Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Aditya tidak pernah menyangka dirinya akan bolos sekolah sekalipun dalam hidupnya, tetapi kini ia sudah bolos sekolah sebanyak tiga kali dalam satu bulan ini saja. Apakah kini ia sudah sah menjadi anak berandal? Ia melirik Vania yang berjalan santai di sampingnya. Pikirnya, Vania akan merasa lebih cemas daripadanya karena rekor murid model sempurna Vania terpecahkan karena bolos sekolah ini, tetapi nyatanya perempuan itu tampak begitu tenang.

"Cess, lo yakin kita bisa nemuin dokumen-dokumen penting itu di rumah Bari?" tanya Aditya, "Kalau rumah itu dikunci gimana?"

"Hmm gue ada jepitan rambut," kata Vania santai.

Aditya berhenti melangkah, memutar tubuhnya pada Vania, dan menatap gadis itu dengan terkejut. "Maksud lo, jepit rambut untuk bobol masuk pintu rumah?"

Vania terus berjalan tanpa menoleh. 

"Lo pikir lo MacGyver apa?" Aditya mengambil satu langkah dan sudah kembali berjalan di samping Vania. "Kalau ketauan tetangganya Bari gimana?"

"Makanya ada lo, Dit," jawab Vania, "lo yang bertugas mengawasi sekitar."

"Hah? Lo pikir gue punya jubah Harry Potter yang bisa bikin kita berdua kasat mata, apa?"

Vania mendecak, "Lo kebanyakan baca fiksi."

***

Sesampainya di komplek perumahan kontrakan milik Bari, mereka menyusuri jalanan sempit yang familiar hingga mencapai rumah Bari. Vania melihat ke kanan dan kiri, memastikan sedang tidak ada warga yang keluar rumah dan melihat mereka. Kemudian dengan cekatan –seakan sudah pernah melakukan ini beberapa kali, ia mengambil dua jepitan rambutnya yang lurus lalu mulai mengerjakan lubang kunci pintu rumah Bari. Aditya menutup wajahnya untuk menahan malu. Entah mengapa ia selalu tidak berdaya untuk menghentikan Vania. Bila perempuan itu ingin melakukan sesuatu, ia akan melakukannya. Aditya hanya berharap Vania akan dengan cepat sadar bahwa ini tidak akan berhasil dan menyera–

Alur pikiran Aditya berhenti begitu ia mendengar suara klik dari lubang kunci. Ia menurunkan tangannya dan melihat Vania sudah membuka pintu itu. Rahang Aditya langsung terjatuh. Ia sama sekali tidak menyangka hal ini.

"MacGyver?" Vania mencemooh, "Aku lebih pintar dari MacGyver." Perempuan itu memasuki rumah Bari tanpa ragu. Sebelum ada orang lain yang menyadari apa yang mereka lakukan, Aditya mengikuti Vania kemudian menutup pintu. 

Vania yang langsung membuka satu per satu laci di ruang tamu yang pernah mereka singgahi, membuat Aditya menghela napas kemudian mengikutinya. Semakin cepat mereka menemukan dokumen-dokumen itu, semakin cepat pula mereka bisa keluar dari rumah Bari. Rumah Bari hanya terdiri dari satu lantai saja. Terusan dari ruang tamu adalah dapur yang sederhana. Di sebelah kiri dapur, terdapat kamar mandi dengan satu bak besar dan gayung merah muda berbentuk hati. Sementara di sebelah kanan ruang tamu, terdapat sebuah ruangan yang ditutup oleh pintu kayu yang tipis. Bagian ujung-ujung pintu itu sudah keropos termakan rayap. 

"Tidak ada," gumam Vania. 

Secara insting, Aditya hendak membuka pintu ruangan misterius itu. Namun sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, pintu itu sudah terbuka lebih dulu, menunjukkan sebuah sosok anak kecil. Kedua mata anak itu setengah menutup, sepertinya ia baru saja bangun tidur. 

"Astaga!" Aditya melangkah mundur karena terkejut. Hampir saja ia menabrak Vania yang berdiri di belakang.

"Kak Aditya? Kak Vania?" tanya anak itu, "Ngapain kalian di sini?"

"Eh... halo Shania," sapa Vania dengan canggung.

"Ki– kita ga aneh-aneh kok Shan. Tadi pintunya kebuka sendiri, by the way, jangan lupa nanti dikunci ya," kata Aditya dengan cepat. Terlalu cepat. "Kita cuma... cuma..."

