Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

"... Huh," kata Dirga setelah Aniara menceritakan mimpi-mimpi yang dialaminya selama dua minggu terakhir, dari yang sekadar membingungkan sampai yang membuatnya bangun bersimbah keringat dingin. 

 

Gatal ingin mengisi kesunyian yang digunakan Dirga untuk berpikir, ia menambahkan, "Aku juga kadang merasa aneh setiap ada sesuatu yang terjadi, seakan aku pernah mendengar atau melihat hal itu dulu, meskipun aku sama sekali tidak mengingatnya." 

 

"Jadi, semacam déjà vu?" tanya Dirga. 

 

"Semacam itulah, tapi aku punya perasaan kalau ini bukan déjà vu." 

 

"Oke, jadi sejak kau melihat lukisan itu di pameran dan setelah kau tidur selama tiga hari di mana kau juga bermimpi terus menerus tentang … masa lalu … kau mulai mengalami mimpi dan kilas balik secara rutin dan semuanya ada kaitannya dengan lukisan Windu ini," Dirga menyimpulkan. 

 

"Kalau bagimu saja sudah tidak masuk akal, bayangkan perasaanku," komentar Aniara. "Jadi, apa pendapatmu? Perlukah aku dimasukkan ke RSJ?" 

 

"Maksudku, kau bisa masuk RSJ kapan saja kalau kau mau, tapi jangan bercanda dulu. Aku punya teori," kata Dirga. "Bagaimana jika kau ternyata adalah keturunan jauh dari pelukis Windu dan karena sekarang lukisan itu sudah hilang, arwah nenek moyangmu berusaha berkomunikasi denganmu untuk membuat lukisan yang mirip." 

 

Aniara menatap nanar pada temannya. Pelan-pelan ia merespons, "Sepertinya kita berdua perlu masuk RSJ." 

 

Dirga memutar mata. "Haha, sedikit lagi lucu." 

 

"Dari mana kau dapat ide itu? Lagipula, nenek dan kakek buyutku meninggal waktu jaman penjajahan, dua-duanya petani. Tidak ada pelukis di keluargaku – kau tahu ini," Aniara berseloroh. 

 

Dirga mengangkat bahu. "Yah, mana kutahu. Siapa tahu kakekmu diam-diam hobi melukis, 'kan? Tapi kalau bukan itu, apa ada kemungkinan lain?"

 

"Aku dirasuki setan Da Vinci?" usul Aniara, sepenuhnya serius. 

 

Dirga menepuk kedua bahunya dengan bersahabat, tapi sorot matanya jahil. "Maumu. Lukisanmu tidak sebagus itu. Da Vinci tersinggung, kau tahu," ujarnya kalem. Aniara segera menepis kedua tangannya. Ia menghela napas.

 

"Oke, jadi teori pertama yang kita punya – meskipun salah – adalah arwah dari salah satu buyutku berusaha menghubungiku karena lukisannya dicuri," kata Aniara sambil memijat pelipisnya. "Tapi itu tidak menjelaskan kenapa aku bermimpi tentang perang dan mati berkali-kali." 

 

Ia menyentuh dadanya, hanya untuk memastikan tidak ada serpihan bom atau pedang tertancap di sana. Tatapan Dirga yang biasanya datar bahkan saat ia senang atau marah, segera berubah menjadi lebih lembut. 

 

"Yang itu mungkin cuma mimpi buruk biasa," hiburnya. 

 

"... Mungkin," gumam Aniara, sama sekali tidak percaya dengan tebakan itu. 

 

Dirga berdiri dan menepuk punggung Aniara sembari beranjak keluar dari kamar tidur. "Ya, sudahlah. Nanti kita pikirkan lagi. Sekarang saatnya makan, mumpung terang bulannya belum dingin-dingin amat." 

 

Aniara menghembuskan napas panjang dan ikut berdiri. Suasana hatinya belum membaik, dan kekosongan di dadanya mulai kembali semakin lama ia menghabiskan waktu tanpa melukis, tapi sebuah senyum lemah yang tulus muncul di wajahnya. 

 

Setidaknya, dia tidak benar-benar sendirian lagi dalam masalah ini. 

*

"Dia, lepaskan!"

 

"Anya?" 

 

"Aniara sudah mati, dia! Kau lihat– lihatlah sendiri!"

 

"Aniara?" 

 

"Lihat wajahnya!"

 

"Lukisannya, cari lukisannya dan bakar."

 

Aniara terkesiap bangun, matanya nanar. Yang dilihatnya adalah wajahnya sendiri, dengan kedua mata kosong dan kepala bersimbah darah. Sebelum ia bahkan sadar ia sudah bangun, kakinya sudah lebih dulu bergerak, telinganya tuli terhadap panggilan bernada cemas dari Dirga. 

 

Kuas. Kuas, kuas, kuas, di mana kuasnya? 

