Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti jalanan kompleks. Embun menempel di dedaunan, dan langit berwarna biru pucat—tanda matahari belum benar-benar muncul.

“Kak Lara, cepetan! Nanti keburu ada matahari! Gue males pake sunscreen!” teriak Luna dari halaman depan. Ia berdiri dengan satu tangan di pinggang, tali skipping melilit di tangan satunya. Nafasnya terlihat di udara dingin.

Lara berjalan malas keluar rumah. Kaos putihnya kebesaran, hampir menutupi celana tidur panjangnya yang kusut. Rambutnya masih kusut, matanya sembab karena kurang tidur.

“Kamu aja, Lun. Kakak mau bantu Ibu siapin sarapan,” ucapnya pelan, suaranya parau.

Belum sempat Luna membalas, suara berat Ayah mereka menyusul dari dapur.

“Biar Ayah aja yang bantu Ibu. Kamu ikut olahraga kecil sama Luna. Badan kamu itu kayak kurang gerak. Besok aja bantuin Ibu.”

Lara menunduk pasrah, tanpa protes. Ia mengambil tali skipping dari tangan Luna, lalu berdiri sejajar di halaman yang masih sepi. Jalanan kosong, hanya suara burung pagi yang sesekali terdengar.

Luna mulai duluan. Gerakan kakinya cepat, teratur, ringan seperti sudah terbiasa. Tali skipping melambung dan membentur tanah dengan ritme yang pasti.

Lara mencoba mengikuti. Lompatannya canggung. Kakinya menyentuh tali berkali-kali. Nafasnya cepat memburu hanya dalam waktu satu menit.

“Kamu sering olahraga gini, ya? Kakak nggak pernah tahu,” tanya Lara sambil mengatur napas.

Luna menghentikan lompatannya. “Kepo amat sih, sok deket banget,” katanya sambil memutar bola matanya. Tapi membuat Lara tersenyum tipis.

Lima menit… sepuluh menit…

Keringat mulai mengalir dari pelipis mereka. Luna masih terlihat segar, semangatnya tinggi, lompatan stabil. Sebaliknya, Lara mulai terlihat goyah. Tubuhnya mulai gemetar, wajahnya pucat, dan bibirnya mengering. Nafasnya terdengar semakin berat.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia memegangi perutnya dan menunduk, berusaha menahan rasa mual.

"Kak Lara?” Luna melirik, ada keraguan di matanya. Ia ingin bertanya, tapi gengsi menahannya.

“Udah ya, Lun. Kakak nggak kuat,” ucap Lara lirih, meletakkan tali skipping di pinggir tangga teras. Jalannya menuju pintu tampak limbung, seperti kapan saja bisa jatuh.

Luna tetap berdiri di tempat, melihat punggung kakaknya menghilang di balik pintu. Raut wajahnya berubah—ada kekhawatiran yang tak ia ucapkan.

Di dalam rumah, Lara langsung disambut tatapan tajam sang Ibu.

“Kamu kenapa nggak bantu Ibu hari ini?” suaranya tinggi.

Lara menelan ludah, perutnya terasa melilit. “Bu… boleh nggak Lara izin dulu hari ini? Kepala Lara pusing banget… kayaknya masuk angin.”

Ibu mendengus. “Alah, lebay amat! Baru olahraga sebentar udah ngeluh! Ibu bayar mahal sekolah kamu!”

Lara mengangguk pelan. Tak ada amarah, tak ada tangis. Ia hanya melangkah lemah ke kamar, menutup pintu dan menguncinya.

Ia duduk di lantai, memeluk lutut. Hatinya berat, tubuhnya lebih berat lagi. Dalam keheningan itu, ia meraih buku catatannya dari laci. Di lembar kosong, ia mulai menulis. Bukan puisi, tapi surat.

 

Untuk Lara, dari Lara

Hai, kamu...

Aku tahu kamu capek. Tapi terima kasih karena hari ini kamu masih kuat berdiri. Masih bisa tersenyum meski rasanya pengen rebahan aja dan ngilang dari dunia sebentar.

