Aku jadi mengingat sesuatu.....
Saat itu aku baru saja duduk di kursi bagian depan, sendiri dengan berbagai atribut aneh. Tiba-tiba seorang guru masuk ke dalam kelas, dan menyuruh satu persatu murid baru untuk memperkenalkan diri. Dan dimulai dari barisan belakang.
Tiba saatnya aku untuk maju, memperkenalkan diri. Aku gugup setengah mati, keringat membanjiri kemeja putih yang ku kenakan.
"Ayo maju kamu, yang lain sudah selesai, hanya kamu yang belum memperkenalkan diri." Kata guru itu.
Aku berdiri dari kursiku, kemudian berjalan dengan gugup menuju depan ruang kelas. Menatap semua yang ada di dalam ruang kelas, dan berharap tak ada yang mencemooh ku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha bersuara.
"Na.. nam.. namaa.. Saa.. saa... saay.. yaa.." kataku tergagap. Tiba-tiba dari arah barisan belakang, seorang laki-laki berceloteh keras. "Ah lama sekali dia berbicara! Lebih baik kita panggil dia sesuai dengan papan nama yang di gantung di lehernya. Kodok Gagap! HAHAHA" tiba-tiba ruang kelas berubah menjadi ramai dengan suara tawa yang membuatku semakin kacaw. Aku malu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa memang pantas dipanggil dengan sebutan itu. Lihat saja diriku, kacamata tebal ini, rambut keriting yang susah diatur, kulit gelap ku, dan tubuh gempalku ini, membuatku semakin tak percaya diri. Maka dari itu mereka menyebutku kodok gagap. Aku malu, dan aku hanya bisa diam dan menangis.
***
Aku berjalan menuju depan kelas, dengan kepercayaan diri penuh. Berusaha menghilanglan rasa takut ku akan kejadian dimasa lalu. Dengan satu tarikan nafas aku memulai memperkenalkan diri.
"Hallo. Perkenalkan, namaku Khairina Talysha Hadley. Aku baru saja pindah dari London. Terima kasih." kataku, kemudian tersenyum manis dan berjalan kembali ketempat dudukku dengan perasaan tak tertebak. Sepertinya tak seburuk yang ku bayangkan, perkenalan tadi jauh lebih mudah dibanding dengan masa laluku.
"Wah kau hebat ya Khai, waktu aku memperkenalkan diri dulu. Aku gugup sekali, dan jadi bahan tertawaan seluruh siswa di kelas ini. Kau lihat? Mereka memandangmu dengan kagum. Kau cantik sekali Khai, aku yakin banyak siswa populer yang akan merekrutmu menjadi anggota mereka." Kata Berlin panjang, aku hanya mengiyakan.
Bel istirahat berbunyi, aku dan Berlin berjalan ke luar kelas menuju kantin. Berlin berjanji bahwa ia akan mengajakku berkeliling sekolah setelah makan nanti. Tapi sepertinya dia lupa akan janjinya. Ia memesan makanan begitu banyak, dan menyuruhku untuk mencicipi semuanya dengan gratis. "Ayolah Khai, makan ini, aku membelikannya khusus untukmu. Ini dari uang jajanku satu minggu loh, apa kau tega tak menghabiskannya? Ayolah Khaiiiii." Berlin merajuk, dan aku tak bisa menolak tawarannya. Demi penyamaranku.
Sedang bersusah payah menelan makanan ini, aku melihat putri Pak Yoga sedang berdiri di dekat sebuah meja di kantin. Dengan kepala tertunduk dan wajah lesu. Aku mendengar sedikit pembicaraan mereka. Iya mereka, yang asik duduk dengan banyak makanan di mejanya sedangkan putri Pak Yoga berdiri dengan lesu seperti itu.
"Kau anak baru! Jangan hanya menunduk saat bertemu kita seniormu! Kau harus beri salam dan selalu tersenyum, sehabis itu, tundukkan kepalamu sampai dada! Mengerti?!" Kata salah seorang perempuan yang duduk di meja itu. Putri Pak Yoga hanya mengangguk. Kemudian dia di dorong untuk pergi dari tempat itu, dan bertemu dengan teman-temannya yang lain.
