Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Rumah itu terlihat seperti rumah biasa, bertingkat dua dengan dinding bercat putih yang kusam terkena cuaca, pintu depan yang dicat cokelat dengan pegangan kuningan, keset basah, dan atap segitiga berwarna merah tua. Di halaman depannya ada beberapa petak tanah yang ditumbuhi bebungaan – asoka, melati, dan kembang sepatu terutama sangat menarik perhatian di antara tanaman-tanaman lain. 

 

Rumah yang sangat biasa. Tidak akan ada yang bisa menerka bahwa pemiliknya adalah pengunjung dari dimensi lain. 

 

Tidak ada, kecuali Aniara dan Dirga. 

 

Pintu depan setinggi dua meter yang dicat cokelat itu terasa setinggi tiga kali lipat ketika Aniara sampai di depannya. Ia memindahkan sweter ke tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan dan mengetuk pintu tiga kali. Pada saat yang bersamaan, petir menyambar, menyalakan sekitar selama sedetik dan menelan bunyi ketukan Aniara dengan gelegar guntur. 

 

"Kau tahu, itu tadi bisa jadi pertanda–" 

 

"Oh, diamlah," potong Aniara. Ia mengetuk lagi. Kali ini, tidak ada petir yang menyambar. Bunyi ketukannya terdengar sampai ke dalam. 

 

"Sebentar!" sahut sebuah suara dari dalam rumah, diiringi langkah kaki terburu-buru menuruni tangga. 

 

Aniara membeku. Ia sudah menduga suara Diya akan mirip dengan suaranya karena secara teknis mereka adalah orang yang sama, tetapi dugaan dan mendengar kenyataannya secara langsung adalah dua hal yang jauh berbeda. Rasanya janggal dan salah tempat. 

 

Selot pintu dibuka dari dalam. Lalu, daun pintu mengayun terbuka ke dalam. 

 

"Paket–?" kata-kata Diya terpotong seperti pohon yang tersambar petir. 

 

Hanya sedetik ia sempat menatap langsung mata Diya yang serupa dengan matanya. Sebuah hantaman keras mengenai kepala belakangnya. Ia terkesiap. Dengan pandangan yang mengabur, ia merasakan tubuhnya jatuh ke lantai. Keramik sedingin es tak sempat ia rasakan sebelum alam bawah sadarnya menariknya masuk ke air gelap. 

*

Ia melirik ke arah pintu depan, memperhatikan punggung Diya yang sedang berbicara pada seseorang di luar. 

 

Rasa perih yang panas dan gatal menjalarinya dari bagian perutnya yang ia tekan. Bajunya basah kena keringat lama. Keringat dingin, semestinya, tapi ia sudah tak mampu lagi membedakan panas dan dingin. Jadi, yang dirasakannya hanya basah. Bau darah menggantung pekat dan menyesakkan di udara layaknya asap. (Darahnya?)

 

Diya menutup pintu dan berjalan ke samping dipan reyot tempatnya dibaringkan. Diya menyingkirkan tangannya dari perutnya agar tidak menyinggung luka yang ada di sana dan menyapu rambutnya yang juga basah menutupi muka. 

 

"Dirga?" gumamnya. 

 

Diya menggeleng. "Pengantar pesan. Katanya pembacaan proklamasi kemerdekaan sudah dilakukan di Jacatra."

 

"Jakarta," ia mengoreksi dengan mata terpejam, membiarkan rambutnya disisir oleh Diya dengan jari. 

 

"Mm." 

 

"Aku akan mati, ya?" 

 

"Meninggal," Diya segera mengoreksi.

 

Seandainya saja matanya tidak sedang tertutup, ia sudah akan memutar mata dengan kesal. "Mati, meninggal, apalah. Dirga takkan berhasil membawa dokter untukku tepat waktu, 'kan?" 

 

"... Sepertinya begitu." 

 

"Hmm." Ia merengut, tidak kepada siapa-siapa. "Tentara asing sialan. Sudah tahu kita sedang ada gencatan senjata, malah membawa-bawa senapan." 

 

"Setidaknya kau tidak meninggal gara-gara tercebur ke laut lagi, atau karena tertabrak kereta kuda."

