Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Snow That Slowly Melts
MENU
About Us  

Moon editor-nim tiba-tiba mendapat telepon dari Project Manager, hingga harus segera pergi. Jadi yaaa Minhyuk sendirian disini.

Dengan kopi yang hampir habis dan laptop di depannya, Minhyuk akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di sekitar Hongdae. 

Tangannya memegang dengan nyaman kamera yang sudah biasa ia gunakan. Sesekali dia mulai memotret beberapa objek yang menarik di matanya. Seniman yang sedang melukis di atas kanvas, duduk bersila di pinggir trotoar, tangannya bergerak lincah menciptakan garis-garis warna yang mulai membentuk siluet seorang gadis.

Ia mengalihkan lensa ke arah lain. Sekelompok anak muda berkumpul di tengah lapangan terbuka, membentuk lingkaran kecil, tertawa keras setelah salah satu dari mereka gagal melakukan gerakan dance cover yang terlalu sulit. Tak jauh dari mereka, seorang penyanyi jalanan dengan gitar di pangkuannya membawakan lagu indie dengan suara yang lembut, menarik perhatian pasangan yang sedang bersandar di pagar besi sambil menikmati kopi dingin dari kafe seberang.

Angin musim semi bertiup ringan, menggoyangkan kelopak-kelopak sakura yang sudah mulai bermekaran. Beberapa kelopak jatuh pelan, mendarat di bahu seorang turis yang sibuk mengatur pose untuk swafoto di depan mural berwarna cerah. Minhyuk mengangkat kameranya dan menekan tombol shutter—mengabadikan momen itu sebelum bunga-bunga tersebut jatuh ke tanah dan hanyut terbawa langkah kaki orang-orang yang berlalu lalang.

Di sisi lain jalan, seorang pedagang membuka lapaknya, menjual gantungan kunci handmade berbentuk hewan lucu. Seorang anak kecil dengan mata berbinar menunjuk salah satu gantungan kunci berwarna biru, sementara ibunya mengeluarkan dompet untuk membayarnya. Minhyuk tersenyum kecil, menunggu momen yang pas sebelum menekan tombol shutter lagi, mengabadikan ekspresi anak itu saat menerima gantungan kunci dari si pedagang.

Ia melangkah lebih jauh ke dalam gang kecil di belakang deretan kafe dan toko pakaian. Dinding-dinding di sekitarnya dipenuhi mural warna-warni, beberapa masih baru, beberapa sudah mulai pudar. Cahaya sore yang mulai turun membuat warna-warna itu semakin hidup. Minhyuk mengangkat kameranya lagi, mencari komposisi yang tepat.

Langkah Minhyuk melambat ketika matanya menangkap sosok seseorang di sudut taman kecil di pinggir jalan. 

Seorang perempuan dengan hoodie oversized dan jeans santai duduk di bangku kayu, satu tangan memegang gelas kertas bekas americano, sementara tangan satunya bertumpu di pangkuan. Rambutnya sedikit berantakan, tanda kelelahan yang jelas, tapi ada sesuatu dalam cara dia menatap kosong ke arah jalan yang terasa akrab.

Minhyuk mengangkat kameranya secara refleks. Ia bermaksud mengambil foto suasana—kontras antara ramainya Hongdae dan ketenangan kecil di sudut ini. Komposisi cahaya sore yang menerpa wajah perempuan itu, bayangan lembut dari pepohonan di belakangnya, dan warna hoodie yang sedikit pudar karena matahari—semuanya terasa pas dalam bidikan. Dia belum sadar siapa yang sedang ia potret.

Namun, tepat saat dia menekan tombol shutter, perempuan itu menoleh ke arahnya.

Mata mereka bertemu.

Minhyuk tertegun, jari-jarinya masih berada di atas tombol kamera, tapi refleksnya membuatnya buru-buru menurunkan kamera. Sial. Napasnya sedikit tertahan saat menyadari siapa yang baru saja ia potret. Han Yura.

Yura tampak bingung selama beberapa detik, mungkin mencoba memastikan apakah dia benar-benar melihat orang yang dikenalnya. Lalu, senyumnya mengembang lebar.

Sebelum Minhyuk bisa bereaksi lebih jauh, Yura sudah bangkit dari duduknya, masih memegang gelas americano di satu tangan dan membuangnya ke tempat sampah terdekat disana. Dia melangkah ke arahnya dengan ekspresi yang lebih hidup dibanding beberapa detik sebelumnya.

"Minhyuk-ssi! Kau mengikutiku, ya?" goda Yura, berjalan mendekat ke arahnya. 

Merasa kalau dia tidak bisa kabur, Minhyuk mendengus saja, "jangan terlalu percaya diri. Aku hanya sedang bekerja." Tangannya mengangkat sedikit, menunjukkan kameranya.

