“Hah, Dik Pur kena Covid?” sontak berita ini membuat keluargaku terkejut. Pasalnya, ibu dan kakakku baru saja bertemu dengan dik Pur, sepupuku itu, beberapa hari yang lalu, bersama dengan 2 om beserta istri-istrinya dan kedua orangtua dik Pur. Adik dan istri dik Pur juga ada. Mereka semua sedang di rumah om Har untuk rapat keluarga, membahas sebuah masalah yang penting dan mendesak di sana.
Heran deh, kok bisa sih dik Pur kena Covid. Bukannya dia jarang sakit? Istrinya pun overprotektif terhadap makanan. Terkesan lebay gitu deh. Membuat kami shock saja. Begitu sakit, tahu-tahu parah lagi, langsung opname dan harus dipasangi selang dan berbagai alat bantu lainnya. Mengenaskan sekali tampilannya saat fotonya dikirimkan pada kami, tak jelas apakah dia masih akan hidup lama. Ditelepon juga tidak bisa karena napasnya pun tinggal satu atau dua. Sudah deg-degan sekali aku. Masa iya sih dik Pur akan meninggal dunia.
Lucunya, keluargaku langsung dituduh sebagai biang keladinya. Itu menyakitkan sekali buat kami, dan kenapa juga kabar itu harus sampai ke telinga kami. Kalau tidak tahu mungkin malah bisa bikin lebih tenang di hati. Ada beberapa alasan yang mungkin membuat mereka langsung menuduh kami sebagai penular virus Covidnya. Pertama, mungkin karena sejak dulu keluargaku dianggap penyakitan (sakit-sakitan atau lemah); ke dua, karena kakak dan ibu baru pulang dari rumah sakit. Kakakku sakit autoimun dan harus kontrol rutin setiap bulan bersama ibu. Karena dianggap membawa virus Corona dari rumah sakit, tuduhan keji itu langsung ditodongkan kepada kami, kalau bukan gara-gara ibuku ya pasti kakakku, begitu prasangka istri dan adiknya. Langsung hanya kami dan kami saja yang dicurigai. Kebayang nggak sih bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu? Super sekali, bukan? Ada sekitar sepuluh orang di sana tetapi keluargaku yang langsung dituding sebagai tersangkanya. Jadi jengkel lah kami pastinya. Sampai-sampai kami bingung, mau merasa iba atau malah marah dan kecewa.
Seperti penderita lain pada umumnya, jika ada satu orang yang terduga Covid anggota keluarga lain kemungkinan besar juga ada yang terkena. Dik Pur pun begitu, istri dan kedua anaknya terjaring sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala), sementara kedua anaknya yang lain selamat. Dik Pur ini anaknya 4 orang, yang 2 kena Covid dan yang 2 lagi tidak. Hanya satu yang sudah besar, yang lain masih termasuk kecil. Istrinya ini biasa berlebihan sekali soal Covid, tahunya keluarga mereka sendiri yang terkena. Jadi, waktu itu mereka sempat diam-diaman juga sakitnya, mungkin malu, tetapi namanya kabar ya akhirnya tetap saja bisa sampai ke telinga kami. Meski demikian, Covid yang diderita istri dan kedua anaknya tidak parah. Mereka tak perlu opname, cukup Isoman (isolasi mandiri) saja. Usut punya usut ternyata sepertinya dik Pur ini tertular Covid dari tempat kerjanya. Beberapa rekan kerjanya sudah terkena Covid duluan, lalu begitu ada kabar dik Pur juga tumbang karena virus Corona ini semua aktivitas di sana dengan sigap langsung dihentikan total. Tuh, kan, bukan karena kami. Seenaknya saja main tuduh tanpa bukti.
