Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Beni terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya terlihat merah. Geo menelan ludahnya. Keadaan ini sudah dapat diduga. Dia yakin, saat ini Beni sangat marah. Geo menutup matanya, bersiap siapa tahu Beni akan langsung membantingnya ke tanah. Dia berhitung mundur dari angka sepuluh.

Tiga ... Dua ... Satu ....

Tidak terjadi apa pun. Geo membuka salah satu matanya dan mengintip Beni yang masih terdiam. Wajahnya masih terlihat seperti hendak memakan orang. Geo berkedip. Posisinya saat ini sangat tidak nyaman. Berada di dalam gendongan Beni sementara Beni hanya terdiam dengan pandangan yang kemungkinan sedang melamun.

"Hmm, turunkan saya, Pak. Saya bisa jalan sendiri." Gaya bicara Geo jadi berubah. Dia berbicara selembut mungkin supaya Beni tidak meledak di hadapannya.

Sepertinya Geo salah. Karena dia berbicara, mata Beni sekarang melirik tajam ke arah Geo. Rahangnya masih mengeras. Alis matanya saling bertaut. Wajahnya jadi terlihat dua kali lebih menyeramkan.

"Kamu pikir, saya akan percaya begitu saja pada ucapanmu? Beraninya kamu mengambil kesimpulan sepihak begitu!" Nada bicara Beni sangat keras. "Matamu sedang bermasalah, kan? Saya sendiri yang akan temukan mata-matanya dan kamu dilarang bicara apa pun mengenai mata-mata itu!"

Geo mendesah. Inilah yang akan terjadi kalau seseorang menjadi bucin (budak cinta). Tidak akan mau mendengar pendapat orang lain tentang pasangan mereka. Geo sangat paham akan hal itu. Mungkin saja hubungan antara Beni dan Sulis memang sudah lebih dari sepasang kekasih. Mereka mungkin sudah berada di tahap yang lebih tinggi. Jadi, tidak ada kata meragukan dalam hubungan mereka.

"Iya, aku salah lihat. Satu-satunya mata-mata yang kamu curigai adalah aku. Turunkan saja aku di sini dan biarkan aku mati. Itulah jalan yang harus ditempuh seorang mata-mata."

Beni menatap tajam ke arah Geo. Terlihat beberapa kali lipat lebih marah. "Kamu bukan mata-mata!"

Selagi Geo melongo menatap Beni dan mencerna apa yang baru saja dia dengar, Beni melanjutkan perjalanannya. Masih dengan menggendong Geo di depan tubuhnya.

"Pak, aku bilang turunkan aku! Aku masih bisa berjalan! Yang ditembak itu dadaku, bukan kakiku. Jadi ...."

"Diamlah!" ucapan Beni terlihat putus asa. Geo langsung terdiam dan berpikir apakah dirinya terlalu berat sampai Beni seputus asa itu. Namun, Geo tidak berani membuka mulutnya lagi karena luka di dadanya kembali terasa berdenyut-denyut.

Geo kembali ke rumah diiringi isakan Mbak Tutik. Beni membaringkan Geo di kamarnya karena hanya kamar itu yang terdekat dari pintu utama. Geo meringis ketika Beni membaringkan tubuhnya, padahal gerakan Beni sudah sangat pelan.

"Sudah kubilang, kan! Kamu itu harusnya tidak usah menuruti egonya Beni. Dia cuma mau menantangmu! Sekarang lihat, kamu jadi begini. Harus gimana sekarang?"

"Kenapa heboh begitu, sih. Tadi itu meleset. Si tentara Belanda tadi sangat bodoh. Musuh sudah di depan mata tapi menembak dengan benar saja nggak bisa. Jadi gagal, kan, pertaruhanku."

"Pertaruhan apa? Kamu sebut yang tadi itu pertaruhan? Kalau kamu beneran mati bagaimana?" Sekarang Beni mengamuk. Geo sampai terlonjak mendengar nada suara Beni yang meninggi. Sedari tadi sepertinya Beni tengah menahan diri.

