Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Berbanding terbalik dengan segala kekayaannya dan kekayaan nenek buyutnya, pakaian yang dikenakan Dirga ketika menjemput Aniara dari kos-kosan sama sekali tidak terlihat seperti pakaian mahal. 

 

"... Apa aku mau tahu dari mana kau dapat kaus partai?" tanya Aniara skeptis setelah masuk ke dalam mobil Dirga. 

 

Dirga tersenyum miring. "Kakekku."

 

"Terus, jaket denim bobrok?"

 

"Yanto, sepupu." 

 

"Sandal jepit?" 

 

"Beli sendiri." 

 

Bahkan pakaian Aniara pun masih lebih enak dipandang daripada Dirga, meskipun sama-sama terlihat seperti orang buangan. Setidaknya Aniara tidak memakai kaus partai berwarna mencolok. 

 

Aula kampus yang digunakan sebagai lokasi pameran masih sepi. Mengingat jamnya, Aniara tidak heran. Ia melirik Dirga, masih kesal dengan desakannya tadi pagi, tapi sahabatnya itu tetap memakai senyum santainya selagi memarkir mobil. 

 

"Masuknya tidak perlu pakai tiket, 'kan?" tanya Aniara. Agak terlambat, karena mereka berdua sudah terlanjur berada di sini. 

 

"Tidak, sih, tapi kita harus memakai gelang supaya tidak dikira masuk tanpa izin," jawab Dirga. "Ayo." 

 

Mereka mendaftarkan nama dan mendapatkan gelang masing-masing tanpa ada hambatan, lalu resepsionis yang sama mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam aula. 

 

Ada lusinan lukisan di dalam aula itu, dipajang menggantung di dinding atau di kuda-kuda berkaki tiga. Aniara memperhatikan beberapa lukisan terdekat, setengah penasaran dan setengah tidak yakin apa yang harus dia lakukan. 

 

"Jadi … apa benar-benar ada lukisan Van Gogh di sini atau…?" tanyanya pada Dirga, yang sedang membaca plakat di bawah sebuah lukisan bertema neraka. 

 

Sahabatnya mendengus sebelum menyahut. "Mana ada. Kau pikir pihak sana mau meminjamkan lukisan seberharga itu ke sini hanya untuk pameran kecil? Pameran ini isinya karya pelukis lokal, juga lukisan kuno yang ditemukan di sekitar kota. Lagipula, pameran lukisan Van Gogh tidak mungkin gratis." 

 

"Huh." Aniara ingin membalas lebih, tetapi sebuah lukisan di dinding menarik perhatiannya dan ia berjalan ke sana. 

 

Lukisan itu berukuran 50,8 × 60,90 sentimeter, dibingkai dengan kayu segelap tanah basah. 

 

Napas Aniara tercekat ketika melihat isi lukisan itu dengan jelas. 

 

Seorang anak kecil berpakaian kuno terlukis dengan cat minyak di sana, sedang duduk di atas pohon dan memegang seutas tali tipis yang terhubung ke sebuah layang-layang berbentuk kupu-kupu. Lukisan itu tidak terlihat halus seperti lukisan lain yang dipajang di sekitarnya. Bahkan mata amatir Aniara yang lebih terbiasa melihat warna-warna digital yang mulus bisa melihat perbedaannya. Cat di lukisan itu kasar dan membentuk gelembung-gelembung udara kecil. Garis-garis warnanya tumpang tindih dengan arah goresan yang berbeda. Sang anak laki-laki, objek utama lukisan itu, bahkan terlihat seperti dua gambar anak kecil yang dijadikan satu karena pewarnaannya yang berantakan. 

 

"Ah, tertarik dengan yang ini?" sebuah suara berkata, mengejutkan Aniara yang tak mendengar kedatangan pemiliknya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita berpakaian rapi dengan pin nama tersemat di dadanya bertuliskan 'manajer'. Di bawahnya, ada tulisan nama 'Rahani'.

 

Aniara menggeleng. "Saya cuma penasaran melihat teknik pewarnaannya," ucapnya. 

 

Rahani tertawa. "Banyak yang bilang begitu. Kalau menurut pendapatmu sendiri, bagaimana?" 

 

"Tidak rapi," jawab Aniara tanpa ragu, "tapi perspektif, komposisi, dan pemilihan warnanya bagus. Toh pada akhirnya lukisannya berakhir dipajang di pameran juga, jadi saya rasa jelek atau tidak bagi saya, tidak berpengaruh." 

