Loading...
Logo TinLit
Read Story - Melukis Rasa
MENU
About Us  

Maret 23

Aku menyulut sebatang lagi. Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Bulan tidak tampak seluruhnya. Hitam langit terlihat lebih pekat. Bising mesin kendaraan yang biasa menyayat telinga tiada lagi terdengar, paling-paling hanya satu atau dua mobil yang lewat. Muda-mudi yang biasa memadu kasih di bangku seberang gedung tempat aku merokok tidak nampak batang hidungnya. Tersisa angin yang berselancar bebas menembus keringnya malam. Kualihkan pandanganku pada jam yang berdiri kokoh di taman, jarum jam menunjukkan pukul 21:45. Tidak seperti biasanya manusia-manusia kelelawar itu sudah mengunci diri mereka di dalam rumah. Biasanya juga berkeliaran mencari kesenangan disana-sini. Berdansa mengikuti alunan musik disko hingga pagi dengan keadaan setengah mabuk, menyewa hotel untuk bermain dengan wanita malam, atau.. Entahlah, mereka juga punya urusan masing-masing. Lagipula aku juga tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka. Hanya saja kebiasaan yang telah aku alami selama ini membuat diriku merasa asing dengan suasana yang baru itu.

Pintu dibelakangku terbuka, membangunkanku dari lamunan yang berkepanjangan. Seseorang dengan postur tubuh yang pendek dan buncit keluar dan mendatangiku yang sudah lama menunggu di teras lantai 2 gedung.

 “Ah kenapa lukisan kau jadi begini To? Tak sesuai lagi sama selera si Bos.” keluh Pongki.

Aku hanya terdiam menatap lukisanku yang dibawa olehnya.

“Gak sesuai bagaimana lagi?” tanyaku dengan acuh tak acuh.

“Kata bos warna yang kau gunakan terlalu redup, terlihat mati jika dipajang di ruangannya. Aduh ada-ada saja kau ini.” Pongki menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini yang kedua kalinya Bos menolak lukisan kau. Aku jadi heran, sebelum-sebelumnya bos selalu memuji karya kau, tapi akhir-akhir ini, kau macam orang kena santet saja.” protes Pongki.

“Tapi lukisanku yang ini sama saja dengan yang kemarin, pemilihan rentang warnanya juga sama,” aku berhenti sejenak untuk mencari kata-kata yang tepat untuk memperkuat argumenku. “dan aku tidak merubah sedikitpun gaya melukisku. Lalu mengapa Bosmu itu mengkritik lukisanku tanpa dasar? Aku juga butuh penjelasan yang lebih masuk akal.” tambahku.

“Jangan pula kau tanya padaku. Aku pun tak mengerti.” menampik penjelasanku.

“Kalau begitu biarkan aku bertemu dengannya. Dia ada di dalam?” tanyaku.

“Bos sudah 1 bulan pergi keluar negeri, mungkin saja baru balik dua atau tiga bulan lagi. Ah sudahlah, aku masih ada kerjaan. Kau bawa pulang saja lukisan ini. Bos bilang ia masih memberikan kesempatan sekali lagi untuk kau. Jangan kau sia-siakan. Nah, terimalah ini. Aku tidak enak sama kau jadi anggap sajalah ini untuk membayar keringatmu.”  Pongki mengeluarkan setumpuk uang yang sudah ia lipat menjadi dua bagian dan memberikannya kepadaku.

Pongki langsung meninggalkanku dan menghilang di balik pintu. Kujejalkan uang tersebut ke dalam kocek tanpa menghitung banyaknya. Paling-paling tidak beda jauh dari ‘uang kasihan’ yang diberikan Pongki tiga minggu lalu. Aku  sudah cukup geram dengan sikap bosnya Pongki itu. Aku berani bersumpah bahwa gaya melukisku itu selalu sama. Kesempatan terakhir? Persetan dengan semua itu. Aku putuskan tidak akan pernah menyerahkan karyaku lagi walau hanya sebuah kanvas kosong.

Kuambil lagi lukisanku dan aku segera angkat kaki dari gedung tersebut, menuruni tangga dan menuju ke arah jalan pulang.  Angin berhembus lumayan kencang dan beberapa dedaunan kering menampar wajahku. Kutarik jaketku rapat-rapat untuk menghilangkan rasa dingin di  tubuhku. Kupandangi lagi jalanan, setelah kupikir-pikir lukisanku itu tak berbeda jauh dengan suasana malam ini. Iya, seakan-akan mati ditelan bumi. Tak ada lagi menganggapnya hidup kecuali diriku sendiri yang juga ‘mati’. Sedangkan, yang masih bernyawa akan menjauhinya dan segera melupakannya.  Aku menghentikan langkahku. Kuhampiri taman yang sepi itu dan kuletakkan lukisanku disana. Sesuatu yang sudah mati tidak seharusnya menghantui yang hidup. Aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Aku tidak ingin berlama-lama disini bersama yang mati dan kembali menuju ke arah pulang.

