Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Hari kamis adalah hari sekolah yang paling tenang dalam seminggu. Tidak seperti hari senin yang umumnya ada upacara atau pengumuman penting, tidak seperti hari selasa dan rabu yang umumnya dijadikan hari ujian, tidak seperti hari jumat yang merupakan hari terakhir sekolah dalam seminggu. Kamis adalah hari di mana para murid sudah lelah memperhatikan kelas dan tidak sabar menyambut hari sabtu dan minggu, hari di mana para guru sudah lelah membangunkan para murid di kelas pula. 

Di antara suara dengkuran teman-temannya, Vania fokus mendengarkan penjelasan Pak Rahmat mengenai biologi sistem saraf di tubuh. Pak Rahmat yang sudah lanjut usia tampak menghiraukan murid-murid lain dan dengan santainya seakan mengajari Vania seorang. Vania tidak habis pikir mengapa teman-temannya tidak tertarik pelajaran ini. Apalagi Anisa, yang sudah beberapa kali berkata pada Vania ingin menjadi psikolog. Padahal sistem saraf adalah fondasi yang membuat otak kita menghasilkan tindakan, memori, merasakan berbagai sensasi, bahkan membentuk kepribadian kita. 

"Ada pertanyaan?" tanya Pak Rahmat dengan lembut. Meski dia sendiri tahu hanya Vania seorang yang mendengarkan.

Vania mengangkat tangannya, membuat Anisa yang setengah tertidur di sampingnya kaget dan berusaha duduk lebih tegak. Pak Rahmat menangkap semua itu tetapi tidak memedulikannya.

"Pak, kalau begitu, apakah perasaan kita juga dibentuk oleh neuron-neuron atau sel-sel saraf ini?" Pertanyaan Vania tentu saja sudah melampaui pelajaran biologi SMA.

Pak Rahmat tersenyum lembut. "Ya dan tidak, Non," jelas Pak Rahmat, "Memang neuron-neuron inilah yang mengeluarkan zat-zat kimia di tubuh yang membuat kita dapat merasakan sensasi dan melakukan tindakan. Namun kehidupan manusia tidak semata merupakan zat-zat kimia di sini." Pak Rahmat menunjuk pelipisnya yang sudah menunjukkan beberapa bercak penuaan.

Beliau berdiam sebentar untuk memberikan kesan dramatis. Kemudian menunjuk dadanya. "Kehidupan manusia juga bergantung dengan yang ada di sini. Di organ tidak terlihat yang bernama 'hati nurani.'"

Perkataan itu menyentuh Vania; bahwa manusia lebih dari sekadar kepintaran mereka. Di saat yang sama, perkataan itu mengecewakannya meski Vania tidak tahu mengapa.

"Bapak dengar bahwa kamu dan Aditya diberi tugas oleh Pak Tirto," katanya pelan sehingga hanya Vania yang dapat mendengar di satu kelas. Tetap saja, Vania menoleh kanan dan kiri, memastikan para murid lain tidak ikut mendengarkan percakapan mereka. Melihat Anisa yang sudah tertidur kembali di sampingnya –Anisa terang-terangan tidur di depan Pak Rahmat, Vania mengembuskan napas lega.

"Apakah semua guru tahu, Pak?" tanya Vania balik.

Pak Rahmat menggeleng. "Hanya saya, Pak Eko, dan Pak Tirto. Saya diberitahu Pak Tirto karena dari awal dia masuk sekolah ini, saya adalah penasihatnya."

Mendengar itu membuat harapan merekah di dada Vania. "Pak, apa sekiranya bapak bisa membantu kami agar Pak Tirto mengubah syarat rekomendasi beasiswa itu?"

Vania menatap dengan sorot mata memelas, seperti anak anjing yang mengharapkan makanan dari majikan. Sebaliknya, Pak Rahmat hanya menatap muridnya ini dengan kelembutan yang seakan menusuk sanubari Vania. "Maaf, Non. Saya tidak bisa."

Pandangan Vania berubah dalam sepersekian detik. Rasanya seperti ia ditinggalkan di pusaran badai tanpa jalan keluar.

"Namun saya akan menasihati Non," lanjut Pak Rahmat masih dengan senyuman lembutnya, "Tidak semuanya seperti yang terlihat. Jadi jangan lupa untuk selalu membuka pikiran dan hati."

***

Sebagai salah satu perempuan tercantik di sekolah, Anisa selalu menarik perhatian semua murid di kantin. Terutama ketika dia membawa Vania ke seluruh penjuru kantin hari ini. Bukan karena Vania adalah seoraang penarik perhatian, tetapi karena hari ini Vania dapat memesan makanan apapun tanpa harus membayar.