"Kata Mas Hasan, mati ya mati. Tidak ada yang lain." Geo menjawab dengan santai. Namun, jawaban Geo bukanlah jawaban yang ingin didengar Beni. Beni melampiaskan amarahnya pada meja kecil di kamar itu. Menendangnya dengan sekuat tenaga sampai menimbulkan bunyi memekakkan telinga. Kemudian dia keluar kamar sembari membanting pintunya.

"Wah, parah sekali temperamennya itu!" ucap Geo sambil mengurut dadanya.

"Dia pantas marah. Walaupun kalian sering bertengkar, saya yakin dia juga sangat kecewa mendengar ucapanmu yang seakan tidak menghargai nyawamu begitu. Kamu tidak lihat perjuangan dia tadi? Mereka semua yang berada dalam pertempuran tadi sangat menghargai nyawa mereka demi melindungi negeri ini. Mereka berjuang agar tidak terbunuh dengan cepat. Supaya perjuangan untuk melindungi negeri ini bertahan lebih lama."

Geo terdiam mendengar ucapan Mbak Tutik. Memang benar, Geo terkesan tidak peduli pada nyawanya. Mungkin bisa disebut egois. Dia hanya ingin terbunuh agar dapat segera kembali ke masa depan. Walaupun pemikiran itu belum pasti tapi Geo menjadi sangat yakin. Lalu, ketika dia sudah kembali ke masa depan, kehidupan yang di sini bagaimana? Nasib orang-orang ini, Beni, Hasan, Mbak Tutik?

"Saya yang mendengar ucapan kamu yang begitu juga kecewa. Kamu anggap saya ini apa? Saya ini keluarga kamu. Saya paham kamu bukan berasal dari masa ini walaupun hal itu sangat tidak masuk akal, tetapi saya mau menerima kamu. Anggap saja saya ini ibumu atau kakakmu. Jangan jadi orang yang kesepian di sini. Kamu masih punya saya." Perkataan Mbak Tutik selanjutnya membuat air mata Geo mengalir. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaan Mbak Tutik yang selama ini telah merawatnya. Mbak Tutik mendekat dan memeluk Geo. Membisikkan kata-kata yang menenangkan sembari menyuruh Geo bersabar karena sebentar lagi seseorang akan datang mengobatinya.

***

Geo bangkit dari ranjangnya. Sekarang dia sudah kembali ke kamarnya. Setelah Beni membawa seseorang yang bisa disebut perawat, orang itu telah membalut luka Geo dan memberinya beberapa obat yang baunya sangat menyengat. Walaupun Geo belum bisa menggerakkan bagian kanan tubuhnya, tetapi dia masih bisa beraktivitas. Menyadari dirinya tidak semudah itu kembali ke masa depan, membuatnya harus kembali memikirkan kemungkinan cara yang lain. Geo sebegitu inginnya kembali. Tidak peduli ada berapa banyak orang yang menyayanginya di sini tetap saja sangat tidak masuk akal bila dia harus hidup di masa ini.

Geo mendorong daun pintu dengan tangan kirinya. Sedikit berjenggit ketika tanpa sengaja bagian kanan tubuhnya menyenggol tepian pintu. Halaman belakang rumah terasa sepi. Sepertinya Mbak Tutik sedang ke pasar. Geo menengadah. Langit masih terlihat sedikit gelap. Mungkin masih sekitar pukul setengah enam pagi.

Seekor ayam mendekatinya dan tiba-tiba mematuk kakinya. Geo memekik lalu mengusir ayam itu pergi dengan kakinya. Geo bergumam menyalahkan Beni yang tidak memberi mereka makan. Namun, dia tetap berjalan mendekati kandang ayam dan membuka bungkusan makanan ayam dengan satu tangannya yang normal. Mengambil segenggam biji jagung dan melemparkannya ke gerombolan ayam yang seolah tengah menanti Geo untuk memberi mereka makan. Para ayam saling berebut mematuk biji-biji jagung itu.

