Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Mendengar itu semua membuat Vania akhirnya mengerti mengapa Pak Tirto melindungi Bari meski dengan semua rumor buruk Bari. Vania juga akhirnya mengerti mengapa Pak Tirto menyuruh Aditya dan dirinya untuk melihat secara langsung kehidupan Bari.

Di saat seperti ini, perkataan Pak Rahmat terngiang di kepala Vania, "Tidak semuanya seperti yang terlihat. Jadi jangan lupa untuk selalu membuka pikiran dan hati." Selama ini Vania belum membuka pikiran dan hati sepenuhnya untuk Bari. Gadis itu hanya terfokus pada tujuannya mendapatkan rekomendasi beasiswa. Ia bahkan tidak tahu bahwa ada teman satu sekolahnya yang kehilangan kedua orang tua dan harus menjadi tulang punggung untuk dua anak kecil. 

Di sisi lain, Aditya juga termenung dengan apa yang ia lihat hari ini. Ia bingung bagaimana harus menilai Bari. Haruskah ia menilai Bari berdasarkan kekerasan yang ia lakukan? Atau haruskah ia menilai Bari berdasarkan kesulitannya? Sebagai seorang yatim, Aditya tahu betapa sulit Ibunya menyokong kehidupan mereka berdua di tengah-tengah luka perih ditinggalkan. Aditya tidak habis pikir betapa sulitnya untuk hal itu dilakukan oleh anak seumurannya. Pantas saja Bari tidak menyiakan kesempatan untuk mendapatkan uang, meski harus mengorbankan fisiknya.

Aditya teringat di awal kelas 2 SMA, terdapat pengumuman duka mengenai kematian orang tua seorang murid IPS. Saat itu pikiran Aditya terpenuhi dengan kekalahan dirinya dari Vania di ujian akhir sebelumnya. Saat itu juga Aditya sedang kewalahan dengan jadwalnya mengajar teman-temannya secara sukarela –tuntutan para orang tua, dan Aditya juga sedang menghadapi suatu perubahan besar di kehidupannya. Sejujurnya, Aditya merasa sedikit bersalah tidak memperhatikan berita itu. Prasangka membuat Aditya langsung berpikir bahwa anak yang kehilangan orang tuanya itu akan diadopsi oleh paman atau tante kaya lalu melanjutkan hidup seperti orang lain. Memang, kebanyakan murid SMA Garuda Nusantara berasal dari keluarga berada. Prasangka membuat Aditya menutup kemungkinan bahwa keluarga anak itu seperti keluarganya sendiri; tidak memiliki sanak saudara terdekat yang dapat meringankan beban hidup.

Kini Aditya melihat Bari dengan pandangan berbeda. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu, apapun, untuk memberitahu Bari bahwa Aditya berempati dengan keadaannya. Namun lagi-lagi otaknya macet dan lidahnya kaku. Mengapa ia selalu gagap setiap kali ingin mengutarakan perasaan terdalamnya? Padahal sehari-hari ia sangat lincah bercanda gurau dan berbasa-basi.

"Hidup seperti itu pasti melelahkan," kata Vania dengan lembut dengan tiba-tiba. Kalimat itu jujur, penuh empati, tetapi juga tidak berlebihan. "Maaf karena kita tidak pernah tahu kamu kesusahan, Bari."

Bari tersentak mendengar kalimat yang hangat keluar dari mulut Vania yang terkenal sebagai Ratu Es. Namun sepersekian detik kemudian, ekspresi Bari kembali mengeras. Tatapannya kembali mencurigai Aditya dan Vania. "Kita ga butuh rasa kasihan dari kalian yang ga perlu khawatir harus makan apa besok. Kalian sekarang balik saja ke orang tua kalian yang kaya dan ga usah peduliin kita."

Aditya sedikit meringis mendengar prasangka Bari terhadap dirinya. Namun Vania terlihat tenang mendengarnya, seakan sudah biasa mendengar prasangka demikian. Aditya jadi mengingat hari kemarin ketika dirinya mengatakan Vania kurang pantas mendapatkan beasiswa dibandingkan dirinya karena Vania masih memiliki seorang Ayah yang berada –Ia merasa sedikit bersalah karena ternyata menerima prasangka buruk itu... sedikit menusuk dadanya.

"Bari, aku mau nanya satu hal setelah itu kita akan pergi," kata Vania dengan tenang. Sangat mengagumkan bahwa saingan Aditya ini mampu menjaga ketenangan di tengah ketegangan. "Apakah kamu ingin melanjutkan kuliah? Bila kamu mau, kita bisa membantumu."

Untuk sesaat, Bari hanya berkedip. Sekali. Dua kali. 

Kemudian alisnya bertaut, cuping hidungnya melebar, dan garis mukanya menjadi garang. "Lo pikir lo siapa, hah?" teriaknya sambil berdiri. Rayendra menangis di pelukan Shania tetapi Bari tidak berhenti. "Lo dengan gelembung fana yang ga perlu mikir soal duit. Lo ngejek gue ya? Hidup gue kayak gini."

Napas Bari terengah-engah. Sementara wajahnya memerah.

Aditya sudah memposisikan diri di depan Vania, siap melindungi bila Bari menyerang mereka. Meski segala perkataannya tidak akan menolong Vania, sejatinya Aditya tidak akan bisa memandang dirinya di cermin bila membiarkan Bari menyerang Vania. "Bar, tenang dulu," pinta Aditya.

"Lo pikir kuliah ga butuh duit? Gue masih ke SMA cuma karena Pak Tirto udah gratisiin biaya sekolah gue. Kalau ga, gue bakal stop sekolah dan fokus kerja aja. Sebenarnya Pak Tirto gratisiin sekolah ke gue tuh membebani banget. Gue pingin banget langsung kerja aja. Tapi gue butuh sertifikat SMA biar gue bisa diterima di lebih banyak kerjaan."

