Loading...
Logo TinLit
Read Story - Heliofili
MENU
About Us  

Sastra merasakan betapa derasnya hujan menghantam bumi juga wajahnya. Berdiri di bawah wajah langit sambil menengadah. Sementara itu, Wanayasa hanya duduk di motornya sambil merokok. Tanpa memedulikan betapa bodohnya Sastra yang membasahi dirinya dengan berbagai kenangan perihal Jogjakarta.

Wanayasa sudah menghabiskan sebungkus tembakau giling buatannya, tetapi hujan masih tetap turun ke bumi, sudah begitu dengan tanpa sopan santun. Memaki-maki bumi dengan suara kilatnya yang sumbang. Kedua telinga Wanayasa disumpal penyuara musik nirkabel. Ia mendengarkan senandung campur sari yang selalu menemani hari-hari gabutnya. Seperti saat ini.

Sedangkan Sastra, masih asyik dengan dunianya sendiri. Wanayasa mendengkus pelan, laki-laki itu pun melemparkan tembakau di bibirnya ke tanah. “Oi, kamu berniat mati demam, kah? Hujan deras begini nggak bikin kamu sehat, tau!” pekiknya membuat Sastra menoleh.

“Satu sampai tiga menit pertama hujan itu memang bagus, masih jernih, oke-oke aja. Lewat dari itu sumber penyakit!” desis Wanayasa melemparkan payung butut yang menyempil di dalam ransel ke arah Sastra.

“Aku nggak berniat membawa bangkai ke Jogja,” kata Wanayasa membuat Sastra terdiam nyaris mati dicekik dinginnya hujan. “Minggir!” titah laki-laki itu.

Sastra berjalan ke arahnya, berdiri di dekat buntut motor tua Wanayasa yang ditutupi plastik. Sastra memegangi payung butut di tangannya dengan gemetaran. Terdengar giginya silih bertabrakan, selain itu wajahnya memucat, serta buku-buku jarinya yang mengkerut sebab kuyup dan dingin.

Wanayasa melirik ke arah Sastra, laki-laki itu pun berkata, “Apa yang kamu nikmati dari hujan? Kenangan?” Wanayasa berdecak kemudian. “Persetan dengan kenangan. Bukannya menyakitkan!”

Kedua tangan Sastra meremas payung dengan kuat. Kepalanya tertunduk lesu, Sastra tak habis pikir kalau bukan hanya hujan yang dingin dengan suara berisik. Ternyata, Wanayasa juga sama.

“Mas hanya nggak mau kamu terus tenggelam dalam perasaan yang nggak semestinya kamu pertahankan. Hujan nggak selamanya hujan. Kita menantikan matahari, matahari, Sastra, bukan demam atau meriang!” sentak Wanayasa membuat Sastra menoleh.

“Aku menantikan matahari, tapi hujan turun lagi.” Sastra merintih sambil menatap patah hati.

Kedua anak manusia itu saling menatap tanpa sadar hujan berangsur-angsur reda. Meskipun hawa dingin masih mendominasi, tetapi kilat sudah undur diri.

“Aku berdiri di bawah langit bukan karena menggenangi hujan yang aromatik, katanya. Aku hanya sedang mengutuk langit, berharap nggak akan pernah ada hujan yang merenggut semua kebahagiaan!”

Wanayasa tersenyum miris. “Emm, bersiaplah, kita akan melanjutkan perjalanan sekarang!” katanya.

“Aku masih belum mampu melupakan kenangan hari itu, Mas.”

Wanayasa hanya tertawa meremehkan. Pandangan mata laki-laki tiba-tiba sinis. Bibirnya terpilin dengan sempurna untuk beberapa jenak setelah menghina Sastra dengan tingkah polahnya. Wanayasa pun berucap, “Masa lalumu bukan urusanku, tapi masa depanmu jadi tanggung jawabku.”

*****

Pintu dibuka lebar-lebar, setelah melewati serangkaian drama langit dan bumi, Sastra akhirnya merebahkan punggung. Garupha, setelah sekian lama Sastra pulang. Aromatik teh tubruk selalu membuatnya merasa nyaman bahkan nyaris tak mampu keluar dari kenangan tujuh tahun silam.

