Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

“Habis olahraga, kan? Pasti capai banget. Yuk, istirahat di sana!” Si kakak kelas menujuk deretan bangku yang tak jauh dari posisi mereka berdiri.

Tanpa kata, Tisha mengangguk saja. Dia memang perlu mengistirahatkan tubuh dan hati yang terlalu syok dengan kenyataan yang ada.

“Kamu adik Ibu Riana, kan?” tanya gadis itu begitu mereka duduk bersisian.

Tisha mengangguk. Masih belum siap bersuara. Benaknya terlalu sibuk menenangkan diri yang sangat tak menyangka akan berurusan dengan sosok yang dianggapnya terlalu baik.

“Aku Sawala.” Gadis berkerudung panjang itu menyodorkan tangan kanan. Ekspresinya begitu ceria, suaranya nyaring penuh semangat. “Kamu Tisha, kan?”

Dahi Tisha mengernyit. Heran saat Sawala sudah mengetahui namanya padahal dia belum memperkenalkan diri. Namun, dia tetap membalas ulurannya.

“Ibu Riana pernah bercerita tentang kamu,” kata Sawala buru-buru, seolah dapat memahami ekspresi penuh tanya di wajah Tisha.

Hah? Mulut Tisha terbuka sedikit. Gadis itu tak habis pikir. Mengapa Riana membicarakan Tisha dengan Sawala? Apa saja yang sudah Riana beritahukan tentangnya?

Arrgh! Tisha menggeram dalam hati. Begitu tautan tangan mereka terlepas, Tisha mengepalkan kedua tangannya erat, berusaha meredam gejolak kekesalan karena Riana telah seenaknya membahas tentang dirinya pada sembarang orang.

Untuk mengalihkan pikiran, Tisha mengedarkan pandangan. Rasanya sudah sangat lama dia tidak datang ke tempat ini. Terakhir kali sepertinya saat mendapat tugas tentang resensi buku di pertengahan semester ganjil lalu.

Ruangan itu cukup penuh. Selain diisi deretan rak buku yang tinggi-tinggi, di berbagai sudutnya terdapat bangku-bangku kecil untuk membaca mandiri, dan sebuah meja besar di tengah-tengah untuk membaca bersama.

“Permen, Dek.” Sawala kembali memecah keheningan.

Tisha memutar kepala ke kiri, mendapati Sawala tengah memandangnya dengan tangan kanan menyodorkan sebungkus permen karet.

“Eh, atau kamu enggak suka yang manis?” tanya Sawala karena sudah beberapa detik berlalu, tetapi Tisha hanya diam.

Tisha menggeleng. Tidak. Dia malah sangat menyukai makanan yang mengandung gula. Namun, dia ragu. Haruskah menerima pemberian itu? Mengingat dalam pandangannya, mereka bukanlah dua orang yang cukup dekat hingga bisa saling berbagi sesuatu. Tentang minuman tadi saja dia agak menyesal karena tak sempat menolak saking hausnya.

Tiba-tiba, tanpa ba-bi-bu, Sawala sudah meraih telapak tangan Tisha dan meletakkan bungkusan persegi itu di atasnya. “Buat naikin mood habis kecapaian,” ucap Sawala lembut. “Di perpus boleh kok makan permen, asal enggak nyampah. Yang enggak boleh tuh makanan besar, terutama yang meninggalkan remah-remah.”

Tisha hanya bisa tertegun. Tangannya yang baru dilepaskan Sawala mendingin. “Te-terima kasih,” balasnya kaku.

“Kembali kasih.” Senyum Sawala makin lebar. “Uhm ... sepi, ya?”

“Ya,” sahut Tisha teramat singkat, cenderung dengan nada tanpa minat. Terlalu basa-basi, cibirnya dalam hati. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain di sekitar mereka, maka jelas akan terasa sepi. Lagipula menurutnya akan aneh jika tempat untuk menekuni bacaan itu bising.

Sawala mengetuk-ngetukkan jemari ke meja dengan sebuah buku tebal yang terbuka. “Yang ada keperluan ke sini biasa datang dari tepat bel istirahat sampai beberapa menit setelahnya aja, sih.”

