Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU
About Us  

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai depan Gerbang Bilena."

Di hadapan mereka, berdiri bangunan kuil kuno. Bentuknya kuil terbuka, mirip arena gladiator yang luas dengan dinding batu menjulang yang terbuka ke langit. Pilar-pilarnya telah rapuh dimakan usia, bahkan ada beberapa yang telah roboh. Setiap tangga dan jalan setapak yang mereka lalui untuk menuju ke bagian tengah-tengah ditumbuhi oleh lumut, membuat Molly harus berhati-hati dalam melangkah.

Di tengah-tengahnya terdapat pohon saman besar yang memiliki daun berwarna merah tua. Akar-akar tebalnya tebal meliuk-liuk ke segala arah dan mencuat dari tanah hingga merusak lantai beton. Cabangnya yang melengkung menciptakan bayangan yang melindungi altar kecil dari sinar matahari.

Yang membuat Molly terperangah yaitu sebuah lingkaran batu besar berdiri di ujung altar yang menghadap langsung ke jurang. Lingkaran itu mirip gerbang menuju ke dunia lain, batu-batu penyusunnya terlihat rapuh, penuh retakan dan lumut-lumut, serta tanaman rambat yang menggantung mengisi celah-celah retakannya. Anehnya, lingkaran itu masih berdiri gagah seolah dijaga oleh kekuatan misterius.

"Apakah ini Gerbang Bilena?" Molly bergumam seraya menengadah, mengamati dalam penuh kekaguman.

"Bukan," Cardos menjawab kasar. "Ini adalah kosen gerbangnya."

"Kita hanya perlu mencari tahu bagaimana untuk melewati gerbang ini, kan?" Molly membalikkan badannya, menghadap Cardos.

"Yah, selamat mencari." Cardos mengangguk singkat.

Molly mengamati pohon saman yang terletak tidak jauh dari posisi mereka. Mungkin dengan bantuan pohon itu, ia bisa mendapatkan informasi yang cukup.

Ia melangkah penuh dalam penuh keyakinan. Ketika Molly berhasil mendekat, pohon saman berdaun merah itu bergoyang lembut akibat hembusan angin. Dia kemudian mengusap batang pohon itu dan berbisik, berharap panggilannya terjawab. Namun, sekuat apa pun Molly berkonsentrasi, pohon ini tidak menyambutnya.

Kenapa tidak berhasil? Apakah aku gagal beresonansi? Kalaupun gagal, harusnya aku merasakan koneksi yang terputus, tapi mengapa aku tidak merasakannya sama sekali?

Kemudian Molly teringat akan pohon yang ditemuinya ketika berada di Suaka Kelopak Emas. Dia ingat jika pohon yang itu juga tak berbicara dengannya, membuka mata pun juga tidak. Sama seperti pohon ini. Bagaimana mungkin?

Klutuk.

Pandangan Molly melesat ke meja altar. Salah satu goblet di atas meja terjatuh, seolah ada yang sengaja mendorongnya. Dia membungkuk, meraih goblet, serta mengembalikannya ke posisi awal. Lalu, dari ujung mata Molly, dia melihat sesuatu yang melesat bersembunyi di belakang goblet di ujung meja. Penasaran, ia lantas mendekat perlahan.

Makhluk itu hanya sebesar dan setinggi goblet, matanya bulat besar, hidungnya melesat ke dalam, bibirnya dikatupkan rapat-rapat. Di sekitar wajahnya terdapat simbol-simbol misterius. Tak bertelinga. Ia memiliki tanduk yang mirip dengan ranting pohon, setiap cabangnya seolah sedang ditumbuhi oleh lumut merah. Bagian tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu, janggut, dan rambutnya berwarna krem lusuh.

"Halo," sapa Molly lembut dengan berlutut.

"Kau bisa melihatku?" Suaranya terdengar kecil, mirip seperti suara cicitan tikus.

Senyuman tersungging di wajah Molly, selepas itu memiringkan kepala, terkagum dengan sosok asing nan lucu itu. "Oh, aku adalah Pembisik Daun, dan aku bisa melihatmu, sangat jelas dan nyata. Tidak apa-apa, kau tidak perlu takut, aku tidak berniat jahat."

Makhluk itu keluar dari persembunyiannya. "Aku tahu kau Pembisik Daun, karena kita sempat beresonansi beberapa detik yang lalu."

