Matahari menggantung malu-malu di antara celah dedaunan, sinarnya menyusup lembut diiringi kicau burung yang ramai bersahutan. Namun pagi itu tak seindah biasanya bagi Lara.
Di ruang tengah, Lara sibuk membenarkan dasi Satya yang belum juga pas. Sementara itu, Ayah dan Ibu sarapan tanpa banyak bicara, dan Luna... sibuk berswafoto, membidik dirinya sendiri dari berbagai sudut dengan senyum manis yang dibuat-buat.
Lara melirik mereka sekilas. Rasanya hanya dirinya yang terjebak. Tak ada ruang untuk bernapas, apalagi memilih. Bahkan pagi ini, belum sempat ia menyentuh sisir atau seragamnya sendiri. Ibu yang biasanya memasak kini melemparkan seluruh tugas dapur padanya tanpa penjelasan, hanya perintah dingin yang tak bisa ditolak.
Ia pasrah. Karena dalam rumah ini, kehendaknya memang selalu nomor dua.
Lara tahu, dia pasti akan berjalan kaki ke sekolah hari ini. Tak akan ada yang menunggu. Luna dan Lusi selalu tepat waktu dan tak pernah bersedia menunggu ‘anak lambat’ seperti dirinya.
"Ayok, Lun. Kita berangkat," ucap Lusi sambil bangkit dari meja makan. Ia merapikan blazer kerja di depan cermin ruang keluarga, memastikan make up-nya masih sempurna. Setelah puas, ia menggenggam tangan Luna, meninggalkan rumah tanpa melihat ke arah Lara.
"Kak Lara berangkatnya jalan lagi?" tanya Satya polos.
Lara hanya mengangguk, paksa tersenyum. "Iya, tapi ini salah Kakak. Belum siap-siap dari tadi."
Satya cemberut, lalu menoleh ke arah Leo. "Yah, tungguin Kak Lara bentar, boleh?"
Ayah melirik jam tangan. “Ayah tunggu sepuluh menit. Kalau belum selesai, ya, kita jalan duluan.”
Belum sempat menjawab, Lara sudah melesat menaiki tangga, napasnya ngos-ngosan. Ia mengganti baju dengan seragam sekolah yang untungnya sudah ia setrika semalam. Rambutnya ia biarkan tergerai, hanya dijepit sebelah kanan dengan jepitan mutiara yang dulu ia beli saat pulang sekolah.
Lara mengoleskan lip tint warna peach nude. Sekadar agar wajahnya tak terlihat sepucat hatinya.
Lara menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Tapi langkahnya tergelincir, dan tubuhnya hampir jatuh jika saja seseorang tak sigap menangkapnya.
"Ayah," gumam Lara pelan, nyaris tak terdengar.
"Lara! Hati-hati dong! Kalau kamu sampai jatuh dan luka, siapa yang repot? Kita semua! Belum lagi biaya rumah sakit. Mahal!”
Lara menunduk. “Maaf, Ayah…”
Tak ada pelukan. Tak ada kecemasan tentang lukanya, hanya tentang biaya. Seolah yang ditakutkan Ayah bukan rasa sakit Lara, tapi tagihan rumah sakit. Dan di saat itu, Lara benar-benar sadar, ia tak benar-benar tak penting di keluarganya.
*****
Di sekolah, gerbang sudah ramai. Di sana, Sera menunggu dengan senyum mengembang. Sebelum Lara sempat menyapa, Sera sudah mengambil tas dari tangannya.
“Berat ya? Aku bawain,” ucap Sera sambil langsung melangkah lebih dulu.
“Sera! Gak usah! Serius, sini tasnya!”
Sera tak peduli. “Biarin!”
“Sera!”
“Kadang beban itu... perlu dibagi, Lara.”
Tapi kalimat manis itu tak sempat mendarat di hati Lara. Karena langkah Sera yang tergesa membuatnya menabrak seseorang.
Brukkk!
Sera terjatuh. Tas Lara terlempar.
“Nak Sera, kamu nggak apa-apa? Itu tas siapa?” tanya Bu Meri, dengan nada tinggi.