Yura menatap kameranya, lalu mengangkat alisnya. "Jangan bilang tadi kau memotretku?"

Sial. Ketahuan. Padahal dia juga tidak sengaja.

Minhyuk berdeham, menghindari tatapannya, tidak menjawab apa-apa.

Yura terkekeh, "baiklah, sebagai gantinya, aku traktir kopi. Mau?"

Awalnya Minhyuk sempat ragu, karena sepertinya bersama dengan Yura bukanlah hal yang bagus untuk dilakukan. Setiap berada di dekat perempuan ini, dia mulai merasakan hal yang tidak membuatnya suka tapi, di sisi lain, dia senang mendapati perasaan yang ia kenali dulu sering hinggap di dirinya.

Minhyuk akhirnya mengangguk setuju. Keduanya masuk ke kafe yang terkenal di daerah sana.

Setekah memesan kopi mereka, keduanya duduk di samping jendela besar yang menampilkan suasana luar kafe, dapat melihat orang berlalu lalang di depan kafe itu.

"Suatu kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di hari liburku. Aku baru saja libur setelah jaga malam yang sangat melelahkan," ujarnya mengeluh sedikit. 

Minhyuk hanya mendengarkan sambil menganggukkan kepalanya. 

Lalu tiba-tiba Yura berkata, "aku selalu penasaran dengan fotomu. Aku sudah melihat beberapa sih yang ada di internet, dan itu bagus sekali. Jadi, bolehkah aku melihat beberapa foto yang ada di Jakarta waktu itu?"

"Tidak." Sangat singkat. 

Kening Yura langsung mengerut, "kenapa? Aku tidak akan mengkritik, kok. Aku juga tidak akan menyebarkannya. Hanya penasaran saja."

Menyerah, Mihnyuk akhirnya mengeluarkan laptopnya yang memang sudah tersimpan foto-foto yang diambil di Jakarta setelah menghela napas dan memberikannya pada Yura. 

"Wah!" Itu kata pertama yang keluar dari mulut Yura begitu melihat foto pertama. Llau ia menggeser, melihat foto-foto lainnya. Matanya berbinar saat menatap foto demi foto. "Bagus sekali!" Yura tak habis-habisnya memberikan pujian yang tulus di tiap foto yang ada.

Berbeda dengan Yura yang sedang antusias melihat foto-foto itu, Minhyuk dengan santai menyeruput kopinya, dan...

ASTAGA! 

Matanya langsung membelalak begitu mengingat ada foto Yura juga di sana. Kopinya langsung ia taruh di meja, dan menutup layar laptop itu dengan cepat. Tangannya langsung mengambil laptopnya dari Yura untuk dimasukkan ke dalam tasnya lagi, mengundang pandangan terkejut bercampur kecewa dari Yura.

Oh astaga, kalau Yura lihat, bisa menjadi masalah nanti. Mau kasih alasan apa dia nanti.

"Aku belum selesai lihat tau," protes Yura.

"Lihat saja nanti kalau sudah muncul artikelnya."

"Kau akan menguploadnya di artiketl' tanya Yura.

Minhyuk mengangguk, "Sedang diproses."

"Wow!" Yura menutup mulutnya sendiri, tak sabar. "Kabari aku jika sudah diupload ya!"

"Tidak mau."

"Ish," keluh Yura. "Kenapa tidak mau?"

"Naega wae? Mwo hareo?" Minhyuk mendengus dan menyeruput kopinya lagi.

"Ya aku mau lihat. Ya ya ya?" rengek Yura, yang terlihat sedikit imut di mata Minhyuk.

Lagi, lelaki itu menyerah dan mengangguk, "baiklah."

"Sehabis ini, kau mau ke mana?" tanya Yura sambil menyeruput kopinya.

Lelaki di depannya terdiam sebentar, berpikir. Tidak ada rencana sih. "Tidak tahu. Cepat habiskan, aku mau keliling lagi."

"Eh? Kalau begitu, aku mau ikut!"

"Tidak. Aku mau sendiri."

"Cih, dasar introvert."

Minhyuk memutar bola matanya, malas menanggapi celetukan gadis di depannya.

Yura malah menyeringai kecil. "Ah, karena kau fotografer, boleh gak aku minta tolong untuk mengambil fotoku? Aku sudah lama tidak mengganti foto profil. Sekitarku tidak ada yang bisa mengambil foto dengan baik," pintanya, matanya mengerjap beberapa kali, berharap Minhyuk mau melakukannya.

Sebenarnya, dia sedikit was-was meminta hal ini. Minhyuk kelihatan tipe yang gampang menolak, apalagi dia hanya diam selama beberapa detik tanpa memberi jawaban.

