Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Last Blooming Flower
MENU
About Us  

Sekerat rasa yang begitu asing melecut tubuh Darren. Kakinya bersengkarut lari seperti kuda meninggalkan pacuan. Sesuatu telah lepas dari ruang hampa dalam dirinya. Sesuatu yang sekecil percikan kembang api. Yang mampu merundungnya dengan gelisah. Wajah yang selama ini ia lihat lewat foto kecil dalam liontin kesayangannya menampakkan diri dalam wujud paling nyata. Tepat di depan matanya. Dengan senyuman yang identik. Yang membuat sepercik rasa itu terlepas dari bingkai yang ia sembunyikan di alam bawah sadar sebagai pertahanan terakhir yang masa kecilnya buat.

Meski hanya sepercik, Darren tak sanggup menahannya. Ia tak bisa berada di sana lebih lama lagi. Wajah itu begitu nyata untuk menepis semua kemayaan yang hidup di alam sadarnya. Terlalu jernih tuk dapat ia kelabuhi. Bahkan suara yang memanggilnya begitu pilu itu masih beresonansi. Suara wanita itu yang memanggilnya dengan getaran kepedihan.

Darren tak sanggup menahan sepercik rasa yang berduyun-duyun menempa batinnya. Ia tak pernah mengharap wajah kecil dalam liontin yang selalu ia lihat itu menjadi nyata. Tak pernah mengharapkan ini terjadi. Satu-satunya yang ia inginkan adalah membuat senyum cerah itu tetap samar dalam ingatannya. Menjadikan wajah wanita itu tetap menjadi bayang-bayang indah di antara lusinan imajinasi dalam ruang hampanya. Ia tak ingin gedis kecil dengan senyum ceria dalam liontin itu menjadi nyata. Karena bisa membuat pertahanannya runtuh. Seperti hari ini, saat sepercik rasa itu lucut dan membuat Darren kelimpungan seperti kupu-kupu yang kehilangan sayapnya.

Lelaki itu berlari meninggalkan Kedai Bunga Peony. Menggenggam sekerat mawar putih dan merah dalam buket yang masih segar nan wangi. Berlari menuju sebuah tempat yang barangkali bisa meredam percikan emosi yang tak diinginkan ini. Atau setidaknya memberinya jawaban atas pengalaman asing yang mengejutkan ini?

Ia tiba di tempat itu. Napasnya yang terengah ini berusaha ia kendalikan. Darren mengetuk pintu ruang dekan Fakultas Psikologi. Menjumpai Profesor Diana.

“Profesor!”

Darren masuk setelah dua kali mengetuk pintu ruang dekan. Di ruangan itu, Profesor Diana sedang kedatangan tamu.

“Oh, Doktor Darren. Ada apa?” sambut Profesor Diana yang tampak terkejut melihat kedatangan Darren. Keningnya mengerut dalam, mencoba menelaah respon bawah sadar yang saat ini Darren tunjukkan.

Brother?”

Saat Profesor Diana masih sibuk membaca reaksi tubuh Darren, seorang wanita memanggil Darren. Wanita itu tak lain adalah Angeline, putri dari Profesor Diana. Wanita dengan tinggi 175 cm. Memakai one dress berwarna ungu yang memperlihatkan lengkungan pinggang dan tulang selangkanya. Setangkai daun yang terbuat dari lempengan emas menghias cuping telinga kirinya. Sedangkan bulu merak sepanjang lima belas senti itu menggantung di telinga kanannya. Wanita glamor dengan aura bak dewi kecantikan itu melayangkan senyum kerinduan untuk Darren.

“... Long time no see. Kapan terakhir kita ketemu? Musim dingin awal tahun? Pokoknya, nice to meet you, Brother. Harusnya kau lebih sering menghubungiku. Nggak tau ya kalau aku kangen kalian berdua?” lanjut wanita itu seraya menatap Darren dari ambang pintu.

Perlahan, Darren berjalan masuk sambil berusaha menyetabilkan reaksi tubuhnya setelah melarikan diri dari Sora.

