Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hujan Paling Jujur di Matamu
MENU
About Us  

Secarik senja begitu indah. Dewanti duduk di halaman belakang rumahnya. Menatap gemawan yang berarak ke arah kiblat. Rambutnya meriap diembus angin. Mata coklatnya masih terlihat sayu. Seorang pria berpakaian rapi mendekati dan langsung duduk di sampingnya.

“Sendiri aja nih!” sapa pria itu.

“Eh, Dokter. Saya kira siapa,” jawab Dewanti.

Ternyata pria itu adalah Dokter Bagas. Orang yang banyak berjasa atas kesembuhan Dewanti sehingga dalam jangka lima minggu saja, Dewanti sudah diizinkan pulang meskipun harus memakai tongkat. Dewanti hanya menatap sekilas. Karena detik berikutnya ia kembali menatap arakan awan di langit senja.

“Bagaimana kondisi kakimu?” tanya Dokter Bagas. Sambil melihat kaki Dewanti yang saat itu memakai rok di bawah lutut sehingga betis jenjang berbulu halus itu mampu membuat Dokter Bagas menelan ludah.

“Lebih baik, Dok!” jawab Dewanti singkat.

“Aku sudah katakan kalau di luar jangan panggil Dokter, panggil Bagas saja atau Kak,” sahut Bagas.

Hubungan mereka sebagai dokter dan pasien rupaya berlanjut setelah Dewanti diizinkan pulang. Dokter Bagas memang telah jatuh hati pada gadis berdarah campuran Belanda-Jawa itu. Kecantikan Dewanti, kulitnya yang putih bersih ditambah dengan sepasang mata coklat membuat Dokter Bagas jatuh cinta. Dewanti memiliki semua itu karena ayahnya Pak Jovan adalah warga asing sedang ibunya asli darah Jawa.

Dewanti hanya tersenyum dan matanya masih tetap melihat arakan gemawan di atas sana.

“Kok diem, De!” seru Bagas.

“Eh maaf, Dok, eh Kak! Aku sedang memperhatikan gemawan itu. Lihat deh sama kakak!”

Bagas mendongak. Benar saja, awan berarak itu sangat indah. Laksana bunga kol yang mengapung di permukaan telaga nan biru, “Hmm ... indah.”

“Bukan cuma indah, Kak. Tapi awan berarak itu ibarat doa-doa umat manusia menuju kiblat di mana ijabah Tuhan berada,” sahut Dewanti.

“Awan berarak itu juga ibarat cita dan cinta manusia yang tak semua berhasil mencapai puncak tujuan. Ada angin kencang, bahkan cita dan cinta umat manusia itu harus berakhir terbakar matahari di kiblat sana. Ya, hanya sedikit awan yang berhasil mencapai malam nan tentram,” sambung Dewanti.

Bagas terdiam. Ia tak menyangka kalau Dewanti ternyata memahami ilmu filsafat. Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Dewanti masih khusuk menatap awan berarak. Ada senyum getir ketika ia melihat awan yang hancur tak mampu bertahan diembus angin kencang.

“Seperti cintaku, usahaku yang tak mampu mempertahankan Yudis untuk selalu berada di sampingku. Tapi aku Ikhlas, Tuhan. Berikanlah kebahagiaan untuknya dan wanita yang menjadi istrinya,” lirihnya dalam hati. Air mata mengembun di sudut matanya.

“Malah pada ngelamun. Ngobrol dong! Nih Mama bawain teh manis dan kue keju biar ngobrolnya makin asik.” Tiba-tiba Bu Nining muncul diikuti oleh Mbok Inah sambil membawa dua cangkir teh manis dan satu toples kue keju kesukaan Dewanti.

Bagas langsung menyambut dengan senyum ramah. Beda dengan Dewanti yang masih saja mendongak ke langit menatap awan berarak.

“Duh jadi ngerepotin. O iya, Pak Jovan mana, Bu?” tanya Bagas.

“Nggak repot kok. Bapak sedang di Singapura mengurus bisnisnya,” jawab Bu Nining.

