Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Setelah membeli baju couple, lidah Ben seperti terlilit kabel telepon, membuat Ben hanya akan bicara seperlunya. Cori jadi keder. Maka dari itu, ia membawa Ben makan malam sup tulang sapi di Rumah Makan Cirebon supaya mood-nya membaik. Justru setelah kenyang, si tetangga lima langkah makin diam sejuta bahasa bahkan saat si Brio putih sudah di jalan menuju perumahan Nuri 1.

"Bang, kenapa bete terus mukanya? Aku buat salah, ya?" 

Ben menoleh, sedetik kemudian matanya kembali ke jalan. 

"Kamu mau pamer ke Arga kalau udah move on dengan datang ke pesta pernikahan mereka?" tanyanya tiba-tiba.

Aah, masih soal ini. Cori menghela napas lega. Ia pikir soal apa. 

"Iya."

Kening Ben mengusut seketika. "Kamu mau tunjukkin ke dia kalau kamu sudah dapat pengganti dengan memakai baju yang serasi denganku?"

Tanpa merasa bersalah, Cori menjawab, "Tentu."

"Kamu cuma manfaatin aku untuk balas dendam atau semacamnya, kan?"

Cori menyerong, mencari sesuatu pada Ben di temaram mobil. Yang ia dapati buku tangan Ben memutih di setir.

"Astaga. Abang mikir kejauhan. Ya enggak, dong. Untuk apa balas dendam? Nggak ada gunanya."

Ben membuka jendela, menghirup udara malam dan menjernihkan pikirannya dari gagasan menyebalkan: Cori masih menyukai mantannya. 

"Cori, aku nggak mau kamu datang hanya karena mau pamer sudah move on. Kamu pikir aku ikhlas jadi pasangan bohongan kamu ke pesta Riri?" geram Ben.

"Pasangan bohongan?"

"Ya apa lagi kalau bukan bohongan? Sampai detik ini kamu nggak memberiku jawaban apa pun, Cori. Udah seminggu kamu buat aku frustasi menunggu tanpa kejelasan!"

Cori hendak menjawab, tapi pertengkaran kecil ini diinterupsi getar ponsel Ben. Tanpa berpikir lama, ia membawa si Brio putih ke bahu jalan. Ben menarik tuas rem tangan.

"Papa nelepon?" tanya Ben. Dua manusia itu saling melempar tatapan penuh tanda tanya.

"Jawab, gih."

Ben mengangguk.

"Halo, Pa."

Cori mengulum senyum. Entah sejak kapan pria ini mengganti panggilan om menjadi papa pada papanya. Anehnya, ia menyukainya. 

"Ben, masih sama Cori?" tanya Sudjana to the point. 

"Masih, Pa. Kami lagi di jalan mau pulang. Ada apa, Pa?"

"Hati-hati nyetirnya. Antar anak Papa pulang selamat sampai rumah."

"Baik, Pa."

"Walaupun Cori sudah memutuskan untuk menerima kamu sebagai calon suami, tapi kalian belum menikah. Jangan berbuat macam-macam kalau belum halal!" peringat Sudjana.

Mata Ben membelalak. Berita ini membuat jantungnya berdebar kencang. Ia langsung mencari bola mata Gadis Ketumbarnya. 

"Jadi lamaran Ben sudah diterima, Pa?" tanya Ben, tapi matanya tak berpaling dari gadis yang sedang tersenyum lebar padanya. Ben seketika mengambil tangan Cori dan menyelipkan jemarinya di antara jemari Cori.

"Bang!" desis Cori kaget. Tangannya dipenjara dengan genggaman yang amat kuat, membuatnya tak bisa ke mana-mana, dan membuat jantungnya berdebar semena-mena.

"Lho, Cori belum cerita, tho? Gimana sih, kalian? Komunikasi itu penting. Masa hal sebesar ini nggak dibicarakan dengan terbuka? Nanti Papa tatar anak itu."

Tangannya yang bertaut dibawa ke dada Ben. Kencangnya detak jantung Ben merambat ke kulit tangannya. Ah, jantung Cori ikut-ikutan berdebar kuat. 

"Mungkin Cori memang belum kasih tahu Ben, Pa." Wajah Ben rileks serileks-rileksnya. Ben tak berniat menahan senyum dan mengerling pada si Gadis Ketumbar.

"Jadi Ben, tolong jaga anak Papa, ya?"

"Baik, Pa."

"Papa minta nggak boleh lama-lama ya, Ben. Lebih baik disegerakan nikahnya. Nggak bagus pacaran lama-lama sementara kalian belum sah di mata agama dan hukum."

"Baik, Pa. Akan Ben bicarakan dengan Cori dan keluarga Ben."