"Oh, benarkah? Padahal tadi aku sedang berusaha berkomunikasi dengan pohon ini." Molly menunjuk pohon saman di hadapannya. "Sayangnya pohon ini tidak menyambutku."

Makhluk itu mengangguk dan berkata, "Aku ada di sini, sedang menyambutmu."

"Ah, kau ... pohon saman?"

"Nyssa," ralat makhluk itu seraya memberitahukan namanya. "Kau tidak bisa berkomunikasi dengan pohon ini, karena essentia-nya telah berupa aku."

Molly mengernyit, berpikir cepat seraya diam-diam membuat catatan dalam kepala.

"Kenapa kau ke sini lagi, Pembisik Daun?" Nyssa mengerjapkan mata pelan, menunjukkan betapa lucu dan menggemaskannya matanya yang bulat itu.

"Ha! Aku yakin, ini adalah kali pertamanya kita bertemu," Molly menyahut santai. Tangannya di kibaskan pelan sambil menegakkan tubuh.

Nyssa mengerjap pelan, kemudian kembali mengucapkan, "Tapi, aku rasa kita pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan kita hari ini adalah ... yang ketiga kalinya."

Molly mengerjapkan mata, kembali kebingungan. Mungkin, sosok Pembisik Daun yang terakhir kali dilihat Nyssa adalah Pembisik Daun yang diceritakan oleh para druid. Bisa saja, karena Pembisik Daun, seringkali beresonansi dengan alam, yang tentunya jenis essentia mereka sama.

"Yang kau lihat bukanlah aku, tapi Pembisik Daun yang lain," Molly menyanggah dengan lembut, berusaha agar tidak melukai hati makhluk lucu itu.

"Oh, bisa saja ya. Aku juga tidak terlalu ingat kapan Pembisik Daun terakhir datang ke sini," kekeh Nyssa menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Jadi, ada urusan apa kau memanggilku, Pembisik Daun?"

"Begini, sebenarnya aku ingin menjemput kakakku. Dia berada di balik Gerbang Bilena di ujung sana." Molly menunjuk gerbang di ujung kuil. "Kira-kira, apakah kau tahu cara agar aku bisa membuka gerbangnya?"

Nyssa memiringkan kepala, entah mengapa ekspresinya didominasi oleh rasa heran. "Kau seorang Pembisik Daun, tapi kau tidak tahu cara membukanya? Itu aneh." Ia mencari kepastian pada raut wajah Molly. "Tapi, kau tidak berbohong. Padahal kau sudah ke sini untuk yang ketiga kalinya."

Molly menaikkan kedua alis. "Tidak, Nyssa. Aku baru pertama kali ke sini. Sungguh, aku saja tidak tahu kuil apa ini."

Makhluk itu kemudian mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Baiklah, aku akan membantumu. Ikuti aku."

Nyssa membalikkan badannya, dan kemudian menghilang.

Molly menjinjing roknya bergegas kembali. Sementara Cardos, yang sejak tadi telah menunggu di dekat kosen, ia membalikkan badan ketika mendapati Molly, yang penuh semangat mendekat ke arahnya.

"Bagaimana?" Cardos menaikkan satu alis.

"Roh pohon akan membantuku," jawab Molly singkat dan kemudian mendekat ke gerbang.

"Baiklah, aku akan kembali saat matahari terbenam."

"Ya, tunggulah di—" Ucapan Molly terpotong, tepat ketika menolehkan kepala, dia tidak mendapati Cardos di dekatnya. Benar-benar menghilang dalam sekejap mata.

"Sebelah sini! Sebelah sini!" Nyssa, yang kini berada di dekat kosen Gerbang Bilena, mengayunkan tangannya yang kecil.

"Jadi, bagaimana caranya?"

"Terakhir kali aku melihat Pembisik Daun mencoba membuka gerbang ini adalah dengan menumpahkan darah pada piring ini."

Tangan kecil Nyssa menunjuk ke sebuah piring perunggu yang entah sejak kapan ada di sana. Saat Molly mengintip, dalam piring itu terdapat bekas tetesan darah, entah milik siapa.

Tanpa banyak keraguan, Molly mengambil belati dari pinggulnya, belati milik Rolan. Lantas mengulurkan tangan kiri dan mengambil posisi untuk menggoreskan telapak tangannya. Ini adalah kali pertamanya Molly akan menggores bagian tubuhnya dengan benda tajam. Tak mengapa, ia akan mengenangnya begitu berhasil pulang bersama Agatha.