Tisha yang sempat mengalihkan pandangan pada sela-sela rak, kembali memperhatikan Sawala sebagai formalitas dalam mendengarkan. Sedangkan hatinya agak menggerutu, merasa tak peduli. Dia tak memerlukan informasi tentang pengunjung perpustakaan selain Sawala.

“Jadi, sekarang kamu boleh bersantai saja. Soalnya setelah itu, ya ... sunyi. Hanya aku dan para guru penjaga yang mengisi.”

Seketika tubuh Tisha kembali berkeringat. Membayangkan bermenit-menit ke depan hanya akan berduaan dengan Sawala membuatnya sungguh tidak nyaman. Ternyata dia belum cukup siap untuk mulai kembali berinteraksi.

Di tengah kegalauan Tisha, suara lirih Sawala kembali memecah keheningan. “Makasih, ya.”

Lha, kok? Dengan alis yang terangkat sebelah, Tisha terpaksa menoleh. “Kenapa?” Lagi-lagi hanya kata singkat yang bisa dia keluarkan, entahlah, bibirnya terlalu kelu untuk memperpanjang kalimat.

“Terima kasih sudah merelakan waktu istirahat kamu untuk mendatangi ruang antik ini, padahal kamu biasanya akan duduk di bawah pohon yang rindang.” Sorot mata Sawala kentara menunjukkan rasa syukur. Seolah sangat bahagia karena kehadiran Tisha.

Netra Tisha menyipit. Bagaimana bisa Sawala mengetahui kebiasaannya? Apa jangan-jangan Riana terlampau banyak menceritakan tentangnya? Duh! Tisha sungguh-sungguh tidak terima!

“Aku anak IPA juga, tepatnya sebelas IPA satu. Ruang kelasku di atas kelasmu, dan setiap jam istirahat aku selalu lihat kamu jalan sendirian ke belakang kelas.” Lagi-lagi, tanpa menunggu tanggapan, Sawala menjelaskan. Menepis segala asumsi yang menggentayangi kepala sang adik kelas.

Tisha tertegun, meringis dalam hati karena mendengar Sawala seperti cukup mengenalnya. Selama ini dia pikir aktivitas rutinnya di tempat yang sepi itu luput dari pengetahuan orang-orang karena dia sudah melakukannya dengan sangat diam-diam dan penuh kehati-hatian. Lagipula ada rumor tentang belakang sekolah yang angker. Tisha pikir itu menjadikan tidak akan ada yang mau mencari tahu ke sana selain dia. Namun, ternyata ada Sawala si tak biasa yang menjadi pemerhatinya.

“Enggak apa-apa.” Buru-buru Tisha menyahut. Tidak tahan dengan mimik Sawala yang meresahkan untuknya, lalu masih dengan pikiran yang bercabang, Tisha berinisiatif berkata, “Aku ... cukup senang, kok, di sini.”

Meski sedikit bertentangan dengan suasana kalbu sebenarnya, tetapi Tisha tak sepenuhnya berbohong untuk kalimat tambahan itu. Dia memang cukup–ah bukan–sekarang dia malah sangat senang mendatangi perpustakaan, karena ada iming-iming hadiah yang sangat diharapkannya dari Riana.

“Alhamdulillah.” Suara Sawala semakin terdengar lepas. Tubuhnya yang semula berposisi tegak pun kini dilemaskan, menyandarkan punggung dengan kepala dimiringkan ke arah Tisha.

Melihat pose Sawala yang teramat santai, Tisha malah menelan ludah susah. Dadanya terasa sedikit sesak. Ternyata meskipun ruangan itu cukup dingin karena AC, tetapi kenyamananya tidak bisa menandingi kesejukan saat dia berada di bawah pohon yang penuh udara segar.

Tisha ingin cepat-cepat keluar. Namun, dia segan berpamitan. Tidak enak juga karena datang terlambat, lalu pergi terburu-buru. Sembari meremas jemari, Tisha menyuruh otaknya bekerja keras, memikirkan alasan untuk tidak berdekatan dengan Sawala, tanpa perlu keluar ruangan.

“Kamu suka baca?”