“Maaf, Bu. Sera nggak apa-apa. Ini tas Lara, aku cuma—”
“Apa?! Kenapa ada di tangan kamu?!” suara Bu Meri naik satu oktaf.
Lara datang dengan napas terengah. Bu Meri menatap tajam ke arah Lara, penuh curiga.
“Lara! Ibu sangat kecewa. Kenapa kamu suruh Sera bawa tas kamu? Ini bukan tugasnya, Lara! Kalau sekali lagi Ibu lihat kamu semena-mena, Ibu akan panggil orang tua kamu!”
“Tapi, Bu—” Lara mencoba menjelaskan.
“Membantah? Ini udah termasuk bullying, tahu?! Kamu pikir karena Sera pendiam, kamu bisa manfaatin dia begitu aja? Ibu juga sudah dengar kamu mulai melawan belakangan ini. Ternyata benar ya. Kamu mulai berubah ke arah yang salah.”
Kalimat itu menampar lebih keras dari yang bisa dibayangkan. Di tengah lapangan, suara Bu Meri menggelegar, membuat kepala-kepala mulai menoleh. Tatapan murid-murid tajam. Beberapa mulai berbisik. Sebagian menertawakan. Sebagian hanya menatap dengan rasa iba yang semu.
Lara berdiri diam. Tangannya gemetar. Bibirnya bergetar menahan tangis yang semakin sulit ditekan. Sera mencoba menjelaskan, tapi suara Bu Meri terus memotongnya.
Seolah tak ada ruang untuk kebenaran. Seolah semua sudah memutuskan untuk tak mendengar.
"Tunggu apa lagi? Minta maaf sama Sera sekarang juga!" bentak Bu Meri.
Dengan napas tertahan, Lara memungut tasnya. Suaranya lirih, hampir tenggelam oleh keramaian.
"Maaf, Sera… lain kali jangan bantuin aku lagi ya…”
“T-tapi…”
Tapi Sera tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Bu Meri sudah pergi, meninggalkan riuh hinaan dan cemooh yang menghujani Lara seperti hujan deras di tengah badai.
Lara menunduk, berjalan pergi dengan langkah yang berat. Rasanya dunia membencinya. Dan mungkin, ia juga mulai percaya bahwa dirinya memang pantas dibenci.
Sera mengejar dari belakang, masih mencoba menjelaskan. Tapi Lara sudah menutup hatinya.
Mungkin... mungkin Lara tak seharusnya mencoba berubah. Karena saat ia mencoba bersuara, dunia justru menampar lebih keras.
*****
Lara duduk di taman belakang, tempat satu-satunya yang bisa memberinya napas saat dunia terasa sesak. Angin sore menyapu pelan rambutnya yang berantakan, seolah ikut merasakan kekusutan hatinya. Ia menunduk, memeluk lututnya, dan menatap rerumputan yang mulai menguning. Kata-kata Bu Meri tadi terus menggaung di kepalanya.
"Kamu berubah, Lara. Tapi ke arah yang salah."
Lara menggigit bibirnya. Ia mencoba berubah, sungguh. Tapi mengapa tetap saja salah di mata orang lain?
Apa benar aku jahat? pertanyaan itu berulang-ulang menggores hati kecilnya. Ia tahu, ia pernah jadi sosok yang lemah, selalu menangis, selalu mengalah. Lalu ia mencoba kuat. Tegas. Tapi mengapa sekarang justru terasa lebih menyakitkan?
Seharusnya tadi ia tak membiarkan Sera membawakan tasnya. Itu memang bukan tugas Sera. Bahkan Lara tak tahu, kenapa Sera tiba-tiba mau membawa tasnya.
Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar dari belakang. Lara tak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu.
“Lara... maafin aku...” suara itu lirih. Gemetar.
Lara pelan-pelan menoleh, menatap wajah Sera yang basah oleh air mata.
“Ini bukan salah kamu kok. Lain kali... gak usah bawain tas aku ya?” ucap Lara, berusaha terdengar tenang, meski suaranya nyaris tak terdengar.
Sera menggigit bibir bawahnya, lalu jatuh berlutut di hadapan Lara. Tangisnya pecah.