"Bagus."

Dan lima menit setelah dua laki-laki itu bicara, sambungan telepon berakhir dengan senyum mengambang di bibirnya.

"Cori..."

"Ya?"

"Kamu itu ya!"

Cori tertawa lepas. Dan tawa itu menular bagai virus membuat Ben ikut tertawa di sampingnya.

Sambil mengeratkan genggamannya, Ben berkata, "Terima kasih."

Si Gadis Ketumbar mengangguk.

"Jadi Abang percaya kan, kalau kita bukan pasangan bohongan? Soalnya aku memang mau pamer ke seluruh dunia bahwa sekarang aku adalah calon istri Benjamin Malik Adriansyah."

Ben membawa punggung tangan kekasihnya ke bibirnya dan membiarkannya di sana selama beberapa detik.

Kalau nasibnya sudah jelas begini, ngambek tadi terasa sia-sia. Ah, Ben jadi malu. Namun, tetap ada satu hal yang mengganjal pikirannya. 

"Coriander." 

"Apa, Abang?"

"Mengenai undangan Arga."

"Kenapa?"

"Jangan datang kalau niatnya hanya mau tunjukin 'sesuatu' ke Arga," tuturnya lebih lembut. Ben pastikan kali ini tidak ada emosi. Ia hanya ingin setiap keputusan Cori diambil dengan kepala dingin. 

"Sejujurnya, ide membeli baju couple demi pamer ke Mas Arga memang ... sedikit gegabah." Cori menggigit bibir bawahnya. 

Bukannya merespon Cori, tangan Ben yang bebas menjulur, mendekati wajah si kekasih yang sedang merasa bersalah. 

"Kan udah Abang bilang, jangan gigit bibir kamu."

Sentuhan itu ringan. Hanya seujung ibu jari Ben di bibir bawahnya. Suaranya bertambah serak dan mata Ben yang melegam hitam hanya fokus padanya. Apalagi saat Ben mulai memanggil dirinya ‘abang’. Semua itu sudah cukup membuat Cori meremang panas dingin.

"A-Abang..."

Detik berikutnya, seseorang beristigfar. Ben pelakunya. 

"Sial. Sial!" desisnya sambil menarik diri dari si kekasih. Ia meremas setir kuat-kuat. 

"Jadi, bagaimana dengan undangan Arga?" Ben mengalihkan pikirannya yang mulai 'ke mana-mana'.  

"A-aku nggak akan datang ke nikahan Mas Arga," jawabnya seperti robot rusak.

"Ya. Begitu lebih baik. Kita pulang. Sekarang!" Buru-buru Ben hidupkan mesin si Brio putih. "Bahaya lama-lama berdua dengan kamu di sini, Gadis Ketumbar," bisiknya untuk diri sendiri. 

***

Ben sepertinya kapok telah melampaui batas yang telah ia buat sendiri. Semua gara-gara Cori. Maksudnya gara-gara bibirnya yang lembut dan penuh yang membuatnya hampir kehilangan akal sehat. 

Demi Tuhan. Cori sudah menerima lamarannya. Hanya tinggal sejengkal lagi untuk mendapatkannya secara utuh. Dan Ben hampir tidak bisa menahan diri malam itu. 

Sekarang, ia harus menahan diri lagi untuk tidak memperhatikan lekat-lekat bagaimana menggemaskannya bibir Cori saat menyeruput mi Bakso Lapangan Tembak Senayan di Mega Mall.

"Bang, pesen bakso penyet juga, ya?"

"A-apa?" Kesenangannya terinterupsi. Untung Cori yang melakukannya, jadi ia tidak akan marah. 

"Aku bilang, pesen bakso penyet. Oh,  satu lagi. Mi goreng Jawa."

"Nanti nggak habis."

"Kan ada Abang yang bakal ngabisin." Cori menyeringai tak bersalah. 

"Cori, Cori."  Ben mengucek kepala kekasihnya gemas. "Ya Udah. Abang pesenin."

Belum jadi Ben memanggil pelayan, seorang ibu-ibu paruh baya terkesiap tepat di depan meja Cori dan Ben. Dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini terdiam sejenak. 

"Cori?"

Yang dipanggil berdiri terperanjat dan segera berdiri. "Mama?" Cori keluar dari kursinya demi menghormati mantan calon mertuanya. 

Mama Arga memberikan pelukan erat beserta elusan di punggung Cori, seakan elusan itu untuk anaknya sendiri.

Cori memeluknya tak kalah erat. Ternyata ia masih merindukan pelukan ini. Mama Arga telah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri, itu sebabnya masih ada perasaan sentimentil saat perempuan tua itu merengkuhnya.

