Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ibu Mengajariku Tersenyum
MENU
About Us  

"Bu, aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang," kata Jaya dengan suara lirih. "Apa yang harus aku lakukan terkait ayahku ini?"

Ekspresi Puspa begitu datar, membuat Jaya semakin frustrasi. Dia benar-benar berharap ibunya berbicara, memberikan petunjuk atau saran untuknya. Jaya sudah tak sanggup menjalani hidup tanpa arah dan meraba-raba.

Jaya terus membuat figur pasir, mencoba menggambarkan perasaannya yang beragam, dari rasa marah hingga rindu. Dia juga membuat figur lain yang mewakili ibunya. Figur pasir itu diletakkan di antara figur Jaya dan figur ayah, menandakan peran ibunya dalam hubungan mereka. 

Tanpa sadar, sesi terapi lebih tampak seperti terapi bagi Jaya sendiri untuk dapat mengungkapkan perasaan melalui media mainan pasir. Puspa melihat dengan cermat setiap figur yang Jaya buat dan hanya meresponnya dengan tatapan sendu.

Jaya terdengar jengkel saat berkata, “Kasih tahu aku, Bu, apa yang Ibu inginkan? Apakah kita tetap hidup berdua seperti sekarang, atau bertiga bersama ayah?”

Puspa tetap diam. Beliau hanya memandang Jaya dengan ekspresi bingung. Jaya jadi semakin kalut. Dia berusaha tetap menekan volume suara sambil bertanya, “Kenapa Ibu selalu diam? Aku butuh jawaban Ibu. Sekali ini saja, Bu. Beri tahu aku bagaimana harus bersikap. Ibu mau aku menerima ayah?”

Puspa terus membisu. Ekspresinya mencerminkan ketidakpastian. Beliau kemudian menunduk dan tergugu-gugu. Kedua bahunya tampak mengguncang-guncang. Sejurus kemudian, terdengar isak beliau diiringi gelengan.

Jaya menghela napas panjang. Dia menatap nanar figur pasir yang pertama dibuatnya. “Baiklah, kalau Ibu tidak mau bersamanya, aku pun akan menyingkirkannya,” ujar Jaya penuh tekad. Telapak tangan kanannya mengentak figur yang sedari tadi dipandangnya itu hingga lebur.

Di tengah situasi yang sangat emosional itu, Profesor Wijaya datang menghampiri. Hari itu memang jadwal beliau melakukan kunjungan rutin untuk memeriksa para penyintas ODGJ di panti rehabilitasi Sumber Harapan.

Profesor Wijaya mencermati ekspresi amarah Jaya dan ibunya yang menangis kebingungan. Beliau merasa ada sesuatu yang perlu ditangani. "Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya beliau penuh perhatian.

Jaya mengangkat kepala dan memandang Profesor Wijaya. Dia kemudian mencoba menjelaskan situasinya dengan sisa emosi yang mendalam. Profesor Wijaya, menyimak dengan penuh perhatian dan mengangguk-angguk.

“Saya tahu bahwa terkadang ekspresi dan simbolisme dapat menjadi cara yang efektif untuk berkomunikasi, terutama dalam situasi seperti ini, di mana kata-kata mungkin tidak mencukupi,” komentar beliau. “Namun, saya cukup prihatin dengan kondisimu, Jaya. Sepertinya, kita harus bicara. Di ruangan saya?”

“Oh, eh, ruangan saya saja, Prof,” sahut Jaya cepat. “Lebih dekat dari sini dan … saya tidak perlu merasa seperti terdakwa.”

Profesor Wijaya mengernyit dan melirik sekilas ke Jaya sambil tersenyum tipis. Beliau mengikuti langkah Jaya yang memimpin menuju ruang istirahat yang dulunya ditempati Bu Nia. Menggantikan tugas beliau menjadi psikolog klinis yang berkunjung seminggu sekali ke panti rehabilitasi itu membuat Jaya mendapatkan fasilitas tersebut. 

Tampak suasana di dalamnya yang tidak cukup nyaman untuk melepas penat. Ruang yang memang sedianya berukuran kecil itu jadi terasa lebih sesak. Di sudut-sudut ruangan, tumpukan alat peraga, media terapi, dan mainan rusak yang berserakan membuatnya terlihat berantakan. Dinding-dindingnya tergores dan kotor. Salah satu sisinya bahkan tampak retak dengan pola seperti bekas sebuah tumbukan. 

Di tengah ruangan, terdapat meja kecil dengan kertas dan pena tersebar di atasnya. Matras tipis yang diletakkan di lantai tertekuk di salah satu sudut, terlihat tidak ada usaha untuk sekadar merapikan sejenak. 

Udara di dalam ruangan terasa pengap dan berbau apek. Profesor menarik kerai yang berdebu agar terbuka dan mengizinkan kaca jendela meneruskan cahaya matahari masuk mengisi ruangan. Menyadari itu, Jaya buru-buru merapikan ruang tersebut agar ada tempat untuk mereka duduk berdua.