Astaga, bakal ditolak gak ya? Yura mulai gugup sendiri.

Tapi siapa sangka, Minhyuk malah mengulurkan tangannya, meminta ponselnya.

Senyum cerah langsung menghiasi wajah Yura. Tanpa menunda, dia cepat-cepat memberikan ponselnya kepada lelaki itu.

Minhyuk mengambil beberapa foto, lalu mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

"Terima kasih!! Wah, fotonya bagus sekali! Yeoksi, fotografer memang beda," seru Yura dengan wajah sumringah. Dia langsung membuka galeri dan melihat hasil jepretan Minhyuk satu per satu. "Biasanya kalau Rowoon atau Minjun yang ambil foto, pasti ada saja yang aneh. Harapanku hanya Hyena, tapi dia belakangan ini sibuk banget sampai gak bisa main."

Setelah menemukan foto yang paling disukainya, Yura langsung mengganti foto profilnya.

Setelah menemukan foto yang paling disukainya, Yura langsung mengganti foto profilnya

"Kau memangnya tidak sibuk?" tanya Minhyuk.

Senyum Yura langsung luntur. Dia mendesah panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. "Tentu saja aku sibuk. Sudah berapa hari aku gak libur. Astaga..."

"Yah, habis dari kata-katamu seperti itu. Terkesan tidak sibuk. Sayang sekali kau sibuk."

Nada ambigu Minhyuk membuat Yura menatapnya penuh selidik. "Maksudnya apa, nih?"

Omg. Minhyuk sadar dia baru saja keceplosan. Kenapa aku sampai kepikiran memberikan tiket pameran ke dia?

Dari tadi, dia memang berpikir untuk memberikan satu tiket lebih ke Yura. Tadi dia bertemu dengan editornya yang tiba-tiba memberikan lima tiket untuk acara pameran foto seniornya.

"Direktur Hwang sengaja memberimu satu tiket lebih supaya kau bisa membawa pacar, katanya. Kalau kau menolak, beliau akan mencarikan blind date lagi untukmu."

Hadeh. Entah harus menanggapi bagaimana lagi soal pamannya itu.

"Ada apa memang? Kau mau mengajakku jalan?" tanya Yura dengan mata berbinar penuh harapan.

Minhyuk buru-buru menggeleng cepat.

"Eii. Mwonde mwondeeee?! Katakan saja!"

Ck. Minhyuk kembali menyerah. Dengan perasaan yang masih agak ragu, pelan, dia mengeluarkan tiket pameran itu dan memberikannya pada Yura. "Kalau kau tidak sibuk saja."

Ck. Minhyuk akhirnya menyerah. Dengan gerakan ragu-ragu, dia mengeluarkan tiket pameran itu dan menyodorkannya ke Yura. "Kalau kau tidak sibuk saja."

"WAH!" Yura nyaris berseru girang. "Aku belum pernah ke pameran foto. Aku akan mengusahakan ikut!"

"Tidak perlu dipaksakan kalau kau si—"

"Aku akan mengusahakannya," potong Yura cepat, menggeleng kuat. "Kalaupun ada jadwal, aku bisa coba tukar dengan temanku yang lain."

Minhyuk mendesah kecil. "Tidak perlu sampai selebay itu," ujarnya dengan ekspresi tetap cool sambil menyeruput kopinya.

Padahal sebenarnya dia juga ikut senang melihat senyum Yura tadi. cih. "Sudah, aku mau pulang. Kau masih mau disini, kan?" tanyanya sambil meraih tas dan kameranya, bersiap pergi.

Yura menggeleng cepat. "Aku juga sudah mau selesai."

Tanpa pikir panjang, dia langsung menyesap kopinya—lupa kalau minuman itu masih sangat panas.

"Ugh—!"

Dalam hitungan detik, cairan itu membakar lidahnya, refleks membuatnya menyembur sedikit. Beberapa tetes kopi mengenai dagunya, mengalir turun di kulitnya.

Minhyuk, yang sudah siap beranjak, hanya bisa memejamkan mata sejenak sebelum mendesah panjang. "Astaga... benar-benar," gumamnya, tapi langkahnya justru berbalik.

Tanpa ragu, dia menarik beberapa lembar tisu dan mencondongkan tubuhnya. Dengan gerakan sigap, dia menghapus noda kopi di wajah Yura.

Yura, yang masih sibuk menenangkan lidahnya yang panas, tidak langsung sadar akan kedekatan mereka—sampai akhirnya dia mendongak.

Mata mereka bertemu.

Seakan ada tombol tak kasatmata yang ditekan, dunia di sekitar mereka langsung melambat.

Orang-orang yang berlalu-lalang di kafe mendadak seperti bayangan buram, hanya siluet abu-abu yang bergerak dalam kecepatan yang berbeda. Hanya mereka berdua yang masih berwarna—seakan dunia menyisakan ruang hanya untuk mereka.

