Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

Atha terbangun bukan karena cahaya pagi yang masuk dari celah jendela, atau suara ayam tetangga yang menembus dinding tipis rumahnya. Cowok itu terbangun karena sebuah mimpi yang tak sempat ia ingat sepenuhnya—sebuah mimpi yang entah bagaimana meninggalkan perasaan seperti tenggelam di danau yang terlalu tenang, terlalu dalam, dan terlalu dingin.

Napasnya masih berat saat ia terduduk, keringat dingin membasahi leher dan punggung meski kipas angin belum sempat mati sejak malam tadi.

Ia mengusap wajah dengan dua tangan, menekannya kuat-kuat seolah berharap waktu bisa berhenti dulu sebentar. Di ruangan yang sempit dan berantakan itu, suara detik jam dinding terdengar sangat keras, terlalu keras. Lalu kesunyian itu disela bunyi notifikasi pendek dari ponsel yang ia tinggalkan di meja kecil dekat kasur.

Atha menoleh, mengulurkan tangan dengan malas, membuka layar. Notifikasi itu bukan balasan—hanya promo dari aplikasi belanja. Tapi layar itu mengingatkannya akan sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang.

Dero.

Dengan kecepatan yang mendadak tegas, Atha membuka aplikasi chat. Ia scroll ke atas, melihat pesan terakhir dari semalam—singkat, tapi cukup menenangkan saat itu.

“Gue di sini dulu ya, jagain.”

Itu dikirim tengah malam, setelah Niko akhirnya tidur. Tapi sejak pagi ini… tidak ada balasan. Pesan Atha yang dikirim pukul enam—“Lo udah bangun? Gimana Niko?”—masih centang dua. Tidak dibaca. Belum dibalas.

Ia menatap layar ponsel itu lama sekali. Mata yang masih lelah tidak bisa menipu kegelisahan dalam dirinya. Perasaannya mulai dilanda sebuah ketakutan yang samar: bukan yang meledak-ledak, tapi yang dingin, seperti udara yang menyusup dari bawah pintu dan diam-diam mengubah suhu satu ruangan tanpa disadari.

Tapi Atha tetap bangkit. Tubuhnya berat, kakinya nyaris kram karena tidur dalam posisi tak nyaman. Ia merapikan rambut seadanya, mengganti baju dengan kaus polos dan celana panjang, lalu menyambar tas sekolahnya—ritual yang terasa sangat konyol pagi ini. Tapi mungkin itulah cara otaknya bertahan. Menjalankan rutinitas agar tidak meledak.

Di luar, langit sedikit mendung. Motor dinyalakan, helm dipasang, dan Atha melaju. Ia bahkan tidak sempat sarapan.

Di perjalanan menuju sekolah, Atha melaju tanpa benar-benar melihat jalan. Matanya fokus ke depan, tapi pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya tertinggal di kamar lantai dua rumah itu, tempat di mana Niko duduk diam di dekat jendela, tak bereaksi. Pikirannya juga tertinggal di tangga rumah Niko semalam, saat Dero akhirnya memilih tidur menginap untuk menjaga Niko yang sendirian ditinggal kedua orang tuanya perjalanan bisnis.

Atha mengetatkan pegangan di setang motor.

Kenapa belum ada balasan?

Apa yang terjadi?

Kenapa Dero nggak ngabarin sama sekali?

Bahkan sekarang, ia mulai merasa harusnya tadi mampir ke rumah Niko—tapi rumah itu beda arah, dan... dia terlalu takut. Terlalu takut kalau jawabannya akan lebih buruk dari sekadar ‘tidak dibalas’.

Tiba di sekolah, Atha masuk gerbang tanpa semangat. Pandangannya lurus, tidak menyapa siapa pun, karena memang tidak ada yang menyukainya lagi semenjak kejadian fitnah semester lalu, yang menyebabkan Atha tidak lulus. Beberapa siswa lain berjalan tergesa, sebagian duduk-duduk di taman sekolah sambil memainkan ponsel.

Kelas 13 sunyi.