“Eng—” Tisha menghentikan ucapannya, tadinya dia spontan akan menjawab 'enggak'. Namun, sebuah ide–yang dirasa akan menyelamatkannya dari situasi tidak enak ini–melintas di pikirannya. “Suka, Kak! Aku izin keliling, ya. Mau nyari buku,” lanjutnya sembari bangkit.

Belum sempat mengambil langkah, tangan kiri Tisha dicekal Sawala. Kakak kelas itu ikut berdiri sejajar dengan Tisha. “Mari aku temani,” kata Sawala teramat ringan. Setelahnya dia menggandeng lengan Tisha untuk bergerak bersama menyusuri rak demi rak.

“Penggemar fiksi atau non-fiksi?”

“Ah?” Tisha menelan ludah. Konyol. Sudah berkali-kali dia tidak bisa mengontrol diri untuk tak melamun.

Kembali terdengar renyahnya tawa pelan Sawala. “Itu, suka buku berdasarkan kenyataan atau karangan?”

“Uhm ....” Tisha meremas rok. Entahlah, tidak ada jenis buku yang dia sukai dengan sangat. Selama ini dia hanya membaca saat ada keperluan sekolah atau ketika iseng melihat buku Riana yang sembarang terbuka di ruang keluarga.

“Pasti kayak Bu Riana, ya? Kamu pencinta fiksi, kan?” Sawala mengeluarkan tebakan. Entah karena dia memang orang yang hobi menerka, atau karena sudah terlalu bosan dengan kelambatan Tisha dalam menanggapi segala pembicaraannya.

Yang jelas, Tisha merasa cukup terbantu karena itu. Dia jadi lebih mudah meraba-raba jawaban atas hal yang tidak terlalu dikuasainya. “Ya ..., minat kami sama.” Suaranya gamang.

“Berarti mau cari novel, dong. Ya udah, yuk, ke sebelah sana.” Tangan Sawala terarah ke sudut lain yang cukup jauh dari posisi mereka, menuju deretan rak berlabel fiksi remaja.

Sebelum kembali diseret, Tisha mengedarkan pandangan, mencari ide untuk melepaskan diri. Sampai tatapannya terpaku pada buku di meja. Ah, mungkin tadi sebelum dia tiba Sawala sedang membaca itu. Pelan, Tisha mengurai pegangan mereka. “Aku cari sendiri saja, Kak. Kayaknya Kakak lebih baik tuntaskan bacaan itu.” Tanpa menunggu balasan, Tisha ngacir. Berlari terbirit-birit kemudian menyandarkan diri di bagian yang dia yakini tidak akan terjangkau netra Sawala.

“Ya ampun ....” Tisha menghela napas lelah. Rasanya dia sudah sangat tak bertenaga. Interaksi pertamanya dengan gadis bernama Sawala itu terlalu mengusik kenyamanan.

Rencana yang sudah dia susun sepanjang malam, buyar. Keinginan untuk sibuk mengintai gerak-gerik sang kakak kelas yang akan mulai dia ajak kenalan di hari kedua, berakhir menjadi angan semata.

Perkiraan Tisha terlalu melenceng jauh. Dia pikir akan menghadapi sosok pendiam yang perlu perjuangan ekstra dalam pendekatannya agar sekadar mau membuka mulut. Namun, ternyata Sawala malah teramat aktif bicara. Gadis itu tampaknya sangat senang memancing Tisha untuk bersuara. Apa bisa Tisha menyuruhnya bungkam saja?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
790      491     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
Si Neng: Cahaya Gema
191      161     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Orange Haze
554      384     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
PATANGGA
928      624     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Premium
Titik Kembali
6374      2020     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...
Lebih Dalam
191      166     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
Premium
Aksara yang Tak Mampu Bersuara
20526      2020     0     
Romance
Ini aku. Aku yang selalu bersembunyi dibalik untaian kata indah yang menggambarkan dirimu. Aku yang diam-diam menatapmu dari kejauhan dalam keheningan. Apakah suatu saat nanti kau akan menyadari keberadaanku dan membaca semua tulisanku untukmu?
Kala Badai Menerpa
1554      730     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
Aku Menunggu Kamu
179      159     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
13131      2934     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...