Segelas teh susu dan tempe mendoan Wanayasa suguhkan. Duduk keduanya sambil memandang keluar jendela. Rinai hujan masih basahi bumi, katanya iklim berserta cuaca dan jajarannya saat ini sudah tidak bisa diprediksi kapan ia hujan ataupun kemarau. Banyak ramalan yang ngalor-ngidul omong kosong, nyatanya hujan datang sesuka hati.

“Bicara soal tadi di perjalanan, siapa temanmu yang anak basket itu?” tanya Wanayasa dengan lembut. Ramah senyumnya buat Sastra merasa sungkan.

“Banyak. Teman yang mana?” jawab Sastra malah balik bertanya.

“Yang katamu teknik dan pola permainan basketnya di luar nalar, yang katamu mainnya kayak orang gila?” Wanayasa menertawakan langit.

“Oh, Maraja.” Sastra menggulirkan matanya jenuh.

“Dia anak orang kaya, maksudnya super kaya di Surabaya itu, bukan?” Wanayasa mendesis.

“Iya. Tapi, dia nggak suka kalau teman-teman di sekolah menyinggung soal ayahnya. Katanya, nggak asyik.”

“Kenapa? Bukannya asyik, ya?”

Sastra tertawa. “Dia nggak dekat sama ayahnya karena beda visi dan misi soal hidup dan uang!” ketus Sastra sambil melengos ke dalam kamar mandi.

Di belahan kota lainnya, Maraja sedang duduk melamun di teras rumah sembari memainkan bola basket di ujung telunjuknya. Sesekali ia menyentuh tubuh bola cokelat itu guna memutarnya lebih kencang lagi.

Dari arah dalam rumah, terlihat seorang wanita berjalan dengan tatapan mata kesal. Langkah kaki itu membuat bola basket di jemari Maraja jatuh seketika. Maraja menoleh dengan tatapan kesal.

“Jangan ganggu!” kata Maraja tanpa kompromi.

“Kamu masih marah sama Tante karena gagal membujuk ayahmu nonton pertandingan kemarin?” Purwanti berjalan dengan perlahan-lahan. Ia pun duduk di sebelah Maraja.

“Aku nggak mau jawab. Tante tau jawabannya!” sahutnya keki.

“Tante udah bilang kalau itu pertandingan pentingmu, tapi ….”

“Urusan bisbis dan politk lebih penting baginya. Sementara aku nggak penting! Aku muak!” kata Maraja dengan tatapan mata marah.

“Raja … ayahmu pemilik perusahaan jasa terbesar di pulau jawa. Ayahmu orang paling sukses di bidang ekpedisi, wajar dia lebih mengutamakan pekerjaannya.”

“Lantas dia bekerja untuk siapa, Tante?” bentak Maraja semakin kesal. “Setelah lupa dengan dunia partai yang dibanggakannya, kini dia malah jadi ayah yang lupa perannya sebagai ayah!”

Maraja menghela napasnya agak panjang. “Oh, Raja salah. Sejak dulu Ayah memang lupa pada aku sebagai anaknya juga bunda istrinya karena mimpi-mimpi gilanya ingin menguasai dunia politik.”

Air mata Maraja jatuh bercucuran, pandangan matanya memudar. Amarah sudah menguasi dirinya, kini hanya kesedihan yang menyelimuti jiwa kecilnya yang gelap. Maraja merintih pilu. “Aku benci hujan seperti ini! Hanya membuatku semakin benci kenyataan kalau Ayah masih hidup dengan sikap dan sifat egoisnya!”

Maraja melemparkan bola basketnya ke arah gerbang, dentumannya membuat Purwanti terkejut setengah mati. Remaja laki-laki itu pun melengos ke dalam rumah sambil menyeka air matanya yang merinai deras. Maraja merasa bodoh, mengapa juga ia menangis sedemikian parahnya?

Maraja mengurung diri di kamar, tidak peduli jikalau Purwanti memintanya untuk bicara dengan pikiran jernih. Sayangnya, Maraja sudah terlalu lelah dengan semua hal yang ada dalam dirinya selama hampir tujuh belas tahun hidupnya.

Kamar dengan berbagai gambar dan pernak-pernik basket memenjarakan Maraja dalam perasaan gundah gulana. Maraja menekuk tubuhnya di lantai. Ia memukuli kepalanya dengan brutal bersahutan dengan suara pintu yang Purwanti ketuk dengan cepat.

“Raja, buka pintunya, Tante bisa jelaskan kenapa ayahmu nggak datang. Maksudt Tante bukan begitu, Raja ….” Purwanti merasa bersalah padanya.

