Blok 13-Marina

Semesta Marina

Hubungan gue dan Ayah nggak pernah sama lagi sejak kami saling tahu perasaan satu sama lain. Ayah jadi jaga jarak sama gue. Padahal gue pengen banget deket dia. Meski jaga jarak, Ayah masih perhatian banget sama gue. Dia pastiin gue nggak telat bangun buat ikut kuliah. Selalu tersaji makanan enak tiap jam makan tiba. Gue juga nggak kekurangan bahan bacaan buat referensi tugas atau buat nulis novel baru. Sering juga Ayah titipin gaun baru, ikat rambut, dan barang-barang lainnya buat gue lewat si bibi.

Selamat tinggal acara jalan-jalan sore naik motor. Nggak ada lagi perbincangan ringan tentang saham dan bisnis. Udah berapa hari Ayah nggak elus kepala gue, cium kening gue, dan selimutin gue sebelum tidur. Gue kangen, kangen itu semua. Kadang gue takut. Takut nama gue dihapus dari daftar penerus Purnama Group.

Ayah jarang di rumah belakangan ini. Dia lebih banyak di kantor. Padahal dulu-dulu Ayah yang ngotot buat kerja remote. Katanya, biar punya lebih banyak waktu luang sama anak tunggalnya.

Satu-satunya teman gue di rumah ya si bibi. Magenta jarang main ke rumah gue. Kami biasanya ke rumah anggota lain kalau kumpul geng. Lagi pula, gue juga takut kalau mereka keseringan main ke sini, nanti rahasia gue terbongkar. Rahasia kalo gue bukan anak tunggal di keluarga kandung gue.

Oh ya, soal Magenta, gue jadi inget kejujuran Gabriella. Salut deh, dia mau jujur tentang Gabriel. Gue memang salut. Bukan berarti gue mau ikutin jejaknya. Males banget gue ceritain tentang ibu kandung gue yang pilih kasih, papa kandung gue yang kasar ke gue tapi baik banget sama sulungnya, atau kakak sulung gue yang rampas kebahagiaan hidup gue. Biarlah rahasia ini gue simpen hingga ke liang lahat.

“Bi, Ayah kapan pulang dari kantor, ya?” rajuk gue di dapur siang itu.

Gue lagi liatin si bibi nyiapin makan siang. Hari ini menunya nasi goreng mawut. Memang kebanyakan nasgor cocoknya dihidangkan malam hari, tapi itu pengecualian kalo di rumah penggila nasi goreng kayak gue. Wajah bibi yang penuh kerutan dipulas senyum tipis dengar keluhan anak majikannya.

“Mungkin bentar lagi. Sabar, ya, Non.”

“Bi, kenapa Ayah berubah? Ayah benci, ya, sama aku?”

Mata si bibi merah. Entah karena mewek atau abis ngupas bawang di tangannya.

“Ndak ada ayah yang benci anaknya, Non.”

“Aku cuma anak angkat, kok. Gampang aja Ayah benci aku,” kilah gue miris.

Dalam satu gerakan, si bibi menyalakan kompor. Ia mulai menumis bumbu. Mencampurkan mie dan nasi dengan rapi.

“Kalo Ayah ndak sayang, mana mungkin Ayah ingetin Bibi buat sediain keperluan Non Marina sebelum berangkat ke kantor?” tanya ART itu retoris.

Gue berusaha percaya sama ucapan si bibi. Ayah masih sayang sama gue. Cuma dia perlu waktu untuk menata hati.

Ting tong

Bel pintu berdering. Dengan semangat 45, gue lari ke ruang depan. Betapa kecewanya gue liat Ayah pulang bawa perempuan cantik seumurannya. Saking cantiknya perempuan itu, gue sampai minder. Badannya tinggi, rambutnya panjang, dia punya hidung mancung, bibir tipis, dan kulit terang. Perempuan bertubuh bak peragawati itu mengenakan gaun berpotongan a-line berwarna burgundi. Tasnya tak kurang dari Louis Vuiton keluaran terbaru. Tubuhnya wangi sekali, khas wangi seorang wanita karier yang sukses.

“Hai, Sayang,” sapa Ayah ringan seolah tak pernah terjadi apa-apa.

“Ayah, dia siapa?” tanya gue tanpa membalas sapaannya.