Awalnya Vania hanya ingin menguji kebenaran dari perkataan Pak Tirto mengenai uang makan dan uang peralatan belajar. Ia menuju salah satu penjual bakso dan hendak berkata bahwa makanannya akan ditagihkan pada Pak Tirto. Tidak disangka, penjual bakso, Bu Narsi langsung berkata, "Neng Vania mau bakso? Pak Tirto udah bilang ke kami penjual makanan kantin bahwa semua makanan yang dipesan Neng Vania dan Mas Aditya akan dibayar oleh Pak Tirto."

Melihat Anisa yang membuka mulutnya seperti ikan dengan tatapan terkejut sangatlah menggelitik bagi Vania. Namun reaksi Anisa yang terlampau berlebihan mengundang perhatian satu kantin dan membuat Vania terasa terbebani. Untungnya, Aditya kemudian berseru dari sisi kantin lain, "Hari ini gue akan traktir 10 orang, tinggal pesan aja mau apa, gratis!" Seruan itu membuat banyak murid mengerumuni Aditya, memohon agar dijadikan salah satu dari 10 orang tersebut. 

Di tengah-tengah kerumunan, sorot mata Vania bertemu dengan Aditya –tinggi pemuda itu membuatnya tetap menonjol di antara kerumunan siswa-siswi. Tatapan Vania seakan berkata, 'Lo ngapain sih?' yang kemudian dibalas dengan tatapan Aditya yang seakan menjawab, 'Ngetes limit dompet Pak Tirto.'

Vania mengangkat satu alisnya, seakan bertanya dalam diam, 'Untuk apa?'

Aditya mendelikkan bahunya acuh tak acuh, menjawab dalam diam, 'Dia udah seenak jidat bikin syarat ga masuk akal buat rekomendasi beasiswa. Jadi kita manfaatkanlah kelebihan yang dia berikan.'

Sebuah senyuman tipis muncul di bibir Vania. Ia menggelengkan kepalanya pelan. 'Ternyata lo pendendam juga ya.'

***

Perempuan terpintar di SMA Garuda Nusantara melangkah menuju gerbang sekolah dengan hening. Begitu ia mencapai pilar terakhir dari teras gedung sekolah yang luas, ia melihat seorang lelaki setengah bersandar menatap gerbang sekolah. Lelaki itu menoleh ke arah Vania. Dengan wajah membelakangi sinar mentari yang terik, wajah Aditya terlihat begitu sinematik. Garis-garis cahaya membuat siluet hidungnya semakin tajam, sorot matanya terasa sehangat mentari di belakangnya. Bila saja dia bukanlah seorang saingan, mungkin Vania dapat menikmati pemandangan itu. 

"Udah siap, Cess?" tanya Aditya, "Bari sebentar lagi akan turun."

Keheningan yang canggung membalut mereka berdua. Ingatan pertengkaran mereka di depan gerbang menjadi bayangan dalam benak. 

"Lo bilang apa ke guru biar bisa keluar kelas?" Aditya memecah keheningan di antara mereka.

Vania mengembuskan napas. "Ga bilang. Sebelum bel bunyi gue langsung bawa tas keluar. Lo?"

"Ga bilang juga," lanjut Aditya, "Kalau lo udah siap dari tadi kenapa baru keluar sekarang?"

Sumpah, pikir Vania. Pemandangan Aditya dengan sinar sang surya di belakangnya benar-benar membuat Vania susah berpikir. Sebenarnya setelah keluar kelas, Vania perlu menenangkan diri di toilet. Nyeri ulu hatinya kambuh dan rasa pahit muncul di pangkal lidahnya. Untungnya, dia tidak muntah. Meski, dia berpikir lebih baik memuntahkan isi perutnya –siapa tahu dia akan merasa lebih baik. Setelah meminum obat lambung –dia tidak langsung merasa lebih baik, jadi dia meminum obat lain yang ia tahu akan meredakan nyeri perutnya lebih baik. Kedua obat ini adalah preskripsi dokter untuknya bawa sehari-hari setiap asam lambungnya naik. Vania masih ingat sekali dokternya menggelengkan kepala karena siswi seumur Vania sudah harus mengonsumsi dua jenis obat lambung untuk meredakan nyeri. Dokter itu menggelengkan kepala lagi ketika tahu bahwa Vania harus meminum kedua obat itu hampir setiap bulan. Hal ini bukanlah rahasia, tetapi Vania belum pernah memberitahukan hal ini pada siapapun. 

"Lo nungguin?" akhirnya Vania memutuskan untuk menyerang pertanyaan dengan pertanyaan.

