Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU
About Us  

Tanpa arah dan tanpa tujuan, kakiku berhasil membawaku pada pemandangan hamparan puing-puing bekas penggusuran Candramaya yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Meski area tersebut sudah diberi penghalang, aku masih bisa masuk melalui celah-celahnya yang terbuka dan aku bisa melihat puing-puing itu menyerupai diriku sendiri. Hancur berantakan, tak berbentuk, dan tanpa berbekas.

Bukan perkara yang mudah untuk kembali menyusuri tempat-tempat yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi dengan diri kita sendiri. Dibutuhkan rasa keberanian sekaligus kepasrahan agar kita dapat memandangnya tanpa perlu merasakan rasa sakit. Tentu saja itu tidak bisa terjadi dalam satu kali percobaan. Menurut Maia, proses itu membutuhkan kesungguhan dan beberapa kali sesi latihan secara pribadi.

“Stress berat?” seseorang menyelutuk dari belakangku. Aku mendapati Nirvana yang tersenyum simpul. Tanpa meminta persetujuan dariku dia langsung duduk tak jauh di sampingku.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku datar.

“Aku selalu datang ke sini hampir setiap hari. Meratapi kegagalanku membela mereka,” gumam Nirvana sambil memandang hamparan puing-puing di hadapannya. Dia kemudian melempar-lempari kerikil kecil ke sembarang arah dan menciptakan sensasi suara yang aneh. Seperti suara-suara yang ditimbulkan akibat kesunyian. “Aku benar-benar gagal membela mereka dan menyebabkan mereka semua terusir entah ke mana.”

“Kamu nggak kapok diikuti intel terus?” bisikku sambil menatap sekeliling yang sunyi.

Dia menggeleng dan tertawa kecil. “Kalau aku ditangkap dan nggak pernah kembali, ya berarti hidupku berakhir sampai situ. Penyesalanku sampai mati hanyalah satu. Gagal membela mereka,” terangnya. “Kamu sendiri kenapa datang ke tempat ini? Pemberitaan ayahmu membuatmu frustrasi, ya? Ayahmu tiba-tiba menghilang dan kolegamu di kantor mendesakmu agar kamu bisa menemukannya dan mencari jawaban atas apa yang terjadi. Menjadi tumpuan harapan itu memang nggak menyenangkan, ya?”

Aku tersenyum simpul. Dia terlalu jujur dan tepat sasaran. Harus kuakui, selain obsesif, annoying, dan pandai berdebat, gadis itu pandai membaca pikiran orang lain. Terutama aku. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa tipe-tipe orang sepertiku ini sangat mudah terbaca. Mataku dan bibirku dapat menggambarkan suasana hatiku dengan sangat jelas tanpa orang lain mencoba untuk berspekulasi.

“Kamu sudah tau,” ujarku.

“Lenna Sayang, semua orang kini sedang membicarakan Papamu dan selingkuhannya. Beritanya ada di mana-mana. Kamu nggak baca? Kamu kan wartawan?” sergahnya.

“Aku capek.”

“Ya, tentu saja kamu capek. Wajahmu menunjukkan itu semua dengan jelas.”

“Apa menurut kamu aku pantas mendapatkan ini?”

Perempuan itu menyeringai. Aku siap mendengarkan apa pun perkataan pedasnya, namun dia malah terdiam seperti menahan diri.

“Kenapa, Nir? Bilang aja kalau kamu kasihan padaku.”

Nirvana memicingkan mata, “Len, kamu tuh nggak bisa memaksa orang untuk berpendapat seperti apa yang kamu pikirkan! Aku tahu kamu sedih dan kamu merasa terpukul atas pemberitaan ayahmu yang viral. Aku juga tahu kalau kamu….,”

Tell me that you love him,” potongku tanpa menoleh.

“Eh?”

Tell me that you love him, so I leave.”

Dia tertawa kecil. “Len, ini semua nggak….,”

Stop!” sergahku. “Kamu nggak usah repot-repot menenangkanku.”

Dia kemudian terdiam dan membiarkanku tenggelam dalam kesunyian kota.

Cahaya keemasan sudah bersinar memancar dari langit bagian barat. Cahaya itu menembus awan dan menciptakan garis-garis halus cahaya di antara lembutnya awan cumulus. Pemandangan itu mengingatkanku pada kalimat milik Pamela Hansford Johnson, the sky broke like an egg into full sunset and the water caught fire. Lantas langit yang terhampar di atasku begitu putih keemasan, seperti air yang terbakar.

Mungkin dini hari nanti hujan akan turun dan menebarkan mimpi-mimpi buruk di kala jatuh lelap. Kota ini kemudian mengingatkanku pada hal-hal yang paling hijau dan paling sunyi. Hamparan kebun teh di sisi utara dan sisi selatan, segelas es kopi di setiap sudut jalan, dan kesendirian-kesendirianku.