"Hey!!! Kenapa kau melihat mereka seperti itu?" Tanya Berlin heran.
"Apa masih ada perlakuan kasar dijaman serba modern seperti sekarang ini?" Tanyaku pada Berlin. Dia sedikit bingung, kemudian mengerti arah pertanyaanku.
"Mereka itu perempuan-perempuan iblis. Mereka punya suatu kelompok yang dimana jika ingin menjadi anggotanya, harus ada penataran terlebih dahulu. Kecuali siswa-siswa dari kalangan atas, yang rupanya cantik dan berkelas. Mereka bahkan akan melakukan segala cara untuk merekrut orang itu jika sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Yaaa, ini sudah jadi tradisi turun menurun di sekolah ini. Mereka juga terkenal dengan dunia malamnya." Kata Berlin sambil berbisik. Aku mengkerutkan alis tebalku. "Apa guru-guru atau orang tua mereka tidak tahu, jika anak mereka berbuat seperti itu?" Tanyaku lagi. Sambil menyeruput ice teanya, Berlin menjelaskan lagi. "Orang tua mereka itu sibuk, tidak mungkin mengurusi mereka yang berandal seperti itu. Jika kau bertanya soal guru? Ahhh, mereka sudah angkat tangan."
Aku jadi berfikir, selama aku bersekolah di sini. Apa aku akan mendapat perlakuan yang sama seperti dulu? Sebab jika melihat kejadian itu, aku jadi mengingat masa lalu ku yang kelam.
***
Selesai penyamaran hari pertama. Aku duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan. Sekolah sudah mulai sepi, hanya ada beberapa anak yang masih berkeliaran. Aku menikmati udara sore yang sedikit mendung. Kemudian berfikir. Apa aku sanggup menjalani pekerjaan konyol ini? Apa yang akan terjadi jika penyamaranku terbongkar? Apa karirku akan naik jika aku berhasil? Atau hancur karena gagal? Oh Tuhan! Aku salah menerima kekonyolan ini.
Sedang asik melamun, tiba-tiba sebuah bola jatuh tepat dihadapanku. Bola itu jatu dari lantai atas, dan tidak ada satu orang pun yang kulihat melemparkan bola itu. Aku mengambilnya, berniat mengembalikannya ke ruang olahraga. Tetapi kemudian sebuah suara mengagetkanku.
“Hoiii!” Teriaknya. Laki-laki itu turun dari tangga menuju tempat ku berdiri. “Jangan dibawa ke ruang olahraga. Itu punya ku!” Katanya, sambil mengambil bola itu dengan kasar. Aku mengernyit heran, tanpa banyak bicara aku kemudian pergi. Menuju gerbang sekolah, berharap mobil jemputanku sudah datang.
“Hoi! Anak baru sombong!” teriaknya lagi. Aku menoleh, dan berjalan menghampirinya.
“Jangan bilang aku sombong! Kau tidak tahu apa-apa tentang aku! Jadi lebih baik diam!” kataku tegas. Kemudian meninggalkannya.
***
Malam tiba, aku masih berkutat dengan tugas yang baru diberikan tadi. Rasanya kepalaku mau pecah mengingat semua materi-materi yang memuakkan ini. Sungguh aku sedikit menyesal, aku tidak memikirkan masalah ini sebelumnya. Harusnya aku membuat perjanjian dengan Pak Yoga dengan no tugas sekolah!
Sedang pusing dengan tugas, tiba-tiba ponselku berbunyi menandakan pesan masuk. Yang kira-kira bunyinya seperti ini.
“Khai! Aku tahu kau murid pindahan. Besok temui aku ditaman belakang sekolah tepat jam istirahat. Jangan sampai tidak datang!”
Ya begitulah kira-kira, tapi aku tidak tahu siapa pengirim pesan itu. Aku tidak mau ambil pusing, dan memilih meneruskan pekerjaan rumah ku.
Sampai larut malam tugas ini tak kunjung selesai, mataku sudah lelah dan rasanya pinggangku pun kaku seperti ingin patah.
“Arrrgghhhh!!!!” Teriakku frustasi. “Bagaimana ini?!! Aku sudah lelah astaga! Pekerjaan ini selain konyol juga membuatku frustasi!” Gumamku dalam hati.
