Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

"Dit!" seru Bari begitu ia memasuki Indomarket dan bel kedatangan berbunyi. "Princess mau minta tolong nih!"

Aditya mendongak untuk melihat sosok yang baru saja masuk ke Indomarket. Ia sudah selesai mengepel satu toko –iya, satu toko. Seharusnya ia mengepel bagian yang dikencingi Cicak saja –siapalah namanya itu, tetapi karena pikiran-pikiran ruwet terus mengganggu otak dan membuat dadanya terasa pengap, ia memutuskan untuk membersihkan satu toko sekalian. 

"Ga gitu!" seru sebuah suara yang lebih feminin. Mendengar suara itu, Aditya cepat-cepat menyembunyikan gagang pel di tangan dan berdiri lebih tegak.

"Bener kan?" goda Bari, "Princess lupa jalan pulang, Dit. Dan gue gatau rumahnya di mana. Jadi dia mau minta tolong diantar ksatria berkuda putihnya–"

Kalimat Bari terhenti dengan pukulan –yang lumayan keras, dari Vania. "Gue bilang ga kayak gitu!" serunya, sementara Bari hanya terkekeh kecil. Entah bagaimana caranya, dalam waktu setengah jam terakhir, kedua murid itu kini terlihat begitu... akrab. Entah mengapa juga, dada Aditya terasa lebih pengap. Sejak kapan mereka sedekat ini?

"Hape gue mati," kata Vania dengan cepat, "kalau ga gue ga akan balik ke sini dan... dan... minta tolong ke lu... Bukan berarti gue minta tolong lo anterin gue lho ya, tapi gue minta tolong um... lo ingat ga di persimpangan deket toko bunga di sana harusnya ambil jalan yang kanan atau kiri?"

Aditya mengerjap sekali. Kemudian dua kali.

"Ka– kalau ga ingat juga gapapa," kata Vania lagi dengan cepat, "Gue numpang charge hape dulu lalu pulang sendir–"

"Gue antar lo," kata Aditya mantap sebelum Vania selesai berbicara.

"Ga– ga perlu, Dit," kata Vania, "Kasih tahu aja gue perlu ke kanan atau kiri terus–"

"Terus kalau lo lupa jalan setelah persimpangan itu gimana? Apa lo bakal balik ke Indomarket lagi cari gue?" tanya Aditya. Nadanya begitu lembut, seperti mentega yang meleleh di mulut. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nada Aditya ketika memarahi Vania tadi. Entah kenapa bila Aditya bertanya dengan nada ini, ego Vania tidak tersulut dan Vania merasa... tidak masalah. Tidak seperti sebelumnya di mana kemarahan Aditya mengundang kemarahan Vania juga. Reaksi bertemu reaksi. Mungkin Bari memang benar, pikir Vania, mungkin Aditya tadi hanya bereaksi spontan karena khawatir.

"Gue antar lo," kata Aditya lagi dengan mantap. Ia berjalan menuju mereka, menyerahkan –hampir mendorong gagang pel di tangannya ke Bari, kemudian mengambil tas miliknya dan sudah membuka pintu toko. Bukannya jengkel, Bari malah cengengesan.

"Kelas hari ini selesai," katanya pada Bari. Kemudian pada Vania, nadanya terasa sedikit lebih lembut, "Ayo, Cess, gue antar lo pulang."

Vania hanya bisa mengangguk sebagai respon. 

'Lo ga lihat apa gimana cara Aditya natap lo? Lo ga pernah tanya ke Aditya ngapain dia nganterin lo pulang hampir tiap malam? Atau kenapa pas tadi, dia langsung pasang badan di depan lo?' pertanyaan Bari hanya beberapa menit lalu terngiang kembali di kepala Vania. 

Apakah Aditya punya maksud lain selama ini? tanya Vania pada dirinya sendiri. Kalau dipikir-pikir, kenapa Aditya melakukan itu semua dengan sukarela. Bahkan malam ini saja, Aditya dengan mantap ingin mengantarnya pulang. Padahal, mereka ini saingan berat sejak SMP. Satu sekolah sudah menyaksikan pertengkaran dan perdebatan mereka sehari-hari. Jadi... kenapa?

"Oh ya," seru Bari, memecah pusaran pikiran Vania, "Ujian Inggris gue kemarin udah keluar hasilnya di portal." Senyuman jahil masih terpampang di wajahnya.

Bari mengacungkan kedua jempol ke arah Vania. "Gue dapat nilai 83 gara-gara lo, Van!"

