Oke. Jadi begini.
Yura masih sering bertukar pesan dengan Minhyuk. Itu tentu adalah hal yang pasti terjadi.
Tapi yang berbeda adalah... Minhyuk sekarang tidak lagi menjawab dengan singkat, padat, dan jelas. Sekarang, Minhyuk menjawab dengan panjang, terkadang basa-basi, dan bahkan bisa bertanya balik ataupun bertanya lebih dulu.
Dan yang lebih mengejutkan adalah mulai tiga-empat hari belakangan ini, Minhyuk beberapa kali meneleponnya hanya untuk sekedar menanyakan kabar, mengirimkannya makanan, mengirimkan foto random. Jauh lebih perhatian. Seakan-akan... dia orang yang berbeda dari yang Yura kenal.
Tentu. Tentu saja Yura merasa senang. Karna seperti diberi lampu hijau kalau disini bukan hanya dia yang punya ketertarikan, bukan hanya satu arah, tapi dua arah. Tapi... bagaimana kalau Yura hanya kepedean saja? Bagaimana kalau sebenarnya tidak seperti itu?
Hm...
Seperti hari ini. Yura sempat mengeluh pada Minhyuk kalau dia ada operasi dadakan padahal dia baru saja kelar operasi. Ya... sebenarnya bukan salah pasien atau salah siapapun sih.
Siapa yang menyangka kalau pasien anak yang sudah seminggu ini dirawat dengan Medulloblastoma tiba-tiba saja keadaannya memburuk. Kepalanya sakit meskipun sudah diberikan obat, lalu muntah, leher kaku, dan lebih parahnya anak tersebut kejang-kejang dan kehilangan kesadarannya.
Saat Yura dipanggil dan periksa, pupilnya sudah tidak simetris, pernapasan tidak teratur dan berbagai kondisi yang mewajibkan Yura memanggil dokter senior.
Mau tak mau, Profesor Jung selaku dokter penanggung jawab anak itu, langsung dipanggil untuk operasi dadakan guna menurunkan tekanan dalam otak terlebih dahulu.
Dan itu rasanya lelah sekali.
Saat Yura selesai operasi dan membersihkan tubuhnya, Yura mengambil ponsel dari loker. Matanya membulat antara tekerjut dan senang begitu melihat chat yang ia dapat dari Minhyuk sekitar satu jam yang lalu, membuatnya tersenyum, seakan ada yang membuatnya semangat lagi.
Go Minhyuk:
kata Minjun, kau seharian ini kau operasi terus
bahkan jam pulang pun ada operasi dadakan
nanti aku jemput ya
sudah malam juga
Siapa yang tidak tersenyum jika melihat pesan seperti ini. Dan pesan yang masuk setengah jam yang lalu adalah...
Go Minhyuk:
aku tunggu di café depan eunggeubsil ya
wah ternyata suasana malam di rumah sakit memang berbeda
Tunggu sebentar... (Eunggeubsil: IGD)
Mata Yura yang tadinya membentuk bulan sabit tersenyum, sekarang membulat. Menatap lekat-lekat jam dikirimkan pesan itu. Tiga puluh satu menit yang lalu.
Oh astaga!
Dengan mengambil asal jaketnya dan ransel yang disangkutkan di satu bahu secara asal, Yura menepuk bahu temannya yang baru kelar operasi juga selagi dia sedikit berlari menuju pintu ruang ganti. "Ya, aku pulang dulu, ya!"
Kakinya berlari secepat mungkin. Persetan dengan napasnya yang mulai tersengal. Yang pasti dia harus sampai depan café itu secepat mungkin.
Disana, di kursi yang tersedia depan café, dengan lampu seadanya dari counter kasir, terlihat Minhyuk sedang duduk dengan tenang. Entah bagaimana, mungkin karna suara langkah kaki Yura juga, lelaki itu menoleh dan langsung berdiri sambil melambaikan tangannya. Senyum yang diberikan lelaki itu padanya seakan sudah menghapus sepertiga rasa lelah yang Yura rasakan hari ini.
Di depan Mihnyuk, Yura berdiri dengan napas yang sekuat tenaga ia atur agar tidak terlalu tersengal-sengal. "Kau... kau sudah menunggu lama?"
Minhyuk menggeleng, tangannya beralih untuk mengambil ransel dari bahu Yura dan menyampirkan di bahunya sendiri. Tak lupa, dia juga menukar jaket ditangan Yura dengan botol air mineral yang sudah ia beli lebih dulu untuk perempuan itu.
"Gomawoyo."
Setelah Yura meneguk air itu, barulah Minhyuk membuka jaket itu untuk Yura pakai.
Kalau dulu-dulu, Yura mungkin menahan senyum, sekarang, dia benar-benar menampilkan senyum senangnya pada lelaki itu.
"Kenapa kau berlari?" tanya Minhyuk dengan mata yang menatap Yura sedikit khawatir.
Matanya memperhatikan dengan teliti, raut lelah sangat jelas tercetak di wajah perempuan ini. Beberapa helai rambut yang sepertinya tadi ikut berterbangan pas Yura berlari, terlihat menutupi sedikit bagian keningnya.
Dengan sangat sadar, Minhyuk menyingkirkannya dengan lembut.
Kalian harus percaya kalau Yura bilang jantungnya sekarang sedang berlari secepat atlet lari bertanding.
Wajahnya pasti sudah merah sekali sekarang, semerah tomat. Terasa sekali panas wajahnya.
Minhyuk yang melihatnya, jadi gemas juga. Jarinya dengan pelan mengetuk kepala Yura dan mengacak rambutnya pelan, "kenapa juga kau memerah lagi?"
Salah satu perbedaan lainnya adalah, Minhyuk cukup sering mengacak rambutnya sekarang kalau bertemu Yura. Apalagi saat Yura cerita kalau dia sedang lelah.
Yura menggelengkan kepalanya masih tersenyum malu. Tangannya tergerak untuk memegang kedua sisi wajahnya, menutupi rona merah yang terpampang jelas. "Aku takut kau menunggu lama. Makanya aku berlari."
"Gwaenchanha. Aku yang mengajukan diri untuk jemput, jadi sudah resikoku juga jika kau agak telat. Karna aku juga tidak tahu pasti kau selesai operasi jam berapa."
"Tapi ini sudah jam 11 malam. Kenapa kau menjemputku?"
Minhyuk masih menatap lekat perempuan yang berdiri depannya ini. Dengan senyum tipis di wajahnya, tangan Minhyuk terulur untuk menurunkan tangan Yura yang menutupi wajah cantiknya. Menggenggamnya, dan mengelus tangan itu, menghantarkan sengatan listrik kecil untuk Yura.
"Karna sudah malam," jawab lelaki itu santai. "Ayo ke mobil."
Yura tersenyum melihat tangannya digenggam oleh orang yang ia suka. Astaga, ternyata Go Minhyuk orangnya seperti ini ya. "Kau tak mau melepaskan ini dulu?" tanyanya bercanda pada Minhyuk.
"Ani. Aku takut aku bisa jatuh kalau tidak berpegangan denganmu." Tubuh Minhyuk sedikit maju, mendekat ke sebelah telinga Yura. "Mulai sekarang, kau adalah tumpuan hidupku," bisiknya lembut.
Yura bisa melihat dengan sangat jelas senyum yang terbit di wajah lelaki itu meskipun lampu rumah sakit sedikit remang. Membuat Yura ikut tersenyum lebar dan malu.
Apa coba maksudnya?
Akhirnya, Yura menurut dan ikut berjalan bersampingan ke arah parkiran.
Seperti biasa, Minhyuk menaruh barang-barang Yura di kursi penumpnag belakang, membukakan pintu untuk Yura dan memakaikan seatbelt untuknya dulu, barulah dia berputar untuk duduk di kursi belakang kemudi.
Dan tak lama, mobil tersebut sudah keluar dari area parkir.
"Sebenarnya..." Pandangan pada jalanan yang tadinya Yura lihat, kini berubah kepada Minhyuk. Menunggu lanjutan kata-kata dari lelaki itu. "Hm... tak jadi deh."
Yura memiringkan kepala, satu alisnya terangkat bingung. "Kau tidak bisa menggantungkan pertanyaan seperti itu dan membiarkanku penasaran seperti ini. Arayo?" (Tahu, tidak?)
Minhyuk terkekeh pelan dibuatnya. "Tapi kau harus janji untuk tidak meledekku," katanya sambil menoleh sebentar pada Yura yang mengangguk lalu fokus ke jalanan depan lagi. "Kau... berpacaran dengan Jung Rowoon, kah?"
Dan suasana dalam ruang kecil itu tiba-tiba saja hening.
Tidak ada jawaban dari Yura selama beberapa detik, hingga membuat Minhyuk deg-degan. Dengan diam-diam Minhyuk menoleh sebentar hanya untuk melihat apa raut wajah Yura sekarang. Ia takut Yura marah. Tapi ternyata dia mendapati Yura sedang menahan tawanya di kursi pengemudi.
Dan tak lama, suara tawa keras terdengar di telinganya. Mengisi keheningan yang sempat membuatnya takut tadi.
"Wae usseo?" (Kenapa kau tertawa?)
"Ani... dari semua kata-kata yang sudah kau katakan padaku, sepertinya itu adalah yang paling lucu," jelasnya di sela-sela tawanya.
Bisa mendengar suara tawa Yura dan bukan omelan, sontak membuat lelaki itu ikut tersenyum. "Memangnya kau mengingat semua perkataanku?"
"Mwo... da neun anijiman, tapi sepertinya memang ini yang terlucu, sih." Yura meneguk salivanya sebentar dan mengatur napasnya, walaupun dia masih berusaha keras menahan tawanya. "Kenapa kau bisa bertanya seperti itu?" (Hm... tidak semuanya sih)
"Karena dia terlihat sangat peduli padamu."
Yura menoleh, "Minjun dan Hyena juga peduli padaku, kok."
Minhyuk berdecak. Perempuan di sebelah ini seperti sedang mengajaknya ribut, deh. Masa tidak bisa membedakan rasa peduli dari teman dan dari teman, sih. "Tidak seperti Jung Rowoon. Lelaki itu terlihat menyukaimu. Manhi tina." (Sangat terlihat)
Dan kembali hening. Yura tidak menjawab dengan cepat, lagi. Kenapa sih perempuan ini sering seperti ini. Membuatnya jadi dag dig dug.
"Hm... memang sih dia pernah menembakku."
Sontak, pegangan Minhyuk pada kemudinya semakin erat diiringi dengan matanya melirik Yura sebentar. Berharap ada kelanjutannya di belakang. "Tapi aku sudah menolaknnya," sambung Yura sambil tersenyum simpul.
Woohoo!
Mendengar jawaban terakhir itu, Minhyuk baru bisa melemaskan pegangannya dan tersenyum malu-malu. Dan untung saja ini malam hari, gelap, jadi tidak mungkin Yura bisa melihatnya tersenyum.
Setidaknya itu yang ia pikirkan sih, "heiiii! Kau tersenyum!!" Yura menunjuk Minhyuk sambil tertawa kecil. "Kau sesenang itu mendengarnya?"
Yah, kalau kau mau mengejar perempuan yang kau suka, kau tentu tidak boleh gengsi, kan?
Jadi Minhyuk mengangguk, "aku senang. jadi aku tidak merasa bersalah untuk mengejarmu. Karna kau masih single, iya, kan?"
Kicep. Yura terdiam, mengerjapkan matanya. "Ne?"
Minhyuk menoleh sambil tersenyum tipis, lalu kembali menatap jalan. Tapi tangan kanannya mengacak rambut Yura dengan gemas, "tidurlah dulu. Nanti akan ku bangunkan jika sudah sampai."