Tak begitu lama dari kabar itu, om Dodo - yang juga hadir saat rapat kemarin - terkena Covid juga. Gejalanya ringan sih, semacam pilek atau flu saja, tak seperti dik Pur yang bernapas saja sampai terengah-engah. Malahan, sebenarnya omku yang satu ini tak sadar kalau terkena Covid. Ketahuannya juga secara tidak sengaja. Dipikirnya flu biasa. Dia terjaring menjadi suspect saat sedang mengadakan tes Covid di RW-nya. Saat itu masyarakat di RW-nya tidak ada yang mau ikut tes Covid, padahal petugasnya sudah terlanjur didatangkan. Om Dodo bingung. Akhirnya, sebagai ketua RW yang mengundangnya, terpaksa dia sendiri yang ikut tes. Biar nggak mubazir gitu deh. Lho lho lho tahu-tahu dia kecokot juga dalam screening Covid tersebut. “Makanya ta jangan ikut tes,” keluh istrinya. Yah seperti itulah ceritanya. Singkat cerita, karena Covid pada om Dodo dan istrinya ini tidak parah, penanganannya cukup dengan Isoman sementara.
Waktu kontrol kakak pun kembali datang. Ibu dan kakak sudah bersiap kembali ke rumah om Har agar lebih dekat ke rumah sakit. Rumah om Har mungkin jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah sakit, kalau rumah kami mah jauh, entah berapa kilometer jaraknya. Melalui telepon, om Har berusaha mencegahnya karena situasi di sana teramat berbahaya. Banyak warga sana yang sudah terkena Covid, termasuk penjual makanan yang biasa dituju ibu. “Jangan, Mbak. Orang Puskesmas sudah ada yang kena lho, trus bu A, trus pak B juga baru meninggal gara-gara Covid,” larang omku. Kakak dan ibuku berunding sesaat. Pikir-pikir dulu. Mereka sempat ragu sih untuk datang, tetapi tak ada pilihan lain. Bagaikan memakan buah simalakama, datang bahaya, tak datang juga bahaya. Fisik kakakku terlalu lemah, padahal dia butuh mengunjungi banyak sekali poli. Itu belum termasuk kalau disuruh nge-lab, makin panjang daftar ruangan yang harus dikunjungi, plus daftar hari yang dihabiskannya untuk itu. Selain itu, untuk kontrol saja dia tidak bisa langsung setiap hari, harus ada jeda istirahatnya. Lama sekali pokoknya waktu total yang dibutuhkannya. Umumnya sih bisa sampai satu atau dua minggu, tetapi kadang juga lebih. Jadi, mustahil kalau dia harus langsung pulang pergi dari rumah kami yang jaraknya lebih jauh dari rumah sakit. Yah, meskipun mayoritas obatnya sudah ditanggung BPJS, tetapi kan biaya untuk makan dan transportasi tetap ada. Masih banyak banget lho pengeluaran ibu per bulan hanya untuk urusan tetek-bengek rumah sakit ini. Berat lah ya untuk ibuku yang seorang pensiunan dan sekaligus sudah menjanda karena ditinggal meninggal oleh suaminya. Lumayan ngirit kalau dibantu dengan menumpang di rumah om Har.
Dari rumah om Har tiba-tiba ibu menghubungiku dengan panik. “Kakak stroke,” katanya, “kaki sampai lengan kirinya tak bisa digerakkan.” Aku ikutan panik, kaget luar biasa. Pasalnya, hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Segera aku dan adik diperbantukan di sana, tetapi aku kan cewek, tak sanggup untuk membantu mengangkat tubuhnya. Aku hanya bisa membantu hal-hal lain, terutama yang berkaitan dengan masalah wanita. Akhirnya, om Har dan om Dodo pun dikerahkan. Mereka adalah paman-pamanku yang cepat tanggap dan peduli. Tak ketinggalan, istri-istrinya juga diajak untuk menengok dan membantu kami. Dengan sigapnya kedua omku yang berbeda perawakan tubuh itu kemudian berkeliling Surabaya untuk mencari kursi roda.
