Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unexpected Wedding
MENU
About Us  

 “Lin!”

Satu sapaan hangat itu, membuat Lintang membalik tubuhnya. Melebarkan mata, begitu pula dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Lintang menghampiri pria yang saat ini juga tengah berjalan ke arahnya. “Mas Fajar! Kapan datang?”

Lintang mengulurkan tangan lebih dulu, dan pria itu segera menyambutnya dengan ramah.

“Sejaman yang lalu.” Fajar menatap Lintang dari ujung rambut, hingga kaki. Tidak ada yang berubah. Tetap cuek, tapi tetap rapi sesuai dengan stylenya. “Kamu resign?”

Lintang tersenyum kecil, dipaksakan. “Iya.”

“Kenapa?” buru Fajar. “Aku dimutasi ke sini lagi mulai minggu depan, tapi kamu malah resign.”

“Capek, Mas, nyales terus.” Lintang menunduk, karena kembali berbohong untuk kesekian kalinya ketika ada yang memberi pertanyaan, kenapa. Ia menatap ujung flat shoesnya seraya menggenggam erat tali ransel yang terulur di depan pundak. “Aku mau buka usaha sendiri. Buka toko buku kecil-kecilan.” Lintang mendongak dan kembali tersenyum. “Entar bantuin, ya! Siapa tahu bisa besar kayak toko buku yang di mall itu. Aku, kan, sudah punya chanel di mana-mana, tuh. Jadi, gampanglah entar minta diskonan.”

Lintang nyengir, meskipun kenyataan terkadang tidak seindah angan. Persaingan semakin ketat, belum lagi dengan hadirnya buku digital yang juga menggeser kehadiran buku-buku cetak yang ada pada saat ini.

“Yakin mau bikin toko buku?” Fajar meragukan ide Lintang tersebut.

“Kenapa memangnya?” Lintang berbalik, dan kembali ke tujuan utamanya untuk keluar dari kantor.

“Idemu bagus, tapi masih mentah.” Fajar menyamakan langkah dengan Lintang, dan berjalan menuju pintu keluar bersama-sama.

“Mas Fajar punya ide?”

Fajar membuka pintu kantor dan mempersilakan Lintang keluar lebih dulu. “Aku sarankan, kamu jual online aja dulu. Input semua katalog di sosial media atau marketplace. Ada pesanan, baru kamu kontak anak-anak minta disiapin barang-barangnya. Kamu tinggal ambil, packing, kirim ke ekspedisi.”

“Ah!” Lintang berjalan menuju parkiran motor dengan terkesima. “Kenapa nggak kepikiran, ya! Kalau gini, aku, kan, nggak perlu nyari tempat buat disewa.”

“Aku benar, kan!” Fajar melepas tawa kecil. “Idemu masih mentah.”

Lintang ikut tertawa, tapi dengan banyak pikiran yang berputar di kepala. Ia menaiki motor, lalu memakai helmnya. “Entar, deh, Mas. Aku bikin rencana sampe matang dulu.”

“Rencanaku tadi sudah matang, Lintang. Tinggal kamu jalani.” Fajar menepuk helm yang sudah dipakai Lintang dengan pelan. “Entar malam keluar, yok. Cari angin.”

“Next time, ya, Mas.” Lintang memberi Fajar senyum lebar sambil menstarter motornya. Bukannya tidak ingin, tapi Lintang tahu Fajar memiliki ketertarikan khusus padanya sedari dulu. Lintang yang tidak bisa membalas perasaan tersebut, akhirnya selalu menolak ajakan Fajar jika hanya pergi berdua. “Aku sibuk.”

“Kamu nggak punya jawaban lain selain … next time?” Fajar sampai bosan mendengar jawaban tersebut keluar dari mulut Lintang. Gadis itu, selalu saja menolak ajakannya tanpa memberi alasan pasti. Hanya sibuk, sibuk, dan sibuk. Bahkan, tidak ada satu pun orang kantor yang tahu di mana Lintang tinggal, sehingga Fajar tidak bisa datang langsung ke rumah gadis itu untuk memberi kejutan.

“Stok jawabannya lagi kosong, Mas.” Lintang memundurkan motornya sambil terus tersenyum menatap Fajar. “Belum cetak ulang.”

“Makan siang besok!” Fajar berdiri di depan motor Lintang, dan menahannya. “Kamu sudah resign, kan? Jadi—”

“Jadi aku tambah sibuk, dong.” Lintang memukul pelan tangan Fajar yang berada di kedua spionnya.

