Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ankle Breaker: Origin
MENU
About Us  

ANKLE BREAKER ORIGIN

[Chapter 9]

 

 

Ribka menghadapi dua penjagaan yang rapat, membuatnya berpikir operan ke setiap rekan yang dituju tidak akan mudah dilakukan. Ia melakukan dua langkah mundur yang cepat, segera melepas tembakan yang tidak sepat dibatalkan dua penjaganya. Setiap muka yang hadir di arena saling tengadah, mengikuti pelambungan bola yang tinggi. Arah pelambungan bola yang hampir setegak garis vertikal, kemudian membentuk titik kurva pada puncak ketinggian. Bola melambung turun ... tepat menuju kolong rim sehingga membuat skor delapan puluh satu di bawah nama Claster, di samping skor lima puluh delapan di bawah nama Boltian, juga diiringi sorak selebrasi dari setiap penonton. 

Ribka mendapat beberapa rangkulan dari rekan, juga pelukan dari dua perempuan, satu pelukan lagi dari laki-laki. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Ribka, sikap yang membuat Ribka mencondongkan punggungnya ke belakang dan meletakkan jari telunjuk ke bibir laki-laki itu. 

"Why?" heran laki-laki itu setelah memegang tangan Ribka dan mengalihkan jari telunjuk dari bibirnya.

"Jangan di sini!" jawab Ribka.

Laki-laki itu beralih sedikit ke kanan Ribka, mencium pipi sehingga Ribka terkejut. Bukan Ribka marah, tapi memaklumkannya.

"Joseva!" sapa seseorang dengan suara maskulin, sehingga laki-laki yang menguasai Ribka dengan genggaman merasa terpanggil. "Tim kamu boleh menang kali ini," sambil menyerahkan sebendel lembaran uang berwarna merah, "streetballer sejati tidak bersikap seperti pecundang meski tanpa ditengahi bandar taruhan."

"Salute," kata Joseva sambil menerima uangnya. "Thank you and I respect."

"Respect juga buatmu," sambil memberi kepalan tinju ke Joseva, membuat tos dengan itu lalu berbalik pergi.

"Kamu bilang ini bukan taruhan?" Ribka melepas genggaman Joseva dari tubuhnya, menunjukkan raut kemarahan.

"Hey, you missunderstanding. Tadi kan aku cuma bilang kalau enggak ada bandar tahuran di game ini."

"Curang." Ribka kesal, ia beranjak dengan langkah geram, meninggalkan kerumunan teman-temannya.

"Ribka!" Joseva mengejar, "Ribka, dengerin aku!" mendapatkan tangan Ribka

"Jangan bicara sama aku hari ini!" kata Ribka dengan menyingkirkan genggaman Joseva dari lengan kanannya. "Dan besok!" Ia lanjut menjauh.

 

***

 

Area distrik nuansa pinggiran kota trotoarnya cukup sepi dan aman bagi seorang perempuan yang berjalan sendirian. Penerangan dari jajaran lampu jalan cukup memhamankan ia dari latar remang di bawah sinar bulan tiga per empat. Jaket switer warna biru gelap terlihat cukup tebal melindungi badan dan lengannya dari tusukan dingin embusan udara kota, meski lehernya yang terbuka masih merasakannya. Kalau memang apa yang ia minum lewat sedotan plastik yang terpasang pada gelas cangkir —sepertinya dari mika tebal— terasa enak dan menghangatkan, ia tidak sedang membuat diri sengaja kedinginan. 

Ia bersimpangan dengan area belakang gedung bertingkat dua yang gelap, seperti telah lama dikosongkan. Lebih tepatnya ia bersimpangan dengan court basket di halaman belakang gedung itu. Court remang yang terasa menakutkan dengan sedikitnya intensitasi cahaya —dari lampu kota terdekat yang sampai ke situ—, juga dengan penampilan belakang gedung sebagai latar belakangnya. Ia memperhatikan ... tidak salah melihat seorang laki-laki yang terniat memakai court itu untuk melatih kemampuan bermainnya, melakukan beberapa teknik membawa bola mau pun mencetak skor.