“Angeline, maaf tidak bisa menghubungiku. Akhir-akhir ini aku....”

“Sibuk?” Angeline memotong. Seakan ia sudah tahu alasan apa yang Darren gunakan.

“Begitulah.”

“Kamu kurang kreatif bikin alasan,” balas Angeline. Meski nada bicaranya terdengar kesal, wanita itu sebenarnya tak memiliki kebencian sedikit pun pada Darren. Ia sudah melampaui batas untuk membenci Darren. Hubungan mereka tak sedangkal yang terlihat.

“Aku tidak tahu kamu sudah tiba.” Darren bergumam lirih sambil mendudukkan pantatnya di seberang Angeline. Di sisi kiri Profesor Diana.

“Tadi kita papasan, nggak tau? Di gerbang depan aku lihat kamu, terus aku klakson. Tapi kayaknya kamu lagi fokus mirikin sesuatu. Kamu kelihatan sangat serius,” cerita Angeline.

“Ah, begitu? Kamu lihat aku di depan?” balas Darren bergumam sambil mencoba mengingat-ingat.

Di seberang meja sofa, Angeline hanya bisa tersenyum simpul dan berkata, “Selamat atas kepindahanmu. Aku nggak menyangka dua anggota keluargaku akan bekerja di kampus yang sama.”

Keluarga. Kosa kata yang tak pernah terbesit di kepala Darren selama dua dekade terakhir ini. Sekaligus kata yang cukup cermat menggambarkan relasi yang terjalin antara tiga manusia yang duduk di ruang dekan. Sampai Angeline mengeluarkan kata ‘keluarga’, Darren masih belum mengerti apa makna yang terkandung di dalamnya. Pria itu hanya diam untuk mencerna. Lalu tanpa sengaja pandangannya tertuju pada buket bunga mawar yang ia beli dari Kedai Bunga Peony. Saat membeli bunga itu ia sama sekali tidak mengerti untuk apa kegunaannya. Ia bahkan tidak tahu untuk apa ia membeli bunga ini. Semua terjadi begitu saja. Darren membeli bunga ini karena tidak tahu bagaimana bersikap di depan wanita yang tak pernah ingin ia lihat begitu nyata.

Namun sekarang ia telah menemukan fungsi dari buket bunga mawar ini.

“Ini untukmu.” Darren mengulurkan buket itu pada Angeline. Yang seketika membuat wanita itu terbelalak.

“Serius? Kamu beliin bunga buat aku?” Meski dirundung tanya, Angeline menerima buket mawar itu. Ia senang bukan kepayang melihat lelaki yang tidak pernah perhatian itu membelikannya buket mawar. “Apa-apaan ini? Kamu kesambet? Atau ... terlalu senang dapat pekerjaan baru?” sambung Angeline yang mencoba untuk menelaah alam pikir Darren.

“Kebetulan.” Darren menjawab.

“Alasan apa lagi itu?” gumam Angeline yang tampaknya tidak percaya oleh jawaban kebetulan Darren. Ia menghirup bunga mawar pemberian Darren. Aroma segar dari mawar dua warna ini membuat kedua matanya berbinar. “Mama percaya kalau Darren beliin aku bunga karena kebetulan?” Ia menanyai Profesor Diana.

Paruh baya yang ia panggil ‘mama’ itu hanya menyimpulkan senyuman hangat. Yang berarti iya, dan juga tidak. Yang segera membuat Angeline mengembuskan napas panjang.

“... Darren sama Mama itu sama. Sama-sama suka pakai bahasa isyarat yang tidak aku mengerti.”

Saat Angeline sedang sibuk dengan buket mawarnya, Profesor Diana mengerling kepada Darren.

“Ada keperluan apa, Doktor Darren? Kamu kelihatan tidak biasa.” Profesor Diana bertanya. Barangkali ia melihat sekelebat keanehan yang Darren tunjukkan sore ini.