Saat ia membuka pintu, hanya ada lima siswa. Mereka duduk terpencar, beberapa menunduk di atas meja, lainnya menatap ke luar jendela. Tidak ada suara. Tidak ada musik dari speaker kelas seperti biasanya. Tidak ada gumaman lelucon atau obrolan acak. Tidak ada Dero. Tumben.

Atha masuk, duduk di tempatnya. Ponsel dikeluarkan lagi. Cek ulang. Masih centang dua. Ia coba kirim satu pesan lagi.

“Lu gapapa?”

Lalu ia refresh—dan detik itu juga, semua berubah.

Centang dua tadi pagi … jadi centang satu.

Atha menatap layar itu lebih lama dari yang perlu. Coba kirim satu lagi. Masih centang satu. Ia coba hubungi lewat telepon. Satu kali. Dua kali. Tiga.

Namun, tidak ada jawaban dari seberang sana.

Ia buka profil Dero. Terakhir online: ‘terakhir dilihat hari ini pukul 06.12’. Setelah itu—tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Bahkan foto profil Dero sudah hilang. Jantung Atha berdegup tak karuan. Ia merasa perutnya mual, seperti baru saja jatuh dari tempat tinggi.

Dia mencoba meyakinkan diri: mungkin HP-nya mati… mungkin dia capek, lagi tidur... mungkin sinyalnya jelek...

Tapi suara-suara di dalam kepala Atha tak membiarkan itu.

Atau mungkin sesuatu udah terjadi.

Telapak tangannya mulai berkeringat. Ia coba lagi menelepon. Suara sambungan terdengar—lama, lambat, lalu mati sendiri. Tidak dijawab. Dero masih belum online. Masih tak ada tanda bahwa dia hidup, atau sekadar membaca pesan.

Seseorang dari kursi depan bersin kecil, lalu mengelap hidung dengan tisu. Sisanya tetap diam. Jam dinding menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Guru belum datang. Dan seperti biasa, tidak ada yang peduli.

Atha menyandarkan tubuhnya, menatap ke depan. Tapi tatapannya kosong. Pikirannya seperti tersangkut di tempat lain. Jantungnya berdetak cepat, tapi ekspresi wajahnya datar—cara tubuhnya menyimpan rasa panik yang sudah mulai naik ke ubun-ubun.

Telinganya menangkap suara gerit pelan dari jendela yang ditiup angin. Itu saja. Tak ada suara dari koridor. Tak ada tanda kehidupan di luar ruang ini.

Seolah seluruh sekolah ikut menahan napas.

Ponsel digenggam lebih erat. Ia mengetik satu pesan lagi.

“Lu di mana?”

Tapi bahkan mengetik itu saja seperti menyayat sesuatu di dalam dirinya. Ia tahu tidak akan ada jawaban.

Atha menggertakkan giginya pelan. Ia merasa seperti ditinggal hidup-hidup, satu demi satu. Pertama Niko, sekarang Dero. Dan ia, seorang diri di kelas remedial lanjutan ini—kelas yang bahkan tidak diakui keberadaannya oleh sistem sekolah, kelas paling belakang, paling jauh, paling sepi.

Tempat bagi yang tersisa.

Yang gagal.

Yang tak punya rute alternatif.

Dan bahkan di antara orang-orang yang sama-sama gagal, Atha masih merasa seperti yang paling sendiri.

Detik berikutnya, ia bangkit.

Tak ada keputusan resmi. Tak ada dialog batin panjang. Hanya rasa cemas yang menumpuk, mengendap, lalu meledak sebagai satu tindakan impulsif: ia keluar dari kelas.

Atha tidak pamit pada siapa pun. Bahkan dia tidak menoleh. Langkahnya cepat, matanya mencari jalan keluar, seperti orang yang baru sadar tempatnya terbakar. Guru belum datang, dan tak ada yang bertanya ke mana ia pergi.

Tas tetap di punggungnya. Ponsel masih digenggam erat. Jari-jarinya sudah mulai gemetar.

Atha pergi menyelinap seolah tanpa dosa dari gedung belakang itu dengan langkah besar. Gedung satu, gedung dua. Suara sepatunya menggema karena lorong-lorong belum ramai. Ketika akhirnya sampai di parkiran dan menaiki motornya, ia tidak sempat berpikir lagi.