Meninggalkan para ayam yang berisik, Geo mengambil sebuah ranting pohon yang tergeletak di bawah tali jemuran. Dia berjongkok dan mencoba menggambar peta Kota Yogyakarta yang dia ingat. Geo menggerakkan ranting pohon itu dengan kikuk. Mencoba menggambar menggunakan tangan kiri memang sangat susah. Tangan Geo bergetar ketika membuat sebuah jalan berbelok.

"Ini Jalan Malioboro, di sini Benteng Vredeburg." Geo bergumam sambil menandai di gambar peta jalan yang dia buat. "Lalu ...." Belum sempat Geo berpikir untuk menandai tempat lainnya, seseorang menginjak gambar peta itu. Menghapus sebagian peta dan meninggalkan tapak sandal.

"Hei!!" Geo memekik, kemudian mendongak untuk melihat orang yang telah merusak karya seninya. Beni dengan santainya berjalan ke ujung tali jemuran dan meletakkan seember penuh pakaian. Beni mengambil sepotong kaos warna putih dan mengibaskannya ke arah Geo. Geo terkena cipratan air beserta angin yang berasal dari kibasan itu.

"Sengaja, ya! Ah, dasar menyebalkan!" Geo meninggikan suaranya, kesal dengan tingkah Beni yang selalu mengajaknya ribut. Sambil bergumam-gumam kesal, Geo kembali menggambar peta yang sebagian terhapus oleh sandal Beni. Sementara itu Beni tertawa keras. Geo menoleh, terganggu dengan suara itu. Walau dia tahu ini pertama kalinya melihat Beni tertawa seperti itu, tetapi tetap saja dia merasa kesal.

"Kenapa tertawa? Memangnya ini lucu? Kamu merusak karya seniku!"

"Memangnya kamu sedang apa? Kamu cuma orang kurang kerjaan yang bertingkah seperti anak kecil. Bermain-main dengan tanah begitu." Beni kembali mengibaskan pakaian yang dia pegang ke arah Geo.

"Hei, hei, hei, hentikan!! Basah tahu! Aku bukannya sedang bermain-main dengan tanah. Aku menggambar peta tahu!"

"Peta apa?" Beni sepertinya tertarik. Dia menggantung pakaian yang dipegangnya lalu mendekati Geo.

"Peta Kota Yogyakarta di zamanku."

Beni sangat tertarik. Dia ikut berjongkok di sebelah Geo dan menyuruh Geo menggambar lagi. Ketika melihat Geo terlalu kikuk dalam menggambar, Beni akan marah-marah dan menyuruhnya untuk menggambar dengan benar. Setelah itu seperti yang sudah biasa terjadi, mereka akan adu mulut sampai Geo menyelesaikan gambarnya.

"Di sini adalah Benteng Vredeburg, di zamanku benteng ini dijadikan museum. Lalu di seberangnya ada Gedung Agung. Di antaranya dibatasi jalan raya besar yang tiap hari selalu ramai." Geo mengetuk-ngetukkan ranting pohon itu ke tanah sambil menunjukkan bagian mana yang sedang dia ceritakan. "Di sebelah utara benteng ada pasar Beringharjo yang dikelilingi oleh mall-mall besar. Kawasan ini adalah yang paling ramai di Yogyakarta dan paling terkenal. Kawasan ini juga bisa disebut ikonnya Kota Yogyakarta."

Beni menatap Geo tidak paham dengan apa yang diceritakan Geo. Namun, Beni tetap menyuruh Geo melanjutkan ceritanya karena terdengar menarik.

"Kerennya lagi Jalan raya di Malioboro ini kalau diambil satu garis lurus akan sejajar dengan Tugu, Keraton juga dengan pantai Parangtritis."

"Keraton ada di mana?" Mendengar kata Keraton, Beni jadi semakin tertarik.