Yura bisa melihat pantulan cahaya dari jendela besar di balik Minhyuk yang jatuh di wajahnya. Matanya... hitam pekat, tapi bukan kegelapan yang menelan, melainkan sesuatu yang jernih dan dalam. Bulu matanya cukup panjang untuk ukuran laki-laki, dan garis rahangnya yang tegas semakin terlihat jelas dari jarak sedekat ini.

Sementara itu, di mata Minhyuk, perempuan di depannya terlihat... berbeda. Tidak sekadar manis, tapi lebih dari itu. Matanya, cokelat gelap dengan pantulan cahaya lampu kafe yang membuatnya tampak bersinar. Ada bayangan dirinya di sana, kecil tapi nyata. Batang hidungnya yang cukup tinggi seakan pas sekali dengan bentuk wajahnya.

Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.

Detak jantung Yura melambat—atau justru semakin cepat? Dia tak bisa membedakan.

Minhyuk juga diam. Dia bisa saja menarik diri sekarang, tapi entah kenapa, tangannya masih menempel di wajah Yura, jemarinya masih memegang tisu yang setengah basah.

Terlalu lama. Terlalu dekat.

Hingga suara waitress memecah momen itu.

"Ehem. Maaf, bisa duduk? Kalian sedikit menghalangi jalan."

Suara pelayan itu seperti tombol pemutar waktu kembali ke realitas. Seketika warna dunia kembali memenuhi kafe, suara langkah kaki, dentingan gelas, dan obrolan pelanggan lain kembali terdengar.

Yura tersadar lebih dulu, langsung menarik tubuhnya ke belakang. Pipi hangat, detak jantung tidak karuan.

Minhyuk berdeham pelan, menaruh tisu di meja lalu menyerahkan beberapa lembar yang baru. "Kalau minum tuh, hati-hati. Kau ini..."

Cih. Baru saja dia terlihat perhatian, sekarang malah menyebalkan lagi. Yura mendecak, mengambil tisu itu dengan sedikit kesal. "Ya maaf, aku juga gak sengaja."

Siapa juga yang dengan sadar ingin menyiram lidahnya sendiri dengan kopi panas?!

Yura hampir kembali menyesap kopinya, tapi pergerakannya terhenti saat sebuah kemeja biru navy tiba-tiba terulur ke arahnya. Dia menatap Minhyuk dengan bingung.

Minhyuk berdeham pelan, mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menyodorkan kemeja itu. "Ini... pakai saja."

Yura masih diam, tidak langsung mengerti maksudnya.

Minhyuk akhirnya menggaruk tengkuknya, sedikit gelisah. "Bajumu... uh, agak basah. Terus... ya, kau tau sendiri lah."

Oh, sial.

Baru saja Yura memproses ucapannya, wajahnya langsung memanas. Dengan refleks, dia buru-buru menutup bagian dadanya dengan tangannya sendiri. Tanpa banyak bicara, dia menerima kemeja itu dan segera beranjak ke toilet untuk berganti pakaian.

Sementara itu, Minhyuk kembali duduk, menjaga barang-barang Yura. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas pelan.

Dipikir-pikir lagi, perempuan itu benar-benar tidak bisa diprediksi.

Ckckck

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Doctor My Soulmate
149      135     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Behind The Scene
1424      652     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
Help Me to Run Away
2719      1236     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Mendadak Halal
8707      2398     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Cute Monster
725      426     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
Bait of love
2344      1118     2     
Romance
Lelaki itu berandalan. Perempuan itu umpan. Kata siapa?. \"Jangan ngacoh Kamu, semabuknya saya kemaren, mana mungkin saya perkosa Kamu.\" \"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"
Silent Love
3363      1559     2     
Romance
Kehidupan seorang Gi Do Hoon yang tenang dan tentram tiba-tiba berubah karena kedatangan seorang perempuan bernama Lee Do Young yang sekaramg menjadi penyewa di salah satu kamar apartemennya. Ini semua karena ibunya yang tiba-tiba saja -oke. ibunya sudah memberitahunya dan dia lupa- menyewakannya. Alasannya? Agar Do Hoon bisa keluar dari apartemennya minimal dua hari lah selain ke perpustakaa...
Sebuah Jawaban
424      305     2     
Short Story
Aku hanya seorang gadis yang terjebak dalam sebuah luka yang kuciptakan sendiri. Sayangnya perasaan ini terlalu menyenangkan sekaligus menyesakkan. "Jika kau hanya main-main, sebaiknya sudahi saja." Aku perlu jawaban untuk semua perlakuannya padaku.
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
2761      1307     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Rumah Tanpa Dede
267      194     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...