Aku memilih untuk istirahat sejenak, berdiri di balkon kamar sembari melihat pemandangan malam dari rumah besar ini. Aku memikirkan bagaimana masa laluku dulu, saat sebelum peristiwa itu terjadi.
***
Hari itu Aku baru saja pulang dari sekolah, dengan keadaan yang cukup menyedihkan. Lagi-lagi Aku dibully, bajuku penuh dengan lumpur yang sangat bau. Awalnya Aku ingin mengadu pada Ibu tentang kejadian ini, tapi sayangnya Aku memutuskan untuk tidak bicara. Sebab ku lihat Ibu sedang asik bermesraan dengan laki-laki muda yang mungkin umurnya tak jauh dariku.
“Aku ingin kamu sayang….” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar Ibu, suara laki-laki bajingan yang membuat Ibu pergi meninggalkan Ayah.
“Kemarilah manis, Aku milikmu.” Balas Ibuku. Aku muak setiap hari mendengar ini. Aku memutuskan untuk mendobrak pintu dengan sekuat tenaga.
Dan! Mereka pun tercengang, sebab Aku memergoki mereka sedang berpelukan di atas ranjang. Aku ulangi. “DI ATAS RANJANG!”
“Rina!” Ucap Ibu, dibarengi dengan melepaskan pelukan itu. Aku diam, rasanya ingin menangis namun Aku tidak bisa.
“Anak kurang ajar!” Bentak laki-laki itu. “Lihat saja! Anakmu itu! Seperti bukan anakmu, setiap hari pulang dengan keadaan menyedihkan. Pantas saja kau membutuhkan Aku untuk menemanimu setiap harinya!” Ucapnya kasar.
“Dasar laki-laki bajingan!” Teriakku sambil menunjuk kearah laki-laki itu. “Kau pikir siapa dirimu?! Tidak tahu malu! Merayu Ibuku dengan badan busukmu itu! Kau laki-laki tidak punya harga diri!” Teriakku.
Ibu berjalan mendekat kearahku, dengan wajah marah.
“Plakkkk!!!” Suara itu terdengar, suara tangan Ibu yang beradu dengan pipiku yang masih penuh dengan lumpur. Kacamata yang ku kenakan seketika jatuh beriringan dengan air mataku yang mengalir.
Aku lari meninggalkan mereka, menaiki setiap anak tangga dengan perasaan hancur. Menuju kamar mandi dan membiarkan diriku tenggelam di dalam bathtub. Sesak. Kemudian gelap.
***
Sesak napasku tersenggal-senggal dan membuatku terbangun dari tidurku. Melihat jam yang masih menunjukkan pukul tiga pagi, keringat membanjiri tubuhku yang bergemetar ini. Aku bangun dari ranjang kemudian berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air.
“Nona Khai? Ada apa malam-malam begini keluar dari kamar?” Tanya Yura ketika Aku sampai di dapur. “Ah Aku haus, jadi Aku ingin mengambil segelas air, Yura.” Kataku kemudian mengambil gelas dan menuang air dari dalam kulkas.
“Mimpi buruk?” Tanyanya memecah keheningan. Aku mengangguk, mengiayakan pertanyaan Yura. “Mau ku buatkan cokelat panas? Biasanya jika mimpi buruk, Aku meminumnya sekedar untuk menenangkan pikiran.” Tawarnya sambil menunjukkan senyum tulusnya. “Boleh” Sahutku. “Tunggulah di kamar, biar nanti Aku mengantarnya.” Katanya lagi, Aku menangguk sembari tersenyum dan berjalan menuju kamar.
***
Tibalah Aku di sekolah, dengan tergesa-gesa Aku berlari dari gerbang menuju kelas. Pagi ini tugas harus sudah terkumpul diatas meja, jika lewat dari pukul 07.45 maka Aku akan berakhir di perpustakaan dengan bertumpuk-tumpuk buku. Itu yang Aku dengar dari banyaknya cerita Berlin.
“Khai!!” Teriak seseorang dari arah lapangan, membuat langkahku terhenti.
“Berlin!” Gumamku. Aku melihatnya sedang berada diantara kakak-kakak senior. “Kenapa?” Ucapku pada Berlin.
