Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Sera dan Lara seperti dua kutub yang tiba-tiba saling menjauh. Sepanjang hari ini, mereka menghindar satu sama lain—di lorong sekolah, di kelas, bahkan di depan toilet perempuan.

Tidak ada sapaan, tidak ada tatapan hangat. Hanya keheningan yang penuh beban di antara mereka.

Dalam hati Lara, ada kerinduan yang perih. Ia ingin bicara, ingin tertawa seperti dulu, tapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ketakutan dan rasa bersalah membungkamnya.

Sera juga merasakan sakit yang dalam. Ia ingin mendekat, ingin memperbaiki semuanya, tapi rasa malu dan takut menahan langkahnya.

Mereka pernah sangat dekat, tapi hari ini, semuanya terasa jauh dan rapuh.

Sepulang sekolah, Lara melangkah cepat meninggalkan gerbang. Jantungnya berdebar dan pikirannya penuh pergulatan. Biasanya, Ibunya menjemput di jam ini, tapi hari ini Lara ingin menghindar, butuh waktu sendiri.

Tanpa sadar, ritsleting tasnya yang sudah agak longgar terbuka. Buku catatan cokelat miliknya jatuh ke tanah, lembar demi lembar beterbangan tertiup angin.

Sera yang baru saja keluar gerbang sekolah, melihat kertas-kertas itu terbang. “Eh, itu buku Lara?” gumamnya, lalu berlari mengumpulkan kertas dan buku yang berserakan.

Ia hendak memanggil Lara, tapi gadis itu sudah menghilang di balik kendaraan kota yang lewat.

Sera berdiri terpaku memegang buku catatan itu, bingung dan khawatir.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di dekat mereka. Jendela turun perlahan, dan wajah Lusi muncul dengan mata yang penuh kecemasan.

“Sera? Lara mana?” tanyanya dengan suara tertekan.

Sera gugup, “Tadi dia buru-buru, Bu. Bukunya jatuh, ini saya kumpulin.”

Lusi menerima buku itu, membalik halaman dengan cepat. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal di kemudi.

Sera hanya berdiri diam, tidak mengerti apa yang terjadi.

“Maaf, Bu, aku cuma pengen bantu,” ucapnya pelan.

Lusi tak menjawab. Ia menutup jendela dan melesat pergi, meninggalkan Sera dengan rasa tidak pasti dan beban yang tak terucap.

*****

Lara membuka laci dengan tangan yang gemetar, cepat namun tidak teratur. Jarinya menyapu tumpukan kertas, binder, dan buku pelajaran yang berantakan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan hatinya.

Namun, kertas-kertas itu kosong dari apa yang ia cari. Matanya mulai mencari dengan panik, beralih ke kolong tempat tidur—menggeser koper, merobek kotak sepatu yang sudah berdebu. Tidak ada.

Napasnya mulai memburu, dada sesak seperti ada beban yang menekan. Ia meraih pintu lemari, menyibak tumpukan sweater, menggali di setiap sela, mencoba melawan rasa cemas yang semakin besar.

“Mana, sih… harusnya di sini…” bisiknya dengan suara bergetar, suaranya sendiri hampir tidak ia kenali.

Jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dadanya. Tangannya yang tadi sigap kini mulai lemas. Dan saat itu—seolah dunia tiba-tiba runtuh—

Braak!

Suara pintu mobil dibanting dari luar. Langkah sepatu hak menghantam lantai dengan keras, langkah demi langkah naik ke tangga rumah.

“LARA!” suara ibunya menggema dengan tajam, memecah kesunyian, menembus dinding dan masuk ke dalam ruang kecil itu.

Tubuh Lara membeku. Tangannya tiba-tiba berhenti bergerak. Ia berjalan pelan, hampir tersandung, menuju pintu kamar dan membukanya dengan hati-hati, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.

Di anak tangga keempat berdiri Lusi—ibunya—dengan wajah tegang, rahang mengeras, dan di tangannya tergenggam erat sebuah buku catatan cokelat yang selama ini Lara sembunyikan dengan rapat.

“Apa ini maksudnya?!” suara ibunya pecah, penuh kemarahan dan kecewa, tapi tak ada kata lain yang keluar setelah itu. Ia hanya menatap Lara dengan mata yang berat, penuh pergulatan.

Lara menunduk dalam, bahunya merunduk. Tubuhnya kaku, tangan gemetar lemas di sisi paha.

“Maaf, Bu…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

“MAAF?!” ibunya berteriak sejenak, namun kemudian terdiam. Wajah Lusi berubah, napasnya terengah, dan dia menunduk, menghela napas panjang yang terdengar berat, seperti membebaskan beban yang lama tertahan.

Lara menunggu, menahan napas, berharap mendengar kata-kata yang bisa menghapus semua rasa bersalahnya.

Namun, ibunya hanya terdiam beberapa saat, matanya menatap kosong ke lantai.

“Bu... aku gak cuma capek atau muak...” suara Lara pecah, tapi tenang. “Aku juga bingung. Aku sering merasa sendiri, harus jadi yang sempurna, tapi gak tahu siapa aku sebenarnya. Aku tulis itu supaya aku jujur sama diri aku... dan sama Ibu.”

Lusi tetap diam, hanya mengangguk pelan. Napasnya masih berat, matanya berkaca-kaca.

“Aku tuh kadang mikir pengen jadi jahat, Bu,” Lara menambahkan, suara mulai bergetar. “Bukan jahat buat nyakitin orang lain... tapi bebas. Bebas jadi diri sendiri, marah, nolak, tanpa takut salah.”

Dia menarik napas panjang, hampir menangis.

“Tapi aku sadar aku gak bisa, Bu. Karena Ibu bener-bener udah berhasil buat aku jadi anak yang baik sepenuhnya. Aku gak bisa bohong, gak bisa pura-pura seenaknya. Itu yang bikin aku bingung dan capek.”