Untuk sepersekian detik, Vania yakin melihat pucuk telinga Aditya memerah. Namun dengan cepat Aditya membuang muka kemudian tanpa aba-aba, menggenggam lengan Vania dan menariknya ke balik sebuah pilar. Detik berikutnya, Vania sadar maksud Aditya ketika melihat Bari berjalan keluar dari bangunan yang sama. Namun bukannya keluar dari gerbang sekolah, di mana Pak Eko berjaga, Bari mengitari satu sisi bangunan dan menuju bangunan gudang di pojok lapangan parkir. Bangunan gudang ini terbuat dari besi-besi yang sudah berkarat, jelas terlihat sebagai bangunan yang ditelantarkan. 

"Aku dari kemarin penasaran bagaimana Bari akan keluar dari sekolah tanpa diketahui Pak Eko," bisik Aditya. Posisi mereka yang harus berhimpit agar dapat ditutupi pilar yang cukup sempit ternyata membuat bibir Aditya begitu dekat dengan telinga Vania. Embusan napas panas menggelitik kulit Vania hingga ia perlu mencubit pipinya sendiri agar menghentikan apapun itu yang suara Aditya lakukan pada kulitnya.

Mereka melihat Bari mengguncangkan pintu besi gudang yang terantai. Engsel pintu dengan mudahnya terlepas begitu saja. Bari memasuki gedung terlantar itu kemudian menutup pintu kembali dari dalam.

Aditya dan Vania menunggu selama dua menit –yang terasa begitu lama dan cepat sekaligus. Kemudian melakukan hal yang sama seperti Bari. Begitu mereka masuk ke dalam gudang terlantar itu, debu menyerbu hidung mereka dan membuat keduanya bersin. Setelah beberapa kali bersin, mereka akhirnya dapat melihat jelas bolongan kecil di sisi lain gudang. Bagian dinding itu terbuat dari batu bata dan beberapa bata di bagian bawah menghilang, membuat terowongan kecil menuju bagian luar sekolah.

"Jadi selama ini Bari menggunakan terowongan kecil seperti ini untuk keluar sekolah," komentar Aditya. 

Untuk sesaat Aditya dan Vania hanya saling bertatap. Hingga akhirnya Vania menghela napas dan merangkak terlebih dahulu melalui lubang itu. Aditya dengan tubuhnya yang lebih besar harus mengeluarkan tasnya dulu baru dirinya dapat merangkak keluar. Begitu mereka berada di sisi lain bangunan, mereka membersihkan pakaian mereka dari debu. 

Aditya menunjuk ke arah kanan, di mana Bari baru saja berbelok di sudut jalan. Dengan cepat mereka mengikuti Bari dari jarak yang terasa aman. Selama perjalanan, beberapa kali Bari menoleh ke belakang tetapi Aditya dan Vania dengan cekatan selalu bersembunyi di balik berbagai hal; koran, pohon, mobil, bahkan orang lain.

Bari berhenti berjalan di sebuah gang, di mana sekelompok pemuda SMA Pelita Cahaya menyambutnya dengan sorakan. Para pemuda itu tampak mabuk dengan berbagai botol minuman keras. Tas mereka yang terbuka menunjukkan berbagai senjata tawuran; gerigi, pemukul baseball, dan senjata lain yang tidak ingin Vania maupun Aditya bayangkan. 

Para pemuda itu terlihat senang dengan kedatangan Bari... sebaliknya Bari terlihat terbebani. "Gue bikin Si Kevin itu mundur, lo akan bayar gue. Itu kesepakatannya, Jek." kata Bari dengan nada rendah. Meski Aditya dan Vania menjaga jarak di belakang tempat sampah besar di gang tersebut, mereka masih bisa mendengar Bari. 

"Tenang aja bro," kata pemuda bernama Jek. Dia mengalungkan satu lengan pada pundak Bari, sementara tangan satunya membawa satu botol miras. Jek berusaha membuat Bari meminum minuman miras di tangannya. Namun Bari dengan cepat memutar lengan Jek dan membuat Jek meringis kesakitan. 

"Gue mau lima ratus ribu," kata Bari datar.

"Buset!" seru pemuda lain yang terlihat lebih mabuk dari Jek. Dia dan teman-temannya hanya tertawa melihat Jek disakiti.

"Oke! Oke!" seru Jek di tengah ringisannya, "Gue akan bayar!"

Bari akhirnya melepas lengan Jek dengan sebuah dorongan. Kemudian dia mengambil alat pemukul baseball dari tas salah satu pemuda itu dan melangkah mantap melewati gang tersebut. Di ujung gang, terdapat sebuah lapangan basket terbengkalai yang kosong. Cat lapangan sudah mengelupas hingga tersisa hanya abu semen yang retak di berbagai tempat. Rumput-rumput liar tumbuh subur di setiap kerak tersebut. Lapangan itu dikelilingi oleh pagar besi yang juga sudah karatan dan bolong di berbagai sisi. Di tengah lapangan, lima orang pemuda berseragam sekolah lain berdiri seakan menunggu. 