 

"Haha, lucu. Kau diam sajalah." Ia terdiam sejenak. "Lukisan-lukisanku?" 

 

"Akan kujaga, tenang saja."

*

Sebuah tangan menangkap lengannya ketika ia hendak melangkah keluar dari penginapan. 

 

"Hati-hati di luar sana," kata Diya. Wajahnya tak berubah sedikit pun. "Pers masih diawasi. Rumornya juga ada penembak jitu yang berkeliaran." 

 

Ia menepuk tangan Diya untuk menenangkan laki-laki itu. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa membiarkan Dirga berburu berita sendirian di luar sana. Itu malah lebih berbahaya." 

 

"Pokoknya hati-hati saja." 

 

"Mhm." Matanya melirik jam dinding untuk mengecek waktu. "Hei … jam dinding kita masih rusak?" 

 

Diya mengerjap lambat dan ikut menoleh. "Oh. Kayaknya aku lupa memperbaikinya," gumamnya. "Lagipula aku tidak pernah melihat jam." 

 

Ia mendengus. "Mungkin bagimu waktu tidak eksis, Diya, tapi aku perlu jam," oloknya. "Tolong perbaiki jamnya." 

 

"Ya, ya, secepatnya." 

*

Tangannya belepotan cat merah. 

 

"Diya," gumamnya, dan sebuah tangan menggenggam bahunya dengan lembut. "Diya, kuasku?" 

 

"Ini." Diya menyerahkan kuas padanya. "Bersihkan dulu tanganmu, astaga, kupikir kau terluka tadi." 

 

"..." 

 

"Aniara?" tanya Diya. 

*

Bunyi deru angin, hujan, dan petir memenuhi kepala Aniara begitu ia membuka mata. Cahaya kilat menyambar di luar jendela seperti flash kamera dan ia menutup matanya lagi dengan kening berkerut, silau. 

 

"Ah, akhirnya kau bangun," sapa seseorang dengan suaranya

 

"Ngh," ia mengerang, menolak membuka mata lagi. "Ini semua cuma mimpi buruk." 

 

"Kau tahu, seharusnya aku yang bilang begitu," sahut suara itu. "Buka matamu, aku mau memeriksa kepalamu." 

 

"Kalau aku membuka mata, apa yang akan kulihat?" 

 

Suara itu mendengus. "Jangan banyak drama, lakukan saja." Kemudian, dengan sedikit menggumam, "Kau tidak pernah berubah." 

 

Aniara membuka mata dengan kesal. "Hei! Apa maksudmu?!" tuntutnya, lalu terpekur melihat Diya berdiri di sana, satu tangan memegang senter kecil. 

 

"Maksudku ya begitu," kata Diya sambil melangkah mendekat. Ia membuka mata Aniara lebar-lebar dan menyorotkan cahaya senter ke sana. "Coba ikuti arah senterku supaya– nah, benar begitu. Oke, mata yang satu lagi…." 

 

Aniar mengerjapkan mata beberapa kali untuk menghilangkan kunang-kunang yang muncul setelah Diya mematikan senter. 

 

"Kau ini…." Diya menyilangkan kedua lengan di depan dada, kedua matanya terpejam dengan kening berkerut. "Bodoh. Kenapa kau mencariku? Aku tahu kau jadi ingat beberapa hal karena aku terlambat menjauhkan lukisan sialan itu darimu, tapi kenapa kau malah mengejarku? Kenapa kau tidak … entahlah, anggap semuanya sebagai mimpi dan hidup dengan tenang?" 

 

"Bagaimana bisa, kalau aku diteror dengan kematianku sendiri berkali-kali dalam satu minggu?" balas Aniara. "Harusnya aku yang bertanya; kenapa kau ada di sini? Kau ini aku, 'kan?"

 

Diya mengerjap, kerutan di keningnya hilang sejenak. Ia kelihatan bimbang antara tertawa atau berekspresi bingung. "Eh … aku tidak bakal menyebutnya seperti itu. Sudah pasti aku bukan dikau. Kita orang yang berbeda."

 

"Kita memang berbeda. Kau tidak berasal dari dunia yang ini, aku tahu," balas Aniara sambil memutar mata. "Yang aku tanya, kenapa kau bisa sampai nyasar ke sini?" 