 

Ia menggenggam benda itu hingga nyaris patah dan mencelupkannya ke dalam cat dengan kasar. Garis-garis yang ia goreskan juga sama kasarnya, sama putus asanya, sama membingungkannya. Dia bahkan tidak tahu apa yang sedang ia bentuk. 

 

"Anya?" suara Dirga menjernihkan pikirannya meski hanya sedikit, disusul langkah-langkah kaki yang berhenti di belakangnya. Bayangan Dirga jatuh di atas kanvas Aniara, tapi ia tak menemukan dorongan untuk marah. "Oh, wow, itu mengerikan." 

 

Lengan Aniara ditahan dan ditarik menjauhi kanvas, lalu jari jemarinya dipaksa membuka hingga kuasnya jatuh, menodai lantai. 

 

"Hei, napas yang benar, Anya. Kumpulkan dulu nyawamu betul-betul. Lihat, kau merusak lukisanmu," bujuk Dirga. Aniara baru sadar bahwa napasnya tak beraturan. "Tarik napas, tahan empat detik … nah, keluarkan pelan-pelan. Coba ulangi sendiri." 

 

Aniara menjauhkan diri dari sahabatnya dan memungut kuasnya dari lantai sambil diawasi oleh Dirga. Ia meletakkan kuas itu di dalam palet, dorongan gilanya untuk melukis perlahan-lahan menguap. 

 

"Apa yang … apa yang kulukis…?" ia bergumam, menarik kanvas ke arahnya. Napasnya yang tadi stabil, tercekat. Wajahnya sendiri menatapnya dari kanvas itu, bersimbah darah dan bermata kosong, menimpa sketsa padang rumput dari lukisan sebelumnya. 

 

"Yah, tidak terlalu menyenangkan untuk dilihat," komentar Dirga, tapi nadanya masih lembut. "Apa yang kau mimpikan barusan?" 

 

Aniara sebenarnya tak ingin mengingat, tapi bukannya dia punya pilihan. Mau tidak mau, mimpi itu berkelebat di dalam kepalanya seperti lalat di dalam rumah. "Ada yang memanggil namaku … tapi aku sudah mati. Kayaknya. Entahlah. Lalu ada … ada yang mengatakan sesuatu tentang membakar lukisan." 

 

"Membakar lukisan?" ulang Dirga. 

 

Aniara menggenggam lengannya sendiri dengan erat dan menggigit bagian dalam pipinya. "Dirga, aku tahu kau bilang kalau mimpi ini semuanya cuma mimpi," ia memulai, pandangan terpaku pada lukisan di hadapannya. 

 

"Tapi kau pikir ini semua ada hubungannya," Dirga menyambung kalimat Aniara, menerka pikirannya dengan telak. Ia tak terlihat senang, tapi ia juga tidak terlihat mencemooh. "Yah, aku akui ini memang aneh, jadi mungkin saja kau benar." 

 

"Tapi kau tetap tidak percaya, ya?" tanya Aniara, sedikit putus asa. 

 

"Aku tahu orang yang sedang stres bisa mendapatkan mimpi buruk yang aneh berkali-kali dan kau jelas-jelas sedang stres, jadi ya maaf kalau aku tidak percaya," balas Dirga. Melihat ekspresi muram Aniara, ia menghela napas dan menambahkan, "Tapi, kalau kau pikir ini penting, aku akan membantumu mencari hubungannya." 

 

"Ugh, aku tidak perlu dibantu orang yang terpaksa," Aniara menggerutu sambil menyentuh wajahnya sendiri di atas kanvas. 

 

"Heh, siapa yang terpaksa? Aku temanmu, sudah kewajibanku membantu. Lagipula, kalau ternyata kau memang terjebak di sebuah situasi fantasi lalu mati betulan, bagaimana?" 

 

"Kucoret namamu dari wasiatku," kata Aniara, tapi ia mengulum senyum. 

 

Melihat ekspresi Aniara yang tak lagi segelap tadi membuat sebuah senyum miring muncul pula di wajah Dirga. "Anya, wasiatmu tidak seberharga saldo rekeningku." 

 

Aniara ketawa. "Sialan." 

 

"Jadi, apa teorimu?" tanya Dirga setelah menunggu tawa sahabatnya reda. "Kau ternyata abadi dan sudah hidup sejak jaman penjajahan, begitu?"

 

Aniara mengangkat lukisannya, menunjukkan gambaran dirinya di sana yang sudah mati pada Dirga. "Bukan," katanya, kebingungan dan ketakutan hilang dari ekspresinya. "Sebanyak apa pengetahuanmu tentang dunia alternatif?" 

*

Dirga memijat batang hidungnya dengan kening berkerut. "Oke, jadi maksudmu dirimu di dimensi lain ini sudah mati, tapi salah satu lukisannya, entah bagaimana, justru ditemukan di dunia kita dan sekarang salah satu kenalan dirimu yang di sana sedang mencoba mendapatkan kembali lukisan itu agar keseimbangan antar dimensi tidak terganggu," ia menyimpulkan, lalu menjeda sejenak. "Anya, kenapa kau tidak jadi novelis saja?"