“Nggak perlu dijelaskan, Raja tau semuanya. Raja nggak bisa memaafkan Ayah sampai detik ini!” teriak Maraja sambil melemparkan barang di sekitarnya ke sembarangan arah.

“Raja ….” Purwanti memanggil dengan lirih.

“Raja masih mengingatnya! Raja masih belum bisa melupakan semuanya. Ketidakhadiran Ayah juga bukan karena masalah bisnis aja. Semua karena apa yang ada dan tersisa dari kenangan tujuh tahun silam. Jangan bohongi aku lagi, Tante!”

Purwanti hanya bisa berdiam diri sambil merasakan betapa kacau hatinya saat ini. Hujan deras yang mengguyur seluruh wilayah pulau jawa ikut andil menenggelamkan semua atensinya tentang Praja.

Kembali ke Sastra dan Wanayasa, keduanya masih asyik menikmati kudapan malam mereka. Wanayasa memandang saksama wajah Sastra yang masih sama seperti tujuh tahun silam. Bahkan rasanya hujan hari ini sama seperti hujan di tujuh tahun kemarin.

“Ma1jzs salah menilainya.” Sastra menoleh sendu.

“Apa?” tanya Wanayasa heran dibuatnya.

“Masa depanku bukan tanggung jawabmu. Aku hanya beban untukmu,” kata Sastra dengan minik wajah kecewa dan patah hati.

“Aku pasti telah merapas masa mudamu.”

“Aku masih muda, Sastra. Kamu pikir aku udah bangkotan? Aku masih kepala tiga!” cibir Wanayasa membuat Sastra memasang wajah masygul.

“Aku hanya merasa bersalah karenaku … pascasarjana dirimu … aku merampas banyak hal berharga darimu.”

“Ah, aku berharap hujan yang mengatakan hal demikian padaku. Bukan kamu, Sastra.” Wanayasa tertawa sumbang. Wajah penuh leluconnya membuat Sastra menunduk. “Pada intinya, ada yang merampas dan dirampas dari hidup kita.” Wanayasa mendaratkan tangannya di pusat kepala Sastra.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
EPHEMERAL
148      134     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
Trainmate
2838      1240     2     
Romance
Di dalam sebuah kereta yang sedang melaju kencang, seorang gadis duduk termangu memandangi pemandangan di luar sana. Takut, gelisah, bahagia, bebas, semua perasaan yang membuncah dari dalam dirinya saling bercampur menjadi satu, mendorong seorang Zoella Adisty untuk menemukan tempat hidupnya yang baru, dimana ia tidak akan merasakan lagi apa itu perasaan sedih dan ditinggalkan. Di dalam kereta in...
Jalan Yang Kau Pilih
1631      678     3     
Romance
Berkisah tentang seorang ayah tunggal yang mengurus anaknya seorang diri. Ayah yang sebelumnya seorang militer kini beralih profesi menjadi seorang pemilik kafe. Dia bertemu dengan wanita yang adalah wali kelas anaknya. Terlebih lagi, mereka adalah tetangga dan anaknya menyukai wali kelasnya itu.
Premium
GUGUR
15604      2064     9     
Romance
Ketika harapan, keinginan, dan penantian yang harus terpaksa gugur karena takdir semesta. Dipertemukan oleh Kamal adalah suatu hal yang Eira syukuri, lantaran ia tak pernah mendapat peran ayah di kehidupannya. Eira dan Kamal jatuh dua kali; cinta, dan suatu kebenaran yang menentang takdir mereka untuk bersatu. 2023 © Hawa Eve
Rain
591      428     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.
Alfazair Dan Alkana
286      233     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
183      160     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Crusade
320      194     0     
Fantasy
Bermula ketika Lucas secara tidak sengaja menemukan reaktor nuklir di sebuah gedung yang terbengkalai. Tanpa berpikir panjang, tanpa tahu apa yang diperbuatnya, Lucas mengaktifkan kembali reaktor nuklir itu. Lucas tiba-tiba terbangun di kamarnya dengan pakaian compang-camping. Ingatannya samar-samar. Semuanya tampak buram saat dia mencoba mengingatnya lagi. Di tengah kebingungan tentang apa...
Dearest Friend Nirluka
1706      838     1     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...
Fallin; At The Same Time
3395      1486     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...