Aku tahu kamu berusaha jadi anak yang baik. Bantuin Ibu, nurutin Ayah, sabar sama Luna, diem waktu disalahin. Tapi kamu juga manusia, Ra. Gak apa-apa kok kalau hari ini kamu ngerasa gak sanggup.

Kamu lelah? Gak apa-apa. Itu wajar.

Kamu merasa sendiri? Gak apa-apa juga. Tapi kamu gak sendirian, karena kamu masih punya dirimu sendiri. Aku, yang ada di sini, ngerti kamu banget.

Jadi, istirahat dulu ya, Ra. Hari ini gak usah sempurna. Hari ini cukup bertahan aja. Gak perlu jadi kuat terus-terusan. Kamu udah luar biasa.

Salam hangat dari hati kamu sendiri,

Lara

*****

Lara baru saja melangkah masuk ke gerbang sekolah saat suara bel pertanda masuk berbunyi nyaring. Lorong-lorong masih sepi, hanya beberapa siswa yang tergesa melewati kelas demi kelas. Aroma khas kapur tulis dan debu lantai bercampur dalam udara pagi, menciptakan suasana yang tak asing tapi juga tak pernah sepenuhnya nyaman.

Ia berjalan pelan melewati dinding abu-abu yang mulai memudar warnanya. Tangan kanannya menenteng tas, dan langkahnya sedikit terseret, seperti tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan. Bukan karena capek, tapi karena ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada.

Lara mengingat kata-kata Ayahnya tadi pagi.

"Hari ini, biar Ayah yang jemput kamu."

Sederhana. Tapi aneh. Begitu asing sampai membuat Lara berhenti sejenak di lorong, menatap lantai seperti mencari jawaban yang tak bisa ditemukan.

Ayahnya? Menjemput?

Ia ingat betul, beberapa bulan lalu—di tengah pertengkaran hebat yang membuat Luna menangis berhari-hari—Ayahnya pernah membentaknya keras. Suara itu masih terngiang jelas dalam kepala Lara.

"Kalau kamu bukan karena tanggung jawab, udah saya buang kamu!"

Itu kalimat yang tak pernah bisa benar-benar dilupakan. Bahkan ketika Ayahnya bersikap seolah-olah tak pernah mengucapkannya.

Jadi kenapa sekarang tiba-tiba perhatian? Kenapa sekarang bersedia datang ke sekolah menjemput? Lara tak tahu. Dan jujur saja, ia tak yakin ingin tahu.

“Lar?!” Sebuah suara ceria memotong lamunannya. Sera muncul dari arah berlawanan, wajahnya sumringah seperti biasa, langkahnya terlihat ringan.

Entah sejak kapan Sera sudah ada di sebelahnya, berjalan seiringan.

“Hari ini lo cantik banget deh,” ujarnya sambil menatap bibir Lara. “Tapi kok pucet, ya? Kamu pake lip cream yang nude ya?”

Lara menyentuh bibirnya tanpa sadar. “Enggak. Ini yang peach, yang kita beli bareng waktu itu.”

Sera memiringkan kepala. “Kok beda dari biasanya, ya? Keliatannya pucet banget.”

Lara tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan. “Aku lagi gak enak badan. Mungkin masuk angin.”

HEY LEADIS!"

Suara cempreng khas Zea langsung menyerbu mereka, membuat Lara dan Sera reflek menoleh. Zea datang dengan gaya sok gemas, rambutnya dikuncir tinggi seperti biasa, dan wajahnya tak berubah: penuh drama.

“Oh iya, Lara, beliin gue susu cokelat di kantin dong. Kaki gue sakit,” pintanya dengan gaya manja, seakan Lara adalah asisten pribadinya.

Sera langsung melirik malas. “Eh, Ze…”

“Gak mau,” potong Lara pelan, namun tajam.

Zea mengernyit. “Hah?”

“Ada Kesya, ada Citra. Kenapa kamu nyuruhnya aku terus? Aku bukan pembantu kamu, Ze.”

Zea terdiam sejenak. Lalu—seperti biasa—senyum sinisnya muncul.

“Wah, rumor tentang lo mulai berubah ternyata bener, ya? Gimana ya kalau Bu Meri tahu anak kesayangannya sekarang udah gak nurut lagi?”