"Kamu ga sekolah?" tanya Vania, berusaha mengalihkan fokus pembicaraan ke Shania.

Shania mengangkat kedua alisnya, seakan bertanya, 'kakak sendiri?' tetapi tidak menyuarakannya. "Hari ini satu kelas Rayendra ada field trip," kata Shania, "tapi karena kami tidak bisa membayar lebih untuk biaya transportasi dan konsumsi, Rayendra diliburkan. Aku bolos sekolah untuk menjaga Rayendra."

Vania dan Aditya hanya bisa terdiam mendengar itu, tidak tahu kalimat apa yang bisa meringankan beban yang tidak seharusnya dipikul oleh anak semuda Shania. Akhirnya, Vania melangkah maju dan mengambil kedua tangan Shania dengan lembut.

"Kita berdua mau bantu kakakmu, Bari, untuk daftar kuliah. Tapi ini rahasia, Shan." Vania mengangkat satu jari ke depan bibirnya. "Kamu tahu sendiri kan kalau Bari akan kekeuh mau langsung kerja saja. Padahal dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak bila memiliki S1."

Remaja perempuan itu menoleh ke belakang, di mana Rayendra masih tertidur di kasur busa tanpa divan. "Aku juga ingin Kak Bari S1 saja," kata Shania, "aku bisa bantu jaga Rayendra di rumah selama kak Bari kuliah. Apa yang Kak Vania dan Kak Aditya butuhkan?"

Aditya hanya bisa mengerjap terkejut karena dengan mudahnya Vania membuat Shania mau bekerja sama dengan mereka. Padahal seharusnya Aditya adalah sosok yang lebih sosial daripada Vania. Namun di saat seperti ini, ia sadar sikap terus terang Vania lebih dapat diterima dalam keadaan terpuruk daripada sikap basa-basi yang tidak memiliki makna.

"Kami butuh fotokopi warna Akta Lahir, fotokopi Kartu Keluarga, dan pas foto terbaru dari Bari," jawab Vania.

Shania mengangguk. Ia berjalan menuju lemari kecil di samping kasur busa dan mengeluarkan map merah besar dari laci terbawah. "Di sini ada Akta Lahir dan Kartu Keluarga. Tapi... pas foto terbaru, kita ga punya. Apa kalian tidak bisa mengajak Kak Bari foto saja?"

Sebelum Vania sempat menjawab, Aditya sudah lebih dulu berkata, "Bisa. Tapi karena ini rahasia, kita akan mengajaknya foto untuk alasan lain. Jadi kamu jangan bilang-bilang dulu ya ke Bari."

Shania mengangguk. "Tempat fotokopi bisa di Koh Liong. Keluar dari komplek ini, belok kanan, terdapat toko serbaguna. Nah, Kog Liong juga membuka jasa print dan fotokopi."

Hari itu juga, Vania dan Aditya akhirnya mendapatkan dokumen-dokumen penting yang mereka perlukan untuk mendaftarkan Bari ke sebuah kampus. Setelah mereka mengembalikan Akta Lahir dan Kartu Keluarga asli ke rumah Bari, hari sudah siang menjelang sore. Kedua siswa-siswi itu menuju Indomarket tempat Bari bekerja, masing-masing terhanyut dalam keheningan masing-masing. Aditya masih tertegun mengingat Rayendra yang terpaksa tidak bisa ikut field trip karena mereka tidak bisa membayar biaya tambahan, sementara Vania mengingat bagaimana Shania harus rela bolos sekolah untuk menjaga Rayendra.

Begitu mereka memasuki toko, mereka disambut Bari yang tersenyum cerah melihat mereka. "Dit, Van!" serunya, "Nilai ujian geografi dan matematika gue udah keluar. Lo tahu gue dapat berapa?"

Aditya dan Vania memaksa senyuman di wajah masing-masing. 

"Gue dapat 95 dan 100, gais!" Bari mengangkat dua kertas ujiannya di udara. "95 dan 100 gais! Ini pertama kalinya gue dapat nilai setinggi ini setelah... lo tahu." 

Wajah Bari berseri-seri, kedua matanya mengilat karena air mata. "Gue terharu banget," kata Bari, "Makasih banyak ya. Gue ga akan bisa mencapai nilai segini dengan keadaan gue sekarang kalau bukan karena lo pada. Gue ga sabar kasih tahu ini ke Shania nanti dia pulang sekolah."

Aditya dan Vania hanya bisa berkedip. 

"Em– emangnya Shania hari ini sekolah?" tanya Aditya hati-hati.

