Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Pagi itu, mata Lara terbuka perlahan ketika sinar matahari menyelinap masuk dari celah tirai jendela. Udara masih dingin, dan sekeliling kamarnya dipenuhi keheningan yang ganjil. Ia melirik ke arah jam weker di meja kecil sebelah ranjang. Jarumnya menunjuk pukul 06.30. Ia telat.

Jantungnya seketika berdegup panik. Ia langsung bangkit, selimut terlempar ke lantai, dan kaki telanjangnya menyentuh dinginnya lantai ubin. “Ya ampun, kenapa aku nggak dengar alarm?” gumamnya tergesa.

Bayangan ibunya yang biasanya bersuara tinggi jika pekerjaan rumah tak beres melintas di kepala. Dengan cepat ia membuka pintu, menuruni tangga dua-dua, berharap bisa menyelamatkan pagi itu sebelum terlanjur dimarahi.

Namun yang ditemuinya di lantai bawah justru mengejutkan. Tidak ada teriakan. Tidak ada wajah masam atau nada tinggi. Hanya aroma telur dadar dan roti panggang yang memenuhi udara. Ibunya, Lusi, sedang berdiri di dekat meja makan, menuang teh ke dalam cangkir satu per satu dengan sabar. Ayahnya, Leo, sedang membetulkan kerah baju Satya yang tampak akan segera berangkat ke sekolah. Dan Luna, adik perempuannya, belum muncul. Mungkin masih di kamar, bersiap-siap.

“Ibu, maaf… maaf banget Lara kesiangan. Biar Lara aja yang cuci piringnya, Ibu siap-siap aja,” ujar Lara tergesa sambil menghampiri dan meraih piring-piring kotor di bak cuci.

Namun tangan ibunya menghentikannya dengan lembut.

“Udah, nggak usah. Kamu mandi aja gih, nanti kesiangan sarapan. Biar Ibu aja yang urus.”

Lara terpaku. Sungguh, ia nyaris tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Tak ada amarah. Tak ada sindiran. Hanya nada tenang dan hangat. Sesuatu yang rasanya asing… tapi juga sangat ia rindukan.

Ada keheningan kecil di dalam dirinya yang mendadak pecah. Hangat. Seolah sebuah lubang dalam hatinya perlahan terisi oleh sesuatu yang ia lupa rasanya: kasih sayang.

Ia bergegas mandi dengan senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan.

*****

Begitu ia turun kembali, semua sudah duduk di meja makan. Dan yang membuat dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang manis, adalah bahwa mereka... menunggunya.

“Lara, ayo makan. Telurnya masih hangat,” ujar Leo sambil mendorong piring ke arahnya.

Lara menatap mereka satu per satu. Ibunya, yang biasanya sibuk dan cerewet, kini duduk santai, memperhatikannya. Ayahnya, yang dulu sering terasa jauh, tersenyum padanya. Satya melambai pelan. Dan bahkan Luna—yang biasanya bersikap masa bodoh—menunduk, entah karena malas bicara pagi-pagi atau... malu.

Lara duduk perlahan, seperti takut suasana ini hanya mimpi yang bisa pecah jika ia bergerak terlalu cepat.

“Lara hari ini mau berangkat sama siapa? Ayah? Atau Ibu?” tanya Leo, memecah keheningan.

Lara menoleh ke arah jam dinding. “Lara jalan kaki aja, Yah. Masih cukup waktunya kok.”

“Gak boleh!” suara Leo dan Lusi bersamaan, nyaris serempak.

Lara terkesiap. Dan sebelum ia sempat bereaksi, Luna menyahut dengan suara datarnya, “Apasi, lebay banget.”

Lusi melirik Luna tajam, tapi hanya sebentar. Ia kembali menoleh ke Lara. “Kamu baru sembuh, Lar. Kami nggak mau ada apa-apa lagi terjadi.”

Lara menelan ludah. Ia tak tahu harus merasa apa. Senang. Bingung. Haru. Tak terbiasa diperhatikan seperti ini. Dulu, ia berjalan kaki, demam pun tak ada yang peduli. Kini, mereka bahkan khawatir ia terluka lagi.

“Yaudah deh, aku bareng Ayah aja,” ujarnya pelan.

Semuanya mengangguk. Tak ada perdebatan. Tak ada suara yang menyuruhnya lebih cepat makan atau mencuci piring. Untuk pertama kalinya, Lara merasa… seperti benar-benar bagian dari keluarga ini. Bukan sekadar anak sulung yang harus mengalah, bukan pembantu tak bergaji, tapi seseorang yang mereka sayangi.

Dan Lara, dalam diam, berdoa agar ini semua ini bertahan dalam waktu yang lama.

*****

Di sekolah, suasana lebih riuh dari biasanya. Para siswa digiring ke auditorium. Ada pengumuman penting, katanya.

Lara duduk di barisan tengah, di antara kerumunan yang berisik. Ia tak terlalu berharap apa-apa, hanya mengikuti arus.

Nama-nama siswa yang “eligible” diumumkan satu per satu. Mereka yang nilai akademik dan catatan prestasinya dinyatakan layak untuk mengikuti seleksi perguruan tinggi tanpa tes.

Nama Sera disebut. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan.

Namun nama Lara tak terdengar. Ia tahu alasannya. Ia absen tiga bulan. Nilainya turun. Ia sempat koma. Ia tahu, dan ia mencoba menguatkan diri. Tapi tetap saja, hatinya seperti diiris tipis.

