Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Ada hal-hal yang tak lagi terasa aneh jika sudah terjadi terlalu sering—seperti dilupakan, atau tak dicari saat tidak terlihat. Lara paham betul soal itu. Ia hidup dalam rumah yang berjalan tanpa banyak kata, di mana cinta tidak selalu ditunjukkan, dan perhatian sering datang dalam bentuk perintah atau diam.

Ia tidak berharap apa-apa, bukan lagi. Ia sudah terbiasa mengisi celah yang kosong tanpa diminta, menjadi tangan yang membersihkan, kaki yang bergerak, dan mulut yang tak pernah banyak tanya. Ia tidak dicintai dengan cara yang manis, tapi ia tetap tinggal—karena tak tahu harus ke mana.

Tapi hari itu, tubuhnya menolak. Ada sesuatu dalam dirinya yang remuk dan tidak bisa disembunyikan dengan aktivitas. Untuk pertama kalinya, Lara membiarkan dirinya tidak hadir. Ia tak membuka pintu, tak menjawab suara-suara di luar. Ia hanya duduk bersandar pada dinding, memeluk lutut, dan membiarkan dunia berjalan tanpa dirinya.

“Selamat, sudah cukup jahat, Lara.”

Kalimat itu berputar seperti doa buruk di kepalanya. Bukan karena kata "jahat"-nya, tapi karena datang dari Sera—orang yang selama ini ia jaga jaraknya, tapi diam-diam ingin ia mengerti.

Apa iya dirinya jahat? Apa menolak untuk terus-menerus berpura-pura nyaman bersama orang-orang yang tak benar-benar memahami, adalah bentuk kejahatan?

Lara mencoba menyatukan serpihan-serpihan dalam dirinya. Kalau memang kehadirannya menyakitkan, seperti kata Sera, maka biarlah. Ia akan belajar berjalan sendiri. Akan belajar mencintai satu-satunya yang tersisa yaitu dirinya sendiri. Yang lapuk. Yang tidak sempurna. Tapi tetap hidup.

“Kak Lara! Disuruh makan sama Ayah!”

Suara Luna dari lantai bawah memecah lamunannya. Lara mendongak. Tumben. Biasanya, tak ada yang memanggilnya makan. Bahkan jika ia tak turun, tak akan ada yang mencari, bahkan melihat.

Ayahnya memanggil? Ada yang memperhatikannya?

Perutnya terasa kosong, memberontak diam-diam. Lara berdiri, masih dengan kaos tidur pastel yang sama sejak semalam. Rambutnya lepek, belum tersentuh sisir. Tapi langkah kakinya mengarah ke luar kamar, pelan dan ragu, seperti orang yang takut dikecewakan lagi.

Di meja makan, Ibunya sedang menata lauk. Satya, adik lelakinya, sibuk dengan sendok dan piringnya, seperti biasa. Ayah menunduk pada ponsel, tak menoleh.

Tidak ada sambutan. Tidak ada lirikan heran. Tidak ada desahan kesal.

Lara menarik kursi dan duduk. Sunyi. Tapi saat itu juga, Ibunya menyendokkan nasi ke piringnya. Satu sendok. Lalu satu lagi. Perlahan. Hati-hati.

Itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Lara menahan napas.

“Ehem…” suara Ibunya terdengar pelan, agak canggung. “Maafin Ibu, kemarin udah nyiram kamu…”

Lara menoleh. Ibunya tidak menatap. Tangannya masih sibuk di atas piring. Tapi suaranya… berbeda. Tidak menyalahkan. Tidak dingin.

“Iya…” jawab Lara pelan. Kata itu nyaris tak terdengar.

Hening kembali turun. Hanya terdengar gesekan sendok dan denting piring. Tapi Lara sempat mencuri pandang ke arah Satya yang masih ceria, mulutnya penuh nasi, matanya tak tahu apa-apa tentang drama yang terjadi di sekelilingnya. Anak-anak selalu begitu: polos, bebas, dan jauh dari luka-luka rumit milik orang dewasa.

“Ibu cuma… nggak mau kamu masuk angin,” ucap Ibunya lagi, kali ini lebih lirih. “Nanti nggak ada yang bantu.”

