Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

Tisha menghela napas saat melihat motor siswa terakhir yang bergerak menjauhi sekolah. Sudah satu jam lebih berlalu dari bel pulang, tetapi Tisha masih tertahan di dekat gerbang karena menunggu sang kakak, salah satu guru di sekolahnya, yang entah sedang mengurus apa sampai suasana sudah sepi pun masih belum juga menunjukkan diri.

Tak tahan, Tisha pun memilih beranjak untuk mencari Riana–sang kakak. Namun, gerakannya terhenti saat mendengar suatu jeritan.

“Aaa!”

Bola mata Tisha melebar menyaksikan sesosok anak terlempar dari sepedanya. Namun, gadis berseragam putih abu-abu itu hanya bisa mematung, tak sanggup melakukan apa-apa untuk membantu anak itu,

“Sha, ayo!”

Tisha mendengar suara kakaknya. Namun, dia bergeming, kepalanya terlalu kaku untuk sekadar menoleh.

Riana yang bingung dengan tingkah sang adik, segera memangkas jarak. “Ada ap–”  Ucapannya terhenti karena terkejut melihat pemandangan tragis di sana.

Seorang anak perempuan terbaring di tengah jalan dengan posisi miring. Dia meringis sambil berurai air mata. Tak jauh darinya, sebuah sepeda tergeletak tak beraturan.

Riana buru-buru berlari, menghampiri anak itu kemudian membantunya bangun dan bergeser ke pinggir jalan yang lebih aman. “Mana yang sakit, Dek?” tanyanya khawatir.

Bukannya menjawab, anak berkuncir dua itu malah makin terisak. Tangan kanannya yang semula memegangi sikut kiri dijauhkan, lalu terlihatlah darah segar membasahi kulitnya.

Riana refleks memelototi sang adik yang hanya diam menonton dari kejauhan. “Tisha ambil motor! Kita bawa anak ini ke klinik!” serunya sambil melempar kunci motor.

Tisha gelagapan berlari ke parkiran.

***

Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya urusan dengan anak kuncir dua itu selesai. Beruntung lukanya tidak terlalu parah, sehingga pengobatan berlangsung cukup singkat, dan kini dia telah diantar pulang oleh Riana dan Tisha.

Tepat pukul lima sore dua saudari itu tiba di rumah. Keduanya menuju ruang keluarga, kemudian berbaring di sofa yang posisinya berseberangan terhalang sebuah meja. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti, keduanya asik memandang langit-langit rumah. Sampai akhirnya Riana bangkit, bersila memandang Tisha.

“Sha!” Riana memanggil pelan sambil membuka kerudung dan menyimpannya di lengan sofa.

“Hem?” Tisha menyahut lemah, tanpa menoleh, masih nyaman dengan posisi rebahan. Dia sedang berusaha memulihkan energi yang sudah terkuras banyak akibat mengendarai motor dengan kecepatan tinggi diiringi teriakan Riana yang duduk di belakangnya sambil memeluk si anak berkuncir.

“Sha, Teteh mau bicara!” Ada sedikit penekanan pada suara Riana. Dia makin menegakkan punggung dan mendatarkan ekspresi.

Namun, Tisha tak acuh saja. Dengan santai dia membalas, “Iya, silakan. Teteh bicara, aku dengarkan.”

“Tisha Andira!” Nada Riana meninggi. Wajahnya memerah. Kini dia sedang ingin berbicara serius, dan tanggapan Tisha yang ogah-ogahan agak menyulut emosinya, membuatnya merasa tidak dihargai.

Tisha mendesah tertahan. Sadar akan kekesalan sang kakak, dia pun segera mengubah posisi menjadi duduk dengan kaki terurai lemah ke lantai dan punggung yang tetap bersandar. “Apa?”

Riana berdeham, berusaha menetralkan ekspresi. “Kamu tahu gimana anak tadi bisa terbaring di jalan?”

Tisha mengangguk sekenanya. “Tadi dia naik sepedanya ngebut, enggak merhatiin lubang di jalan, terus sepedanya oleng dan dia kelempar, jatuhlah.”

“Terus kenapa kamu cuma memandang dia dari kejauhan?”

Tisha diam.

“Kenapa enggak menghampiri? Kenapa hanya jadi penonton? Kenapa kamu enggak menolong?!” Beruntun, dengan intonasi menggebu Riana menyerbu sang adik penuh tanya bercampur kesal.

Bibir Tisha setia tertutup rapat. Pandangannya begitu nyalang. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. Yang jelas hal itu membuat Riana geram.

“Kenapa diam aja, Tisha? Jawab Teteh!” Riana bertitah lantang, menggebrak meja pelan.

Akan tetapi, Tisha tetap bungkam.

“Kenapa kamu tega membiarkan orang yang sedang kesakitan dengan jelas di depan mata kamu? Di mana kepedulian kamu? Apa kamu enggak terenyuh sedikit pun menyaksikan keadaan dia yang mengenaskan?”