Ia tahu harus ke mana.

Rumah Dero.

Motor melaju melewati tikungan-tikungan sempit perumahan kota. Atha tak benar-benar mengingat rutenya secara detail, hanya mengikuti ingatan samar dari malam itu—malam ketika ia pertama kali mengantar Dero pulang kerja part time dari minimarket, dengan suasana canggung dan percakapan yang terlalu hati-hati. Bukan malam yang hangat, bukan malam yang ringan, tapi justru malam yang jadi awal sesuatu.

Tapi kali ini, tidak ada percakapan sama sekali. Tidak ada canggung, tidak ada ragu—hanya sunyi yang menghantam dari segala arah. Deru mesin motornya terdengar seperti gema kosong, dan hujan tipis yang akhirnya turun tak juga menyegarkan. Jaket hujan yang Atha lupakan membuat dingin langsung menusuk, tapi itu bukan yang paling mengganggu.

Dada Atha terasa sesak, seperti dililit tangan tak kasat mata. Langit mendung menggantung rendah, awan menggumpal tanpa ampun. Bahkan angin terasa berat, seperti enggan bergerak. Setiap lampu jalan yang ia lewati terasa seperti saksi bisu bagi kecemasan yang tak bisa ia redam.

Setiap detik di atas motor terasa seperti jarum jam yang diputar paksa. Terlalu cepat untuk bernapas, tapi terlalu lambat untuk sampai.

Kenapa Dero belum balas?

Kenapa tiba-tiba centang satu?

Apa dia baik-baik saja? Atau—

Atha menggeleng cepat, menepis pikiran itu, lalu memacu motornya sedikit lebih kencang.

Akhirnya, ia tiba.

Rumah itu masih sama. Sederhana, dengan pagar besi kecil dan tembok bercat krem yang mulai kusam. Tak ada kendaraan di depan, tak ada suara dari dalam. Hujan mulai menebal, menciptakan pola basah di bahu dan punggung Atha.

Ia turun dari motor. Langkahnya pelan mendekat ke pintu gerbang yang tidak dikunci. Didorong pelan, berderit. Lalu ia berdiri di depan pintu rumah, mengangkat tangan dengan sedikit ragu, dan mengetuk dua kali.

Ketukan pertama—hanya suara kosong.

Ketukan kedua—suara langkah dari dalam.

Pintu terbuka. Dan dunia Atha runtuh dalam satu kedipan mata. Dero berdiri di sana. Tapi wajahnya bukan wajah yang Atha kenal.

Matanya sembab, merah. Rambutnya berantakan, seperti habis bergulat dengan malam panjang tanpa tidur. Napasnya cepat, tapi tidak gemetar. Tubuhnya tegap, tapi bukan karena percaya diri—karena amarah yang disimpan terlalu lama.

Dan sebelum Atha bisa berkata satu kata pun, suara itu meledak. “Udahlah, Atha!”

Bentakan itu bukan cuma kata—ia seperti cambuk. Mengerikan bukan karena kerasnya, tapi karena kosongnya. Datar, tajam, dingin. Seperti seseorang yang telah berhenti peduli.

“Gue udah muak! Gue benci lu!”

Atha tertegun, mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar. Jantungnya terasa seperti disiram es. Bukan karena Dero membentak. Tapi karena kalimat itu... terlalu familiar. Terlalu nyata.

Dero lanjut, dengan suara yang pecah tapi tetap menusuk. “Gue udah blokir juga nomor lu! Gue enggak mau tau lagi urusan lu sama si Niko!”

Ia hampir tercekik oleh emosinya sendiri. Tapi tidak menangis. Tidak goyah.

Dan tanpa memberi ruang untuk penjelasan, atau pertanyaan, atau apapun, pintu itu dibanting. Suara ‘BRUK!’ terdengar terlalu keras untuk rumah sekecil itu.

Atha berdiri diam beberapa detik. Terlalu beku untuk bergerak, terlalu panas di dada untuk memikirkan apapun. Ia menatap pintu yang sudah tertutup rapat, seperti berharap akan terbuka lagi.