"Ngerti ga lo?" tanya Bari. Kini nadanya sudah mereda, hingga Vania dapat mendengar getaran yang pilu. Kedua matanya berlinang ketika ia berkata, "Orang kayak gue ga akan pernah bisa kuliah."

Bari akhirnya kembali duduk dan menenangkan Rayendra yang menangis. Sementara Aditya memastikan Vania yang mematung melihat respon Aditya.

"Ini sudah hampir malam," kata Bari akhirnya, memecah keheningan di antara mereka, "pulanglah."

Kali ini, Vania dan Aditya menurut. Lebih tepatnya, Aditya sedikit menarik Vania yang masih mematung untuk undur diri. Mereka pamit pada Bari dan Shania, tetapi hanya Shania yang membalas dengan senyuman tipis. Kemudian mereka berjalan keluar dari gang perumahan tersebut.

Lagi-lagi, meski Aditya sebelumnya menekankan pada Vania bahwa ia tidak akan menolong perempuan ini, ia menemukan dirinya mengantar Vania menaiki angkot, kemudian berjalan kaki menuju rumah Vania. Selama perjalanan, Vania hanya termenung –satu alasan lagi mengapa Aditya tidak rela meninggalkan Vania begitu saja. Masa dia membiarkan perempuan yang lagi bengong jalan pulang sendiri ketika langit menggelap? Malah Ibunya akan kecewa bila Aditya meninggalkan Vania berjalan pulang sendiri.

Mereka memasuki sebuah perumahan yang rata-rata bangunannya memiliki dua lantai. Jalanan di perumahan itu luas dan setiap bangunan memiliki teras dan taman atau lapangan parkir dengan satu atau dua mobil. Begitu kontras dengan perumahan kontrakan tempat Bari tinggal. Meski masih merasa sedikit bersalah, Aditya semakin yakin bahwa Vania sebenarnya tidak memerlukan beasiswa untuk kuliah. Tidak seperti dirinya.

Vania berhenti di sebuah rumah dengan gerbang berwarna hitam yang tinggi. Seorang satpam membukakan gerbang begitu melihat Vania. "Non, baru pulang?" sapa satpam itu, "Bapak dan keluarga sudah pada makan, Non. Non sudah makan?"

Vania menggeleng. Wajahnya terlihat kusut, pikir Aditya perempuan ini mungkin kelelahan dengan segala hal yang mereka saksikan dan temukan hari ini. Menyadari bahwa Vania dan Aditya masih memiliki sesuatu untuk dibicarakan, satpam rumah Vania dengan sopan undur diri ke pos penjagaannya. Satpam itu membiarkan gerbang terbuka untuk Vania.

"Menurut lo," tanya Vania dengan suara pelan, "apa kita perlu menyerahkan bukti yang dapat mengeluarkan Bari dari sekolah ke Pak Tirto?"

Aditya juga memiliki pertanyaan yang sama. Selama ini memang Pak Tirto memberikan keringanan biaya sekolah pada Bari meski banyak rumor buruk. Hal itu karena Pak Tirto belum pernah mendapatkan bukti konkret Bari melakukan tawuran. Beda ceritanya bila mereka memberikan video sebagai bukti pada Pak Tirto –akan ada kemungkinan Pak Tirto mempertimbangkan ulang bantuannya pada Bari.

"Kalau mau mengubah syarat dapat surat rekomendasinya," jawab Aditya jujur, "maka iya."

Vania menangkap tatapan Aditya. Di bawah cahaya rembulan yang kontras di langit malam dan dengan sepoian angin malam yang menggerakkan rambut Vania, perempuan itu terlihat... cukup manis. Aditya harus menampar dirinya sendiri dalam batin karena berpikir seperti itu. Namun mau mengelak bagaimanapun, Vania memang menawan di bawah cahaya bulan purnama.

Gadis itu meremas roknya, juga menggigit bibir bagian bawahnya, jelas merasa gundah akan suatu hal. Hampir saja Aditya merentangkan tangan untuk menghentikan Vania dari melukai bibir. Ia menampar dirinya lagi dalam batin. 

"Kalau kita tidak mengubah syarat untuk dapat surat rekomendasinya?" tanya Vania. Kedua mata bulatnya terlihat manis ketika mendongak menatap Aditya– tamparan yang ketiga kali dalam batin Aditya. Stop berpikir seperti itu! seru Aditya pada dirinya sendiri.

"Kalau gitu kita perlu bantu Bari lulus ujian nasional dan daftar kuliah," jawab Aditya dengan lembut, "lo yakin, Princess?"

Vania berkedip sekali. Akhirnya ia berhenti meremas rok dan menggigit bibirnya. Kemudian menjawab mantap, "Gue sih yakin dapat beasiswanya. Apapun syarat untuk dapat rekomendasinya."

Melihat Vania tersenyum membawa senyuman pula pada wajah Aditya. "Oke," lanjut Aditya masih tersenyum, "Besok kita buat proposal proyek kita."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
The Alpha
2287      1034     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...
Behind Friendship
4880      1445     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
injured
1593      841     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
Golden Cage
520      305     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Kainga
2908      1467     13     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Farewell Melody
288      199     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Rumah Arwah
1051      575     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Believe
894      553     5     
Short Story
\"To be a superhero isn’t shallow-mindedly about possessing supernatural abilities; it’s about the wisdom one shares and the lives of other people one ameliorates.\" -TinLit
Last October
1998      826     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Fidelia
2680      1295     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...