“Memangnya ada apa, Nak Bagas?” tanya Bu Nining kembali.

“Ah, tidak apa-apa kok. Hanya saya ingin minta izin untuk mengajak Dewanti makan malam saja. Itu pun kalau diizinkan.” Bagas bicara dengan nada lembut dan santun. Dewanti meliriknya.

“O kirain ada apa. Silahkan saja kalau Dewanti bersedia dan tidak merepotkan Nak Bagas. Kaki Dewanti kan belum pulih benar,” jawab Bu Nining.

Bagas tersenyum.”Gimana, De?” tanya bagas pada Dewanti.

Yang ditanya tak menjawab. Dewanti malah menatap ibunya. Bu Nining mengerti apa yang dikatakan oleh tatapan mata putrinya itu.

“Nggak apa-apa, De. Kalau kamu mau silahkan saja. Lagian sudah lama juga kamu tidak keluar rumah. Yah, hitung-hitung cari hiburan biar pikiranmu segar kembali,” sahut Bu Nining.

“Apa nggak merepotkan, Kak?” tanya Dewanti.

“Ya nggak lah! Justru Kak Bagas senang bisa jalan sama kamu. Anggap saja ini salah satu terapi. “ Bagas menjawab dan tersenyum. “Gimana?”

Dewanti pun mengangguk tanda mau. Bu Nining tersenyum. Bagas terlihat senang.

“Oke deh. Sekarang Kak Bagas pulang dulu ya. Masih ada sedikit tugas di rumah sakit. Nanti malam sekitar jam delapan Kak Bagas jemput,” kata Bagas.

“Iya Kak. Dewanti tunggu. Terima kasih ya,” jawab Dewanti.

Bagas pun pamit. Dewanti dan Bu Nining mengantarnya sampai halaman. Setelah Bagas keluar dan tak terlihat lagi, Bu Nining dan Dewanti kembali masuk. “Dokter Bagas baik ya, De,” kata Bu Nining.

Dewanti hanya menjawab dengan senyum. Namun, baru saja pintu rumah ditutup, terdengar suara motor di luar pagar. Tak lama terdengar juga pintu pagar dibuka. Suara motor pun terdengar masuk dan berhenti tepat di depan teras rumah.

“Arya,” lirih Dewanti. Ia kembali membuka pintu. Sedang Bu Nining masuk kamar.

Benar saja, ketika Dewanti keluar, di halaman Arya baru saja mematikan motor dan membuka helmnya. Dewanti langsung menyambutnya dengan senyum dan lambaian tangan. Bagaimana tidak, Arya lah yang selama ia sakit dengan tulus membantunya untuk mencari Yudis. Meskipun pada akhirnya ia menemukan Yudis dalam sebuah kolom berita bahagia pada koran.

Arya segera menghampiri Dewanti. Kemudian mengajaknya untuk duduk pada kursi di sudut teras rumah yang lumayan luas itu. Kali pertama yang ditatap Arya adalah kaki Dewanti. Namun tatapannya beda dengan tatapan Dokter Bagas yang disertai birahi. Tatapan Arya lebih pada sebuah perhatian dan sedikit kecemasan karena Dewanti masih harus memakai tongkat untuk berjalan.

“Bagaimana kakimu, De?” tanya Arya.

“Hmm ... pertanyaan yang sama dengan Dokter Bagas tadi. Jadi, kamu bisa tanya ke Dokter Bagas apa jawabannya,” canda Dewanti.

“Idih ... Dokter Bagas mulu. O iya De, jalan-jalan yuk. Cari hiburan!” seru Arya.

“Hmm ... ajakan yang sama dengan Dokter Bagas tadi.” Dewanti tersenyum kembali.

“Yah ...,” sahut Arya memasang wajah kecewa.

“Lagian kamu telat sih!” timpal Dewanti.

“Iya sih. Tapi nggak apa-apa deh. Lagian Dokter Bagas pasti bisa menjaga kamu dengan baik. Dokter gitu loh!” sahut Arya.

Dewanti tersenyum. “Nanti deh, kalau aku udah pulih lagi. Aku sediakan waktu khusus buat kamu, Ar!”