Akan tetapi, lagi-lagi hal yang miris terjadi, yang habis sakit Covid kan om Dodo dan istrinya, tetapi malah mereka yang menganggap seolah keluargaku yang sedang kena Covid. Mereka takut ketularan. Aku tahu karena aku sempat mendengar kasak-kusuknya plus dari memperhatikan bahasa tubuh mereka yang takut sekali dekat-dekat kami. Yah, mau bagaimana lagi. Sebenarnya kami juga takut pada mereka karena mereka baru saja terkena Covid. Ibu dan kakak merasa terpaksa karena tak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongan. Kedua omku itu hanya bisa membantu bergantian karena mereka punya urusan masing-masing. Akhirnya, kami sama-sama takut dan kami sama-sama pasrah.
Kakakku tidak langsung dibawa ke rumah sakit pada saat hari-H kejadian itu karena waktu itu ibu capek berat dan tidak ada yang membantu. Baru pada hari H+1 kami ke sana dengan dibantu oleh om Dodo dan istrinya. Di sana, para dokter juga panik dan sangat kecewa. “Kok baru dibawa sekarang sih, Bu. Kalau langsung dibawa saat kejadian peluang sembuhnya pasti lebih besar,” begitu ucapnya dengan nada penuh kekhawatiran.
Di rumah sakit itu kakakku langsung diboyong ke UGD, selain karena penyakitnya sebelumnya yang sudah kompleks, kronis, dan parah, ditambah dengan kasus stroke yang baru saja terjadi kakakku diproses dengan sangat lama di sana. Mau tahu seberapa lama? Dari pagi atau siang hari sampai tengah malam atau dini hari aku dan adikku menunggu di teras rumah sakit. Menunggu kabar hasil kakakku sekaligus menunggu kabar kakakku akhirnya ditempatkan di kamar mana. Yang tadinya teras dan pelataran rumah sakit itu ramai orang, kini sudah terasa semakin horor dan nyaris hanya kami yang tertinggal di sana. Adikku mondar-mandir keluar masuk UGD karena dipanggil ibu. Aku sendirian di luar. Suasana gelapnya malam yang sepi dan horor, ditambah dengan hawa dingin dan serangan nyamuk-nyamuk nakal ikut mewarnai suasana penantianku di teras itu. Kali ini adikku tak kunjung keluar, aku semakin galau. Apalagi baterai HP-ku semakin menipis, bagaimana cara adik atau ibu menghubungiku? Aku tetap menunggu, terkadang tidur bergelimpangan di teras rumah sakit, terkadang duduk kembali mengawasi keadaan dan mengharap adik segera datang. Di sana, tetap ada satu-dua orang yang berlalu-lalang, tetapi aku tidak pernah tahu itu orang beneran atau bukan. Jangan-jangan malah setan alias manusia jadi-jadian. Hiiiy, ngeri.
Cukup lama sih kakakku dirawat di rumah sakit. Aku dan ibu menjaganya berdua di sana karena satu penjaga bertugas untuk berkeliling dan satu penjaga lagi harus membantu keperluan makan kakak, BAB, BAK, atau lainnya. Kakakku tak bisa apa-apa, Dia sangat parah. Tak boleh banyak bergerak ataupun berbicara, apalagi duduk atau berdiri, tidak boleh sama sekali. Hal itu masih sangat berbahaya bagi kondisi kepala atau otaknya. Pembuluh darah kakakku rembes atau pecah, kalau tidak sabar atau terburu-buru ingin segera sembuh kondisinya bisa semakin parah atau malah mengancam nyawanya. Pokoknya, kakakku ini harus bed rest total selama beberapa hari penuh. Selama kurun waktu itu berbagai dokter datang untuk mengecek kondisinya. Ada dokter saraf, dokter rehab, dokter operasi, dan entah dokter apa lagi. Nah, karena kakakku menolak untuk dioperasi, kami disuruh pulang. Dokter rehab pun datang mengajarkan beberapa gerakan untuk dilatih sendiri agar cepat pulih. Aku rajin membantu kakak melakukannya karena aku sendiri pun ingin pulang dan tidak betah di sana. Aku ingin kakak segera sembuh dan aku bisa beraktivitas dengan normal seperti sedia kala. Alhamdulillah, usahaku akhirnya berhasil. Kakak sudah mulai bisa menggerakkan kakinya. Tangannya belum, masih lunglai. Perkembangannya baru pada kaki dan kemampuannya untuk duduk walau sesaat saja. Itu juga sudah untung, tandanya kakakku masih ada harapan untuk pulih seperti sedia kala, sudah lumayan cepat juga perkembangannya, karena kata dokter saja butuh minimal 6 bulan baru bisa pulih seperti sedia kala. Di sana, dokter operasi berhari-hari berusaha membujuk kakak dengan gencarnya, tetapi kakak tetap gigih menolak. Karena gagal membujuk kakak, ya sudah tidak perlu lagi kakak opname di rumah sakit. Kami pun akhirnya disuruh pulang. Duh, senangnya hatiku, kembali bertemu dengan bantal guling dan kasurku serta kebebasan dan kenyamanan di rumahku. Kakak tetap kontrol rutin ke rumah sakit. Hanya saja, sekarang dia rawat jalan.