 

Maret 25

Aku selalu bangun ketika matahari sudah menggantung diatas sana, tapi tidak untuk hari ini. Aku yang seharusnya bekerja shift malam dipaksa atasanku untuk bekerja menggantikan karyawan lain yang sedang sakit. Aku sudah menolaknya mentah-mentah tapi atasanku bersikeras bahwa aku harus mau atau dia akan berhenti mempekerjakanku. Yah, mau bagaimana lagi? Dia bosnya. Jam weker kusetel tepat pukul lima pagi dan ketika benda itu berbunyi, tanganku dengan mudah menekan tombol mati tanpa kusadari. Untung saja cahaya matahari menyelinap masuk lewat jendela yang kubiarkan terbuka dan membakar kelompak mataku. Samar-samar aku melihat jam wekerku, pukul enam. Sial! Seharusnya aku sudah berada di restoran cepat saji dan melayani manusia-manusia yang lapar. Aku melempar selimutku dan bergegas memakai seragam pelayanku. Melewatkan mandi dengan air yang hampir membeku dan langsung beranjak menuju pusat kota.

Benar saja setibanya aku disana restoran ramai pengunjung. Rekan-rekanku yang hanya berjumlah dua orang kewalahan melayani satu per satu pembeli disana.

“Mbak, ini ayamnya belum diantar ya?

 “Mas, Orange Juice saya mana ya?”

 “Mas bisa minta tissue? di meja saya habis.”

Bahkan aku melihat ada satu keluarga yang kurang sabar menunggu dan akhirnya memutuskan untuk pergi mencari tempat lain.

“Kanto! Ngapain bengong disitu? cepat sini bantu!” teriak Joni yang kewalahan mengantar pesanan ke meja makanan.

Sontak aku langsung bangun dari lamunanku dan mulai membantu membereskan sisa makanan yang tergeletak berantakan diatas meja. Mengambil serpihan nasi yang berserakan, saus tomat yang tumpah, dan tulang  ayam yang terjatuh. Memang sudah semestinya pekerjaan pelayan adalah untuk membersihkan sisa makanan, tapi bukan berarti sebagai pembeli kamu bisa seenaknya. Pembeli adalah raja? Omong kosong. Rekan-rekanku bangun lebih pagi untuk menyiapkan bahan masakan, bekerja tanpa henti dari jam pagi hingga malam menjelang. Tetap berusaha tersenyum adalah hal yang sulit mengingat masalah pribadi yang kau hadapi. Hutang, kredit motor, SPP anak mereka belum lunas, dan masih banyak lagi. Kucuran keringat tak sebanding dengan bayaran yang mereka dapat. dan dengan seenaknya pembeli-pembeli itu mengotori meja makan dan membentak karena pesanan mereka tidak kunjung datang.

Restoran masih ramai pengunjung hingga matahari hampir terbenam. Sebenarnya aku hanya bekerja sampai pukul 11, tapi melihat rekan-rekanku kewalahan dan keteledoranku bangun kesiangan aku memutuskan untuk membantu mereka. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam dan shift karyawan berganti. Akhirnya kami bisa bernafas lega. Aku langsung menuju pintu ke belakang untuk merokok di areal parkir.

 “Thanks ya To udah mau bantu. Kalo gaada kamu mungkin restoran bisa kehilangan banyak pelanggan.” kata Putri.

“Emang si Anto harusnya tanggung jawab karena udah telat bangun!” ejek Joni sambil menepuk pundakku.

 “Ah, maafkan aku.” jawabku tanpa memasang rasa bersalah.

“Tadi rame banget ya? gak kayak biasanya. Sampe ada yang rela ngantri buat tempat duduk” ujar Joni memecah keheningan

“Iya rame banget! dan tadi kalian liat gaksih aku dimarahin gara-gara numpahin minuman ke baju orang? duh sebel banget padahal yang bikin tumpah tuh anak kecil yang nabrak aku.” keluh Putri sambil cemberut.

“Aku sampe ikut minta maaf loh ke bapaknya karena ngerasa gaenak. tetep aja dia marah-marah dan ngancem bakal laporin ke atasan kita. Padahal kan itu ga disengaja juga.” bela Joni.