Alasan itu sederhana. Mungkin terdengar seperti tameng. Tapi di telinga Lara, kata-kata itu jatuh seperti perhatian kecil yang berharga.

Lara menunduk. Bibirnya mengulum senyum yang nyaris tak terlihat.

“Iya, Bu…” ucapnya lebih lembut.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama, Lara merasa seperti bagian dari rumah ini. Bukan sekadar tangan yang bekerja. Bukan bayangan yang melintas di latar. Tapi seseorang yang... dianggap ada.

****

Setelah sarapan, Lara tak mengurung diri lagi. Ia mandi, menyisir rambutnya dengan hati-hati, dan memilih pakaian terbaik yang nyaman namun tetap sopan: blus putih dan celana jeans biru muda. Tas kecil berisi alat tulis, notebook, dan buku cerita ia cek kembali.

Hari ini, ia akan pergi ke Panti Asuhan Ceria. Sendirian.

Biasanya Sera akan ikut. Tapi setelah kejadian kemarin, Lara memutuskan tak akan menghubunginya. Jika kehadirannya menyakitkan, maka biarlah ia pergi sendiri. Ada anak-anak yang menunggu. Ada senyum-senyum kecil yang lebih ia butuhkan sekarang.

Begitu ia sampai di depan gerbang panti, Putri, salah satu anak kecil di sana, langsung berlari menyambutnya.

“Kak Laraaa! Aku kangen banget sama Kakak!” Putri memeluknya erat.

Lara tersenyum dan membalas pelukan itu. “Kakak juga kangen sama Putri. Gimana belajarnya? Lancar?”

Putri mengangguk cepat dengan mata berbinar. Tapi wajah cerianya tiba-tiba meredup. “Tapi… Kak Sera ke mana?”

Lara terdiam sebentar. “Oh… Kak Sera lagi ada keperluan. Jadi minggu ini Kakak datang sendiri. Gak apa-apa ya?”

Putri mengangguk pelan, meski ada raut kecewa di wajahnya. Tapi seketika senyum itu kembali saat Lara mengeluarkan notebook kecil bergambar princess.

“Waaah! Punya siapa, Kak?” seru Putri.

“Buat kalian! Kakak bawa buku tulis dan alat gambar. Yuk, kita ke aula!”

Anak-anak langsung mengerubungi Lara. Aula kecil yang biasa digunakan untuk belajar hari itu berubah seperti ruang kreativitas. Lara membagikan pulpen warna-warni, pensil, stiker, dan crayon. Ia menggelar tikar, dan satu per satu anak duduk mengelilinginya.

Kegiatan dimulai dengan menggambar tokoh impian mereka. Ada yang menggambar guru, ada yang menggambar astronot, ada pula yang menggambar hewan kesukannya. Setelah itu, mereka menuliskan impian kecil mereka di bawah gambar.

Lara berpindah-pindah, membantu satu per satu. Mengikat rambut Lita yang mulai jatuh ke depan mata. Mengajari Dede cara menulis huruf D dengan benar. Dan ketika semua selesai, mereka saling bertukar cerita.

“Kalau besar, aku mau jadi dokter. Biar bisa ngobatin yang sakit,” ucap Arga.

“Aku mau jadi pintar nulis puisi kayak kak Lara,” sahut Putri, membuat Lara tersenyum malu.

Hari itu, waktu terasa berjalan lambat tapi hangat. Tanpa Sera, Lara merasa canggung di awal. Tapi semakin banyak senyum yang ia lihat, semakin ringan langkahnya. Ia sadar bahwa ia bisa bahagia meski tidak lagi bersama orang yang dulu ia anggap ‘selalu ada’. Ia bisa sendiri, dan tetap utuh.

****

Menjelang sore, tawa anak-anak mulai mereda. Mereka duduk rapi di aula kecil, menerima cemilan dari pengurus panti. Ada bolu cokelat hangat, susu kotak, dan potongan buah semangka yang segar. Lara membantu membagikannya, sesekali menyuapi anak yang lebih kecil atau memotongkan buah untuk yang belum bisa sendiri.