Mendengar itu, Vania tersenyum lebar. Meski dijuluki Si Ratu Es, diam-diam Vania selalu bangga ketika teman yang ia ajari mendapatkan nilai lebih tinggi dari biasanya. "Itu semua karena lo akhirnya mau belajar, Bar," kata Vania.

Kemudian Vania mengikuti Aditya melangkah keluar menyambut malam, masih dengan senyuman lebar di wajahnya.

***

Aditya berjalan dua langkah di depan Vania. Satu, karena memang kaki Aditya lebih panjang. Kedua, karena memang vania sengaja menguji apakah benar Aditya memang lebih hafal jalan pulang Vania daripada dirinya sendiri. Tampaknya alasan kedua sudah terjawab ketika Aditya mengambil jalan kiri di persimpangan dekat toko bunga tanpa perlu berpikir. Aditya sendiri tidak menunggu Vania, tetapi juga mempertahankan kecepatan jalannya agar Vania tidak ketinggalan. Sepertinya dia ingin memberi kesempatan bagi Vania untuk mendekatinya lebih dulu. Namun Vania tidak mengambil umpan itu, perempuan itu terus berjalan dengan kecepatan yang sama, dua langkah di belakang Aditya.

Tidak lama, mereka sudah memasuki komplek perumahan Vania dan beberapa langkah kemudian, Aditya akhirnya berhenti di depan gerbang rumah Vania. Saat itulah Vania mengambil kedua langkah yang sebelumnya ia tidak berani ambil. Vania membuka mulutnya hendak berterima kasih tetapi Aditya sudah lebih dulu berkata, "Maaf."

"Gue minta maaf, Princess," katanya.

Princess. Dia kembali manggil gue dengan julukan itu, pikir Vania. Entah sejak kapan Vania sudah merasa tidak keberatan dengan julukan itu.

"Sejujurnya gue tidak begitu mengerti kata-kata apa yang membuat lo sakit hati, tapi apapun itu... lo terluka dan gue minta maaf. Sebenarnya gue marah bukan ke lo, tapi ke diri gue sendiri. Malah gue khawatir lo kenapa-kenapa tapi entah kenapa mulut gue langsung ngomong gitu aja." 

Mata Aditya menangkap mata Vania, dan seberapa keras pun Vania mencari olokan atau sisa-sisa kemarahan di mata itu, Vania hanya menemukan ketulusan. 

'Sebenarnya gue marah bukan ke lo, tapi ke diri gue sendiri,' kata Aditya. Persis sama dengan apa yang Bari katakan padanya. 

"Dit," kini Vania merasa perlu bertanya, "Kenapa lo bersedia nganter gue pulang hampir tiap malam? Kenapa juga lo khawatir kalau gue kenapa-kenapa? Lo sendiri yang bilang kalau ada apa-apa supaya gue jangan berharap lo bakal nolongin gue. Tapi..." Vania membuka tangannya ke arah Aditya kemudian ke rumahnya.  "Bukannya gue saingan lo?"

Aditya berkedip sekali. Kemudian dua kali. 

"Iya, lo saingan gue," kata Aditya akhirnya. Nadanya datar, seakan ia sudah melatih kalimat ini berulang kali. "Tapi gue diajarkan ibu gue untuk selalu jadi gentleman."

"Bukan berarti menurut gue lo ga bisa ngapa-ngapain ya," Aditya cepat-cepat melanjutkan, "tapi kalau ibu gue tahu gue biarin lo pulang malam-malam sendiri, gue bisa babak belur di rumah. Kalau bokap nyokap lo tahu, mereka juga pasti ga akan senang, kan?"

Vania tersenyum tipis. Ternyata dia ngelakuin ini karena sifat gentleman-nya, pikir Vania, dia akan ngelakuin ini ke semua cewek. Bari salah. Entah kenapa, pikiran itu tidak memberikan kelegaan pada Vania.

"Gue terima permintaan maaf lo," kata Vania, "dan terima kasih."

"Untuk apa?"

Vania mengambil satu langkah lagi hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Ia mendongak untuk tetap dapat menangkap tatapan Aditya. "Karena udah nganterin gue. Dan khawatir gue kenapa-kenapa. Meski gue adalah saingan lo."

"Juga," lanjut Vania, "karena lo minta maaf."

Aditya mengangkat satu alisnya, seakan bingung dengan kalimat terakhir Vania. Ketika ia hendak bertanya, Vania sudah langsung berkata, "Kita perlu melaksanakan fase kedua misi kita."

Gadis itu melangkah menuju gerbang rumahnya kemudian berhenti. Dari balik pundaknya ia melanjutkan, "Bari bercita-cita jadi psikolog. Dan pas gue tanya dia masih ingin jadi psikolog. Jadi, kita diam-diam submit aplikasi untuk Bari saja."