Lusi kembali menghela napas panjang, kali ini lebih pelan, dalam, seakan sedang berusaha mengumpulkan keberanian.

Akhirnya, dengan suara berat yang hampir berbisik, ia berkata,

“Ibu... akan coba mengerti.”

Mata mereka bertemu. Ada jeda sunyi yang penuh arti—kata-kata singkat itu seperti pintu kecil yang terbuka, memberi ruang bagi harapan.

Lara tersenyum kecil, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Bukan air mata kecewa, tapi air mata lega yang sangat dalam. Untuk pertama kalinya, dia merasa diterima.

*****

Aroma bawang putih tumis menguar dari dapur. Lara berdiri di depan talenan, memotong buncis satu per satu dengan gerakan pelan tapi rapi. Di sebelahnya, Lusi—ibunya—sibuk menumis wortel dan jagung manis di atas wajan panas. Tak ada suara selain desis minyak yang menyapa sayur.

“Lara, tolong ambilin ikat rambut Ibu, yang di kamar ya,” ucap Lusi tanpa menoleh, sambil menyeka peluh di pelipis.

“Iya, Bu.”

Lara segera meletakkan pisau dan mencuci tangannya. Ia berlari kecil ke kamar ibunya, membuka pintu dan melangkah masuk perlahan. Matanya menelusuri meja rias, sisi lemari, dan sandaran tempat tidur, tapi tak menemukan ikat rambut di mana pun.

Dengan ragu, Lara membuka salah satu laci meja rias.

Dan di sanalah ia menemukannya.

Sebuah foto kecil, usang, terselip di bawah tumpukan nota belanja dan kertas tak penting. Ia menariknya keluar, niat awalnya hanya untuk melihat sekilas—tapi foto itu membuat langkahnya terhenti.

Seorang bayi perempuan, tidur dalam balutan selimut putih. Di balik foto itu, tertulis dengan pulpen pudar:

“Lara Serina Pratama.”

Jantung Lara berdetak pelan, seolah ragu. Ia memandangi foto itu lama, mencoba mengingat... tapi memang, ia tak pernah tahu seperti apa rupa dirinya saat bayi. Ibunya tak pernah menunjukkan satu pun foto masa kecilnya. Tidak ada di album, tidak di dinding. Dan Lara tak pernah berani bertanya kenapa.

Ia menggenggam foto itu, mengambil ikat rambut yang terselip di pojok laci, lalu kembali ke dapur.

“Ibu, ini foto Lara, ya?” tanyanya perlahan sambil menyerahkan ikat rambut.

Lusi menoleh—dan seketika matanya membelalak. Wajahnya menegang.

“JANGAN BERANI-BERANI KAMU PEGANG FOTO INI!”

Tangan Lusi merebut foto itu secara kasar, gerakannya mendorong tubuh Lara mundur. Lara kehilangan keseimbangan, dan tanpa sengaja tangannya menyentuh sisi panci panas.

“Aww!” Lara meringis. Rasa panas menjalar cepat dari kulit ke tulang.

Namun Lusi tak melihat. Ia justru menatap foto itu lama… dan menangis.

Lara berdiri kaku. Bingung. Sakit di tangannya kalah oleh nyeri di dadanya. Ibunya yang semalam begitu hangat, kini berubah seperti orang asing. Tak bisa ditebak. Tak bisa dijangkau.

“Ibu, Lara ke kamar dulu ya… mau ambil salep,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.

Saat ia hendak berbalik, Lusi mendekat cepat dan menggenggam tangan anaknya—yang masih merah melepuh.

“Maafin Ibu…” suaranya pecah dalam isak yang tertahan. “Maafin Ibu, Lara…”

Lara tak menjawab. Hanya menunduk. Tak tahu apakah tangisan ibunya itu karena dirinya, atau karena foto itu. Yang pasti, kepalanya kini penuh tanya.

Kalau itu memang foto dirinya, kenapa disembunyikan?

Kalau bukan, kenapa namanya tertera di belakangnya?

Siapa sebenarnya bayi dalam foto itu?

Lara menggigit bibirnya, mencoba menahan perih yang lebih dalam dari sekadar luka bakar.

Ada yang disembunyikan. Dan Lara mulai merasakan—bahwa semua yang ia tahu tentang keluarganya… mungkin tidak sepenuhnya benar.

Ia sudah cukup berani berkata “tidak” saat teman-temannya memaksanya pergi ke tempat yang tak ia suka. Sudah belajar menolak ajakan yang tak sejalan dengan dirinya.

Tapi untuk ibunya?

Ia selalu diam. Selalu mengalah. Selalu merasa bersalah, bahkan ketika tak tahu kesalahannya apa.

Dan malam itu, di antara aroma sayur tumis dan rasa perih di kulit, Lara berjanji dalam diam:

Kalau memang ada rahasia yang disembunyikan,

Ia harus menemukannya.

Harus tahu kebenarannya—meski itu berarti luka yang lebih dalam.

Karena Lara sadar… mencintai tak berarti membutakan diri. Dan terkadang, kebenaranlah satu-satunya cara agar cinta bisa sembuh, bukan hanya ditahan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Spektrum Amalia
1376      942     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Rain, Coffee, and You
582      419     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
The Best Gift
67      64     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Unexpectedly Survived
347      295     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
No Life, No Love
2993      1807     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Anikala
3817      1326     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
1070      712     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Reandra
4786      1986     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Loveless
16142      6743     615     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Sebuah Surat Dari Ayah
2884      1848     4     
Short Story
Sebuah penjelasan yang datang untuk menghapus kebencian. Sebab, ayah adalah sosok yang tak mungkin kita lupakan.