Hal yang mungkin tak diketahui oleh keluarga besarku adalah kakakku sendiri itu nyaris seperti orang paranoid dalam menanggapi pandemi ini, baik sebelum dia stroke maupun setelahnya. Kondisi fisiknya yang sangat lemah, rentan tertular penyakit, dan tak mungkin divaksin membuat dia harus bisa menjaga dirinya sekuat tenaga. Tiap kontrol, dia memakai masker dan jas hujan tebal. Karena ketakutan ekstrim yang menderanya, dia cuek dan PD saja, walaupun tampilannya sangat aneh dan menyolok di mata. Berkali-kali juga dia sakit batuk atau panas dan sering memaksa ibu untuk tes Covid, tetapi hasilnya selalu negatif. Tak hanya itu, setiap ke rumah sakit, kakak dan ibuku itu selalu melewati proses screening yang ketat. Kakakku berkali-kali terciduk di dalamnya lalu disuruh tes rontgen, tes Covid, dan lain-lain tetapi hasilnya selalu negatif. Menurut dokternya sih, itu penyakit autoimunnya, bukan karena Covid. Ya, autoimun kakakku memang berhubungan dengan organ paru-paru. Menurut dokter, dia mengidap SPA (Spondylo artropati) dan ILD (Interleukin Disease).
Keanehan lain datang dari istri dik Pur. Dia yang waktu itu begitu panik dan takut dik Pur kenapa-kenapa tiba-tiba pada hari raya kemarin datang membawa cerita yang berbeda. Dia kembali menantang Covid dengan pongahnya, bercerita tentang masyarakat sukunya di kampung yang cuek dan enggan memakai masker, juga dengan dia sendiri dan keluarganya yang santai datang tanpa memakai masker. Sepertinya dia merasa sudah membuat penjagaan diri yang tinggi dan tidak mungkin terkena Covid lagi.
Dunia sungguh lucu. Aku dan keluargaku yang lumayan tertib memakai masker malah dituduh. Hingga orang-orang lain yang terserang, tetap kami yang dituduh. Bahkan, walau orang-orang tertentu sudah pernah menjadi korbannya pun bagi mereka masa-masa mengerikan itu hanya tampak seperti kenangan masa lalu.
Kakakku lemah tetapi ternyata Covid enggan menyapa. Mungkin dalam pandangan orang kalau ada penyakit atau virus apa pun kakakku yang pasti akan terkena duluan, tetapi ternyata tidak. Sampai detik ini kakakku tidak pernah sakit ataupun tertular Covid sama sekali. Ibuku juga tua dan gemuk dan seringkali mengkhawatirkan kolesterol, darah tinggi, diabetes, atau lainnya dan ternyata juga baik-baik saja. Justru sepupuku yang jarang sakit dan omku yang biasa aktif lah yang menjadi korbannya. Itupun setelah sembuh mereka tampak seperti lupa masa lalunya. Begitulah takdir, terserah Tuhan untuk menentukan Covid akan ke mana atau menimpa siapa, dan terserah kita untuk mengambil pelajaran atau tidak darinya.