"Jek, lo ga akan ikut berantem?" tanya pemuda lain setelah muntah di jalanan. Butuh usaha besar agar Vania tidak mengumpat karena bau muntahan itu yang lebih tajam daripada bau bak sampah.

"Kagak lah," seru Jek yang berjalan sudah sempoyongan, "itulah gunanya gue bayar Bari mahal. Nanti kita tinggal ambil kreditnya saja."

Para pemuda itu tertawa terbahak-bahak sementara langkah Bari sama sekali tidak menunjukkan keraguan.

"Gila ya Si Bari itu," celetuk Vania keceplosan. Begitu ia sadar dirinya sudah bersuara, Vania langsung menutup mulutnya. Ia menatap Aditya yang sama-sama memberikan tatapan panik

"Siapa coy?" tanya Jek dan para pemuda itu. Untungnya, koordinasi tubuh mereka terlalu buruk sehingga Aditya dan Vania dengan cepat dapat menghilang tanpa ketahuan mereka.

Aditya dan Vania memutuskan untuk berlari mengitari jalan lain untuk mendapatkan pandangan jelas ke lapangan. Mereka menemukan gang lain yang buntu ditutup oleh dinding beton. Tepat di balik dinding itu adalah lapangan tempat Bari sudah saling berhadapan dengan lima pemuda di lapangan. Sebuah retakan besar berada setinggi mata Aditya. Mengikuti ide Vania kemarin, Aditya mengambil ponselnya dan memperbesar kamera hingga menangkap Bari dan lima pemuda di lapangan dengan jelas. Sementara Vania mengawasi gang di depan mereka, memperhatikan tanda-tanda para pemuda tadi mengejar mereka.

Tidak lama suara teriakan nyaring dan suara dentuman keras terdengar. 

"Sudah dimulai," kata Aditya dengan nada tidak percaya, "ini pertama kalinya gue lihat tawuran secara langsung."

Vania tidak membalas komentar itu. Jantungnya sendiri seakan berlari dan terancam untuk melompat dari rongga dadanya. Asam lambungnya berisiko untuk naik kembali meski sudah minum dua obat lambung.

Untuk sesaat, Aditya dan Vania hanya menonton tangkapan layar kamera ponsel Aditya dalam diam. Seperti menonton film dokumenter mengenai sebuah pembantaian. Namun bukannya Bari yang dibantai, melainkan lima pemuda dari sekolah lain itu. Bari, teman satu sekolah mereka, seperti menjadi binatang buas. Kedua mata Bari seperti menggelap, dirinya seakan hanya mengenali kekerasan. 

Brutal, adalah kata yang akan digunakan Vania.

Sakit, adalah kata yang akan digunakan Aditya.

Rekaman selesai dengan lima pemuda itu berlari ke arah berlawanan. Kemudian Jek dan para pemuda mabuk sebelumnya menghampiri Bari dan melemparkan tiga lembar uang berwarna merah pada Bari yang dipenuhi luka. Pelipis Bari berlumuran darah, seragamnya sobek di beberapa tempat, dan lebam berterbangan di lengannya.

Setelah Bari meninggalkan lapangan, Aditya menghentikan rekaman. Namun tidak ada dari Aditya dan Vania yang bergerak sedikit pun. Kali ini, mereka dapat mendengar degup jantung satu sama lain. 

"Ayo, Dit," kata Vania pelan, "Ada satu bukti lagi yang perlu kita kumpulkan sebelum menghadap Pak Tirto."

Aditya hanya mampu mengangguk sebagai balasan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
Help Me to Run Away
2717      1234     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Our Tears
3267      1502     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Resonantia
883      618     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Broken Home
51      49     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Kita
763      496     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Dimensi Kupu-kupu
14933      2969     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Di Bawah Langit Bumi
4118      1930     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Let Me be a Star for You During the Day
1685      967     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Cinta Tiga Masa
951      470     0     
Romance
Aku mencurahkan segalanya untuk dirimu. Mengejarmu sampai aku tidak peduli tentang diriku. Akan tetapi, perjuangan sepuluh tahunku tetap kalah dengan yang baru. Sepuluh tahunku telah habis untukmu. Bahkan tidak ada sisa-sisa rasa kebankitan yang kupunya. Aku telah melewati tiga masa untuk menunggumu. Terima kasih atas waktunya.
Secret Love
371      254     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...