"Lo sekarang dekat ya ama Bari?" gumam Aditya. Sedetik kemudian dia menggelengkan kepala dan bertanya, "Gimana caranya kita akan dapat akta lahir dan dokumen-dokumen lain milik Bari tanpa kasih tahu Bari? Lo tahu kan Bari sampai sekarang masih berpikir setelah SMA langsung kerja saja. Ia setuju untuk belajar bareng kita untuk lulus Ujian Nasional karena masih butuh sertifikat kelulusan SMA."

"Kan ada Pak Tirto," jawab Vania dengan senyuman tipis. "Pasti ada dokumen-dokumen penting Bari di arsip sekolah."

Aditya mengangguk, merasa rencana itu cukup masuk akal. "Tapi apakah Bari tidak akan marah, Cess? Kenapa ga kita coba bujuk dia saja untuk daftar sendiri?"

Vania menggeleng sebagai jawaban, "Dia tidak akan setuju selama uang masih menjadi beban untuknya dan kita kan ga bisa bantu biaya kuliahnya. Tapi Pak Tirto kan cuma bilang kita perlu buat Bari ikut Ujian Nasional dan daftar kampus. Pak Tirto ga bilang Bari harus diterima di kampus atau harus menerima tawaran kampus." Nada Vania cukup dingin, penuh perhitungan.

"Begitu Bari dinyatakan lulus Ujian Nasional, baru kita kasih tahu kalau kita daftarin dia ke kampus. Tapi kalau dia ga mau terima tidak apa-apa," lanjut Vania masih dengan nada datar, "setelah itu kita bisa fokus ke... persaingan kita yang sebenarnya; meyakinkan Pak Tirto siapa yang lebih berjasa bikin Bari lulus dan 'daftar' kampus." Vania membuat tanda kutip menggunakan kedua tangannya ketika menyebut kata 'daftar.'

Kedua bola mata Aditya tampak mengilat di bawah cahaya bulan sabit. Raut wajah penuh penyesalannya sudah berubah datar, dingin, dan penuh perhitungan –sama seperti Vania. Kalimat Vania ada benarnya. Pertarungan sebenarnya adalah di antara mereka berdua, bukan dengan Bari. Pada akhirnya, dua anak muda di bawah bulan ini adalah saingan. Masa depan mereka masing-masing yang dipertaruhkan dan masing-masing merasa dirinyalah yang paling pantas mendapatkan beasiswa itu. Masing-masing juga tahu yang lain tidak akan mundur.

"Deal," kata Aditya. "Besok kita menghadap Pak Tirto. Sekaligus laporan progres."

Vania tersenyum tipis. Ia tahu kata 'kalimat progres' itu berarti mereka berdua akan beradu mulut siapa yang lebih berperan dalam kemajuan proyek ini. Impresi Pak Tirto dapat menjadi penentu kepada siapa surat rekomendasi akan diberikan. Vania tahu Aditya akan mempersiapkan diri, jadi Vania tidak boleh kalah. Lagipula, Ratu Debat adalah Vania dan dia selalu menyukai pertarungan yang sengit.

"Deal," kata Vania. Ia melambaikan tangan dengan canggung kemudian memasuki pintu gerbang, meninggalkan Aditya dengan perasaan lebih lega –meski entah kenapa, tidak sepenuhnya lega, dari sebelumnya. Aditya berbalik badan menuju rumahnya. Ia tahu baik dia maupun Vania tidak akan tertidur hingga memenangkan ronde pertama di depan Pak Tirto.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
My LIttle Hangga
812      531     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
One-Week Lover
2182      1158     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...
Melody untuk Galang
538      337     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Yakini Hatiku
75      67     1     
Romance
Setelah kecelakaan yang menimpa Fathur dan dinyatakan mengidap amnesia pasca trauma, Fathur mulai mencoba untuk mengingat segala hal seperti semula. Dalam proses mengingatnya, Fathur yang kembali mengajar di pesantren Al-Ikhlas... hatinya tertambat oleh rasa kagum terhadap putri dari pemilik pesantren tersebut yang bernama Tsania. Namun, Tsania begitu membenci Fathur karena suatu alasan dan...
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
494      355     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
Promise
659      379     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
She's (Not) Afraid
2082      950     3     
Romance
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika luka terjarak oleh waktu. Namun, kehadiran Sega mengembalikan semua masalah yang tak terselesaikan ke tempat semula. Dan ketika kebohongan ikut b...
Ineffable class
446      295     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
Ethereal
1333      670     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
ADITYA DAN RA
19899      3606     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...