“Aku kasihan kok lihat dia!” bantah Tisha dengan tatapan menajam. Sedikit tidak terima dengan ucapan-ucapan Riana yang seolah melabelinya bagai mahkluk tak berperasaan, tak punya hati. Padahal tidak begitu. Meski seringkali terlihat seperti tak acuh, tetapi sebenarnya Tisha tetap punya sedikit simpati. Sayangnya dia tidak pernah lagi sampai ke tahap melakukan aksi sebagai bukti peduli.

“Terus kenapa tadi hanya diam? Harusnya tadi itu kamu bantu dia. Kalau enggak sanggup langsung sendiri, minimal kamu bantu teriak, biar orang lain tahu ada yang sedang butuh bantuan.”

Lagi-lagi Tisha hanya membisu. Tangannya bertautan di pangkuan. Keresahan mulai dia rasakan. Dia selalu tidak nyaman membahas topik ini. Baginya perkara berhubungan dengan orang lain adalah hal yang memberatkan.

“Hubungan dengan sesama manusia itu harus dijalin dengan baik, Tisha. Kita ini mahkluk sosial, dan tolong menolong merupakan sebuah kewajaran bahkan menjadi keharusan kalau situasinya genting kayak tadi.” Riana mengurut pelipis. Sikap Tisha yang begitu apatis senantiasa menjadi beban pikirannya. Dia merasa gagal mendidik sang adik jika terus begini keadaannya.

Ini bukan pertama kalinya Tisha mengabaikan orang yang membutuhkan bantuan. Sejak satu windu lalu, lebih tepatnya setelah kedua orang tua mereka meninggal, Tisha menjadi sosok yang terlalu menutup diri dari lingkungan. Fokus gadis itu hanya pada diri sendiri. Dia lebih suka berteman sepi daripada harus membaur dan melakukan kegiatan sosial yang lebih manusiawi.

“Bunda dan Ayah enggak akan suka ini, Sha.” Riana menghela napas, menjatuhkan punggung ke sandaran dengan mata terpejam.

“Aku memang enggak pantas mereka suka.” Wajah Tisha berubah sendu. “Mereka bahkan harus pergi karena tingkah sok peduli aku.”

“Astaghfirullah, Tisha!” Riana memelotot. Dia menurunkan kaki, lalu mengusap muka, frustrasi. “Jangan bicara gitu!”

“Tapi memang begitu kenyataannya, kan? Dulu aku terlalu sok. Keinginan peduliku berlebihan, tapi kemampuan dan kemandirianku nol besar. Sampai akhirnya salah satu keinginanku malah membuat Bunda dan Ayah pergi selamanya.”

Suara Tisha parau. Wajahnya mendongak untuk menahan air mata agar tak jatuh. Dia menyesali kejadian nahas satu windu lalu yang menurutnya adalah salahnya. Jika saja dari dulu Tisha bisa menjadi pemberani yang mandiri dan tidak terlalu sok peduli, mungkin semua kemalangan itu tidak akan terjadi.

Sejak saat itu Tisha tidak mau terlibat kehidupan orang lain lagi karena takut nantinya apa pun kepeduliannya malah hanya akan menimbulkan hal yang tak diharapkan. Tisha takut kembali kehilangan, terlebih satu-satunya sosok berharga yang dimiliki hanyalah Riana. Tisha tak mau Riana pergi jika dia kembali sok peduli.

Sekarang, di usianya yang 16 tahun, pegangan hidup Tisha hanya satu, dia ingin menjadi pemberani. Dia bertekad untuk mandiri, dalam teritori yang dibuat sendiri. Tak peduli bagaimana pandangan orang lain terhadapnya. Yang penting dia dapat hidup tenang bersama Riana.

Riana menggeleng lemah. Ternyata ... sang adik masih berkutat dengan luka lama. Berarti benar, dia harus menjalankan rencananya untuk menyembuhkan Tisha.

***

Catatan:

Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Freedom
161      141     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Edelweiss: The One That Stays
2422      966     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Premium
Dunia Tanpa Gadget
12359      3099     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
1'
4719      1559     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Teman Hidup
7000      2515     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
Daybreak
4408      1837     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Tulus Paling Serius
9980      1115     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Under The Moonlight
2340      1133     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Miracle of Marble Box
3384      1432     2     
Fantasy
Sebuah kotak ajaib yang berkilau ditemukan di antara rerumputan dan semak-semak. Alsa, Indira dan Ovi harus menyelesaikan misi yang muncul dari kotak tersebut jika mereka ingin salah satu temannya kembali. Mereka harus mengalahkan ego masing-masing dan menggunakan keahlian yang dimiliki untuk mencari jawaban dari petunjuk yang diberikan oleh kotak ajaib. Setiap tantangan membawa mereka ke nega...
Fallin; At The Same Time
3402      1488     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...