Si wanita tersenyum. Tangannya yang berhias cincin mahal terulur.

“Kamu yang namanya Marina? Ayahmu udah cerita banyak ... kenalkan, nama Tante Alea.”

Nih perempuan siapa, ya? Kok Ayah berani banget bawa dia ke rumah? Dengan wajah merengut, gue berjalan mundur. Mereka masuk ke ruang tamu.

Sialnya, Ayah nggak ngejawab pertanyaan gue. Dia asyik aja ngobrol sama Tante Alea. Gue bener-bener dicuekin. Baper setengah mati, gue minggat ke dapur.

“Kenapa, Non?” usut si bibi liat gue masuk dengan tampang kusut.

“Ayah bawa perempuan ke sini,” ketus gue.

Bibi mengerutkan dahi. Dia pasti sama herannya kayak gue. Nggak pernah sebelumnya Ayah berjalan bersama perempuan dewasa seusianya. Gue buka Opera Mini lewat tab, cari tau siapa Alea-Alea itu.

Woah, gue kaget baca info tentang dia. Ternyata Tante Alea bukan orang sembarangan. Dia mantan Gadis Sampul, sering menjuarai ajang modeling waktu masih muda, pakar kesetaraan perempuan, dan masih punya darah biru keraton Yogyakarta. Dari sederet pengalaman kerjanya, gue yakin dia orang kaya. Jadi, dia nggak mungkin mengincar harta Ayah kalo dia sendiri udah tajir dari lahir. Lagi asyik browsing, ada WA masuk dari Mama.

From: Paulina Kandouw

Sayang, kapan mau ke rumah? Kamu betah banget tinggal sama Calvin.

Gue menimbang-nimbang. Males banget sebenernya main ke rumah. Apa lagi ada Angelina dan bayi jelek itu. Gue juga takut ketahuan Magenta soal kebohongan gue. Tapi, begitu ngintipin Ayah sama Tante Alea, gue mutusin pergi.

Gue naik taksi ke rumah Mama. Jarak rumah Mama dengan Narcissa Regency nggak terlalu jauh. Dua puluh menit berselang, gue udah sampai.

Rumah udah kayak kapal Titanic habis ditabrak gunung es waktu gue datang. Mainan berserakan dimana-mana. Lantai keramik mahal lengket ketumpahan susu dan minyak goreng. Tangis bayi menggema di lorong. Salah satu dari dua bantal sofa basah kena iler si bayi jelek.

“Marinaaa ... anak Mama yang cantik!” Mama menyambut gue dengan heboh sekeluarnya dari dapur. Gue melompat minggir saat dia mau meluk gue.

“Iiih, jahat banget. Mama mau peluk juga,” cibirnya.

Gue mencebik. Bukan pelukan yang gue inginkan. Gue mau Mama serahin lagi perusahaan dan aset kekayaan ke gue. Mama menyerah dan mengajak gue makan siang.

Kurang dari satu jam kembali ke rumah, gue udah muak. Nafsu makan gue hilang seketika begitu liat bayi jelek ponakan gue itu kentut dan pup. Angelina juga sok bossy banget. Enak aja dia nyuruh-nyuruh Mama gue dengan alasan lagi menyusui bayi jeleknya. Belum lagi Papa gue yang deket banget sama cucunya.

“Grace cantik ... ah, cantiknya cucu Opa,” kata Papa gue berulang-ulang.

Gue berlagak muntah ke mangkuk soto koya buatan Mama. Seumur-umur belum pernah tuh Papa muji gue cantik. Padahal gue cewek tercantik di keluarga besar. Angelina pernah bilang kalo dia ngerasa minder tiap kali foto-foto sama gue. Soalnya pesona gue nggak nahan.

Terlahir good looking bukan berarti gue nggak pernah insecured. Perasaan itu jelas ada. Gue pernah merasa nggak aman karena anak-anak Magenta nggak kalah cantik. Perasaan itu juga muncul saat gue kenal orang yang lebih pinter, lebih sukses, atau lebih tajir dari gue. Tanpa menghabiskan soto, gue beranjak dari meja makan.