Hanya butuh beberapa detik untuk mempertimbangkan.

“Ada sesuatu yang lepas.” Darren bercerita. Ia menatap serius Profesor Diana yang menyerongkan tubuh menatapnya.

Cukup lama Profesor Diana menatap Darren. Seakan sedang mengurai tiap helaian benang dari tirai alam bawah sadar Darren. Kedua matanya mulai bergetar. Ia melihat sesuatu telah lepas dari persembunyian.

“Kamu merasa ... takut?”

Lelaki itu terdiam mendengarkan kata-kata Profesor Diana. Merasakan tatapan sendu yang terasa begitu dalam dari wanita yang nyaris ia anggap sebagai ibu.

“Benarkah, Profesor?” tanya Darren tak yakin.

“Ya. Emosi pertamamu sudah lepas, Darren. Dunia mimpi yang kamu bangun sudah mulai rapuh. Tidak ada alasan untuk hidup di sana lagi.”

Darren tercenung. Sorot matanya yang semula terang menjadi gelap bisu. Serat-serat rasa takut itu menyusut dari wajahnya. Berenang kembali menuju kotak pandora yang ia sembunyikan di bawah kesadaran. Di tempat yang tak terjamah oleh siapa pun. Bahkan dirinya.

Melihat Darren yang kembali seperti manusia robot tanpa ekspresi itu, Profesor Diana menghela napas berat. Matanya kembali bergetar pilu menatap Darren yang memilih tetap hidup dalam persembunyian.

“Kenapa? Ini adalah pertanda baik.”

Darren masih terdiam.

“Pertanda baik?” tanya Darren sambil menatap dingin Profesor Diana.

“Tentu. Tidak ada yang lebih baik dari kamu yang mulai memperlihatkan emosi, Darren. Dua puluh tahun, aku sudah menunggu momen seperti ini.” Profesor Diana tegas berbicara. Tak ada lagi tatapan kasih seorang ibu pada bola matanya. Yang ada adalah ketegasan seorang mentor pada murid kesayangannya.

“Profesor Diana lebih suka saya menderita daripada hidup tenang seperti yang selama ini saya lakukan?” Darren

“Kamu merasa benar-benar hidup dengan cara seperti ini?” Profesor Diana menunjukkan simpatinya lewat nada suara yang ia perdengarkan. “Ini bukan kecacatan evolusi, Darren. Bukan bagian dari penyakit. Depersonalisasi-Derealisasi yang kamu idap tidak akan menunjukkan gejala sesignifikan ini.”

“Profesor lebih tahu daripada siapa pun kalau memang penyakit itu yang membuat saya kehilangan sensibilitas dan mati rasa. Profesor juga tahu, satu dari sekian probabilitas tentang asal usul penyakit itu adalah warisan genetik dari ibu saya. Artinya, teori saya tentang kecacatan evolusi itu tidak sepenuhnya salah. Saya memiliki gen ini dari ibu dan nenek, itu yang Anda katakan, bukan?” Darren menimpali.

Profesor Diana dibuat terdiam oleh Darren. Bukan berarti ia kalah dalam barargumentasi, tapi karena ia memilih untuk mengalah. Andaikan membujuk Darren adalah hal yang mudah, Profesor Diana tidak akan repot-repot membawa laki-laki itu ke kampus ini. Profesor Diana tidak akan repot-repot membawa Darren ke tempat yang akan menjadi titik balik kehidupan Darren.

“Itu yang pikir?” Profesor Diana menambahi.

“Penyakit ini ada bukan karena keinginan saya. Tapi sudah diwariskan ke tubuh saya dalam bentuk gen.”

“Kamu tahu manusia terus berevolusi?” lanjur Profesor Diana. Untuk sesaat Darren terdiam karena ingin mendengarkan kata-kata Profesor Diana. “Kalau kamu percaya bahwa keadaanmu ini adalah kecacatan dari evolusi, maka hanya kamu sendiri yang bisa memperbaiki kecacatan itu. Dengan cara berevolusi. Mari kita tunggu beberapa bulan atau tahun ke depan. Apakah kamu bisa berevolusi, atau tetap menjadi produk gagal sebagai imbas dari kehidupan tragis leluhurmu.”