“Maaf Lara... gara-gara aku... Bu Meri marahin kamu... padahal Bu Meri itu guru kesayangan kamu kan...”
Lara diam. Ia ingin mengusap bahu Sera, tapi tangannya gemetar. Ia ingin memeluknya, tapi tubuhnya terasa kaku. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap kosong, seolah jiwanya tertinggal di tempat lain.
“Aku bawain tas kamu... karena aku kasihan,” suara Sera makin lirih, “Lara keliatan lemes terus... aku gak tega. Apalagi setelah kemarin kamu... diperlakukan kayak gitu sama Ibu kamu...”
Lara tersentak. “Kasihan ya?” gumamnya, pelan, hampir tak terdengar.
Sera berhenti menangis sejenak, tertegun oleh nada suara Lara. Tapi belum sempat menjawab, suara bel sekolah menggema, memaksa mereka kembali ke kelas.
*****
Wajah Sera masih sembab saat mereka melangkah masuk ke ruang kelas. Beberapa teman langsung berbisik-bisik, melirik tajam. Lara bisa mendengar bisikan itu meski tak sepatah pun terdengar jelas.
"Drama lagi."
"Manja banget sih. Gitu doang nangis."
"Itu tuh, Lara pasti nyuruh-nyuruh lagi."
Dan semua itu menghantam Lara seperti tamparan di wajah.
Sampai akhirnya Kesya mendekat, seolah tak terjadi apa-apa, menyodorkan dua lembar uang merah.
“Ni Lar, gue bayar utang.”
Lara menatapnya bingung. Tangan Kesya yang biasanya ogah-ogahan, kini terbuka lebar. Lara meraihnya perlahan.
“Makasih ya, Kes,” gumam Lara.
Tepat saat uang itu pindah ke tangannya, pintu kelas dibuka dengan kasar.
“LARA!!”
Semuanya berhenti. Jantung Lara pun ikut berhenti.
“I... Ibu?” suaranya goyah.
“Baru tadi kamu nyuruh-nyuruh Sera sampe dia nangis! Sekarang kamu malak uang dari Kesya?! Lara! Mau jadi apa kamu?!”
“T-tapi, Bu—”
“Diam!! Lara ikut Ibu ke ruang BK sekarang juga! Ibu akan panggil orang tua kamu!!”
Dunia Lara runtuh. Seketika. Tak peduli lagi pada tatapan teman-teman, pada reputasi yang remuk, pada suara-suara yang mencibir. Yang langsung terbayang di benaknya cuma satu: wajah Ibu dan Ayahnya. Wajah yang sudah terlalu sering dikecewakan. Tapi bukan hanya itu—Lara tahu, mereka bukan tipe orang tua yang hanya diam saat kecewa. Mereka akan marah. Akan menghukumnya. Mungkin mencabut kepercayaannya, atau bahkan lebih dari itu.
Dan itu yang paling menakutkan bagi Lara.
Bukan hanya rasa malu. Tapi rasa takut... kehilangan tempat pulang.
Lara langsung berlutut. Tangan gemetar, menyatu, digosok-gosok panik, seperti anak kecil yang ketakutan.
“Ibu... Ibu... Ibu, maaf... maafin Lara... jangan panggil Ayah sama Ibu, Lara mohon...” suaranya pecah, seperti kain yang disobek paksa.
Kesya melangkah maju. “Bu, sumpah Lara gak salah... saya yang—”
“Kalian jangan coba bohong! Segitu takutnya kalian sama Lara sampe bela-belain bohong demi dia?!”
Lara terdiam. Dadanya sesak. Dunia memudar. Seolah seluruh cahaya dicabut dari matanya. Ia tidak tahu harus membela diri atau diam. Karena bagaimanapun ia bicara... tidak ada yang mau percaya.
Ia tahu, ini bukan lagi soal benar atau salah. Ini soal cap. Dan cap itu hari ini melekat di dirinya.
Pemalak dan penindas.
Lara tak punya kata. Tak punya suara. Ia hanya menatap lantai.
Dan perlahan, air matanya jatuh satu-satu.
Diam-diam.
Sunyi.
Dan sangat... sangat menyakitkan.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