Pemandangan sederhana itu seperti obat bagi hatinya. Tanpa sadar, ia tersenyum. Bukan senyum yang dibuat-buat, bukan pula untuk menyenangkan orang lain. Tapi senyum yang lahir dari rasa cukup—cukup melihat anak-anak bahagia, cukup karena ia hadir di tengah mereka.

Setelah semua selesai makan, Lara keluar ke teras panti. Udara sore mengusap wajahnya lembut. Langit berubah jingga, seperti lukisan air yang melebur perlahan. Ia duduk di tangga depan gedung, menarik napas panjang, mencoba merekam momen itu dalam ingatannya.

Tak lama, Putri ikut duduk di sampingnya. Gadis kecil itu diam-diam menyandarkan kepala di bahu Lara, tangannya menggenggam jemari Lara erat-erat.

“Kak…” panggilnya pelan.

“Hmm?”

“Kalau semisalnya Kak Sera udah nggak datang lagi… Kak Lara tetap datang kan?”

Pertanyaan itu menghentak dada Lara. Ia menoleh perlahan, menatap wajah kecil yang tak sepenuhnya mengerti tentang konflik, perasaan ditinggalkan, atau perpecahan pertemanan. Tapi Putri tahu satu hal, kehilangan seseorang yang sering datang bisa membuat hati sepi.

Lara menelan ludah. “Iya, Kakak bakal tetap datang.”

Putri memandangnya lekat-lekat. “Janji?”

Lara tersenyum tipis dan mengangguk. “Janji.”

Mereka kembali terdiam. Hanya angin sore yang terdengar, menyapu dedaunan dan membuat rambut Lara sedikit berantakan. Di kejauhan, matahari perlahan tenggelam, meninggalkan warna emas yang memudar.

Di detik itu, Lara menyadari satu hal—mungkin dirinya memang bukan siapa-siapa untuk dunia. Ia bukan siswi paling pintar, bukan anak paling dibanggakan, dan bukan teman yang paling menyenangkan.

Tapi untuk satu-dua hati kecil, seperti Putri, Dika, dan teman-temannya di panti, ia adalah tempat pulang. Sosok yang dinanti di hari Minggu, orang yang mereka kenal dengan kehangatan, dengan cerita-cerita kecil dan alat tulis bergambar.

Dan itu… cukup untuk hari ini.

Lara memejamkan mata sejenak. Ia tak lagi ingin membuktikan apa pun pada dunia. Ia hanya ingin menjadi orang yang bisa hadir. Sesederhana itu.

Sore mulai larut. Lara pamit pada pengurus panti, memeluk satu per satu anak-anak yang berlarian mengikutinya hingga ke gerbang. Tangannya penuh dengan gambar-gambar hadiah dari mereka—kertas bekas yang diisi dengan coretan pelangi, bunga, dan tulisan besar: “Kak Lara Hebat!”

Di perjalanan pulang, langkah Lara ringan. Ia melewati jalanan kecil yang biasa ia lewati, tapi hari ini semuanya terasa berbeda. Warna-warni langit, suara angin, bahkan suara kendaraan yang lewat pun terasa lebih lembut di telinganya.

****

Sesampainya di rumah, suasana masih tenang. Aroma masakan sore menyambutnya, dan dari balik dapur, terdengar suara Ibunya mengobrol dengan Ayah.

Lara tak langsung masuk. Ia berdiri sebentar di depan pintu, memandang rumahnya yang tampak biasa tapi kini terasa lebih hangat. Ia menatap dirinya lewat pantulan kaca jendela—dengan rambut yang belum disisir rapi, baju yang sedikit lecek, dan mata yang sedikit sembab.

Tapi di balik semua itu, ada sorot yang tak sama. Ada cahaya kecil yang kembali menyala.

Ia melangkah perlahan ke dalam, hendak menyapa, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Ibunya dari arah dapur. Suara yang biasanya lembut itu kini terdengar tegang, penuh tekanan.

“Kalau Lara juga jadi seperti dia… gimana?”

Suara Ayah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, tapi cukup jelas di telinga Lara.