"Tidak perlu sedramatis itu," Nyssa berkata, menyadari keraguan juga kecemasan di hati Molly. "Hanya tiga tetes besar, nanti aku akan bantu menyembuhkan lukamu."

Bahu Molly merosot jatuh, merasakan kelegaan. "Baiklah. Aku mulai sekarang."

Baru saja mengatupkan mulut, dia lantas menggenggam bilah belati dengan tangan kiri kuat-kuat. Selepas itu, Molly menariknya dengan tangan kanan. Rasa sakit mendobrak pertahanan, matanya berkaca-kaca, dan tangan kirinya gemetaran. Molly bersumpah, dirinya terguncang dan pandangannya hampir kabur. Hebatnya, dia bertekad untuk tetap bertahan. Darahnya yang mengalir dari bagian telapak tangan jatuh menetes hingga ke piring perunggu.

Satu tetes.

Dua tetes.

Tiga tetes.

"Cukup." Nyssa mengangkat kedua tangannya, meminta agar Molly mengulurkan tangan ke wajahnya. "Kau menggenggam bilah belatinya, padahal cukup digoreskan saja. Kalau begini, kau juga melukai ruas-ruas jarimu yang lain."

Nyssa meludah ke jari-jari Molly. Dengan tangannya yang kecil, ia mengusap-usap air liurnya pada luka itu. Ajaib, luka-luka itu sembuh dalam hitungan detik.

Molly menggerakkan tangan kirinya, memainkan jari-jarinya, tidak percaya jika rasa sakitnya dapat sembuh dalam sekejap mata.

"Sekarang, coba siram darahnya ke bagian kosen." Nyssa menginstruksi seraya pindah ke bahu Molly.

Molly membungkuk mengambil piring perunggu itu hanya untuk mendapati piringnya terisi penuh oleh darah. Sesuai instruksi Nyssa, Molly melemparkan darahnya. Mengejutkan, kosen itu seolah menghisap darah persembahan Molly. Kemudian, cahaya hijau kemerahan berdenyut menyelimuti dan membentuk suatu ukiran.

"Oh, itu mantranya," Nyssa menunjuk ke bagian atas kosen.

Ya, cahaya itu mengukir sebuah tulisan panjang dalam huruf kuno, yang anehnya, Molly bisa membacanya. Ukiran itu bertuliskan: Sekuat karang dan semurni embun kala fajar. Dilihat dari cara penulisannya, sudah pasti itu bukan mantra. Mungkin kata sandi.

Molly mengangkat kedua tangannya, kebingungan. "Apa maksudnya?"

"Itu bahasa alam. Tapi, aku juga tidak tahu apa maksudnya." Nyssa mengangkat kedua bahu.

"Bahkan untuk bisa membuka sebuah gerbang, aku perlu menebak-nebak kata sandinya." Molly mengusap keningnya, keheranan. Dia menghela napas dan berkacak pinggang. "Kenyataan memang tidak seindah ekspektasi," keluhnya.

Awalnya Molly berpikiran, tulisan itu harus dibaca keras-keras. Namun, sewaktu dicoba, rupanya memang bukan itu maksudnya. Tulisan itu mengartikan sesuatu yang lebih dalam dan kompleks, atau mungkin sebuah kode rahasia yang tersembunyi.

Molly mengerang seraya mengacak-acak rambutnya. Dia terlalu lelah untuk berpikir sekarang, namun keadaan memaksanya untuk bertindak cepat. Ia kini duduk di anak tangga, mengamati Nyssa yang tengah merapikan bulu-bulu panjang di tubuh kecilnya. Suasana mendadak jadi hening saat Molly tenggelam dalam pikirannya.

"Apa yang sekuat karang dan semurni embun kala fajar?" gumam Molly menopang dagu. Dia mengambil napas dalam-dalam, merenung, berpikir.

Pikirannya kembali mengembara. Agatha pasti tidak kesulitan membuka gerbang ini, sebab artefak itulah yang mengundangnya kemari. Sedangkan Molly, ia harus mencari-cari maksud kata sandinya. Perbedaan itu, bersama hak istimewa yang dimiliki Agatha, berhasil membuat goresan luka kecil dalam hatinya.

Meski begitu, dibalik sikap Agatha yang sekeras batu, Molly yakin ada maksud tersembunyi yang tulus dan murni—

"Tunggu, sekeras batu—sekuat karang," Molly bergumam pelan. Matanya bergerak ke cepat, seolah menyadari sesuatu. "Tulus dan semurni embun fajar. Hati sekuat karang, dan niat semurni embun kala fajar. Oh, astaga! Aku sangat jenius!"

