Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ibu Mengajariku Tersenyum
MENU
About Us  

Pak Atma mengangguk pasrah. “Saya paham perasaanmu, Jaya. Saya memang tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi saya bersedia mendengarkan dan memahami lebih lanjut tentang keadaan ibumu,” ujar Pak Atma mencoba berdamai.

Mata Jaya sontak memicing tajam ke arah Pak Atma. “Jangan coba-coba mengganggu ibuku lagi. Cukup sekali saya mendengar teriakan histerisnya saat mengingat kenangan bersama Anda. Jangan pernah membangkitkannya lagi,” desis Jaya penuh dendam.

Pak Atma menaruh tangan di dada dengan rasa penuh sesal. “Sebenarnya, saya ingin mencoba berbicara dengannya. Tapi, saya juga tidak bisa memaksa jika kamu masih keberatan,” ucap beliau lirih.

"Ya, saya sangat keberatan," tegas Jaya. 

Pak Atma mengangguk maklum. "Saya mengerti, Jaya. Marah adalah perasaan yang sah, dan luka-luka ini memang tidak mudah disembuhkan. Saya cuma ingin kamu tahu, saya ada di sini sekarang, siap menemanimu," ujar beliau bijak tetapi dengan nada getir. 

Jaya menghela napas lagi. “Entahlah, saya bingung. Saya butuh waktu untuk mencerna semua ini,” sahut Jaya yang kemudian segera meninggalkan lab.

***

Malam itu, dalam kamar kecil apartemen Jaya yang sederhana, suasana begitu tegang. Jaya duduk di pinggir tempat tidur, wajahnya penuh kemarahan dan kebingungan. Bukannya bersemangat seperti biasanya, dia tampak kacau secara mental.

Berdamai dengan masa lalu masih menjadi PR besar bagi Jaya. Jaya mengutuk keras dirinya sendiri. Kenapa ini terjadi? Kenapa aku harus mencari tahu? Kenapa akhirnya berhasil dan membuatku berantakan begini?

Pikiran-pikiran liar terus memenuhi kepala. Jaya marah pada dirinya sendiri karena telah menilai Pak Atma tanpa cukup bukti. Dia merasa seperti segalanya tiba-tiba berubah menjadi beban yang terlalu berat untuk dipikul.

Jaya memilih bertandang ke RSJ Purnama. Profesor Wijaya heran dan khawatir melihat keadaannya yang sangat berbeda. “Jaya, apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat bingung dan marah. Apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya beliau berusaha agar tetap tenang.

Jaya dengan nada tumpul menjawab, “Eh, tidak, Prof. Ini hanya masalah pribadi yang harus saya selesaikan sendiri.”

Profesor Wijaya semakin penasaran. “Kamu yakin? Saya bisa memberikan nasihat atau mendengarkan jika kamu mau berbicara,” desak beliau.

Jaya menyahut dingin. “Saya tidak butuh nasihat atau pendengar saat ini. Mari kita bicarakan soal Ibu saja, Prof,” ucapnya mengalihkan pembicaraan.

***

Namun, selama berhari-hari berikutnya, Jaya merasa semakin terisolasi. Hari itu, Jaya sibuk dengan jadwal konselingnya di klinik. Dia merasa agak tertekan karena sejumlah jadwal yang bertumpuk. Sebagai seorang psikolog klinik, tuntutan pekerjaan sering kali mengharuskannya memberikan perhatian penuh kepada para pasien. 

Sayang, ada satu hal yang berlangsung tidak seperti yang diharapkan. Dimulai dengan hadirnya pria berusia sekitar 50 tahun dengan rambut yang mulai memutih dan memakai kacamata sebagai klien. Pria tersebut terlihat agak gugup dan gelisah ketika masuk ke ruang praktik Jaya. Beliau duduk dengan tegang di kursi yang telah disediakan. Sayang, Jaya pun hanya memberikan salam singkat dan tampak agak dingin.

Setelan jas berdasi sang klien tampak kusut, seakan-akan memberitakan kondisi perasaan pemakainya yang sedang tidak nyaman. Ekspresi wajahnya terlihat khawatir dan cemas. Matanya tampak gelap dan berkerut, menunjukkan tingkat stres yang cukup tinggi. Beliau sesekali menggigit bibir bawah, antara merasa gugup atau ragu untuk berbicara.

"Jadi, apa yang membawa Anda ke sini, Pak …." Jaya melirik rekam medik di meja, lalu melanjutkan. "... Andi? Padahal, ini rumah sakit untuk ibu dan anak."

Nada bicara Jaya lebih mirip sindiran, seperti ingin meluapkan kemarahan pada pemilik kalimat yang diulangnya, yaitu Pak Atma. Pak Andi berusaha menjawab sopan. "Oh, eh, iya. Itu karena banyak yang merekomendasikan."

Jaya menatap Pak Andi, kemudian memalingkan muka sejenak, seakan-akan ingin menepis sebuah bayangan. Pak Andi bertanya ragu-ragu. “Dok, eh, Pak Jaya, apakah ada yang salah? Anda tampak sedikit ... aneh hari ini,” ucapnya hati-hati.