Kata-kata Profesor Diana terdegar tegas dan menusuk. Frasa ‘produk gagal’ yang Profesor Diana lontarkan memang tak memiliki efek emosional pada Darren. Tetapi cukup membuat pria itu diam tanpa kata.

Sementara di sudut lain, Angeline tampak terkejut mendengar kata-kata yang ibunya lontarkan. Menyebut Darren sebagai produk gagal dari keluarga seorang kapitalis yang pernah berjaya pada masanya adalah kata-kata terkejam yang pernah keluar dari mulut Profesor Diana.

Selesai dengan urusannya, Darren beranjak berdiri. Ia tetap terlihat datar. Namun, percayalah. Pikirannya tak setenang yang terlihat. Kepalanya masih sibuk menerjemahkan unsur dirinya sebagai produk gagal para leluhur.

“Evolusi menuntun perubahan. Saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin termakan oleh dikte yang orang lain inginkan atas hidup saya. Menjadi produk gagal atau produk berhasil tidak memiliki arti apa-apa. Bagi saya, kondisi ini adalah wujud paling sempurna dari evolusi manusia karena bisa membuat manusia aman dari penderitaan dan rasa takut yang bisa memicu agresi dan kemusnahan. Dunia tanpa emosi adalah dunia yang aman terkendali. Tidak ada agresi, tidak ada kriminalitas, tidak ada pembunuhan apalagi bunuh diri.”

Darren menutup argumentasinya dengan mengangguk pelan terhadap Profesor Diana. Memberikan hormat secara formal.

“... Kalau begitu saya permisi dulu.”

Pria itu keluar dari ruang dekan. Meninggalkan Profesor Diana yang termenung di kursinya. Sorot matanya sedu sedan. Menatap kosong ke arah kepergian Darren. Dan tanpa sengaja bertemu pandang dengan putrinya, Angeline, yang masih duduk bersamanya.

“Sepertinya ‘produk gagal’ sudah berlebihan, Ma.” Wanita dua puluh sembilan tahun itu bergumam pelan melihat sekilas sesal menyelinap di antara kesenduan mata ibunya.

“Dia tidak mencerna sesuatu dengan emosi seperti yang kita lakukan. Kata-kata itu tidak akan mempengaruhinya,” jawab Profesor Diana sambil menghapus sekilas sesal dari benaknya.

“Tetap saja. Dia akan terluka kalau suatu saat emosinya kembali.”

“Aku menunggu suatu saat itu datang.”

*

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dream of Being a Villainess
1469      833     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Zona Elegi
563      369     0     
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang. Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
8035      2579     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Project Pemeran Pembantu
6379      1936     1     
Humor
Project Pemeran Pembantu adalah kumpulan kisah nyata yang menimpa penulis, ntah kenapa ada saja kejadian aneh nan ajaib yang terjadi kepadanya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam kumpulan cerita ini, penulis menyadari sesuatu hal yang hilang di hidupnya, apakah itu?
Buku Harian Ayyana
27821      5201     6     
Romance
Di hari pertama masuk sekolah, Ayyana udah di buat kesel sama cowok ketus di angkatannya. Bawaannya, suka pengen murang-maring terus sama cowok itu! Tapi untung aja, kehadiran si kakak ketua OSIS bikin Ayyana betah dan adem tiap kali dibuat kesel. Setelah masa orientasi selesai, kekesalan Ayyana bertambah lagi, saat mengetahui satu rahasia perihal cowok nyebelin itu. Apalagi cowok itu ngintilin...
Bee And Friends 2
3229      1071     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
Toko Kelontong di Sudut Desa
5842      2029     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
Luka atau bahagia?
5194      1479     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
I'm not the main character afterall!
1433      739     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
SORRY
21929      3276     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...