Pengaruh dari suhu udara malam itu membuat Ribka bersin, dengan volume yang membuat laki-laki itu mendapati keberadaannya.

 

***

 

Untuk mengawali perkenalan Ribka tidak merasa punya masalah, tapi tampaknya laki-laki itu tidak siap dengan kehadirannya. 

"Kok mainnya sendirian, temennya berapa?" Ribka lihat laki-laki itu bingung menanggapi yang ia tanyakan. Merasa lucu, "Hmhm, temen kamu mana?"

"Aku ... sendiri aja," jawabnya dengan salah tingkah.

"Kirain pengen ditemenin," kata Ribka dengan memberi senyum, lalu berbalik badan sampai mendapat dua langkah berjalan.

"Kak!"

Ribka terhenti, kembali menghadap laki-laki itu. 

"Em, bisa main basket?" dengan ragu bertanya.

""Enggak bisa." Karena jawabannya, Ribka lihat kepercayaan diri laki-laki itu menjadi turun. Ribka pikir itu lucu. "Enggak mau kenalan dulu?" dengan nada sedikit menggoda bertanya.

"Ehm, aku Alter," katanya gugup sambil menyusun kembali kepercayaan diri seperti yang Ribka pahami.

"Alter? Nama yang keren. Aku Ribka," sambil mengulur jabatan tangan, Alter menerima itu.

"Kenapa harus latihan di sini, sendiri?" tanya Ribka heran. "Enggak takut?"

"Enggak ada court selain ini yang aku tahu. Kamu takut?"

"Di sini horor, tapi kamu kayak enggak ngerasa. Emang kamu tinggial di mana?"

"Wisma Nagoya, sebelah Nagoya Hill."

"Kenapa harus main di sini, kalau dari tempat kamu tinggal juga enggak jauh dari NDP?"

"NDP?"

"Kamu enggak tahu?" Ribka heran.

"Aku belum cukup lama untuk tahu semua tempat di kota ini."

"Oh, kamu pendatang?" Dijawab Alter dengan anggukan. "Dari mana kamu sebelumnya, kalau boleh tahu?"

"Jogjakarta."

"Oh ya. Dan ke sini?"

Tatapan mata Alter menjadi tidak tetap, seperti tidak siap menjawab. "Cari ...," mulai mendapat ide, "kehidupan baru."

"Waw!" telah Ribka dengar jawaban yang mengejutkan. "Kenapa dengan kehidupan lama?" Namun Ribka melihat Alter jelas tidak siap menjawab."Maaf. Aku terlalu kepo, ya?"

Alter menanggapi tanpa jawaban, hanya tersenyum sambil memantulkan bola.

"Masih mau main?" tanya Ribka. 

"Emh, ya, mau main sama aku?"

"Boleh." Lalu Ribka meletakkan minumannya di dasar court, tidak terlalu jauh dari posisi awalnya.

"Kamu dulu," sambil memberi bola ke Ribka. "Masukin ke rim, ya!"

"Pasti."

Dengan sedikit pemanasan drible yang Ribka lakukan, Alter menilai ... tidak seperti yang tadi dikatakan. Alter pikir drible Ribka menunjukkan bisa bermain basket jalanan. Ribka mencoba pertahanan Alter dari kiri, kanan, dan ... kali ini serius. Reaksi Alter cukup aplikatif terhadap drive, pivot, crossover dan fake yang Ribka lakukan. Alter mulai mengerti, Ribka ternyata cukup berpengalaman, memang seorang pemain basket jalanan. 

Gerakan Alter menutup ke kiri telah membuat Ribka membatalkan drive, segera setelahnya Ribka lakukan dua kali langkah mundur yang cepat sehingga lepas dari jangkauan penjagaan Alter. Ribka tahu Alter bersegera menuju ke depannya, juga ia tahu percepatan langkah Alter tidak akan sempat melakukan block kepada tembakannya yang lebih dulu dilesatkan ke atas. Alter lihat, arah pelambungan bola itu ... tinggi, sehingga mengarah ke posisi bulan, lalu mulai melambung turun. Alter menuju ke bawah rim, sampai lebih dulu di tempat daripada jatuhnya bola sedangkan ia lihat Ribka tetap di posisinya. 