Jaya jadi sedikit ketus saat menjawab, "Maaf, ini cuma karena ada tugas menumpuk hari ini. Mari kita lanjutkan. Apa yang ingin Anda bicarakan?"

Pertemuan berlanjut dengan suasana yang tegang. Pak Andi benar-benar merasa rikuh. Jaya mencoba berfokus pada perbincangan di antara mereka, tetapi terus merasa terganggu oleh sesuatu yang berputar-putar di dalam benak. Bayu yang hendak menemui Jaya mengintip dari balik kaca pintu dan merasa janggal.

Setelah Pak Andi keluar ruangan, Bayu meminta izin masuk. Terpaksa, Jaya mengiyakan. Bayu pun mengunci pintu ruang praktik Jaya agar mereka bisa berbicara sebentar. "Jay, ada apa, sih? Kok, kamu jutek ke klien?" tanyanya setengah berbisik. 

Jaya menghela napas dan menjawab, "Maaf, Bay. Aku lagi ... agak kacau hari ini. Banyak pikiran."

“Bukan cuma hari ini, Jay. Terus terang, aku khawatir banget sama perubahan perilakumu belakangan ini. Beberapa pasien yang aku rekomendasikan ke kamu untuk mendapatkan pendampingan, kasih umpan balik negatif soal sikapmu yang ketus dan tergesa-gesa selama sesi konseling. Makanya aku ke sini. Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih? Kamu tahu dong, kalau bisa bicara ke aku?” ungkap Bayu prihatin.

Jaya, yang sudah sangat tertekan, merasa sangat kesal. “Kamu nih, orang lagi kerja malah diganggu dengan bahasan masalah pribadi begini. Seenggaknya, kamu dukung aku tetap profesional dong. Kaya enggak ada waktu lain aja,” semprot Jaya yang kemudian memberi isyarat Bayu untuk keluar.

Setelah semua sesi bersama klien yang penuh ketegangan dan kesalahpahaman berakhir, Jaya keluar dari ruang praktik dengan perasaan bercampur aduk. Jaya terkejut karena bertepatan dengan Bayu yang sedang melintas akan pulang. 

Roman wajah Bayu mencerminkan perasaan terluka. Seumur-umur, belum pernah Jaya melihat Bayu yang biasa ceria jadi semuram itu. Mata Bayu memandang tajam ke arah Jaya. Keduanya diam sejenak. Atmosfer di antara mereka begitu tegang.

Jaya merenung sejenak, kemudian mengajak Bayu masuk kembali ke ruang praktik. Di sana, Jaya duduk mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Bay, ada beberapa hal yang sedang aku hadapi," ujarnya lirih. "Aku harus menghadapinya sendirian."

Bayu memandang Jaya dengan kepala sedikit dimiringkan. "Kenapa kamu enggak mau bicara ke aku?” tanyanya. 

Air muka Jaya kembali menegang. “Kalau aku cerita, apa yang bisa kamu mengerti, Bay? Hidup ini enggak adil! Semua orang berbohong, dan aku hanya ingin tahu kebenaran,” tandas Jaya geram.

Bayu jadi terpancing untuk ikut gusar. Namun, dia berusaha kembali tenang. "Aku enggak tahu sih, apa yang sedang kamu hadapi. Tapi, kayanya sulit banget, ya? Cuma nih, Jay, marah dan mengabaikan pekerjaan itu enggak akan mengubah apa pun. Kamu harus bicara sama orang-orang yang peduli sama kamu. Ada aku, Profesor Wijaya, Pak Atma …."

Reflek Jaya melengos mendengar nama yang terakhir disebut Bayu. Bayu mendadak heran. Sebelum Bayu bertanya lebih jauh, Buru-buru Jaya berusaha membelokkan topik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
810      539     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Memoreset (Sudah Terbit)
3978      1484     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Reandra
2618      1362     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Without End
1387      606     1     
Mystery
Di tahun akhir masa SMA nya, atas ajakan dari sahabat baiknya, ia ikut kencan buta dan bertemu dengan pria tampan dengan perilaku yang sangat sopan. Ia merasa bahwa pria tersebut memiliki sisi lain dan tak bisa tak menjadi tertarik, hingga mengantarkan dirinya sendiri terjebak ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Kebahagiaan, ketakutan, perasaan terbelenggu, tercekik, sesak nafas, dan ha...
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
471      338     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
Words Unsaid
635      367     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
The Hidden Kindness
416      294     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Supernova nan Indah merupakan Akhir dari Sebuah Bintang
3989      1268     1     
Inspirational
Anna merupakan seorang gadis tangguh yang bercita-cita menjadi seorang model profesional. Dia selalu berjuang dan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai cita-citanya. Sayangnya, cita-citanya itu tidak didukung oleh Ayahnya yang menganggap dunia permodelan sebagai dunia yang kotor, sehingga Anna harus menggunakan cara yang dapat menimbulkan malapetaka untuk mencapai impiannya itu. Apakah cara yang...
Langkah yang Tak Diizinkan
238      192     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Ansos and Kokuhaku
3552      1151     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...