 

"Pengamatanmu bagus," sahut Rahani. "Lukisan ini dibuat baru-baru ini." 

 

Aniara mengerutkan kening. Lukisan itu terlihat tua. "Oh, ya?" Tatapannya jatuh ke plakat informasi yang ada di samping lukisan dan memutar matanya begitu membaca bahwa lukisan itu diperkirakan dibuat seratus tahun yang lalu. "Saya tidak sadar satu abad yang lalu bisa disebut 'baru-baru ini'."

 

Rahani tertawa. "Lukisan ini masih terbilang muda. Beberapa lukisan lain yang dipamerkan, umurnya ada yang sampai tiga abad," jelasnya.

 

Aniara mengangguk, kembali membaca plakat. "Windu," gumamnya. Ia menoleh kepada Rahani. "Kenapa namanya Windu? Itu artinya delapan tahun, 'kan? Apa anak yang dilukis umurnya delapan tahun?" 

 

"Oh, tidak ada yang tahu. Pelukisnya saja tak bernama dan kabarnya ia bersama lukisan-lukisannya yang lain lenyap di dalam sebuah kebakaran. Teori yang paling populer adalah lukisan ini dikerjakan selama delapan tahun," jelas Rahani. 

 

"Oh…." Aniara tidak yakin harus merespons bagaimana, sehingga ia hanya memperhatikan lukisan itu lagi, menyapu pandangannya ke titik-titik yang sebelumnya telah ia lihat. 

 

Semakin lama ia mengamati lukisan itu, semakin nyata pemandangan yang ada di dalamnya. Aniara merasa seakan bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan layang-layang itu. Ia seakan bisa merasakan kasarnya dahan pohon yang diduduki si anak kecil. Melihat langit yang cerah dengan tanda-tanda akan hujan di kejauhan. 

 

Tangannya bergerak hendak menyentuh lukisan itu, memicu ledakan-ledakan sekecil atom di sinapsisnya. Saraf di ujung-ujung jarinya terasa seperti sedang terbakar, membuat jari jemarinya berkedut seperti orang kejang. 

 

"Hei!" tangan kasar Dirga menyambar tangannya menjauhi lukisan itu. Aniara refleks menelan teriakan protes yang muncul di tenggorokannya. "Kau mau apa? Jangan pegang-pegang! Kalau rusak, memangnya kau mampu ganti rugi?" 

 

Tangan Aniara melemas, jatuh menggantung di sisi tubuhnya. Setelah yakin ia tidak akan seenaknya mencoba menyentuh lukisan itu lagi, barulah Dirga melepaskan genggaman di sekitar lengannya. 

 

"Apa yang spesial sih, sampai kau melamun seperti tadi?" tanya Dirga. "Kupikir kau tidak tertarik dengan lukisan tua." 

 

Dan … itu pertanyaan yang bagus, bukan? Kenapa ia, yang biasanya hanya akan memperhatikan sekitar tanpa mendekatinya, tiba-tiba hendak– 

 

Hendak apa? Hendak apa ia tadi? Menyentuh lukisannya? Mengambilnya dari dinding? 

 

"Entah," jawabnya singkat, pandangannya kembali tertarik ke pemandangan di dalam lukisan layaknya serbuk besi ke magnet.

 

Satu alis Dirga terangkat. "Oke…," gumamnya, jelas tidak percaya pada penjelasan minimal Aniara. "Jangan diulangi. Aku tidak mau kita kena masalah." 

 

"Mm."

 

Akhirnya, Dirga memutuskan bahwa ia tidak cukup mempercayai Aniara untuk tidak mengganggu lukisan-lukisan lain dan Aniara jadi diseret-seret oleh Dirga sepanjang sisa kunjungan. 

 

Begitu Dirga selesai menariknya ke lukisan terakhir, mereka melangkah melewati pintu keluar, disambut udara dingin pengap yang sudah jadi bagian dari keseharian warga kota. 

 

Ketika Aniara mendongak ke atas sambil menyipitkan mata melawan matahari, langitnya cerah, dengan tanda-tanda akan hujan di kejauhan. 

 

"Ah." Aniara menoleh ke arah Dirga yang sedang memandangi ponselnya. Sahabatnya itu menoleh ke arahnya dengan pandangan meminta maaf. "Sori, Anya, aku harus jemput Mama dari pelabuhan." 