"Mama apa kabar? Mama dan Papa sehat, kan?" Cori menarik tubuhnya tanpa benar-benar melepas diri. Ini bukan pertanyaan basa basi, melainkan bentuk rindu seorang anak karena putusnya komunikasi di antara mereka.

"Ya, sehatnya orang tua. Papa tuh, kada suka lupa minum obat tensinya. Tahu-tahu pusing karena tensi tinggi."

"Nanti Cori bakal telepon Papa buat ingetin beliau."

"Cori..."

Ah, Cori tak suka bila mama Arga memberikannya tatapan iba.

“Cori bahagia, Ma. Jangan khawatir,” jawabnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. 

"Tapi perpisahan kalian ... Mama yakin bukan dengan cara baik-baik."

Jangan-jangan akting Cori gagal waktu itu. Diam-diam Cori meringis.

"Mama ... minta maaf ya, Cori," ucapnya menyesal.

"Buat apa Mama minta maaf? Ini yang namanya enggak jodoh, Ma."

Ben benar-benar lega, sebab tak sedikit pun ucapan Cori yang terdengar seperti lip service demi menyenangkan ibu itu. Dan yang lebih melegakan lagi adalah, Cori miliknya.

"Dengar, Nak. Mama dan Papa tidak pernah mempermasalahkan latar belakang kelahiranmu. Itu anak yang tiba-tiba buat alasan takut kami malu karena kamu," imbuh mama Arga.

"Gimana, Ma?!" Cori kaget bukan kepalang. Tak hanya Cori yang kaget, Ben juga.

"Dia tiba-tiba bilang kalian sudah putus, terus bawa Riri ke rumah. Justru kelakuan dia dan Riri yang bikin kami malu," keluhnya.

"Oh, ya?" Tak tahu Cori harus berkata apa.

"Atas nama Arga, Mama minta maaf, ya?"

"Ma..." Cori panik, dan meminta bantuan pada lelakinya. "Mama jangan terbebani dengan pisahnya kami. Dulu Cori memang kecewa dengan hubungan kami yang kandas di tengah jalan, tapi kalau sudah takdir, pasti itu yang terbaik bagi kami. Mama jangan khawatir lagi, ya?"

"Tapi Nak, Mama dan Papa merasa bersalah. Sangat."

Ben berdiri dan ikut bersisian dengan kekasihnya. "Ma, seperti yang Cori bilang tadi, Cori sudah bahagia, Ma. Bersama Abang. Dia ... calon Cori."

"Calon ... Cori?"

Dengan kesatrianya, Ben memperkenalkan diri sebagai calon suami Cori.

Mama Arga tersenyum pasrah dan mengelus lengan mantan calon menantunya. "Mama cuma bisa bilang semoga kamu langgeng dengan Ben."

"Mama..." Tak ayal Cori kembali memeluk mama Arga erat. "Makasih, Ma."

Ben meraup tangan kekasihnya diam-diam dan menggenggamnya erat. Ia hanya ingin Cori tahu bahwa Ben akan selalu ada untuknya.

"Sabeniiii," teriak Riri. Ben balas melambai.

"Sabeni?" gumam Cori. Tapi masih terdengar oleh Ben.

"Sabeni nama panggilan teman-teman SMA Abang," bisik Ben.

Ben dan Cori disambut pemandangan seorang wanita cantik yang sedang berjalan hati-hati memegangi perutnya yang menggelembung.

"Cori. Ben. Kangen kalian." Ketiga alumni SMA itu saling melepas rindu.

"Mana Mas Arga, Kak?"

"Dia lagi sama papaku, lagi sibuk sama mobil yang dipajang di lobi. Papa mau beli, katanya."

Ben dan Cori diam-diam saling lirik. Ben tahu apa yang ada di dalam pikiran kekasihnya.

"Sehat terus ya, bumil. Udah berapa bulan, Kak?" Cori membelai lembut perut kakak kelasnya.

"Mau jalan 6 bulan," ujarnya malu-malu.

Kalkulator di kepala Cori seketika bekerja.

***

Ben tak pernah melepas genggaman tangannya semenjak mereka meninggalkan restoran bakso Senayan. Ia merasa harus berada di sisi Cori dan memberi dukungan apabila diperlukan.

"Bang, apa Kak Riri tahu aku dan Mas Arga pernah bersama?" Mereka berjalan seperti siput menuju bioskop XXI.

"Dia enggak tahu."

"Syukurlah."

"Abang ... enggak akan meninggalkan aku seperti Mas Arga, kan?" mohon Cori dalam bisiknya yang putus asa.