“Jangan bohong ya ....”

“Janji!” sahut Dewanti sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengan bersamaan.

“Okeh aku pegang janjimu. ‘Waktu khusus’.” Arya tersenyum meski hatinya kecewa.

“Haha ... kamu ini. Lagian aku mau jalan sama siapa lagi kalau bukan sama kamu Ar. Aku kan sekarang jomblo,” timpal Dewanti memasang muka memelas.

“Udah jangan didramatisir begitu, kayak pemain opera mati peran aja!” seru Arya, “o iya, aku bawa sesuatu nih buat kamu!” Arya sambil membuka tas gendongnya. Kemudian mengeluarkan sebuah boneka kucing bebulu lebat dan langsung diberikan kepada Dewanti.

“Ih ... lucunya. Dapet darimana, Ar?” Dewanti nampak senang dan langsung memeluk boneka kucing tersebut.

“Dari temen. Bukan cuma lucu loh, dia juga nakal.”

“Hah masa!”

“Ho oh. Coba deh kamu berdiriin di meja. Dan kupingnya kamu tekan.”

Dewanti segera menuruti apa yang dikatakan Arya. Ia segera menekan telinga boneka kucing itu. Maka terdengarlah suara meong kecil. Namun makin lama meongan itu melambat dan lebih kepada suara kucing sedang menangis. Dewanti tertawa hingga bahunya bergerak-gerak.

“Bukan cuma itu!” kata Arya.

“Apa lagi?”

“Coba kamu angkat ekornya hingga terdengar suara klik.”

Dewanti segera melakukannya. Boneka kucing itu tiba-tiba mengangkat sebelah kakinya dan serrr ... keluar air dari selangkangan boneka itu hingga membasahi tangan Dewanti. Namun Dewanti malah tertawa.

“Iiihhh ... dia pipiss ...,” serunya sambil kembali mengangkat ekor boneka itu. Lama-lama boneka itu pun tak mengeluarkan air lagi.

“Kok nggak pipis lagi sih. Ayo dong, Pus! Pipis lagi!” seru Dewanti dan tetap tertawa.

“Airnya udah habis. Kamu harus mengisinya melalui hidungnya.” Arya bahagia sekali melihat Dewanti tertawa.

“Makasih ya, Ar. Kamu memang paling baik sedunia deh.” Dewanti berkata sambil menatap Arya.

“Apa pun yang bisa membuatmu bahagia akan aku lakukan, De.” jawab Arya.

“Idih, gombal ah.” Dewanti memajukan bibirnya.

Mereka kembali tertawa bersamaan dengan azan maghrib berkumandang, Arya pun pulang. Sebenarnya Dewanti mengajaknya untuk pergi nanti malam bersama Dokter Bagas. Tapi Arya menolak. Takut jadi kambing conge, katanya.

“Lain kali aja, nggak apa-apa,” kata Arya sebelum menyalakan motornya dan pulang.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PROMISES [RE-WRITE]
6268      1846     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
Kasih yang Tak Sampai
749      476     0     
Short Story
Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Karena cinta sejati adalah ketika kita melihat orang kita cintai bahagia. Walaupun dia bahagia bukan bersama kita.
SAMIRA
347      224     3     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
509      364     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
LOVE IN COMA
582      423     7     
Short Story
Cerita ini mengisahkan cinta yang tumbuh tanpa mengetahui asal usul siapa pasangannya namun dengan kesungguhan didalam hatinya cinta itu tumbuh begitu indah walaupun banyak liku yang datang pada akhirnya mereka akan bersatu kembali walau waktu belum menentukan takdir pertemuan mereka kembali
Words Unsaid
647      375     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
(Un)perfect Marriage
1140      719     0     
Romance
Karina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan dan mempertahankannya. Semoga semua tak sia-sia, dan semoga waktu bisa membalik perasaannya kepadaku sehingga aku tak merasakan sakitnya berjuang da...
Dont Expect Me
544      412     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
My Noona
6290      1580     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Tumbuh Layu
842      531     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...