Bari mengangkat alisnya. "Ini kan hari biasa. Tentu saja Shania dan Rayendra sekolah. Meski, hari ini Rayendra ga sekolah sih, dia ikut field trip. Hari ini gue akan traktir mereka bakso. Gue merasa bersalah tiap hari pulang malam dan langsung ketiduran karena capek. Belakangan ini gue jadi jarang ngobrol sama mereka."

"Ta– tapi–"

Perkataan Aditya dipotong oleh Vania yang menarik lengannya. Ketika Aditya menoleh, Vania menggelengkan kepalanya, membuat Aditya menelan kembali kalimat di ujung lidahnya.

"Kenapa?" Bari bertanya, senyuman di wajahnya sudah terhapus. 

"Engga apa-apa kok, Bar," Vania memaksakan senyuman, "Kita kaget aja lo bisa cepat banget mengejar ketinggalan pelajaran."

Mendengar itu Bari kembali tersenyum, "Semuanya karena lo berdua." Dia merapikan baju kerjanya kemudian bersiap di belakang meja kasir. Lalu kembali menatap Aditya dan Vania dengan senyuman semangat. "Hari ini kita belajar apa?"

***

Malam itu, Aditya menemani Vania jalan pulang diselimuti keheningan. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya. Hingga mereka mencapai pertigaan di mana Vania tersesat sebelumnya, barulah Aditya angkat bicara, "Kenapa lo ga biarin gue kasih tahu Bari soal Shania? Dia kan berhak tahu adiknya bolos sekolah dan adik satunya ga bisa berangkat field trip."

Vania tidak menatap Aditya. "Apa gunanya dikasih tahu?" katanya, "Sejauh ini Bari menganggap kita sudah memecahkan masalah uangnya dan memberikan dia kesempatan untuk belajar. Tapi kalau dia tahu masalah uang itu masih ada, apakah dia tetap mau rajin belajar dan mengikuti Ujian Nasional?"

"Tapi kasihan Shania harus bolos sekolah diam-diam!" Aditya tidak kuasa untuk berseru. Entah mengapa ia merasa begitu kesal dengan apa yang ia lihat hari ini. "Dia seharusnya juga berhak sekolah tanpa perlu memikirkan mengurus adiknya."

"Dia kan perempuan," kata Vania dengan santai.

"Terus kenapa kalau dia perempuan?" tanya Aditya dengan nada lebih tinggi dari yang ia maksud. Nada tinggi itu membuat mata Vania membesar. Kemudian perempuan itu berkedip seakan tidak mengerti mengapa Aditya begitu kesal malam ini. Di sisi lain, Aditya yang melihat Vania seperti itu mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya.

Vania memalingkan wajahnya. "Perempuan itu lebih sering dituntut untuk menjaga keluarga, untuk di rumah saja. Sementara pihak lelaki yang dituntut meraih pendidikan, prestasi, dan pekerjaan," katanya datar. Mereka berhenti tepat di depan gerbang rumah Vania. Satpam rumah Vania sudah membukakan gerbang untuk Vania masuk, kemudian seperti rutinitas, satpam itu membiarkan Aditya dan Vania bertukar kalimat lebih dulu.

Mendengar itu, Aditya berdengus. Ia setengah tertawa mencemooh ketika berkata, "Munafik banget lo."

"Apa?" Vania memutar tubuhnya menghadap Aditya.

"Munafik," kata Aditya, hampir meludahkannya. "Lo munafik, Van."

Van. Dia kembali manggil gue dengan nama dan buka Princess, pikir Vania.

Vania menyilangkan tangan di dada dan tersenyum sinis. "Apa dasar lo bilang gue munafik?"

Kedua mata Aditya seakan menyala, membawa api dari dalam kegelapan dan membakar Vania di tempat. Di bawah rembulan, entah mengapa Aditya malam itu terlihat begitu tinggi, begitu besar, begitu... menakutkan. "Kalau menurut lo karena Shania perempuan jadi dia yang harus rela bolos sekolah dan ngurus rumah serta keluarga... coba lo ngaca. Lo sendiri perempuan." Lagi-lagi Aditya tertawa mencemooh. "Bukannya sesama perempuan seharusnya saling mendukung dan mengerti ya? Lo ga peduli dengan Shania padahal lo sendiri adalah seorang perempuan yang lagi mengejar beasiswa padahal lo ga butuh beasiswa itu! Masih gatau letak munafik lo di mana? Hah?"