“Lenna,” panggilnya kemudian kemudian bangkit. “It is amazing how our lives bring us into this sucks reality, isn’t it?”

Aku terkekeh. Dia menawariku sebatang rokok tapi aku menolaknya dengan halus.

“Oh, iya. Ibuku sangat ingin berjumpa denganmu,” katanya kemudian. “Ibuku sibuk bertanya-tanya tentangmu setelah pameran berakhir.”

Aku mengerutkan alis. “Kenapa?”

“Katanya, ibuku nggak menyangka seorang monster sepertiku memiliki seorang teman.”

           

*

 

Rumah Nirvana yang ia tinggali bersama Ezme terletak di kompleks elit di daerah Parongpong. Daerah itu terkenal dengan udaranya yang sejuk serta penjual tanaman hias yang berjajar di sepanjang jalan. Aku sendiri pernah berkujung ke daerah ini beberapa kali untuk membeli bibit bunga matahari ataupun tanaman kembang bokor.

Nirvana tidak berbicara begitu banyak padaku di sepanjang perjalanan. Sesekali dia hanya berceloteh tentang kemacetan akibat angkutan umum yang sering berhenti sembarangan ataupun tentang tempat makan baru yang ingin ia datangi. “Kalau kita mau hidup tanpa kapitalisme, kita nggak akan benar-benar bisa melakukannya,” ujarnya.

“Jadi, ternyata kamu nggak sealim itu?”

Dia tertawa kecil. “Ya nggak lah. Aku nggak ingin munafik. Boots-ku saja masih merek Dr. Martens. By the way, aku juga masih senang makan fast food. They’re the best.”

“Bangke lu. Kupikir selama ini kamu loyal banget sama prinsip-prinsip itu.”

“Ya, nggak, lah!”

Rumahnya terletak menyempil di sudut kompleks. Ada banyak burung gereja yang bertengger di bentangan kabel listrik di sekitar rumahnya. Pagarnya tinggi, kokoh, dan terlihat maskulin. Hal itu menggambarkan bahwa penghuninya cenderung introvert. Dinding rumahnya sendiri berwarna putih gading dengan aksen hijau tosca muda. Halamannya luas, terdiri dari banyak pohon cemara dan kembang-kembangan yang berwarna warni. Tapi yang mencolok adalah tanaman pakis yang menempel di batang bohon cemara dan tumbuh dengan subur. Di beranda rumah, aku bisa melihat guci-guci keramik mahal yang terbuat dari tanah liat dipajang berjajar di antara tanaman-tanaman perdu. Ini adalah gambaran rumah ideal seorang perupa versiku.

Seorang pembantu usia lewat dari paruh baya membukakan pintu dan menyambut kami dengan hangat. Nirvana memintaku untuk menunggu di ruang tamu yang dipenuhi lukisan sementara dia pergi ke belakang untuk memanggil ibunya. Aku sendiri tertarik dengan replika lukisan Starry Night-nya Vincent van Gogh yang dipajang di samping jam dinding tua. Di waktu yang bersamaan, lukisan itu mengingatkanku pada adegan Emily, Ezme, dan Gabriel dalam film seri Emily in Paris yang pergi hang out bersama-sama ke Atelier des Lumiéres dan memandangi seisi ruangan penuh pemandangan Starry Night. Dari semua lukisan yang kulihat, aku segera tahu bahwa kiblat melukis Ezme adalah benua Eropa.

Semenit kemudian, Nirvana kembali muncul dan mengajakku untuk pergi ke studio milik ibunya yang terletak terpisah di belakang rumah. Setelah melewati ruang keluarga serta ruang makan yang sepi namun tetap artistik, kami tiba di beranda halaman belakang. Halaman belakang itu dipenuhi bunga-bungaan, kaktus saguaro yang tinggi seperti monster berduri, dan hamparan rumput yang memisahkan antara beranda belakang dengan ruang studio milik Ezme. Di depan studio, sudah ada Ezme yang duduk di kursi rodanya. Ia mengenakan baju terusan gingham putih-hijau dengan polesan makeup sederhana. Dia tersenyum padaku saat aku menyalami tangannya yang dingin dan berkeringat.

Sebelum Ezme menghujaniku dengan seribu pertanyaan mengenai si koleganya yang mesum itu, Nirvana segera mengajakku untuk mengintip isi studio milik ibunya itu. Aku sendiri penasaran seperti apa ruangan pelukis sekelas Ezme. Ternyata studio itu tak begitu besar, hanya berukuruan empat kali empat meter saja. Di sana, aku bisa melihat berpuluh-puluh kanvas, kaleng-kaleng cat yang disusun rapi berdasarkan warna di atas rak-rak kayu, kuas berbagai macam ukuran yang berceceran, kertas-kertas sketsa, serta beberapa lukisan yang sudah jadi. Seperti biasa, dia melukis banyak sekali potret wanita yang sama. Di sudut, aku melihat beberapa bongkahan kayu ukir yang belum jadi. Di langit-langit, aku mendapati sebuah lampu kristal yang tergantung dan berdebu.