“Begitulah manusia. Seribu kebaikan akan dilupakan dengan satu kesalahan.” tambahku menarik kesimpulan.

“Ohiya, omong-omong siapa yang menggantikanmu shift malam? kamu ga mungkin kerja lagi kan?” tanya Putri

 “Aku kurang tau Put. Bos juga belum ngabarin sampe sekarang.”

“Alah si Kanto mah kuli, mau kerja sampe mampus kalo ada duitnya juga diembat!” timpal Joni sambil cekikikan. Aku dan Putri pun tertawa karena leluconnya.

Kami bertiga masuk lagi ke dalam. Putri masuk ke dalam toilet dan berganti pakaian, sementara Joni langsung membereskan barang-barangnya tanpa membersihkan diri, menunggu Putri di parkiran. Aku memandangi mereka berdua keluar dari restoran, melambaikan tangannya kepadaku dari jendela dan hilang diantara barisan kendaraan. Aku tidak perlu bertanya lagi kepada mereka kalau sebenarnya mereka sedang menjalin suatu hubungan. Joni sudah berumur 26 dan sudah menjadi duda. Putri berumur lima tahun lebih tua daripada Joni tetapi belum pernah menikah. Sejujurnya aku belum pernah sama sekali merasakan yang namanya jatuh cinta. Orang bahkan sampai bilang aku ini menderita kelainan (yang mereka maksud adalah aku seorang gay). Bukan, masalahnya bukan seperti itu. Aku ini orang yang tak banyak bicara. Aku tidak pernah memandang lebih perhatian yang ditunjukkan kepadaku. Bukannya sesama manusia sudah sewajarnya kita saling tolong menolong?

 Dua pekerja shift malam sudah berada di pos mereka masing-masing. Ternyata benar saja, Atasanku lupa untuk mencari penggantiku di malam hari. Barusan ia menelponku dan bertanya apakah aku punya  seorang teman yang bisa menggantikanku. Setelah aku jawab tidak ia kembali membujukku untuk bekerja kembali. Sungguh, tubuhku benar-benar terasa remuk. Bisa-bisa tulangku patah kalau aku memaksakan diri untuk bekerja lagi. Anehnya, aku malah menjawab sanggup. Hati nuraniku berkata bahwa aku tak akan tega melihat dua pekerja shift malam ini mondar-mandir melayani banyaknya permintaan. Aku memakai kembali seragamku dan bersiap untuk bekerja.

Tiga jam berlalu dan beruntung dugaanku salah. Ternyata malam ini tidak seramai siang hari. Pengunjung yang datang bisa dihitung jari saking sedikitnya. Selama bekerja aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun. Jarum jam menunjukkan hampir pukul sepuluh, lima menit lagi sebelum restoran akan ditutup. Saat kami bertiga hendak mulai membersihkan restoran tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka. Dua orang (mungkin sepasang kekasih) masuk kedalam dan melemparkan pandangannya pada menu makan yang berada diatas kasir.

“Masih buka mas?” tanya laki-laki itu.

“Sebentar lagi tutup pak.” jawab sang kasir sambil menghitung uang di kasir, menandakan bahwa ia tidak lagi bersedia untuk melayani pelanggan terakhir tersebut.

“Gapapakan kalau saya pesan?” laki-laki itu menyodorkan selembar uang seratus ribu.

“Mau pesan apa?”

Aku terpaksa kembali lagi ke dapur untuk mengantar pesanan mereka. Dua paket nasi ayam dengan minuman soda aku angkat dengan hati-hati diatas nampan. Saat memindahkan pesanan mereka ke atas meja, secara tak sengaja aku menyelidik wajah mereka. Laki-laki itu berpostur tegap dan berbadan kekar. Wajahnya dipenuhi dengan brewok. Matanya sipit dan kulitnya sangat putih, keturunan Tiongkok. Dari penampilannya Aku dapat menyimpulkan bahwa dia bekerja di sebuah kantor, mungkin seorang pebisnis. Kini giliran si Wanita yang aku perhatikan. Rambutnya panjang terurai dan bergelombang. Matanya terbuka lebar sehingga terkesan mencari masalah dengan lawan bicaranya. Bibirnya tipis dan juga.. tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Kurasa sepasang kekasih ini sedang bertengkar jadi aku putuskan untuk tidak berlama-lama disana dan pergi.