Beberapa detik hening, sebelum suara Ibnya membalas dengan nada lirih tapi tajam. “Harusnya… harusnya Lara terlahir dari rahimku saja.”

Deg.

Lara membeku. Dadanya seketika sesak. Kalimat itu menghantam keras seperti tamparan di tengah ketenangan sore yang baru saja ia syukuri.

Terlahir dari rahimnya?

Lara mundur satu langkah, punggungnya menempel ke dinding. Tangannya menggenggam kertas gambar dari panti yang tadi ia bawa, kini sedikit bergetar.

Apa maksudnya? Siapa 'dia' yang dimaksud? Dan… kalau bukan dari rahim Ibu… berarti…?

Pintu dapur tidak sepenuhnya tertutup. Dari celahnya, Lara bisa melihat siluet kedua orangtuanya duduk berdampingan. Wajah Ayah tertunduk, dan Ibu menatap kosong ke arah meja.

“Kalau sesuatu terjadi lagi, aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak sanggup kehilangan anak lagi,” lanjut Lusi lirih.

Lagi?

Lara mencengkeram dadanya. Sakit. Bukan karena luka, tapi karena kebingungan yang tiba-tiba menyelimuti. Semua kebahagiaan kecil yang tadi ia rasakan bersama anak-anak di panti, semua rasa cukup itu… kini seolah menjadi bayangan semu.

"Jadi… suasana tadi apa?" bisik Lara dalam hati.

Ia perlahan mundur, menyembunyikan dirinya ke balik dinding ruang tamu. Nafasnya tak beraturan, dadanya sesak. Ia ingin bertanya, ingin masuk dan menuntut penjelasan. Tapi kakinya seakan tertahan di lantai. Dan yang tersisa hanyalah keheningan.

Cahaya kecil yang tadi menyala… perlahan meredup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 1
Submit A Comment
Comments (20)
  • vieralovingu

    i wish aku punya temen kaya sera:((

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • diahhhpprti

    ayokk laraa kamu pasti bisaa berhenti gak enakan, trus prioritasin diri kamu dulu yokk!!

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • mutiarapttrr

    turut bersedih untuk kmu lara☹️☹️

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • siscammlldd

    ini lara masa tiba-tiba pusing? sakitnya sus banget🥲🥲

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
  • dianarrhhmmaa

    jangan insecure dong seraa, kata lara kan kamu cantik, dan aku yakin begitu juga🥰🥰

    Comment on chapter 5 - Teman baru?
  • fatinsyyaa

    BU MERI KOK GITU YAA GAK MAU DENGERIN PENJELASAN DULU🥺🥺🥺

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • andinirahma

    tiba-tiba banget si sera gabung sama gengnya zea, beneran tiba2 deket karena kasian ama lara😭😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • billa3456

    sakit sih punya foto keluarga tapi gak di anggep, tapi setidaknya kamu punya foto keluarga lara....

    Comment on chapter 11 - Sekilas senyum, selamanya luka
  • ririnna01

    aaaa relate:(

    Comment on chapter Prolog
  • pinkypie1

    ayahnya jahat banget:(

    Comment on chapter 10 - Surat untuk diri sendiri
Similar Tags
Hello, Me (30)
25168      2582     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
6830      2222     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Menanti Kepulangan
111      104     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Public Enemy
1      1     0     
Fantasy
Ziora dianggap orang yang menyebalkan oleh semua orang karena tingkahnya, entah saat di lingkungan rumah atau di lingkungan Kartel sekolah sihirnya. Namun, bagaimana pun sudut pandangnya dan sudut pandang mereka berbeda. Semua hal yang terjadi dan apa yang Ziora rasakan berbeda. Mereka selalu berpikir, dialah dalangnya, dialah pelakunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Kenapa ia...
Menjadi Aku
1153      831     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Atraksi Manusia
948      618     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Tok! Tok! Magazine!
175      156     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Sabtu Bersama Bapak
424      276     0     
Short Story
Seungho merasa dilema antara memilih pergi bersama teman-temannya atau pergi memancing bersama sang ayah,
Embun dan Bulan Dalam Hidupku
1406      881     4     
Short Story
Pa, aku kangen papa
Premonition
2483      1210     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...