Alter menyaksikan bagian akhir tembakan Ribka. Terkagum pada teknik dan akurasinya, bahkan tidak ia dengar tanda bahwa bola yang masuk net menyinggung rim sehingga berdering. Alter menatap Ribka, penasaran dengan ekspresi apa perempuan itu mengesan keberhasilan tembakannya. Ribka melayangkan senyuman kepadanya. 

"Ambil bolanya," kata Ribka. 

Dengan mencuri pandang ke postur tubuh Ribka, Alter berpikir, bagaimana tembakan seperti itu bisa dilakukan seorang perempuan yang lekuk tangannya tidak terlihat besar dari balik switer yang dikenakan? Arah pelambungan awal bola yang hampir selurus garis vertikal, menurutnya perlu tenaga dorong yang besar untuk mencapai titik puncak pelambungan yang menjadi pembentuk kurva rute tembakan, bahkan arah bola saat melambung turun bisa presisi ... jatuh ke kolonh rim tanpa berdering menyinggung lingkar dalam.

"Tembakanmu hebat!" Alter terkesan. "Baru kali ini aku lihat teknik tembakan seperti yang kamu lakukan."

 

***

 

Alter duduk di dasar court dengan melunjurkan sebelah kaki, kedua tangannya memegang sekitar lutut yang menekuk posisi kaki kanan ke bawah. Sedangkan Ribka di sebelah kirinya meluruskan kedua kaki ke depan dengan menyilangkan pergelangan. 

"Habis ini, kamu masih mau main lagi sama aku?"

"Capek, Alter. Besok lagi."

"Ya, itu maksudku. Aku belajar main basket baru empat hari ini. Kamu mau jadi pelatihku?"

Ribka menatap Alter dengan terdiam sebentar. "Boleh. Kapan pun kamu mau." Ribka meneguk minumannya, lalu menawarkan ke Alter.

Alter lihat, hanya ada satu selang sedotan, ia terima, meneguk menumannya.

"Enak enggak?" tanya Ribka. 

"Enak."

"Buat kamu."

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Gladistia

    Baru 2 chapter, udah suka. Jadi nostalgi. Keren Dhio, lanjut dongsss.... ^^

    Comment on chapter Chapter 3: Excalibur
Similar Tags
G E V A N C I A
1186      649     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Kisah Kemarin
7595      1763     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Distaste
5421      1302     5     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
Abdi Rupa Sang Garda Tengah Dua Tepi Pantai Relawan Ampera
276      207     1     
True Story
Ini adalah kisah tentang arunika yang tergoda dengan pelosok simfoni dan terangkai menjadi sebuah kisah inspirasi yang diangkat dari True Story. Penulis menyiratkan dalam kisah ini yakni "Menjadi Baik Itu Baik" 😊, selamat menikmati mari sama-sama berkontribusi untuk negri sekecil apapun karna 1 langkah besar bukankah terdiri dari ribuan langkah-langkah kecil history nya
Silver Dream
9205      2174     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
521      355     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Teacher's Love Story
3280      1119     11     
Romance
"Dia terlihat bahagia ketika sedang bersamaku, tapi ternyata ia memikirkan hal lainnya." "Dia memberi tahu apa yang tidak kuketahui, namun sesungguhnya ia hanya menjalankan kewajibannya." Jika semua orang berkata bahwa Mr. James guru idaman, yeah... Byanca pun berpikir seperti itu. Mr. James, guru yang baru saja menjadi wali kelas Byanca sekaligus guru fisikanya, adalah gu...
Innocence
5736      1849     3     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.
Sanguine
5753      1740     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
Things Take Time
545      328     4     
Short Story
×× Semesta Gakuen⚛Series ×× Semuanya butuh waktu hanyalah omong kosong! Semua sudah terlambat. Aku terlalu bertele-tele menghamburkan waktu yang tersisa. Tak ada harapan kembali benang merah itu untukku. ⛱ • Unit Blue Short Story Cerita ini ditunjukan untuk mengikuti Valentine's Day FF Writting Challenge of Tinlit. Note: Jika menemukan ilustrasi yang sama secara seb...