Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

Ketika bangun, Pijar sudah berada di kamar rawat. Ia lihat Binar tertidur dalam posisi duduk, dengan berbantalkan kedua tangan, yang diletakkan di atas pinggiran brankar. Binar masih pakai seragam sekolah.

Mereka tidak sendiri. Mengingat asuransi mereka kelas 3, jadi kamar rawatnya pun menyesuaikan. Ada 6 brankar yang dibatasi sekat kelambu. Dan yang terisi ada 3 brankar.

Pijar coba mengingat apa yang terjadi. Sudah cukup lama sejak terakhir kali ia opname. Mengingat semenjak menginjak usia remaja, penyakitnya jarang kambuh.

Pijar ingat. Tadi saat pelajaran matematika, ada kuis dadakan dari Pak Mukhlis. Kondisi Pijar memang sudah turun sejak semalam. Namun anak itu tidak terlalu mengindahkan sinyal tubuhnya. Ia hanya mengandalkan pikiran positif, yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Ternyata ia kalah oleh kuis matematika. 'Payah!'

Kasihan Binar, harus izin sekolah demi dirinya.

Bertambah lagi lah kesibukan kakaknya. Binar sudah cukup lelah dengan semua rutinitas harian yang seakan tak ada habisnya. Malah Pijar mengerjainya seperti ini.

Pijar menyentuh telapak tangan kakaknya perlahan. Cukup untuk membuat Binar seketika terbangun. Bukan sekadar bangun, Binar sampai tersentak. Seperti baru saja dibangunkan dengan keras.

Pasti itu karena kondisi psikis Binar, yang dipenuhi rasa khawatir pada Pijar. Makanya sedikit-sedikit langsung kaget dan panik.

"Alhamdulillah, kamu udah bangun, Dek. Gimana? Ada yang sakit? Masih sesek? Sakit nggak dadanya?" Binar langsung memberondong Pijar dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

Napas Pijar jadi sesak betulan karena rentetan pertanyaan itu. Bukan karena jantungnya kumat lagi. Tapi karena ia merasa bersalah.

"Maaf ya, Mas." Suara Pijar bergetar di balik masker oksigennya.

"Kok malah minta maaf?" Binar kebingungan, seraya menyugar rambut Pijar.

"Maaf aku nggak bisa jaga diri."

"Bukan salah kamu. Ngapain minta maaf?"

"Tadi Pak Mukhlis ngomong apa, Mas?"

Walau Pijar sama sekali tidak sadar dalam prosesnya dibawa ke rumah sakit. Tapi ia sudah tahu bahwa wali kelasnya lah yang mendampinginya selama proses itu berlangsung. Sebab dulu juga begitu. Apa lagi tadi kejadiannya saat kelas Pak Mukhlis juga.

Binar tersenyum tipis. "Beliau nyeritain kronologi kamu pingsan waktu kuis matematika."

"Terus ngomong apa lagi?"

Binar tahu apa yang sedang dikhawatirkan oleh Pijar. "Beliau bilang, katanya kamu ikut kompetisi menulis novel."

Tampang sedih Pijar semakin kentara. "Mas Binar nggak marah?"

Binar terkekeh kali ini. "Nggak. Masa adik Mas ikut lomba marah. Justru Mas bangga, dong! Tapi lain kali, kalau mau ikut-ikut lagi ... harus bilang dulu, ya."

"Maafin aku ya, Mas. Aku sebenarnya bukan mau menyembunyikan. Tapi aku nggak mau Mas Bintang makin sibuk mikirin gimana aku harus bagi waktu, supaya nggak nge-drop. Ternyata aku gagal ngatur waktu sendiri. Aku janji lain kali bakal lebih tahu diri."

"Hei ... nggak gitu maksudnya. Kenapa tahu diri segala, sih? Pokoknya janji, jangan diulangi lagi! Jangan dibiasain nggak terbuka sama Mas. Jangan bikin Mas merasa nggak dibutuhkan sama kamu."

"Ya mana mungkin. Mana bisa aku hidup tanpa Mas Binar. Aku butuh Mas Binar selamanya!"

Binar baru saja menekan tombol nurse call di sebelah brankar Pijar. "Oke. Aku juga senang kamu bergantung sama aku, Dek."

Seorang perawat baru saja datang. Memeriksa saturasi oksigen Pijar, yang ternyata sudah cukup baik.

"Maskernya saya lepas, ya. Diganti sama nasal kanula, supaya lebih nyaman." Suster itu mohon izin terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan.

Pijar hanya mengangguk pasrah. Toh ini juga demi kenyamanannya sendiri.

"Mas Binar, saya dapat pesan dari dokter. Mas Binar suruh nemuin beliau di ruangannya sekarang." Perawat itu menyampaikan amanah yang ia emban.

Binar dan Pijar saling bertatapan sekilas. Sel otak mereka sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang sama.

"Baik, Sus. Terima kasih." Binar beralih pada Pijar. "Mas keluar dulu sebentar, ya. Kamu baik-baik di sini. Itu HP kamu di atas nakas, biar nggak gabut!"

Pijar terkekeh. "Iya, Mas."