“Tolong Aku.” Katanya lagi. Aku diam, kemudian berfikir. Jika Aku kesana Aku akan terlibat masalah dengan senior. Dan akan berakhir seperti dulu. Tapi, Aku kasihan dengan Berlin dia butuh pertolongan.
“Bantu dia.” Tiba-tiba seorang siswa laki-laki berbadan tegap menghampiriku dan berbisik deperti itu, kemudian berlalu pergi.
Dengan cepat Aku berlari menghampiri Berlin.
“Ada apa?” tanyaku. Mata itu, mata mereka tertuju padaku. Berlin memegang tanganku erat, erat sekali. Tubuhnya bergemetar hebat, Aku dapat merasakannya. “Tenang bisikku.” Tidak untuk menenangkan Berlin, tapi untuk menenangkanku juga.
“Kau Khairina Talysha Hadley? Murid pindahan dari London kan?” tanya salah seorang dari mereka. Aku memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambut berwarna merah yang hanya sepuluh senti dari rambut panjangnya yang bergelombang, baju seragam kekecilan dengan dada yang… Dan rok diatas dengkul sepuluh senti yang ketat, serta sepatu kets berwarna pink.
“Jawab!” bentaknya, menghancurkan analisaku. “Iii.. iya..” Jawabku. Ah kumat sudah gagapku. Mereka menatapku heran.
“Aku Jemima Catrine Dowen, panggil Aku Jemi. Kelas 12 Biologi.” Katanya lagi. Kemudian yang lain mengikuti memperkenalkan diri.
“Olive 12 Fisika, Leony 12 Kimia, dan April 12 Sosiologi.” Ya itu mereka, entah mau apa tapi Aku dan Berlin merasa takut.
Bel berbunyi memnunjukkan waktunya masuk kelas, dan pertanda bagus untukku lepas dari mereka.
“Jem, Aku kekelas ya pelajaran Pak Baskoro.” Sela April kemudian pergi. Begitupun yang lain, aku dan Berlin masih terpaku.
“Oke Aku tunggu kamu di taman belakang istirahat nanti.” Jemi kemudian berlari. Sedang Aku dan Berlin tersadar kemudian ikut berlari menuju kelas.
***
Jam menunjukkan pukul 09.45, waktunya istirahat. Aku dan Berlin yang baru saja kelar kelas dihadang oleh Jemi dan teman-temannya. Dia menarik tanganku kasar menuju taman belakang.
“Aku ingin menawarkan sesuatu padamu Khai.” Kata Jemi sesaat setelah sampai di taman. Aku diam tak mengerti.
“Ah iya! Mungkin dia belum tahu tentang kita Jem. Bagaimana kalau kita jelaskan dulu.” Kata Olive menyela omongan Jemi.
“Boleh juga ide kamu Liv.” Sahut April.
“Jadi! Kami ingin merekrut kau untuk masuk kelompok kami. Kamu akan menjadi siswi popular, terkenal dan disegani diseluruh sekolah ini. Kau pasti mau kan?” Jelas Leony.
“Tidak! Aku tidak mau!” Jawabku tegas. Raut wajah mereka berubah, menjadi tidak terdefinisi. Antara bertanya-tanya dan marah. Ah aku tidak tahu.
Aku berusaha menghindari mereka, setelah perdebatan panjang tadi. Aku tidak mau masuk kelompok mereka, dan mereka terus memaksa dengan ancaman-ancaman yang membuatku takut. Dan untung ada seorang penjaga sekolah yang melihatku sedang dikerumuni oleh mereka dan menolongku untuk lolos dari mereka. Hari ini! Hanya hari ini. Entah besok bagaimana.
“Hey!” tegur seseorang dari arah belakangku, membuyarkan lamunanku.
“Siapa?” tengokku. Laki-laki itu, laki-laki kemarin yang mengatakan aku sombong. Kenapa tiba-tiba tersenyum manis dan sok ramah seperti sudah lama mengenalku.
“Aku tahu kamu siapa.” Bisiknya, membuatku tercengang dan tidak dapat berkata-kata.
@dede_pratiwi thank you :), gambarnya di gambarin hehe pasti aku mampir di ceritamu
Comment on chapter MENGINGATNYA LAGI