Tawaran Mama buat nginep gue tolak. Secuek-cueknya Ayah Calvin, gue masih lebih betah di sana. Rumah Ayah selalu damai dan hangat. Ayah juga nggak bakal pilih kasih karena guelah anak semata wayangnya. Praktis gue balik ke Narcissa Regency sore itu juga.

“Loh, ngana mau pulang sekarang?” tegur Angelina begitu gue pakai sepatu di beranda depan.

“Iya. Kenapa memang?” balas gue jutek.

“Cepet amat. Kenapa nggak nginep? Torang samua juga belum sempat foto-foto.”

Torang adalah lingua Manado untuk kita. Ngana adalah sebutan ‘kamu’ dalam bahasa Manado. Gue mendengus kesal. Ngapain harus foto? Apa lagi sama bayi jelek itu. Gue sekeluarga udah pernah foto studio. Kami ambil paket paling mahal waktu itu.

“Ayolah, foto dulu. Ini Grace juga kangen Tantenya.” Angelina sedikit memaksa. Dari pada ribet dan biar gue cepet pulang, gue turutin juga niatnya. Kami pun berfoto.

Usai sesi foto yang memuakkan, gue bergegas pulang. Gue lega karena Tante Alea udah nggak ada sesampai di rumah. Ayah Calvin seperti biasa mengungsi ke ruang kerjanya, takut lama-lama interaksi sama anaknya yang cantik. Sisa hari libur itu gue abisin buat nonton Netflix.

**   

@Hey__Rahmania

Halo, Kak Marina. Aku Destia, adiknya Kak Rahmania. Cuma mau kasih tau kalo kakakku kecelakaan motor sebulan lalu. Dia naik ojek online tapi tukang ojeknya bodoh. Motornya jatuh dan Kak Rahmania patah tulang ruas jari. Tangan kirinya melengkung karena ketimpa badan motor. Udah sebulan ini dia terapi. Tapi dia nakal, masih jalan-jalan dan kerja.

Gue terima dm di Twitter pagi ini. Ngapain adiknya Rahmania nge-dm gue pakai akun kakaknya? Ya gue tau sih, si Destia itu sering pinjem akun kakaknya buat berburu GA. Tapi baru kali ini dia nge-dm gue.

Cuma dua huruf yang terpikir di otak gue buat balesinnya: ok. Gue nggak tau lagi mesti ngomong apa. Di samping karena gue masih marah sama Rahmania, gue khawatir ini hanya penipuan. Bisa aja si Destia disuruh kakaknya buat kirim pesan kayak gini. Biar gue kasihan atau cari perhatian gue.

Kecurigaan gue ambyar setelah baca update-an Rahmania di akun Twitternya. Dia bilang lagi mencoba menjalani adaptasi kebiasaan baru untuk dirinya sendiri. Gue jadi penasaran. Apa yang dia maksud karena tangan kirinya yang nggak sama lagi?

Iseng gue respon twitnya. Di luar dugaan, dia dm gue di Instagram. Rahmania kaget pas gue kasih tau kalo adiknya nge-dm. Oh oke, berarti ini di luar kendali si miss fake.

Isi pesan Destia nggak bohong. Kakaknya memang kecelakaan. Bahkan Rahmania harus pakai aplikasi VTT (Voice to Text) biar bisa kirim pesan. Gue jadi agak kasihan. Mantan temen baik gue harus mengalami tiga kecacatan: kelainan mata, kelainan kaki, dan sekarang tangan kirinya juga beda. Lama-kelamaan gue bersyukur. Tubuh gue masih lengkap. Tuhan bahkan kasih bonus muka cantik buat gue. Mungkin Dia lagi bahagia pas ciptain gue ke dunia. Sedangkan Rahmania? Dia nggak secantik gue. Hidupnya juga nggak seberuntung gue karena keluarganya abusif. Kendati begitu, bukan berarti gue lupain kesalahan dia gitu aja. Gue nggak akan pernah bisa percaya lagi.

“Maafin aku untuk banyak hal.”

Sebuah suara bass membaca keras-keras isi dm gue sama Rahmania. Gue memekik kaget. Refleks gue tutup hp. Ayah berdiri di belakang gue. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas yang sangat khas menyusup ke hidung.

Tak puas-puas gue tatap wajah pria yang paling gue cintai. Ah, bidadara gue. Pangeran hidup gue. Kangeeen gue sama dia.