Tentu saja segala bentuk dan warna yang ada di dalam studio itu adalah hasil tindakan artistik si perupa. Bukan hanya lukisan bahkan, di pojok aku menemukan seonggok tanah liat yang begitu coklat – bahkan aku mengira itu adalah kotoran. Kemudian aku memandangi sketsa belum jadi yang sedikit tertutupi oleh kain putih berdebu. Di atas sketsa itu, aku memandangi wajah Pak Shaheer yang penuh kedamaian. Damai seperti orang yang telah lama mati. Tiba-tiba aku merinding membayangkan Pak Shaheer yang malang meninggal dalam kesunyian.

“Ini adalah safe place untuk seorang perupa sepertiku,” tau-tau Ezme muncul di ambang pintu. “Perempuan itu adalah nenekku. Seorang Nyai di masa penjajahan Belanda.”

“Oh, iya?” sahutku terpana. “Bagus. Nyaman. Artistik,” komentarku jujur saat mengitari seisi ruangan.

“Kamu seperti kenal dengan Papanya Nirvana. Sewaktu di galeri, kalian berbicara tidak seperti orang asing,” ujarnya sembari menatapku. Kemudian aku merasa ciut. Untung saja Nirvana sedang pergi entah ke mana. Kemudian aku balas memandanginya dengan sopan. “Apa dia membicarakan kami?”

Aku menggeleng.

“Lantas apa yang kalian bicarakan tentang kami?”

 Aku kemudian tersenyum, “Pak Shaheer sangat menghargai segala keputusan Ibu Ezme. Dia melewati saat-saat kejatuhan itu dengan sangat baik. Dan dia tetap menyayangi Nirvana sampai kapan pun,” jelasku. Aku mengamati wajah campur aduk itu. Wajah itu terasa seperti kebingungan. Pasti sulit untuk mendengar sesuatu yang disampaikan dari mantan suami. Ibarat memasukan sehelai jarum ke dalam lubang benang, pasti wanita ini meronta-ronta dalam hati.

Beliau bersiap untuk memutarkan kursi rodanya dan hendak meninggalkan kami. Namun aku segera menyergahnya. “Ibu Ezme,” panggilku. Dia kemudian berhenti dan menoleh. “Apa Ibu Ezme masih ingat dengan Ambu? Maksudku, Ibu Gayatri?”

Dia mengerutkan kening dan mengangguk. “Tentu saja. Dia adalah kawan lama saya. Kenapa?”

“Saya hanya ingin mengabarkan bahwa Ambu sekarang sakit. Lumpuh. Mungkin Ibu Ezme berniat mengunjunginya? Ambu cukup kesepian akhir-akhir ini. Suaminya sibuk di kebun kopi sementara anak tunggalnya, W, yang mungkin Anda baca kisahnya di artikel yang saya tulis…,”

Ezme menghampiriku. Dia meraih tanganku dan menatapku dengan sepasang mata yang berbinar. “Ya, tentu saja! Tentu saja Lenna, saya akan datang berkunjung. Dengan senang hati saya dan Juan akan menjenguknya. Dulu kami sangat dekat. Ketika camping, kami selalu menempati tenda yang sama. Dia akan selalu menjadi sahabat saya.”

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku Milikmu
2153      930     2     
Romance
Aku adalah seorang anak yang menerima hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, namun dalam satu malam aku mengalami insiden yang sangat tidak masuk akal dan sangat menyakitkan dan setelah berusaha untuk berdamai masa lalu kembali untuk membuatku jatuh lagi dengan caranya yang kejam bisakah aku memilih antara cinta dan tujuan ?
Toko Kelontong di Sudut Desa
5842      2029     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
Into The Sky
531      341     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
Lalu, Bagaimana Caraku Percaya?
148      115     0     
Inspirational
Luluk, si paling alpha women mengalami syndrome trust issue semenjak kecil, kini harus di hadapkan pada kenyataan sistem kehidupaan. Usia dan celaan tentangga dan saudara makin memaksanya untuk segera percaya bahwa kehidupannya segera dimulai. "Lalu, bagaiamana caraku percaya masa depanku kepada manusia baru ini, andai saja jika pilihan untuk tak berkomitmen itu hal wajar?" kata luluk Masal...
My Dangerious Darling
4940      1811     3     
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Lullaby Untuk Lisa
5925      1677     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
Interaksi
552      378     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
Lily
2037      912     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Sebelas Desember
5043      1429     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Bus dan Bekal
3414      1537     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...