Profesor Wijaya duduk perlahan di kursi yang tersedia, memberikan Jaya waktu untuk juga duduk dan merasa nyaman dengan kehadirannya. Beliau melihat Jaya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi dan tanda-tanda keadaannya. Jaya memandang Profesor Wijaya dengan tatapan yang terlihat kosong dan penuh tekanan.

Dengan penuh kehati-hatian, Profesor Wijaya mulai berbicara, "Jaya, apa yang terjadi? Sudah berapa lama kamu membiarkan ruanganmu tak terurus begini? Jaya yang saya kenal selalu rapi dan terorganisir, apakah ada yang ingin kamu bagikan pada saya?" 

Jaya termenung sejenak. Dia menyadari tidak bisa terus-menerus berjuang sendiri. Setidaknya, profesor Wijaya telah memberikan tawaran tangan pertolongan. Bayu pun telah menyarankan hal yang sama. Mungkin, dengan berbicara tentang perasaan, Jaya bisa menemukan jalan keluar dari kebingungan.

Jaya menghela napas dalam-dalam, Dengan berat hati, Jaya setuju untuk berbicara dengan profesor Wijaya. Dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk menyelamatkan diri dari kekacauan mental yang sedang terjadi.

Jaya mulai berbicara dengan canggung, menceritakan betapa kehadiran Pak Atma mengingatkannya pada masa lalunya yang terluka. Dia juga menyebutkan bahwa ada perasaan yang rumit di dalam dirinya terkait dengan Pak Atma, terutama setelah mengetahui bahwa ada kemungkinan Pak Atma adalah ayahnya.

Profesor Wijaya mendengarkan dengan saksama. Beliau bisa merasakan betapa beratnya beban yang dipikul Jaya. Beliau berusaha tidak salah langkah dalam momen penting ini untuk membantu Jaya menemukan kembali kualitas hidupnya.

Profesor Wijaya berkata, "Saya akan mendukung kamu sepenuhnya dalam proses ini, Jaya. Mari kita bekerja sama untuk membawa perubahan yang positif dalam hidupmu, agar bisa menolong ibumu. Penanganan yang terlalu melibatkan perasaan pribadi seperti tadi bukan hal yang ideal kan, Jaya? Jangan khawatir! Kita akan melewati ini bersama-sama."

***

Esok siangnya, Bayu memanggil Pak Atma melalui telepon di ruang praktik. Bayu meminta beliau agar ke ruangannya. Pak Atma datang dengan heran. “Ada apa ya, Dok? Hari ini bukannya tidak ada pasien yang membutuhkan tes genetik, ya?” tanya beliau memastikan.

Bayu mengangguk, kemudian mengajak Pak Atma duduk di hadapannya. Bayu menyampaikan alasannya mengajak Pak Atma berbicara empat mata. "Pak Atma, saya benar-benar khawatir soal Jaya. Perubahan perilakunya drastis sekali. Jaya merasa terganggu dan bingung akibat perselisihan antara Jaya dan Anda tempo hari," ungkap Bayu.

Pak Atma kaget dan jadi serba salah. “Jadi, Dokter Bayu tahu kalau …?” tanya beliau ragu.

“Ya, saya tahu bahwa Anda adalah ayah yang selama ini dicari Jaya. Sayang, dia mengetahui ini setelah sesi terapi ibunya yang menunjukkan ada kekerasan di dalam hubungan kalian,” ucap Bayu yang segera disusul dengan deham. “Eh, maaf, Pak Atma. Saya tidak berwenang menghakimi Anda di sini. Saya hanya bermaksud menolong sahabat saya, dan sepertinya saya butuh bantuan Anda.”

Pak Atma mengangguk membenarkan. "Ya, ya, saya paham, Dok. Tidak apa-apa. Saya juga prihatin sama dia. Andai ada cara, saya sangat ingin membantunya. Tapi, saya bisa apa ya, Dok?" tanya Pak Atma ragu-ragu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hidden Kindness
416      294     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
14726      2573     4     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
SERUMAH BERSAMA MERTUA
440      343     0     
Romance
Pernikahan impian Maya dengan Ardi baru memasuki usia tiga bulan saat sang mertua ikut tinggal bersamanya dengan alasan paling tak masuk akal Keindahan keluarganya hancur seketika drama konflik penuh duka sering ia rasakan sejak itu Mampukah Maya mempertahankan rumah tangganya atau malah melepaskannya?
Orkanois
2749      1050     1     
Fantasy
Ini adalah kisah yang ‘gila’. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby, atau kerap dipanggil Mar yang dengan lantang menginginkan kiamat dipercepat. Permintaannya itu terwujud dengan kehadiran Orkanois, monster bertubuh tegap, berkepala naga, dengan tinggi 3 meter, dan ia berasal dari planet Orka, planet yang membeku. Orkanois mempunyai misi berburu tubuh ...
Potongan kertas
961      496     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Ruang Suara
279      203     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
The Maiden from Doomsday
10842      2423     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Bee And Friends 2
3229      1071     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
KILLOVE
4815      1461     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Sosok Ayah
921      511     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)