Molly berdiri tiba-tiba, membuat Nyssa sempat jatuh terjengkang dari bahunya.

"Kau tahu bagaimana cara membukanya?" Nyssa bangkit berdiri dan berteleportasi ke bahu Molly.

Molly berjalan mendekat ke bagian gerbang dengan wajah penuh harap. "Aku tahu, hati dan niat."

Molly meremas-remas roknya, dadanya berdebar-debar hebat.

"Aku di sini tidak untuk mengganggumu. Perjalanan yang kutempuh memakan waktu hampir tujuh hari lamanya. Aku telah meninggalkan kampung halamanku dan adik kecilku di rumah. Tujuanku hanya untuk membawa kakakku pulang, dan menyelamatkan adikku dari pernikahan yang tidak diinginkan. Jadi—" Jeda. "Aku mohon bukakan pintu gerbangnya untukku."

Seketika itu juga, matahari ditutupi oleh mendung pekat. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat dan dingin. Angin menderu tidak wajar. Suasana ini mengingatkan Molly akan kondisi ketika hujan.

Lalu, kosen itu berputar pelan, merontokkan debu dan puing-puing kecil ke tanah, diikuti oleh bunyi retakan halus yang menggema. Cahaya samar muncul dan menyelimuti kosen seutuhnya. Molly mengambil langkah mundur, menyaksikan sinar itu membentuk sebuah gerbang raksasa yang sesungguhnya.

"Bagaimana bisa?" Nyssa memekik penuh takjub.

Molly menyeringai. "Keajaiban Bilena akan mengabulkan semua permintaanmu. Asalkan kau memiliki hati sekuat karang, dan niat semurni embun kala fajar. Aku hanya perlu memberitahukan tujuanku yang sebenarnya, dan artefak itu sendiri yang menilainya."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
167      148     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
HAMPA
451      321     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Game of Dream
1517      848     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Harsa untuk Amerta
453      370     0     
Fantasy
Sepenggal kisah tak biasa berlatar waktu tahun 2056 dari pemuda bernama Harsa sang kebahagiaan dan gadis bernama Amerta sang keabadian. Kisah yang membawamu untuk menyelam lebih dalam saat dunia telah dikuasai oleh robot manusia, keserakahan manusia, dan peristiwa lain yang perlahan melenyapkan manusia dari muka bumi. Sang keabadian yang menginginkan kebahagiaan, yang memeluk kesedihan, yan...
Detective And Thief
4387      1418     5     
Mystery
Bercerita tentang seorang detektif muda yang harus menghadapi penjahat terhebat saat itu. Namun, sebuah kenyataan besar bahwa si penjahat adalah teman akrabnya sendiri harus dia hadapi. Apa yang akan dia pilih? Persahabatan atau Kebenaran?
Mask of Janus
19989      3551     9     
Fantasy
"Namun, jangan pernah memberikan topeng kepada mereka yang ingin melakukan hal-hal jujur ... karena mereka akan mengambil dunia dari genggamanmu." Vera van Ugde tidak hanya bermain di depan layar sebagai seorang model internasional, tetapi juga di belakang layar di mana dunia gelap berada. Vera adalah seorang mafia. Hanya saja, sekelompok orang--yang memanggil diri mereka sebagai par...
Bye, World
8549      2050     26     
Science Fiction
Zo'r The Series: Book 1 - Zo'r : The Teenagers Book 2 - Zo'r : The Scientist Zo'r The Series Special Story - Bye, World "Bagaimana ... jika takdir mereka berubah?" Mereka adalah Zo'r, kelompok pembunuh terhebat yang diincar oleh kepolisian seluruh dunia. Identitas mereka tidak bisa dipastikan, banyak yang bilang, mereka adalah mutan, juga ada yang bilang, mereka adalah sekumpul...
The Last Cedess
989      659     0     
Fantasy
Alam bukanlah tatanan kehidupan makroskopis yang dipenuhi dengan makhluk hidup semata. Ia jauh lebih kompleks dan rumit. Penuh dengan misteri yang tak sanggup dijangkau akal. Micko, seorang putra pekebun berusia empat belas tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari misteri alam. Semua bermula dari munculnya dua orang asing secara tiba-tiba di hadapan Micko. Mereka meminta t...
VampArtis United
3252      1799     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Glad to Meet You
327      253     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...