Sera menghampirinya saat mereka keluar dari ruangan.

Congrats ya, Sera. You deserve it,” kata Lara sambil tersenyum tulus.

Sera membalas senyum itu. “Makasih, Lara,"

“Keren banget lo. Gak nyangka hulk kita pinter ya!” celetuk Citra, menyikut Zea di sebelahnya.

Zea buru-buru menutup mulut. “Eh, maaf, maksud gue... si teddy bear ini pinter banget.”

Sera cemberut, tapi hanya sebentar. Ia tahu siapa dirinya, dan ia sedang belajar menyukai itu. Ia kini makan secukupnya, bukan karena ingin kurus, tapi karena ingin sehat. Karena ia ingin bertahan. Ia ingin kuliah.

Saat kembali ke kelas, satu per satu siswa dipanggil ke ruang konseling. Ketika giliran Lara, ia memasuki ruangan dengan langkah pelan.

Bu Meri menunggunya di balik meja. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat.

“Lara, Ibu sempat baca formulir minat kamu. Kamu suka puisi, ya?”

Lara mengangguk.

“Bagus. Ibu saranin, gimana kalau kamu coba jurusan sastra atau jurnalistik?”

Lara menghela napas. Tak pernah ia benar-benar memikirkan masa depannya. Ia terlalu sibuk bertahan. Tapi kata-kata Bu Meri menggugah sesuatu dalam dirinya.

“Sebenarnya... saya nggak pernah mikir sejauh itu, Bu. Tapi sastra... sepertinya bukan pilihan buruk. Saya akan coba itu nanti, waktu UTBK.”

“Bagus. Tapi pulang nanti, obrolin juga dengan orang tua kamu, ya?”

“Iya, Bu.”

*****

Begitu ia kembali ke kelas, ia mendapati Sera duduk sendiri. Wajahnya murung.

“Loh, Sera? Masa siswa eligible sedih sih? Ada apa?” tanya Lara sambil duduk di sampingnya.

Sera menghela napas. “Aku... nggak yakin bisa kuliah, Lar. Ekonomi keluarga aku sekarang... ya kamu tahu sendiri, susah.”

Lara menggenggam tangan sahabatnya itu erat. “Sera... overthinking kamu itu wajar. Tapi denger ya, kalau kamu punya niat dan keinginan, gak ada yang gak mungkin. Aku bantu kamu cari info beasiswa. Aku bilangin Bu Meri deh. Yang penting kamu ikut SNBP dulu.”

Mata Sera berkaca-kaca. “Bisa apa aku tanpa kamu, Lar?”

******

Sore itu, di rumah, Lara duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Ia baru saja selesai menceritakan semuanya.

Tentang saran Bu Meri. Tentang keinginannya mencoba jurusan sastra. Tentang Universitas Indonesia.

“Wah, UI? Keren banget,” ujar Leo dengan mata berbinar.

“Kami dukung kok, sayang. Kamu mau les? Atau try out? Kita bisa bantu daftarkan,” tambah Lusi.

Lara nyaris tak percaya dengan reaksi itu. Dulu, ia takut menyebut kata “kuliah” di rumah ini. Kini, mereka membicarakannya seperti hal paling alami di dunia.

“Kamu perlu les privat? Kita cari yang terbaik deh. Premium sekalian, biar bisa akses soal-soal try out dan konsultasi,” kata Leo lagi.

“Keren, Kak! UI tuh impian banyak orang, loh!” seru Luna tiba-tiba muncul dari balik pintu, membawa es krim.

Lara tersenyum. Tangannya mengusap sudut matanya yang basah. Air mata itu bukan sedih. Tapi syukur. Bahwa akhirnya, keluarganya nyata. Bukan sekadar impian yang terus ia tulis dalam puisi-puisinya.

Dan malam itu, di balik pintu kamar yang kini terasa seperti tempat pulang, Lara menuliskan satu kalimat di jurnal kecilnya:

Akhirnya aku bisa tumbuh. Bukan di tanah yang tandus, tapi di tanah yang mulai belajar menyirami.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 1 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Langit-Langit Patah
48      41     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
VampArtis United
3150      1768     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Holiday In Thailand
134      121     1     
Inspirational
Akhirnya kita telah sampai juga di negara tujuan setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia.Begitu landing di Bandara lalu kami menuju ke tempat ruang imigrasi untuk melakukan pengecekan dokumen kami pada petugas. Petugas Imigrasi Thailand pun bertanya,”Sawatdi khrap,Khoo duu nangsue Daan thaang nooi khrap?” “Khun chwy thwn khatham di him?” tanya penerjemah ke petugas Imigras...
Mama Tersayang
453      358     2     
Short Story
Anya, gadis remaja yang ditinggalkan oleh ayah yang amat dicintainya, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan. Kini, ia harus hidup berdua dengan ibu yang tak terlalu dekat dengannya. Senang atau tidak, Anya harus terus melanjutkan hidup tanpa ayah. Yang Anya tidak sadari, bukan hanya ia yang kehilangan ayahnya, ibunya pun kehilangan suami, dan teramat mencintai dia, Anya, putri satu-sa...
Surat Kaleng Thalea
4513      1305     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Monologue
1282      919     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
The Future Husband Next Door
341      264     4     
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia.. Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
Dear You
16219      2913     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
Metanoia
82      72     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
706      483     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...