"Di sini. Di sebelah alun-alun besar, memanjang sampai alun-alun Selatan. Di hari libur, kedua alun-alun ini selalu ramai." Geo menunjuk sebuah gambar yang terlihat seperti kotakan besar.

"Tunggu, semua orang boleh masuk Keraton?"

"Bukan Keratonnya tetapi Alun-alunnya."

"Sama saja. Alun-alun berada di dalam Keraton."

"Ah, orang ini! Lihat! Di sekitar alun-alun itu ada jalan raya yang bebas di lewati siapa saja. Yang nggak boleh dimasuki tanpa izin itu ya Keratonnya."

"Pasti ada aturan jam yang berlaku, kan. Di atas pukul enam sore dilarang melintas."

"Nggak ada yang begitu. Semua orang bebas lewat semalaman penuh. Mau cuma berputar-putar di alun-alun juga nggak masalah."

"Kalian hidup di zaman yang tidak ada aturan rupanya."

"Hei! Apanya yang nggak ada aturan? Kalau mau lewat alun-alun harus memutarinya searah jarum jam, nggak boleh sebaliknya. Itu aturannya. Lagian juga ada yang namanya traffic light. Itu juga termasuk aturan! Berani bilang nggak ada aturan?"

"Traffic light? Itu apa?"

Geo melongo menatap Beni, kemudian dia sadar. Bicara dengan manusia purba itu memang menjengkelkan. "Traffic light itu lampu lalu lintas, lampu yang mengatur para pengendara kendaraan bermotor supaya tertib dan nggak menimbulkan kecelakaan."

"Tidak tahu, ah, kalian hidup di zaman yang rumit." Beni menjadi jengkel sendiri karena tidak paham dengan apa yang dijelaskan Geo. Geo hanya bisa tertawa hambar. Beginilah rasanya berbicara dengan manusia purba. "Ada yang belum kamu ceritakan."

"Apa?" Geo menoleh. Memang belum semua. Bisa-bisa mulutnya jadi berbusa hanya karena menjelaskan tempat-tempat yang ada di Yogyakarta.

"Di mana para Londo keparat itu tinggal?"

Geo menatap Beni dengan tatapan 'yang benar saja'. Manusia purba yang satu ini benar-benar tidak paham. Kini Geo menyadari perbedaan besar diantara mereka. Mereka hidup di dua zaman yang berbeda.

"Mereka tinggal di sebuah negara yang bernama Netherlands, bisa juga disebut Belanda. Berada di kawasan Benua Eropa."

Beni jadi marah. "Memangnya aku tidak tahu mereka berasal dari mana? Yang aku tanya, di Yogyakarta mereka tinggal di mana?"

Geo sekali lagi terpancing dengan nada suara Beni yang meninggi. "Ya mungkin di hotel. Mereka datang ke Indonesia sebagai turis. Bukan penjajah lagi!"

"Apa kamu bilang? Mereka bukan penjajah? Kamu tidak kihat apa yang mereka lakukan pada pasukan kita?"

Geo jadi merasa frustasi sendiri. Beni ini selain pemarah juga keras kepala.

"Tolong tenang dulu dan dengarkan aku." Geo menepuk pundak Beni dengan tangan kirinya. "Pak, kita hidup di zaman yang berbeda. Mungkin apa yang kuceritakan sangat tidak masuk dalam logika mu tapi itulah yang terjadi di zamanku. Sudah tidak ada lagi Belanda, penjajah atau pun perang. Para pejuang gerilya akan disebut veteran, dan dijadikan nama jalan yaitu Jalan Veteran. Belanda datang ke Indonesia hanya sebatas sebagai turis, mereka tidak ada hak lebih selain itu. Mungkin bapak tidak tahu, turis itu adalah sebutan bagi orang asing yang berwisata ke Indonesia. Orang-orang Belanda hanya sebatas itu. Tidak ada yang lagi tentara Belanda yang berdiam di Indonesia. Tidak ada!"