 

Aniara menggeleng. "Santai. Aku bisa pulang naik bus." 

 

"Tidak apa-apa, nih?" 

 

"Umurku dua puluh tiga, sialan, kalau cuma pulang pakai bus ya jelas tidak apa-apa," sahut Aniara sambil memutar mata.  

 

"Tinggimu sekarang masih sama dengan tinggimu waktu SMA. Ya jelas aku khawatir," kata Dirga, pura-pura dipenuhi kebaikan hati. Sambil nyengir, ia menghindari sikutan dari Aniara. "Ih, adek jangan marah, dong." 

 

"Lama-lama kau kujual juga di online shop," gerutu Aniara. "Ya sudah, kalau begitu aku duluan. Bus siang datangnya enam menit lagi." 

 

"Kau hapal jadwal bus?"

 

"Dirga, tidak semua orang bisa masuk ke dalam mobil kapan pun mereka perlu ke mana-mana." 

 

"Kau menyindir?" 

 

Aniara menelengkan kepala dan tersenyum polos. "Kok kau berpikir begitu?"

 

Dirga mendengus. "Terserahmulah."

 

Aniara memberi satu lambaian terakhir pada Dirga sebelum ia berlari-lari kecil keluar dari area kampus. Untungnya, tubuhnya yang atletis hasil bermain voli di SMA membuat larinya kuat dan cepat, sempat mencapai halte bus sebelum busnya sampai. 

 

Bus kota sampai di halte setelah lima menit, yang mana selama lima menit itu ponsel Aniara terus bergetar dengan pesan masuk dari Dirga, menanyakan apakah busnya sudah datang dan apakah Aniara sudah sampai rumah dengan selamat. 

 

"Kau kedengaran seperti ibuku," gumam Aniara sambil mengetik dan berjalan menaiki bus. Seseorang menabrak bahunya, hampir membuatnya menjatuhkan ponsel serta dirinya sendiri. "Ah! Maaf," ia menambahkan, refleks. 

 

"Mm," gumam lelaki yang menabraknya. Wajahnya tertutup lidah topi, tetapi anggukan sopannya terlihat jelas. Dengan sedikit terburu-buru, lelaki itu melanjutkan langkahnya turun dari bus. 

 

Aniara mengambil tempat duduk di barisan tengah, di samping jendela, lalu melepaskan jaketnya yang ia letakkan di tempat duduk di sampingnya agar tidak ada orang yang duduk di sana dan mengganggunya. 

 

Ayunan bus yang melalui jalanan berliku-liku bagai membuai Aniara. Rintik hujan mulai turun, mendarat di kaca jendela dan mengiringi bunyi mesin bus. Ada pesan masuk dari Dirga. Aniara melepas sepatu, menaikkan kedua kakinya ke atas tempat duduk, dan merebahkan pipinya di atas kedua lutut. 

 

Gemuruh guntur terdengar dari kejauhan. Mata Aniara menutup, tenang dengan kenyataan bahwa halte di dekat kos-kosannya adalah perhentian terakhir bus itu, sehingga ia tidak mungkin melewatinya tanpa sengaja. 

*

Home > Kriminalitas > Lukisan Berumur….

LUKISAN BERUMUR SERATUS TAHUN DICURI DARI PAMERAN LOKAL HITUNGAN JAM SETELAH DIBUKA

Kamis, XX Oktober 20XX

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Si Neng: Cahaya Gema
191      161     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
The Arcana : Ace of Wands
176      152     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Rêver
7351      1991     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Violet, Gadis yang Ingin Mati
6655      1918     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
Lebih Dalam
191      166     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
The Secret
421      290     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
GAARA
8879      2636     14     
Romance
"Kalau waktu tidak dapat menyembuhkan luka, maka biarkan aku menjadi mentari yang dapat membuat hidupmu bahagia." Genandra Mahavir Aditama, si kutub Utara yang dipaksa untuk mencintai seorang perempuan bernama Akira Magenta Valencia, dalam kurun waktu lima belas hari saja. Genandra diminta agar bersikap baik dan memperlakukan gadis itu sangat spesial, seolah-olah seperti dia juga mencin...
Premium
MARIA
8439      2409     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Good Art of Playing Feeling
413      306     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Mimpi & Co.
1615      996     3     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?