 

"Dirga, aku serius. Semua ini dimulai sejak lukisan Windu itu dicuri. Aku terlalu fokus pada lukisannya karena itulah yang pertama kali menarik perhatianku di pameran, sehingga aku lupa pada pencurinya. Dia mencuri satu lukisan yang tidak diketahui pelukisnya, kemungkinan harganya tidak setinggi lukisan lain, lalu sampai sekarang tidak ada kabarnya," ujar Aniara sambil menyapukan kuas ke kanvas, melanjutkan lukisannya. "Dari mimpiku, kelihatannya dia tidak ingin satu pun lukisan buatan 'aku' di dunia itu selamat." 

 

"Hmm, jadi apa solusimu?" tanya Dirga, memperhatikan Aniara melukis dengan saksama. "Meniru lukisan curian itu dan menjualnya untuk menarik perhatian orang ini?" 

 

"Nah, pintar." 

 

"Tunggu, serius?"

 

Aniara mengangguk. Rambutnya yang sudah mulai mencapai bahu ikut tergerai di depan wajah. Sambil menyingkirkan helaian yang menutupi matanya, Aniara berkata, "Tapi kau yang bakal mempromosikan lukisanku di marketplace. Karena kenalanmu di medsos lebih banyak dariku, jadi jangkauanmu pasti lebih luas." 

 

Dirga merebahkan diri di samping kanvas Aniara di lantai, memandang langit-langit dengan tatapan skeptis. Aniara harus menahan diri agar tidak menjentikkan cat ke wajahnya. "Dan … kau yakin pencurinya bakal terpancing?" tanyanya. 

 

"Pencuri itu datang beberapa jam setelah pameran dibuka," jawab Aniara. "Dia pasti mengawasi kabar di area ini." 

 

"Oke … dan selama aku menjual lukisanmu, kau mau ke mana? Menunggu bersamaku?" 

 

Aniara menyipitkan matanya, berusaha meniru warna langit lukisan Windu dari gambar yang didapatnya dari internet. "Tidak," ujarnya sambil menutupi mata kosong wajahnya di kanvas dengan cat hijau-biru. Ia merasa agak bersalah menutupi lukisan yang ia buat dalam keadaan setengah sadar itu, tapi ia tidak punya kanvas lain dan setelah dipikir-pikir lagi … ia tidak mau melihat wajah mayatnya sendiri setiap kali ia menghadap lukisannya. 

 

"Aku akan pergi ke perpustakaan," sambungnya, "siapa tahu ada petunjuk." 

 

Dirga mengerutkan hidung. "Anya, ada yang namanya internet, tahu." 

 

Aniara balik mengerutkan hidung padanya. "Sudahkah kau memeriksa hasil pencarian tentang lukisan itu di internet? Isinya hanya berita pencurian. Tidak ada petunjuk di sana," katanya. 

 

"Yah, terserahmulah." 

*

Hasil pencarian untuk: lukisan Windu

 

Jaket Pencuri Lukisan di Pameran Kota X Ditemukan di….

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Revenge
2377      1079     1     
Inspirational
Di pagi yang indah di Tokyo, Azurinee Forcas dan kakaknya, Kak Aira, mengalami petualangan tak terduga ketika hasrat Rinee untuk menikmati es krim bertabrakan dengan seorang pria misterius. Meskipun pertemuan itu berakhir tanpa tanggung jawab dari pria itu, kekecewaan Rinee membuka pintu bagi peluang baru. Saat melihat brosur pertukaran pelajar gratis di tepi jalan, Rinee merasa tertarik untuk me...
Our Son
555      302     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5975      1958     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
CAMERA : Captured in A Photo
1207      586     1     
Mystery
Aria, anak tak bergender yang berstatus 'wanted' di dalam negara. Dianne, wanita penculik yang dikejar-kejar aparat penegak hukum dari luar negara. Dean, pak tua penjaga toko manisan kuno di desa sebelah. Rei, murid biasa yang bersekolah di sudut Kota Tua. Empat insan yang tidak pernah melihat satu sama lainnya ini mendapati benang takdir mereka dikusutkan sang fotografer misteri. ...
Aku Menunggu Kamu
178      158     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Adiksi
8274      2417     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Romance is the Hook
5165      1696     1     
Romance
Tidak ada hal lain yang ia butuhkan dalam hidupnya selain kebebasan dan balas dendam. Almira Garcia Pradnyani memulai pekerjaannya sebagai editor di Gautama Books dengan satu tujuan besar untuk membuktikan kemampuannya sendiri pada keluarga ibunya. Namun jalan menuju keberhasilan tidaklah mudah. Berawal dari satu kotak cinnamon rolls dan keisengan Reynaldo Pramana membuat Almira menambah satu ...
Cerita Cinta anak magang
630      378     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
IMPIANKU
28110      4232     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
RISA (Adik Abang Tersayang)
974      561     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.