Vania mengambil satu langkah ke belakang. Tidak seperti ketika Aditya memarahinya di Indomarket, kali ini nada tinggi Aditya terasa begitu... dingin. Seakan pemuda itu telah menembakkan peluru yang sudah diasah tahun demi tahun kemudian melesatkannya tepat di jantung Vania.

"Lo marah ketika gue kecepelosan marahin lo karena bertindak ceroboh sebagai perempuan ketika Jek dan gengnya berulah," lanjut Aditya, semakin lama semakin tinggi nadanya, semakin tertusuk pula dada Vania. "Tapi lo meremehkan keadaan Shania? Apa hak lo untuk bilang keadaan Shania karena dia perempuan padahal lo sendiri mau merebut hak beasiswa orang lain. Masih gatau letak munafik lo di mana?"

Vania berkedip. Kali ini dia tidak bisa hanya berdiam dan menerima hinaan demi hinaan yang dihujamkan Aditya. Masih mencengkeram roknya, Vania memberanikan diri untuk angkat suara pula, "Gue ga merebut hak beasiswa orang lain! Kita berdua bersaing secara adil. Kalaupun ada yang curang, itu adalah lo yang suka ngasih contekan ke anak-anak lain!"

Suara kedua siswa-siswi yang meninggi ini membuat satpam rumah Vania memunculkan kepalanya dari balik gerbang. Beberapa rumah juga kembali menyalakan lampu mereka, penasaran dengan gema ricuh yang berlangsung. Namun kedua siswa-siswi ini tidak menyadari itu semua.

Aditya mengangkat kedua tangannya dan tertawa mencemooh. "Adil?" tanyanya, hampir menggeram, "Lo bilang ini adil?"

"Iya! Adil!" Vania berteriak dengan seluruh kekuatan parunya.

Sebagai jawaban, Aditya menunjuk rumah Vania. "Lihat ini! Rumah gede lo dengan pagar gede dan satpam di perumahan yang elit! Gue yakin di dalam juga ada supir, ada pembantu."

Vania berkedip.

"Lo tahu rumah gue biasa saja, di perumahan yang biasa saja, dan ga ada satpam. Gue harus mengunci pagar rumah gue setiap malamnya. Gue yang harus jalan kaki dan pakai transportasi umum setiap hari. Gue juga yang harus beres-beres rumah setiap harinya. Buka mata lo, Van, dari awal lo ga butuh beasiswa ini, ga kayak gue!"

Perempuan itu mengangkat mulutnya, hendak membalas, tetapi sebuah suara berat yang bergema seakan memecah angin malam dan membuat keduanya bergeming. Bila sebelumnya Vania merasa Aditya sedikit menakutkan, kini tangan perempuan itu yang masih mencengkeram roknya bergemetar karena suara tersebut. Vania seakan mematung melihat kakinya, sementara Aditya menoleh ke arah sumber suara.

Seorang pria paruh baya berjalan santai ke arah mereka berdua. Pria itu tinggi, dengan rambut wajah dicukur rapi, potongan rambut tentara, dan menggunakan baju polo serta celana khaki selutut. 

"Ada apa ribut-ribut di malam hari?" tanyanya dengan nada yang otoriter.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
Langkah Pulang
1333      784     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Bukan Pemeran Utama
92      89     0     
Inspirational
Mina, Math, dan Bas sudah bersahabat selama 12 tahun. Ketiganya tumbuh di taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah yang sama. Dalam perjalanan persahabatan itu, mereka juga menemukan hobi yang mirip, yakni menonton film. Jika Bas hanya menonton film di sela waktu luang saat ia tak sibuk dengan latihannya sebagai atlet lari , maka kegandrungan Math terhadap film sudah berubah m...
Bus dan Bekal
3905      1863     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
Kisah Kasih di Sekolah
858      553     1     
Romance
Rasanya percuma jika masa-masa SMA hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Nggak ada seru-serunya. Apalagi bagi cowok yang hidupnya serba asyik, Pangeran Elang Alfareza. Namun, beda lagi bagi Hanum Putri Arini yang jelas bertolak belakang dengan prinsip cowok bertubuh tinggi itu. Bagi Hanum sekolah bukan tempat untuk seru-seruan, baginya sekolah ya tetap sekolah. Nggak ada istilah mai...
Kenapa Harus Menikah?
139      127     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Ruang Suara
431      315     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Je te Vois
2438      1373     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Nadine
6083      1697     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Kacamata Monita
4730      1413     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Deepest
1171      706     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.