***

Binar sebenarnya takut masuk ke dalam ruangan dokter Surya -- yang sekarang sudah ada di hadapannya. Namun tangan itu tetap bergerak untuk memutar knop.

Dokter Surya segera menatapnya, yang baru kelihatan sedikit, sebab pintu belum ia buka sepenuhnya.

"Ayo silakan masuk, Binar." Dokter Surya seakan tahu anak itu sedang ketakutan, butuh sedikit dorongan supaya lebih berani.

Binar terkekeh malu. Sedikit mempercepat pergerakannya.

"Silakan duduk, Bin." Wajah dokter Surya dihiasi senyum yang menenangkan. Namun ternyata tidak berhasil untuk membuat Binar ikut tenang.

Ia duduk di hadapan dokter Surya. Mempersiapkan jantungnya sendiri, supaya tidak terlalu heboh setelah mendengar apa pun yang akan diucapkan oleh dokter Surya setelah ini.

"Jadi begini, Binar. Setelah pemeriksaan irama jantung yang kami lakukan ... adik kamu mengalami aritmia. Yaitu, ketidak stabilan irama jantung. Oleh karenanya, kami harus menambah obatnya. Nanti Pijar harus check up lebih sering juga. Tapi tenang, ini hanya sementara. Setelah irama jantungnya teratur, pengobatan Pijar bisa kembali seperti sebelumnya. Untuk check up-nya, bisa dicover sama asuransi. Namun untuk obat tambahannya ... maaf harus saya sampaikan ... belum ada obat yang terdaftar masuk dalam jenis-jenis obat yang tercover asuransi."

Dokter Surya pelan-pelan sekali menjelaskannya. Ia bisa melihat perubahan air muka Binar. Sebab sang dokter sangat tahu bagaimana kondisi keluarga kecil Binar dan Pijar. Mengingat sang dokter sudah kenal mereka sejak masih kecil dulu. Sejak mereka masih punya orang tua.

Sebenarnya bukan hal sulit bagi dokter Surya untuk membantu mereka -- untuk mengkover beberapa obat Pijar yang tidak terdaftar dalam asuransi -- yang sekarang malah tambah.

Tapi ... Binar yang tidak mau merepotkan.

"Jangan, Dok. Saya punya pekerjaan kok. Saya bisa usahakan buat bisa bayar obatnya Pijat sendiri. Saya nggak mau hutang budi, Dok. Hidup kami sudah berat. Jangan makin dibebani dengan hutang budi."

Begitu jawaban Binar setiap kali dokter Surya menawarkan bantuan.

Namun dokter Surya sepertinya tidak bosan, untuk menawarkan hal yang sama pula.

"Untuk obat yang baru saja ... biar saya yang tanggung soal itu, Binar. Tolong kamu setuju, ya! Ini demi Pijar. Demi kamu juga. Supaya kamu nggak terlalu cape kerja. Kasihan badan kamu, Bin."

"Memangnya obat barunya semahal itu, Dok?"

"Harganya sih, hampir sama seperti obat rutin Pijar yang lain. Hanya saja, Pijar akan butuh terus obatnya, kan. Izinkan saya bantu untuk obat yang baru saja. Gimana?"

Binar tersenyum. "Dokter Surya baik sekali sama kami. Terima kasih ya, Dok. Saya doakan Dokter sekeluarga senantiasa berkah hidupnya. Saya janji, suatu saat nanti saya akan balas kebaikan Dokter Surya."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Matahari untuk Kita
3383      1080     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Solita Residen
3946      1522     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
3514      1997     1     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Luka Tanpa Asa 2
9      2     0     
Romance
Kehidupan Hana Asuka terus berlanjut. Kini dia sudah duduk di bangku kelas 11 dan mulai menjalin kasih dengan Haru. Namun lika-liku perjalanannya membawanya menjadi sosok Hana yang berbeda. Trauma masa lalu semakin membuat kesehatan mentalnya menjadi tidak baik-baik saja. Kehadiran Yumi, sahabatnya dari Jepang, membuatnya merasa kembali hidup. Namun secara bersamaan, sosok ayah kandungnya masih ...
IRIS
556      418     2     
Short Story
Alf terlahir dalam dunianya yang gelap, sementara Faye hidup dalam sisi yang berlawanan dengannya. Namun, siapa sangka jika ternyata sesekali Faye menginginkan hidup di posisi Alf. Sedangkan Alf telah memutuskan untuk mengakhiri kehidupan hitamnya, bukan beralih ke dunia putih milik Faye, namun ke kehidupan yang sebelumnya telah dipilih ibunya, Sang Pengkhianat.
Deep End
101      92     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
The Bet
18419      3159     0     
Romance
Di cerita ini kalian akan bertemu dengan Aldrian Aram Calton, laki-laki yang biasa dipanggil Aram. Seperti cerita klise pada umumnya, Aram adalah laki-laki yang diidamkan satu sekolah. Tampan? Tidak perlu ditanya. Lalu kalau biasanya laki-laki yang tampan tidak pintar, berbeda dengan Aram, dia pintar. Kaya? Klise, Aram terlahir di keluarga yang kaya, bahkan tempatnya bersekolah saat ini adalah mi...
Kacamata Monita
4342      1303     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Help Me Help You
3959      1855     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.