Tapi tidak.

Pintu kayu itu tertutup. Dan kali ini benar-benar terkunci.

Langit akhirnya pecah juga. Hujan turun lebih deras, membasahi rambutnya, bajunya, pipinya—dan entah yang mana di antaranya yang adalah air mata.

Ia perlahan mundur, satu langkah, dua langkah. Lalu membalikkan badan.

Langkahnya seperti robot saat berjalan menuju motornya. Motor itu masih terparkir di depan rumah Dero, basah kuyup oleh hujan yang kini mulai jatuh lebih deras. Atha berdiri mematung beberapa detik, masih di depan pintu yang baru saja dibanting di hadapan wajahnya. Jemarinya gemetar saat menyentuh helm, seperti tubuhnya enggan melanjutkan, tapi otaknya tak memberi pilihan lain.

Atha memasang helm dengan asal. Tak memeriksa tali pengait. Hanya ingin pergi. Lari. Hancur.

Saat mesin motor dinyalakan, suara raungannya menggema di antara rumah-rumah sepi. Tapi bagi Atha, suara itu bukan apa-apa dibanding dengung amarah dan pilu yang memenuhi dadanya. Ia memutar gas terlalu dalam, seperti ingin menyakiti aspal yang ia lewati.

Tangisnya meledak bahkan sebelum roda berputar jauh. Tidak ada yang bisa ia tahan lagi.

Langit gelap. Jalanan licin. Dunia jadi ruang kosong tanpa pegangan. Dan Atha melaju begitu saja ke tengah kehampaan itu, dengan satu kalimat yang terus menggema dalam kepalanya.

“Gue benci lu.”

Wajahnya basah, bukan hanya oleh hujan yang menyambar tanpa ampun, tapi juga oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Napasnya putus-putus. Helm membuat ruang sempit itu seperti ruang gas, penuh tekanan, penuh pengap. Tapi ia terus melaju.

 

Jalanan kota jadi kabur, seperti dicoret-coret oleh air. Lampu-lampu kendaraan jadi silau yang menusuk. Tapi Atha tidak menghindar. Tidak memperlambat.

Ia hanya menatap lurus ke depan, walau yang ia lihat cuma kabur dan kosong.

Beberapa kali klakson mobil membelah udara. Satu kendaraan bahkan menyalakan lampu jauh sambil memberi tanda agar ia minggir.

Tapi Atha tidak berhenti.

Ia tidak tahu sedang menuju ke mana. Tidak tahu apakah ia ingin sampai. Jalan di depannya seperti lorong panjang tak berujung, dan gas di bawah telapak tangannya adalah satu-satunya kendali yang masih tersisa dalam hidup yang berantakan.

Hatinya retak, matanya bengkak, tubuhnya basah kuyup, tapi tetap saja ia melaju.

Dan saat dunia seolah mengecil jadi hanya hujan dan laju yang tak bisa dihentikan, pikirannya menelurkan satu kalimat, seperti suara dari dasar jurang.

“Saat lu ditinggal semua orang yang lu percayain, lu mulai nanya—apa salahnya ada di dunia ini?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
P.E.R.M.A.T.A
1936      958     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
Ending
5407      1398     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Premium
RESTART [21+]
10039      3383     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Sekilas Masa Untuk Rasa
4019      1298     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Because I Love You
1466      790     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
My Story
583      332     1     
Short Story
there’s always a first for everything, but will it always end up good or
Me vs Skripsi
2694      1155     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Ayat-Ayat Suci
725      412     1     
Inspirational
Tentang kemarin, saat aku sibuk berjuang.
Warna Untuk Pelangi
8689      1843     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Dewi Cinta
1352      621     6     
Romance
Okeeeiiii, Moreno memang belagu 'en sombong. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa cowok itu adalah cowok paling populer di sekolah. Dia tampan, dia pintar, dia jago olah raga, dia ... mahir di semua hal. Beberapa kali dia berhasil membawa tim basketnya menjuarai kompetisi. Beberapa kali pula ia pernah mewakili sekolah mengikuti olimpiade fisika dan matematika. Jadi wajar saja - dan akan sangat wajar - ...