Mulut Geo benar-benar terasa berbusa. Menjelaskan panjang lebar mengenai perbedaan zaman di antara mereka. Beni menatap Geo dengan tatapan bingung. Entah Beni mengerti atau tengah mencoba menyangkal apa yang diceritakan Geo.

"Benar-benar tidak ada perang?" Akhirnya Beni berhasil berucap. Tatapan matanya teduh.

"Ya, berkat kalian. Karena kalian yang tanpa henti terus berjuang seperti ini, hasilnya akan tampak di masa depan." Geo mengangguk mantap. Walaupun dia sangat tidak menyukai sejarah tetapi dia tidak memungkiri bahwa semua perjuangan para pasukan gerilya ini sangat membantu Indonesia menjadi negara yang Independen dan bebas dari penjajahan.

Seulas senyum tipis berhasil muncul dari bibir Beni. Matanya tampak berkaca-kaca. Geo mengangkat satu alisnya bingung. Apakah ceritanya sangat mengharukan?

"Kamu mau ikut saya ke kota?" Satu kalimat paling menggembirakan yang Geo dengar keluar dari mulut Beni.

"Serius? Ini artinya bapak memperbolehkan aku keluar? Jalan-jalan?"

"Iya dengan satu syarat."

"Apa?" Geo menjadi sangat antusias.

"Berhenti memanggilku bapak! Saya ini bukan bapakmu! Umur kita juga tidak berbeda jauh. Panggil saya Mas!"

Geo terbengong-bengong, "Seriously?"

 

***

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Me vs Idol
440      333     1     
Romance
Belum Tuntas
5115      1744     5     
Romance
Tidak selamanya seorang Penyair nyaman dengan profesinya. Ada saatnya Ia beranikan diri untuk keluar dari sesuatu yang telah melekat dalam dirinya sendiri demi seorang wanita yang dicintai. Tidak selamanya seorang Penyair pintar bersembunyi di balik kata-kata bijaknya, manisnya bahkan kata-kata yang membuat oranglain terpesona. Ada saatnya kata-kata tersebut menjadi kata kosong yang hilang arti. ...
The Red Eyes
24414      3807     5     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...
Adelaide - He Will Back Soon
1656      841     0     
Romance
Kisah tentang kesalah pahaman yang mengitari tiga insan manusia.
Kesempatan
20817      3313     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Dieb der Demokratie
16906      1974     16     
Action
"Keadilan dan kebebasan, merupakan panji-panji dari para rakyat dalam menuntut keadilan. Kaum Monarki elit yang semakin berkuasa kian menginjak-injak rakyat, membuat rakyat melawan kaum monarki dengan berbagai cara, mulai dari pergerakkan massa, hingga pembangunan partai oposisi. Kisah ini, dimulai dari suara tuntutan hati rakyat, yang dibalas dengan tangan dingin dari monarki. Aku tak tahu...
Distaste
5413      1302     5     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
Story of Love
291      253     0     
Romance
Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada perjalanan cinta yang sepahit kopi tanpa gula, pun ada perjalanan cinta yang semanis gula aren. Intinya sama, mereka punya kisah cintanya sendiri. Kalian pun akan mendapatkan kisah cinta kalian sendiri. Seperti Diran yang sudah beberapa kali jatuh tempo untuk memiliki kisah cintanya
What a Great Seducer Fist Series : Mengenalmu
17074      3060     6     
Romance
Bella, seorang wanita yang sangat menyukai kegiatan yang menantang adrenalin terjebak di dalam sebuah sekolahan yang bernama Rainwood University dengan profesinya sebagai Guru BK. Bukan pekerjaan yang diharapkan Bella. Namun, berkat pekerjaan itu takdir dapat mempertemukannya dengan Rion. Salah seorang muridnya yang keras kepala dan misterius. Memiliki nama samaran RK, Rion awalnya bekerja sebag...
Got Back Together
370      300     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...