“Udah baikan nih sama Rahmania?” goda Ayah, menyentil pelan hidung gue.

“Oh tidak semudah itu, Ferguso.” Gue menyahuti sambil meniru dialog telenovela tahun 90-an.

Ayah tertawa. Diacaknya rambut gue.

“Kenapa nggak percaya lagi, Sayang?”

Dada gue kayak dilemparin kembang api. Beban berat di dasar perut gue lenyap seketika. Sikap Ayah kembali hangat seperti sediakala.

“Hmmm ... setelah dia ngecewain aku, dan karena sikap inkonsistennya, nggak mungkin aku percaya lagi. Mendingan Magenta kemana-mana dibandingin Miss Fake,” tutur gue.

Kenapa gue julukin Rahmania Miss Fake? Itu karena ulahnya sendiri. Akhir tahun lalu, gue tunjukkin naskah novel terbaru karya gue. Rahmania biasa jadi first reader gue waktu itu. Gue percaya aja sama dia kayak biasa. Apa balasannya ke gue? Dia malah nyuekin gue berminggu-minggu. Naskah panjang gue dianggurin. Ternyata dia nyuekin gue karena terbang ke Makassar buat nemenin cowok pencari suaka dari negara konflik. Dia sih ngakunya nggak ada apa-apa sama cowok itu. Tapi kelakuannya ngalahin cewek ke temen biasa. Rahmania nyuekin gue tapi masih aktif di medsos dan justru selalu ada buat cowok aneh itu. Katanya bukan siapa-siapa, katanya dia lebih sayang gue lebih dari rasa sayangnya ke adik kandungnya sendiri. Semua kelakuannya nggak sesuai sama ucapannya. Itu yang bikin gue marah besar dan mutusin nggak mau percaya lagi.

“Udah, ah. Ngomongin Rahmania terus. Emangnya dia penting? Aku kangen Ayah.” Gue mengalihkan pembicaraan, lantas bergelayut manja di lengannya.

Belaian hangat Ayah di rambut bikin gue melting. Duh, kapan ya terakhir kali Ayah begini lembut?

“Maaf, ya, Sayang. Ayah menjauh karena Ayah sedang memikirkan perasaan kita,” sesal Ayah.

“Trus hasilnya apa?”

Tanpa menjawab, Ayah merengkuh gue erat-erat. Gue balas dekap hangatnya dengan senang hati. Nggak perlu capek-capek gue pinjam mesin waktunya Doraemon buat anterin gue ke Ayah yang dulu. Karena Ayah Calvin udah kembali.

“Ayah cinta Marina,” bisiknya di telinga gue.

“Kelak ... bisakah kita bersatu kayak pasangan-pasangan lainnya?” Gue bertanya penuh harap. Benih harapan tumbuh perlahan.

“Ayah hanya bisa berdoa dan berusaha. Ayah juga harus diskusikan ini dengan orang tua kandungmu. Kita tetap bisa jadi ayah dan anak, sekaligus jadi sepasang perempuan dan laki-laki yang saling mencintai.”

Tercermin kesungguhan di mata sipit itu. Hati gue melambung ke kaki langit. Ini salah satu hari terindah gue. Hari dimana gue dan Ayah saling mengakui perasaan cinta. Beberapa jurus kemudian, gue berjinjit lalu gue cium kening Ayah.

“Maaf, ya, jodoh Ayah baru datang di umur 45 tahun,” ujar gue.

Kayaknya gue nggak perlu takut lagi sama Tante Alea. Secantik apa pun dia, posisi gue nggak tergantikan di hati Ayah. Tanpa kata, gue tarik lengan Ayah ke ruang tengah. Di situ ada piano. Gue mainin piano sambil nyanyi buat Ayah.

Saat pertama jumpa denganmu

Ku melihat sosok yang sangat sempurna

Ketika kusambut erat tanganmu

Ku merasa tumbuh cinta di hatiku

Ingin kupeluk ragamu

Kubawa terbang ke angkasa

Tapi akankah semua itu menjadi nyata

Hujan tolong sampaikan

Bahwa ku mencintai dia

Dan izinkan aku membuatmu bahagia

Di sisa waktu hidupmu (Alzio Faaz ft Ave Zora-Sisa Waktu Hidupmu).