi semakin mempertanyakan keberadaannya di sana.

"Apa pulang saja, ya?" Ujarnya kecewa. Kecewa pada diri sendiri. Kedua matanya terpejam lemas. Dia baru saja membuang cuti terakhirnya sia-sia--untuk tidak melakukan apa-apa. Mentalnya mulai disiapkan untuk kembali ke kota lebih dini dari apa yang dia rencanakan. Jas hujan, niatnya untuk membuka bagasi motor. Namun ditundanya cepat. 17.30. Addi melipat tangan di atas setir motor dan menyandarkan kepalanya. 17.30 aku pulang, dalam hatinya. Kebiasaan menggenapi waktu yang dia sengaja biasakan. Kali ini, untuk menghukumnya terdiam sedikit lebih lama. Agar jera dari rencana impulsif seperti sekarang.

Jam 17.15. Addi tergelak tak percaya. Seseorang datang. Meneduh saat kondisi hujan sudah bisa ditembus.Tidak. Seseorang itu sudah mengenakan jas hujan. Memangnya dimana hujan turun di utara sana? Bukankah seharusnya semua awan tertiup angin ke sekitar sini?  Addi gagal. Tidak sekilas pun satu jawaban muncul di kepalanya, membuatnya merujuk pada logika semata. Satu-satunya alasan yang bisa dia pikirkan sembari menggelengkan kepala pelan dan tangannya menutupi ekspresi penuh lega.

"Mungkin modifikasi cuaca juga bisa melenceng dari rencana, ya?"

Seseorang benar-benar datang. Motor matic putih-biru laut sejajar diparkirkan belasan langkah dari motor Addi. Kontras, helm bogo hitam memperlihatkan hijab merah muda mencolok selepas diangkat. Warna yang tidak sepadan pula dengan warna jas hujannya yang gelap atas dan bawah. Dengan hempasan tangan ringan, butir-butir air yang tersisa jatuh dari siluet perempuan kecil itu. Kecil, sangat timpang dengan ukuran motor yang dia bawa. Sulit dipercaya mengetahui hampir setiap hari sosok yang ramping itu menyetir lebih dari dua puluh kilometer pulang-pergi.

Perempuan itu melepas atasan jas hujan saat membalikkan badan dan saling tatap menatap dengan Addi yang menggenggam dua gelas dan termos aluminium di tangannya.

"Mbak Carissa." Sahut Addi yakin.

"Loh, Mas Addian?" Suara melengking tinggi merebak di seisi terowongan. "Lama tidak ketemu!"

Terowongan yang pendek dan sepi mendadak romantis--hanya seorang peneduh dan penghujan serta sepasang motor yang saling membelakangi. Addi memotong jarak dengan santai, menahan bahagianya tidak terpampang jelas di tiap langkahnya. Namun yang terpenting adalah jaket kulit dilepas dan digantung di atas bahu menutupi dada kanan. Tentu saja, identitas BPPT wajib dia sembunyikan.

"Tumben baru pulang kerja, Mbak?"

"Iya. Di kantor kecamatan tiba-tiba gerimis, jadi mencari pinjaman jas hujan dulu," balasnya disambut seringai kecil Addi.

"Haha, kaget ya tiba-tiba hujan?"

"Iya!" Seru perempuan itu lagi, "tapi bersyukur juga, akhirnya ladang di sepanjang jalan basah kembali. Banyak yang bisa menggarap lahannya lagi," tambahnya dengan senyum puas.

Carissa perempuan yang riang, juga ramah. Belasan kali Addi bertemu dengannya saat musim hujan, meneduh di bawah terowongan ini--satu-satunya tempat meneduh yang aman di tengah puluhan hektar ladang bawang, kol, dan cabai sekitar sini. Saat itu, pemotor masih terbilang banyak. Hampir semuanya seusia mereka, remaja sekitar dua puluh tahun yang beranjak dewasa. Akibat penyerapan tenaga kerja besar-besaran untuk daerah tertinggal, banyak yang akhirnya mencari rezeki di perkotaan seperti Addi. Carissa salah satu pengecualian.

Jadi, pertemuan romantis mereka seperti sekarang bukan tidak mungkin. Hampir setahun pula Addi merindukannya.

"Mau teh hangat?" Tanya Addi yang di tangannya sudah menggenggam dua gelas plastik.

"Wah, terima kasih, Mas!"

Keduanya duduk di antara motor mereka, mencari trotoar paling kering. Perempuan kecil itu menyeruput pelan dan melepas kelegaan yang bahkan dirasakan Addi hanya dengan menyaksikannya. Addi jelas menikmati momen ini. Matanya tak berpaling sedikitpun dari ekspresi lawan bicaranya.

"Aku berpikir," Carissa memecah sepi, "Mas Addi kok bawa termos? Habis dari mana?"

"Ini... dari saudara. Baru saja kembali dari rumah bibi di desa seberang."

"Ooh, aku kira Mas Addi sengaja menunggu Carissa di sini. Sampai bawa teh segala. Hehe." Tawa kecil Carissa diikuti pipinya yang mulai mengembang dan tatapan Addi yang semakin terkunci. “Yah, walaupun mana mungkin Mas bisa sengaja bikin hujan supaya aku meneduh di sini. Ya kan?”

"Haha, dasar. Mbak pikir aku bela-belain jauh dari kota pakai jatah cuti, cuma untuk ketemu Mbak? Mana mungkin." Bohong Addi lagi hari ini.

 

 

##

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dosa Pelangi
650      387     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
My Universe 1
4352      1394     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
THE BASEMENT
412      301     1     
Short Story
a teenager named Hannah is going to explore her house which is build in 1995 and she is going to discover secrets
Angel in Hell
539      406     0     
Short Story
Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong. Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan? Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban. Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu. Mengha...
SERENA (Terbit)
18486      3342     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Kepak Sayap yang Hilang
129      119     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
27th Woman's Syndrome
10804      2069     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
After Feeling
6209      1953     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
A Ghost Diary
5510      1791     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
IMAGINATIVE GIRL
2811      1380     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?