Terpaksa Ben berhenti mengayun kaki. Ia menoleh tak terima.

"Tentu tidak, Cori!"

Apa balasan yang Ben dapat? Satu elusan singkat mendarat di garis rahangnya, membuat Ben tidak bisa berpikir jernih. Bukan, bukan. Pikiran Ben kosong gara-gara sentuhan tadi!

"Terima kasih, Abangnya Cori."

Senyuman menenangkan Cori tidak mampu meredam debar jantungnya yang sudah dibuat kocar kacir gara-gara sentuhan kecil tadi.

"Bang, bukannya Kak Riri menikah tiga bulan yang lalu?" Pertanyaan ini akhirnya keluar juga dari kepalanya.

Ben mengangguk. "Ingat kan, aku pernah bilang bahwa semua asumsi kamu salah besar. Kamu nggak akan pernah menyesal Arga meninggalkan kamu demi Riri karena—"

Cori terkesiap. "Oh, Tuhan."

Sekali lagi Ben mengangguk. "Riri sudah mengaku dia khilaf. Nggak tahu suaminya." Ben mengangkat bahunya.

Mungkin ini sebabnya Tuhan memisahkan mereka. Antara lega dan kesal. Lega karena ia tidak jadi berakhir dengan pria bejat dan berengsek. Kesal karena, ia sendiri pernah menjalin hubungan dengan pria macam itu.

"Apa karma itu beneran ada?" Cori kembali mengajak Ben berjalan dan mengalungkan lengannya ke lengan Ben. "Anak mereka nanti..." Dia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

“Entahlah. Terkadang Tuhan sering memperlihatkan balasan atas perbuatan makhluk-Nya langsung di dunia.”

"Bang."

"Hm?"

"Kok jadi pengen makan yang manis dan dingin?"

Hari ini terlalu banyak informasi yang mesti ia cerna. Cori ingin mendinginkan kepalanya sekaligus perutnya.

Ben tergelak. "Mau makan apa dan di mana?"

"Ke Es Teler 77, yuk? Nontonnya nanti aja."

"Your wish is my command, Coriander."

***

"Eeeh? Yang tadi itu bukannya Pak Malik sama Cori? Itu kenapa tangan mereka gandengan? Mereka berdua ... pacaran?"

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah Tua Daerah Duren Sawit
406      292     1     
Short Story
Seorang gadis remaja bernama Molly selalu dihantui mimpi sebuah rumah tua.Awalnya dia mengira kalau itu hanya sebuah bunga tidur semata,tetapi lama-lama mimpi itu semakin nyata,saking penasarannya akhirnya Molly mencari tau soal rumah tua itu.Bagaimana kisah Molly selanjutnya.
Saksi Bisu
821      466     10     
Short Story
Sebuah buku yang menjadi saksi bisu seorang penulis bernama Aprilia Agatha, yang di butakan oleh cinta. Yang pada akhirnya cintalah yang menghancurkan segalanya.
Teman Khayalan
1736      753     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
selamatkan rahma!
474      324     0     
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
Bimasakti dan Antariksa
227      177     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Mr.Cool I Love You
143      127     0     
Romance
Andita harus terjebak bersama lelaki dingin yang sangat cuek. Sumpah serapah untuk tidak mencintai Andrean telah berbalik merubah dirinya. Andita harus mencintai lelaki bernama Andrean dan terjebak dalam cinta persahabatan. Namun, Andita harus tersiksa dengan Andrean karena lelaki dingin tersebut berbeda dari lelaki kebanyakan. Akankah Andita bisa menaklukan hati Andrean?
Isyarat
248      200     0     
Fantasy
Rena melihatnya dalam setiap perjalanan berangkat dan pulang sekolah. Pukul enam lewat empat puluh lima pagi pasti ia sudah berdiri di sana. Pukul tiga sore, ia masih berdiri di tempat yang sama memperhatikan orang berlalu-lalang. Orang-orang melihat, menatap, menertawakan, bahkan tidak jarang pula ada yang mencibir. atau bila ada orang baik mereka akan mengajaknya berbicara lewat isyarat. Me...
Ellipsis
2394      994     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
ADRI
557      414     1     
Short Story
Untuk yang terlambat jatuh cinta.
Sepotong Cokelat untuk Vega
499      341     2     
Short Story
Memang rasanya tak mungkin, bahkan Vega pun mengatakan bahwa aku tidak perlu membalasnya, karena dengan kesediaanku untuk menjadi sahabatnya saja sudah cukup dibandingkan dengan jutaan rupiah yang harus kukeluarkan untuk mengganti semua itu. Walau dibalik semua itu aku tetap menyadari bahwa aku masih sangat berhutang padanya.