“Sibuk rebahan.”

Lintang terkekeh. Meskipun menolak ajakan Fajar, tapi Lintang tidak bisa mengabaikan pria itu begitu saja. Bagi Lintang, membangun relasi itu sangat penting jadi ia harus tetap berhubungan baik dengan Fajar. Siapa tahu saja, suatu saat nanti Lintang membutuhkan bantuan Fajar untuk memberi beberapa masukan tentang usaha yang hendak dirintisnya. “Entar, deh, Mas. Kalau aku lagi luang, aku hubungin mas Fajar. Ini beneran aku lagi sibuk.”

“Lusa?” bujuk Fajar tanpa memedulikan perkataan Lintang. “Atau, besoknya lagi?”

“Mas—”

“Kita bisa sekalian bicarain bisnis, Lin,” ujar Fajar mencari cara lain untuk membujuk Lintang. “Atau, kita bisa joinan buka usaha.”

“Umm …” Pendirian Lintang mulai goyah karena penawaran Fajar. “Lusa, boleh deh.”

“Aku jemput?”

“Nggak usah.” Lintang buru-buru menolak, karena tidak mungkin ia memberi alamat tempat tinggalnya saat ini kepada Fajar. “Biar aku yang ke sini, sekalian cari-cari buku baru.”

--

Raga tidak langsung melangkah masuk ke dalam rumah, saat melihat sebuah motor baru saja memasuki pekarangan rumah. Dari pakaian yang dikenakan, Raga sudah bisa menebak wanita yang berada di atas motor itu adalah Lintang. Apa gadis itu belum pulang dari pagi, sehingga pakaian yang dikenakannya masih sama?

Lintang melewatinya tanpa menoleh. Berhenti di depan pintu garasi, dan memarkirkan motornya di sana. Karena tahu ada Raga yang masih berdiri di samping mobil, Lintang dengan terpaksa menghampiri pria itu lebih dulu.

“Sore—”

“Kamu pergi dari pagi tadi, dan baru pulang jam segini?” tanya Raga sedikit meninggikan intonasi bicaranya. “Bukannya kamu sudah resign? Kenapa jam segini baru sampai di rumah?”

Lintang yang sudah berada di hadapan Raga, sempat bengong untuk beberapa saat. “Mas Raga cuma ngelarang saya jadi kerja jadi sales, tapi nggak pernah ngelarang saya untuk ada di luar sampe sore.”

“Setelah resign, kamu nggak punya kegiatan lagi.” Raga berjalan lebih dulu meninggalkan Lintang untuk masuk ke dalam rumah. “Jadi duduk diam di rumah, karena aku sudah penuhi semua kebutuhanmu.”

“Saya, kan, mau buka usaha,” sanggah Lintang berlari kecil untuk menyamakan langkah dengan Raga. “Saya mau buka toko buku, dan saya juga sudah bilang sama Mas Raga.”

“Bukannya kamu nggak jadi minjam uang sama aku?” Raga berbelok menuju ruang kerjanya terlebih dahulu. “Jadi dari ma—”

“Saya pinjam sama teman,” putus Lintang ikut masuk ke dalam ruang kerja pria itu. “Patungan! Buka usaha bareng-bareng”

Lagi-lagi, hari ini Lintang harus kembali berbohong, agar dirinya tidak berada di rumah seharian tanpa kegiatan. Karena hal tersebut pasti sangat membosankan. Lintang juga tidak mungkin mengikuti saran Raga untuk ikut dalam kegiatan yang dilakukan oleh Retno, karena ia sadar wanita itu juga tidak menyukainya sedari awal.

Daripada makan hati, lebih baik Lintang mencari kegiatannya sendiri.

Raga berhenti mendadak di tengah ruang, hingga Lintang hampir saja menabraknya. Untung saja jarak mereka tidak begitu dekat hingga Lintang dapat menghindari hal tersebut.

“Seharusnya, kamu nggak perlu sampai buka usaha seperti itu,” kata Raga sambil memutar tubuh 180 derajat. “Kalau jatah bulanan yang aku transfer ke kamu tadi pagi masih kurang, kamu bisa bilang. Yang terpenting, jangan pernah menuntut hal yang lainnya.”

“Apa bisa kita nggak saling mencampuri urusan satu dengan yang lain, Mas?” pinta Lintang karena ingin hidupnya kembali bebas. “Saya nggak pernah ikut campur dengan urusan Mas Raga, jadi, tolong jangan pernah ikut campur dengan urusan saya.”