 

Sepertinya ia mengatakan sesuatu yang salah, karena Diya tidak merespons sama sekali selama beberapa saat yang panjang, cukup untuk menumbuhkan hawa canggung di dalam ruangan. 

 

"... Kau ini ngomong apa, sih?" Pada akhirnya, Diya angkat suara dengan tatapan aneh. "'Tidak berasal dari dunia yang ini'? Dikau pikir aku datang dari mana?" 

 

"Dimensi lain?" sergah Aniara. "Jangan bicara dengan nada seperti itu padaku – aku tidak bodoh." 

 

"... Wow," kata Diya, ekspresinya mengasihani. "Versi dirimu yang ini terlalu banyak nonton film fantasi."

 

Aniara melemparkan bantal terdekat ke arah Diya, yang menghindar seakan sudah mengira ia akan melakukan itu. 

 

"Aku tidak datang dari dimensi lain. Aku lahir di Bumi, seperti orang biasa," kata Diya. Ia duduk di sebuah kursi di sebelah tempat tidur Aniara dan menautkan jari jemarinya. 

 

"Tapi kau bukan orang biasa," Aniara menyambung, ketika Diya tak melanjutkan. "Kau … kalau kau bukan diriku dari dimensi lain, jadi…." 

 

Diya meringis. "Ah, jadi itu tebakanmu. Bukan, aku bukan dirimu dari dimensi lain," sahutnya. "Aku saudaramu. Kembar, malahan." 

 

Jantung Aniara mencelos, jatuh ke lambung dan dimakan asam. "Hah? Tapi– Aku anak tunggal, aku sudah tanya–" 

 

"Bukan sekarang." Diya merapatkan bibir. Wajahnya tak bisa terlihat lebih tak bahagia lagi. Jika Aniara tidak sedang mendengar perkataannya secara langsung, ia akan mengira Diya sedang mengumumkan kematiannya. "Kita saudara kembar ketika pertama kali dilahirkan, lima ratus tahun yang lalu."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
One hour with Nana
421      295     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?
My World
798      535     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Deandra
3210      1416     3     
Romance
Deandra Wibisono Adalah seorang gadis SMP yang cantik, cerdas, supel namun secara misterius menyimpan banyak masalah di balik kesempurnaannya. Hingga satu hari semua misteri tersibak. Kisah hidupnya terkuak dari empat sudut pandang yang berbeda dan dikemas dalam sebuah kronik yang intens.
Koi Hitam
1148      704     5     
Horror
Sejak 2 tahun lalu, gerakannya tidal seperti biasanya, yang setiap sore selalu mulutnya terbuka ke atas, seperti mengharapkan makanan. Sore ini, dia disudut diam, namun sorot matanya tegak memandang lurus, penuh dendam. Koi ini saya dapatkan dari rumah tua yang telah ditinggalkan dan terabaikan entah karena apa.
A Perfect Clues
6415      1744     6     
Mystery
Dalam petualangan mencari ibu kandung mereka, si kembar Chester-Cheryl menemukan sebuah rumah tua beserta sosok unik penghuninya. Dialah Christevan, yang menceritakan utuh kisah ini dari sudut pandangnya sendiri, kecuali part Prelude. Siapa sangka, berbagai kejutan tak terduga menyambut si kembar Cherlone, dan menunggu untuk diungkap Christevan. Termasuk keberadaan dan aksi pasangan kembar yang ...
Mapel di Musim Gugur
469      334     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Mawar Milik Siska
550      303     2     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
Violet, Gadis yang Ingin Mati
6655      1918     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
13 AGUSTUS
611      413     0     
Short Story
Premium
Claudia
7366      1842     1     
Fan Fiction
Ternyata kebahagiaan yang fana itu benar adanya. Sialnya, Claudia benar-benar merasakannya!!! Claudia Renase Arditalko tumbuh di keluarga kaya raya yang amat menyayanginya. Tentu saja, ia sangat bahagia. Kedua orang tua dan kakak lelaki Claudia sangat mengayanginya. Hidup yang nyaris sempurna Claudia nikmati dengan senang hati. Tetapi, takdir Tuhan tak ada yang mampu menerka. Kebahagiaan C...