Kalimat itu menusuk. Bu Meri… satu-satunya guru yang benar-benar peduli pada Lara, yang selalu bilang bahwa ia anak baik. Lara merasa hatinya mencelos. Kalau Bu Meri tahu… apakah ia juga akan kecewa?

Ia terdiam. Pundaknya sedikit merosot, seolah menanggung sesuatu yang berat. Sera menatapnya dengan iba, seakan tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu.

“Ser,” bisik Lara kemudian, suaranya kecil dan nyaris tenggelam di keramaian anak-anak yang mulai berdatangan.

“Yang aku lakuin… salah gak sih?”

Sera mengangguk mantap. “Enggak, Lar. Kamu harus belajar mikirin diri kamu sendiri. Kamu juga berhak marah. Kamu juga punya batas. Kamu bukan boneka siapa pun. Kamu juga manusia Lar... berhak punya emosi, berhak nolak. Wajar banget kok, aku dukung kamu!”

Lara akhirnya tersenyum samar. Tak ada yang tahu, bahwa di balik senyum itu, hatinya masih remuk.

Tapi hari itu, di lorong sekolah yang dingin dan asing, Lara tahu satu hal, Lara tak lagi sendirian.

*****

Langit sore mulai berubah warna. Jingga pucat menyelimuti atap sekolah yang kini nyaris kosong. Suara langkah kaki terakhir para siswa telah lama menghilang, hanya menyisakan desiran angin yang mengusik daun-daun kering di halaman. Di bangku panjang dekat gerbang, Lara duduk sendiri.

Tangannya memeluk tas, sesekali menunduk menatap sepatu. Tatapannya kosong, tapi di dalam dadanya—berisik.

Ayahnya berjanji menjemput.

Dan Lara menunggu.

Sudah hampir satu jam sejak bel pulang berbunyi, dan satu per satu temannya pergi meninggalkan sekolah. Bahkan petugas kantin sudah menutup warungnya. Tapi Lara bertahan. Menanti. Dengan hati setengah cemas—setengah percaya. Setengah takut dikecewakan, tapi setengah lagi berharap... mungkin saja, hari ini berbeda.

Mungkin kali ini Ayahnya benar-benar datang.

Mungkin.

Lara menatap gerbang sekali lagi.

Kosong.

Lalu, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi muncul. Ia buru-buru meraihnya—jantungnya berdegup cepat.

Tapi detik berikutnya, rasanya seperti ada yang menampar hatinya keras-keras.

Lara maaf, Ayah ada meeting mendadak. Gak jadi jemput.

Lara membeku.

Tak ada air mata yang jatuh—hanya diam. Namun diam itu seperti retakan besar yang membelah hatinya dari dalam. Sekolah sudah benar-benar sunyi sekarang. Tak ada siapa-siapa lagi. Bahkan suara motor penjaga sekolah pun sudah lenyap.

Hanya dia, dan perasaan dikhianati oleh harapan.

“Harusnya aku gak suka terlalu berharap…” gumamnya pelan, hampir seperti berbisik pada diri sendiri. “Ayah kan selalu kayak gini…”

Suara itu nyaris tenggelam dalam suara angin yang lewat pelan.

Lara berdiri. Kakinya melangkah perlahan, meninggalkan bangku tempatnya duduk. Ia tak tahu akan ke mana. Tak ada angkutan lewat jam segini. Tak ada yang benar-benar ada dipikirannya. Tapi Lara tetap berjalan, entah menuju arah mana.

Yang pasti, bukan menuju rumah.

Mungkin hanya ingin menjauh.

Dari rasa kecewa.

Dari janji yang tak ditepati.

Dari rasa percaya yang kembali ia beri, dan lagi-lagi dihancurkan.

Langit makin gelap.

Dan Lara masih berjalan.

Sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 2
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
Manusia Air Mata
2771      1591     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Happy Death Day
799      495     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Ameteur
189      169     2     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Hear Me
547      400     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Rver
7661      2264     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Lantunan Ayat Cinta Azra
1705      1004     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Batas Sunyi
2997      1533     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Di Antara Luka dan Mimpi
1817      1025     71     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Diary of Rana
441      374     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
SABTU
7024      2217     13     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...