“Lintang—”

Lintang menggeleng cepat untuk memotong ucapan Raga. “Tolong dengarkan saya dulu,” pintanya menatap tegas. “Hubungan kita, cuma di atas kertas demi kepentingan dua keluarga. Jadi, ayo kita jalani hidup masing-masing, sampai semua stabil dan setelah itu barulah kita cerai sesuai dengan kesepakatan yang pernah kita bicarakan.”

Raga diam dan tidak bisa langsung memberi keputusan. 

“Mas?” tanya Lintang menunggu kepastian.

“Aku belum bisa jawab sekarang.” Raga berbalik untuk melanjutkan langkahnya menuju meja kerja.

“Nggak ada ruginya, Mas,” bujuk Lintang terus mengekori Raga, lalu berdiri di samping pria yang baru saja duduk di kursi kerjanya. “Mas Raga nggak perlu pusing mikirin saya, dan saya janji nggak akan bikin malu keluarga Sailendra. Toh, ujung-ujungnya kita juga bakal cerai, jadi, jangan sampai ada …” 

Sampai sini, Lintang kesusahan untuk mencari kalimat pelengkapnya. “Pokoknya, begitu, Mas. Gimana?” tangan Lintang lantas terjulur di depan Raga. 

“Keluar dari ruanganku,” usir Raga tanpa memedulikan tangan Lintang yang menggantung di udara. “Dan jangan coba-coba mengatur hidup dan keputusanku.”

“Ya sudah!” LIntang menendang keras salah satu roda dari kursi kerja Raga hingga membuat pria itu terhenyak.

“Lintang!”

“Terserah!” Lintang berbalik pergi meninggalkan Raga sesuai dengan keinginan pria itu. “Kalau begitu, jangan juga coba ngatur-ngatur hidup saya lagi.”

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PALETTE
546      299     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Akhirnya Aku Datang
271      209     1     
Short Story
Akhirnya aku datang merupakan kisah kasih antara dua remaja yang ternyata bertemu kembali semenjak perginya Alisha ke Singapura. Aldrian yang tengah sakit, tidak mengetahui kedatangan Alisha.
Heartache
4927      1296     1     
Fan Fiction
Semua berawal dari kebohongan yang mereka ciptakan. Masing-masing memiliki tujuan tersendiri untuk bisa dicapai. Namun tanpa mereka sadari, kebohongan itu menghasilkan sebuah kepercayaan yang berakhir dengan rasa sakit akibat pengkhianatan. DISCLAIMER : saya hanya menciptakan ide cerita dan Out of Characternya saja, karakter sisanya milik sang pengarang yang tinggal di Jepang Happ...
Bimasakti dan Antariksa
227      177     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Melawan Takdir
1837      892     5     
Horror
Bukan hanya sebagai mahkota pelengkap penampilan, memiliki rambut panjang yang indah adalah impian setiap orang terutama kaum wanita. Hal itulah yang mendorong Bimo menjadi seorang psikopat yang terobsesi untuk mengoleksi rambut-rambut tersebut. Setelah Laras lulus sekolah, ayahnya mendapat tugas dari atasannya untuk mengawasi kantor barunya yang ada di luar kota. Dan sebagai orang baru di lin...
Surat 2
255      209     1     
Short Story
Kepada suami terimakasih untuk semua cintamu Karena mu aku kuat karena mu aku tegar kerenamu aku bertahan satu saja harapku tetaplah begitu sayangiku hingga ujung waktu sungguh hal itu lah kekuatan hidupku cobaan apapun yg membuat aku terpontal pontal aku akan jadi tabah aku akan jadi sabar karena tau kau di situ selalu ada, kapan pun siap merengkuh rapuh ku ada untuk menikmati be...
Under The Darkness
67      64     2     
Fantasy
Zivera Camellia Sapphire, mendapat sebuah pesan dari nenek moyangnya melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut menjelaskan sebuah kawasan gelap penuh api dan bercak darah, dan suara menjerit yang menggema di mana-mana. Mimpi tersebut selalu menggenangi pikirannya. Kadangkala, saat ia berada di tempat kuno maupun hutan, pasti selalu terlintas sebuah rekaman tentang dirinya dan seorang pria yang bah...
Allura dan Dua Mantan
4834      1373     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Dunia Saga
6086      1555     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Da Capo al Fine
428      339     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir