Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Senja sudah hampir habis ketika Lara tiba di rumah. Langit memudar dari jingga ke keabu-abuan, dan dedaunan di halaman depan bergoyang pelan dipukul angin sore. Rumah itu berdiri tenang seperti biasa—rapi, terawat, dan diam. Hanya diam.

Langkah Lara perlahan saat menaiki undakan depan. Udara sore merayap masuk lewat sela lengan bajunya. Tote bag yang tergantung di bahu kirinya terasa berat—tentunya bukan karena isinya, tapi karena apa yang dibawanya ikut menyeret pikirannya jatuh.

Jemarinya kaku, seolah darah sudah malas mengalir ke sana. Nafasnya pendek dan tidak teratur, seperti tubuhnya menolak berada di tempat ini.

Pintu terbuka bahkan sebelum ia sempat mengetuk.

“Jam berapa ini?” suara Ayahnya menyambut tajam, bukan keras, tapi cukup untuk memukul hati. Wajah Ayahnya itu tak menyimpan kekhawatiran, jelas hanya kekesalan.

“Kalau cuma main, jangan bohong bilang kerja kelompok.”

Lara belum sempat bicara, Lusi sudah menyusul dari ruang tengah. Dengan wajah letih dan nada sinis, Ibunya menambahkan, “Dasar sok sibuk! Ibu juga yakin kamu ini bukan kerja kelompok! Malas-malasan aja! Ibu capek beresin rumah sendirian, kamu kemana aja? Kamu itu anak pertama, harus bisa diandelin!”

Lara menggigit bibir. Tangan kirinya gemetar sedikit, tapi ia rapatkan ke belakang tubuhnya agar tak terlihat.

“Tadi aku bantu kegiatan. Selesainya agak lambat... aku nggak main kok, Bu,” suara Lara nyaris tak terdengar. Bukan karena takut, tapi karena lelah menjelaskan.

“Ya, selalu begitu! Ada aja alasan. Kamu pikir hidup kamu penting?” Ayahnya berbalik, suara ponsel di tangannya terdengar klik saat dia menutupnya. “Kami di rumah ini juga capek. Jangan egois, Lara.”

Lusi menatap tajam. “Bilang aja kamu gak peduli sama Adikmu kan? Kegiatan luar lebih penting, ya?” ucapnya sinis.

Tak ada yang menunggu penjelasan. Tak ada yang benar-benar ingin tahu.

Tak ada yang menunggu penjelasan.

Tak ada yang benar-benar peduli untuk tahu.

Lara hanya mengangguk kecil, lalu berjalan naik. Setiap anak tangga seperti menghantam pelipisnya dari dalam, satu per satu. Sakit kepala yang mengendap sejak siang kini membengkak, menekan seperti sesuatu yang ingin pecah di balik tengkorak. Pandangannya kabur, berbayang. Tapi ia tetap melangkah, tetap diam.

Sudah biasa.

Lelah selalu jadi alasan yang paling mudah—dan paling aman.

Ia duduk di ujung ranjang dan memejamkan mata. Wajah-wajah tadi siang—anak-anak yang tertawa dan bersyukur, Udara panas yang menyengat kulit saat membagi nasi bungkus—semuanya muncul lagi di kepalanya, tapi kini terhalang oleh denyutan pelan yang menyiksa di belakang mata kirinya.

Tangannya meraba meja belajar. Ada secarik kertas dari Satya.

Kakak janji ngajarin jam 2, tapi gak datang. Aku belajar sendiri. Gak usah diajarin lagi.

Tulisan Satya sedikit berantakan. Lara tahu itu bukan marah sungguhan. Satya sedang ngambek. Hanya kecewa. Dan itu justru yang paling menyesakkan—karena Satya adalah satu-satunya yang kadang, walau jarang, benar-benar melihatnya. Menyadari kehadirannya.

Tapi hari ini, tidak ada satu pun yang melihat.

Lara menghela napas, memandang langit yang berubah gelap di luar jendela. Lalu berjalan pelan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Pandangan matanya bertemu dengan bayangannya sendiri di cermin. Pucat. Bibir sedikit kering. Ada lingkaran samar di bawah matanya.

Tapi tidak apa-apa, katanya dalam hati. Ini pasti hanya kecapekan.

Ia tidak akan bilang siapa pun. Tidak akan membuat repot siapa pun.

Seperti biasa.

*****

Lara kembali ke meja belajarnya. Buku matematika kelas lima SD milik Satya terbuka di depannya, tapi ia hanya membalik-balik halaman tanpa benar-benar membaca. Bukan karena malas—justru karena terlalu ingin memahaminya. Tapi kata-kata di buku itu seolah bergetar pelan, mengikuti denyut kepalanya yang semakin berat.

Ia menghela napas, berusaha menahan diri untuk tidak memejamkan mata terlalu lama. Dari luar kamar, terdengar suara Leo menyuruh Satya mandi, sementara Lusi sibuk mengomel soal cucian yang belum disetrika. Suara-suara rumah yang seharusnya terasa akrab malah membuat Lara merasa seperti orang asing.

Lara berjalan menuju rak kecil di pojok kamar, mengambil dompet kecil berisi stiker lucu, lalu dengan hati-hati menyelipkan satu stiker bergambar planet Saturnus berwarna biru di sampul buku Satya. "Biar semangat," bisiknya, meski tak ada yang mendengar.

Kembali ke meja belajar, ia membuka ponselnya. Tak ada notifikasi baru. Grup relawan yang tadi siang ramai kini sudah senyap. Beberapa pesan dari teman sekolah yang menanyakan PR, tapi tak ada yang benar-benar peduli.

Tiba-tiba, notifikasi baru muncul. Sebuah pesan dari Sera masuk. Lara membuka pesan itu.

Lara, makasih buat hari ini, aku seneng banget. Semoga kamu baik-baik aja ya di rumah^^

Lara terdiam sejenak, matanya sedikit berkaca-kaca. Kata-kata itu seperti menyentuh bagian yang lama ia sembunyikan. "Setidaknya ada satu, yang peduli sama aku,"

Begitu membaca pesan itu, Lara segera bangkit, ia tak bisa membiarkan dirinya terlalu larut. Perlahan, ia mematikan ponselnya, meletakkannya di meja. 

Cahaya dari jendela semakin meredup. Angin malam mulai masuk lewat celah kisi-kisi. Kepalanya makin terasa berat, tapi ia enggan tidur. Seakan-akan, jika tidur sekarang, semuanya akan makin terasa sepi.

Tepat pukul sembilan malam, Lusi mengetuk pintu kamar. Tanpa menunggu jawaban, pintu sedikit terbuka.

“Jangan lupa besok ajarin Satya belajar sepulang sekolah. Awas aja kalau Satya sesedih tadi. Lara, jadilah Kakak yang berguna, ya?” suara Lusi tajam, seolah menuntut lebih dari sekadar perkataan.

Lara mengangguk lemah, menunduk, berusaha menghindari tatapan Lusi. "Iya, maaf," jawabnya pelan, hampir tidak terdengar.

Lusi hanya mendesah, lalu menutup pintu dengan langkah cepat. Tak ada "Makasih", apalagi "Kamu capek?" Lara merasa ada ruang hampa yang mengisi dadanya. Mungkin sedikit perhatian, bahkan hanya kata-kata biasa, bisa membuat malam ini terasa lebih hangat.

Setelah semua lampu rumah mati, Lara berbaring di tempat tidurnya, menyelipkan tubuhnya ke balik selimut tipis. Tapi matanya tak kunjung terpejam. Ada bunyi seperti detak yang keras di dalam kepala. Tidak sakit yang mencolok, tapi cukup untuk membuatnya sadar kalau tubuhnya sedang berusaha memberi tahu sesuatu.

Kepalanya berdenyut perlahan, matanya sedikit kabur, dan kadang suara dari luar terasa tenggelam, seperti berada di dalam air. Tapi ia tak mau berpikir yang aneh-aneh.

“Mungkin karena matahari siang tadi terlalu terik,” gumamnya. “Besok pasti baikan.”

Ia memeluk bantal kecilnya, yang sudah ia gunakan sejak kecil. Ada bordiran namanya di sudut bawah. Ibunya yang menjahitkan waktu ulang tahun ke-3. Saat itu, Lusi sempat membuatkan kue, meskipun rasanya asin. Saat itu, rumah terasa lebih hangat. Saat itu, semuanya belum berubah seasing ini.

Lara terpejam dengan bisikan pelan dalam hati—jadi anak baik, jangan bikin masalah, jangan bikin orang lain repot.

Besok pagi, ia akan bangun lebih cepat. Mungkin menyiapkan sarapan untuk Satya. Mungkin juga akan menyapu halaman supaya Ibunya tak marah. Kalau sempat, ia akan diam-diam membeli vitamin. Kalau tidak sempat, ia akan pura-pura baik-baik saja.

Karena begitulah Lara hidup, menjadi baik agar tidak ditinggalkan.

****

Pagi hari datang lebih cepat dari yang Lara bayangkan. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah jendela, membangunkannya sebelum alarm berbunyi. Lara mengerjapkan matanya, masih lelah, tapi tetap memaksa tubuhnya bangun.

Ponselnya ada di meja belajar, layar gelap. Tanpa pikir panjang, ia menggapainya dan mematikan alarm. Jemarinya menyentuh layar, membuka pesan dari Sera yang masih tersimpan di sana. Meski baru sebentar, kata-kata itu masih hangat di pikirannya. Ia tersenyum pelan, merasakan sedikit kedamaian sebelum hari baru dimulai.

Lara bangkit dari tempat tidur, menarik selimut tipis itu dan melipatnya dengan cepat. Ia mengusap wajahnya, merasa sedikit pusing, namun berusaha menepisnya. Ia tahu, tak ada waktu untuk merasa lelah. Di luar, suara ayam berkokok mulai terdengar. Lusi sudah mulai sibuk di dapur, seperti biasa.

Ia berjalan pelan menuju kamar Satya, melihat adiknya yang masih terbaring di meja belajar dengan wajah cemberut. Satya belum tidur semalaman, buku matematika terbuka di depannya. Lara merasa sedikit kasihan melihatnya, tapi ia juga tahu, Satya tak akan pernah mengakui kalau dia butuh bantuan.

Lara duduk di sampingnya, menatap buku itu sebentar. “Satya, kamu tidur?” tanyanya pelan.

Satya hanya menggeleng, masih terlihat kesal. Lara mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. “Maaf ya, kemarin Kakak lupa, ini Kakak bawain stiker planet, kesukaan Satya. Maafin Kakak ya?"

Satya mendongak, menatap kakaknya sejenak. Walaupun terlihat enggan, akhirnya ia mengangguk pelan. “Nyebelin. Pokoknya hari ini Kakak gak boleh lupa lagi,"

Lara tersenyum sedikit lebih lebar. "Iya dek,"

Pagi itu terasa lebih tenang. Meski masih ada rasa lelah di tubuhnya, Lara berusaha menjalani hari dengan sebaik mungkin. Setelah memastikan Satya masih bisa sedikit fokus pada pelajarannya, ia keluar dari kamar dan menuju dapur.

Di sana, Lusi sudah mulai menyiapkan sarapan. Lara membantu sejenak, menyiapkan roti dan teh hangat. Sebelum terlalu larut, ia berjanji pada dirinya sendiri, hari ini ia akan lebih baik. Ia akan jadi anak yang bisa diandalkan, meskipun kadang merasa sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 2
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
Dalam Satu Ruang
274      212     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Yu & Way
305      240     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Cinderella And The Bad Prince
3544      2022     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Tic Tac Toe
898      723     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Resonantia
927      641     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Behind The Spotlight
4543      2311     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Kepak Sayap yang Hilang
171      155     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Give Up? No!
499      342     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
TANPA KATA
84      78     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Finding My Way
1832      1138     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?