Dari kejauhan kupandangi mereka berdua. Sepanjang mereka makan, laki-laki itu banyak bicara dan seolah-olah sedang berusaha menunjukkan betapa hebatnya dia, sementara sang wanita lebih banyak mendengarkan. Aku mengerti hanya dari bahasa tubuhnya bahwa sang wanita tidak tertarik dengan pembicaraan tersebut. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dan matanya sering kali melihat ke arah luar menandakan bahwa ada yang sedang menghantui pikirannya. Raganya mungkin sedang duduk manis disana tapi jiwanya melayang-layang entah kemana. Sampai suatu ketika laki-laki itu bertanya dan si wanita tidak menunjukkan respon apa-apa. Setelah sekian lama akhirnya sang laki-laki sadar bahwa wanita itu sudah ingin cepat-cepat pulang. Laki-laki itu terlihat sedikit marah dan langsung bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi dari restoran. Sang wanita tidak nampak terkejut dan langsung mengemasi barangnya.

Ketika ia berdiri ia memandang tepat di mataku. Matanya seolah-olah sedang berbicara. Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa karena aku belum mengenal matanya. Restoran pun dibersihkan dan ditutup. Sungguh, aku masih bertanya-tanya apa makna dari pandangan tadi.. Aku langsung membuang pikiran itu jauh-jauh. Masih banyak yang perlu aku pikirkan selain itu, dan efek bekerja seharian mulai terasa. Kali ini aku  benar-benar yakin bahwa tulangku bukan hanya saja patah, mungkin dia akan segera melarikan diri dari tubuhku. Aku berharap atasanku memberikan tambahan upah. Semoga saja..

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    ceritamu bagus. konfliknya juga pas, nggak maksa. dari bab awal udah bikin penasaran.pling ada dilog tagnya aja yang masih keliru

    Comment on chapter 1
Similar Tags
NYUNGSEP
5199      1653     6     
Romance
Sejatinya cinta adalah ketulusan. Jika ketika hati telah 'nyungsep', terjatuh pada seseorang, apa yang boleh buat? Hanya bisa dengan tulus menjalaninya, ikhlas. Membiarkan perasaan itu di hati walaupun amat menyakitkan. Tak perlu jauh mengelak, tak perlu ditikam dengan keras, percuma, karena cinta sejati tidak akan pernah padam, tak akan pernah hilang.
Love Rain
21222      2858     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
SENJA YANG INDAH DI TANAH KAYA
448      343     0     
Short Story
Ketika kau dititipkan sesuatu oleh sang Pencipta, rawatlah, jagalah, berikan kesempatan yang sama, jangan batasi dia akan kreatifitasnya, akan bakatnya. Jangan atur dan sembunyikan dia dari indah dan luasnya dunia luar. Bimbinglah dia, arungi langkahnya dengan dukungan dan doamu. Seorang Ayah dengan SENJA-nya yang luar biasa.
Ada Apa Esok Hari
241      187     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Kama Labda
558      353     2     
Romance
Kirana tak pernah menyangka bahwa ia bisa berada di jaman dimana Majapahit masih menguasai Nusantara. Semua berawal saat gadis gothic di bsekolahnya yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Dan entah bagaimana, semua ramalan yang dikatakannya menjadi kenyataan! Kirana dipertemukan dengan seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah raja. Akankah Kirana kemba...
12 Jam di Kota Kenangan
471      325     0     
Short Story
Pernahkah kau mengira kalau suatu pengalaman bisa mengubah pandanganmu akan suatu hal?
Seloyang kecil kue coklat
544      392     5     
Short Story
karena wanita bewrpikir atas perasaan dan pria berpikir atas logika.
MALANG CS HOKI
1127      732     34     
Romance
Tak selamanya kemalangan melekat pada mereka yang kekurangan dan tak selamanya pula, Hoki dimiliki oleh mereka yang berkecukupan. Malang dan Hoki tak mesti menjadi lawan, karena disini akan ku buat mereka berkawan dengan akrab. Seperti kisah 3 Sahabat yang di pertemukan pada satu titik yang kami sebut sebagai "Takdir"
Eternal Sakura
1018      584     1     
Short Story
\"Sampai jumpa tahun esok Hana...!! di hari yang sama, di musim semi ketika bunga Sakura mekar, kami akan mengunjungi mu lagi.......!!\"
Dolphins
643      407     0     
Romance
Tentang empat manusia yang bersembunyi di balik kata persahabatan. Mereka, seperti aku yang suka kamu. Kamu yang suka dia. Dia suka sama itu. Itu suka sama aku. Mereka ... Rega Nicholando yang teramat mencintai sahabatnya, Ida Berliana. Namun, Ida justru menanti cinta Kaisal Lucero. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Kaisal mengharapkan Nadyla Fionica untuk berbalik dan membalas cintanya. Sayan...