Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Aku bersembunyi di balik topeng keberanian, padahal aku terlalu pengecut untuk menghadapi kekecewaan. Doa dan harapan kutinggalkan, bersamaan dengan mimpi-mimpiku, dalam penjara keputus asaan

 

Arsya Abiseka Gantari

 

Panas menjalar ke seluruh tubuh Arsya. Kepalanya pening. Dengan susah payah, ia meremas kening, berusaha meredakan sakit yang menusuk.

 

Dalam keadaan setengah sadar, ia berusaha memejamkan mata, mencari pelarian dari siksaan panas ini. Namun, usaha itu sia-sia.

 

Tubuhnya diguncang oleh seseorang, membangunkannya dari lamunan sakit. Suara parau dan kasar menusuk telinganya.

 

"Hei, bangun!" perintahnya.

 

Arsya mengerjap perlahan, pandangannya masih kabur dan berat. Cahaya lampu penerangan yang menyilaukan membuatnya meringis. Dengan susah payah, ia mencoba fokus pada wajah orang yang berusaha membangunkannya.

 

"Aku... aku ketiduran?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

 

Arsya menatap wajah yang tersenyum di atasnya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ingatan tentang janji perlindungan dan ancaman dari anak-anak lain kembali menghantuinya. Anak yang membangunkannya mendeklarasikan diri sebagai sosok "Kakak" bagi Arsya dengan percaya diri. Dia Alana.

 

Alana menggenggam tangan Arsya, perasaannya yang kacau terpantul dalam bisik hatinya. "Aku sebel, karena dia lebih beruntung daripada aku. Tapi aku tahu aku nggak boleh kayak gitu. Aku kan Kakaknya, jadi aku harus tunjukin yang baik buat dia."

 

Arsya merasakan genggaman Alana yang erat, dan dia tidak bisa mengabaikan nada getir yang menyertai kata-kata itu. "Hei, kamu tahu nggak, aku dulu pernah dibawa balik ke sini lagi setelah diadopsi. Jadi, kamu harus nurut sama aku biar kamu nggak kayak aku," ujar Alana, nada suaranya tegas namun ada sedikit getar yang terdengar. "Kamu nggak mau tinggal di sini, kan? Aku tahu. Jadi, turuti aku."

 

Dia menarik napas dalam, menatap lurus mata Arsya, seolah mencoba menyalurkan semua harap dan ketakutannya. "Kamu enggak boleh manja sama orang yang mengadopsimu. Kamu enggak boleh ngerepotin. Kamu harus nurut sama semua perintahnya, walau kamu enggak suka. Kamu harus menahannya. Dengan begitu, kamu enggak akan kembali ke sini. Kamu mengerti?" tanya Alana, suaranya sedikit melunak. Arsya hanya diam, kepalanya terlalu sakit untuk berpikir jernih, namun dia merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam kata-kata Alana.

 

"Hei, aku sudah bilang. Kamu harus mengangguk kalau mengerti perkataanku. Jangan seperti anak dungu," ujar Alana, kali ini suaranya lebih tajam. Arsya terkejut dan cepat-cepat mengangguk, mengikuti perintah itu dengan rasa takut yang menggelayut di hatinya. Menurutinya tidak membuat Arsya rugi, pikirnya.

 

"Pintar," puji Alana, sambil menepuk kepala Arsya dengan kasar. Namun, seketika itu juga, dia mengangkat tangannya. Mengubah tepukannha dengan mengusap kepala Arsya. "Ulangi perkataanku tadi. Kamu sama sekali nggak boleh lupain itu!" perintah Alana. "Ayo ulangi!"

 

Arsya menurutinya. "Aku enggak boleh nakal," ujarnya, suaranya masih terpengaruh oleh sakit kepala yang dirasakannya. Alana mengangguk, menunggu Arsya mengucapkan kalimat berikutnya. "Aku enggak boleh manja, harus menurut," lanjut Arsya, suaranya semakin yakin meskipun ada keraguan di dalam hatinya.

 

Alana memeluknya sambil berulang kali memuji Arsya. "Pintar..." bisiknya, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun dalam benaknya masih tergambar bayangan kegagalan masa lalunya.

 

"Kamu nggak boleh lupa. Kamu harus mengingat itu. Kamu harus ingat, selamanya!" bisik Alana lagi, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. "Kamu mengerti, kan?" tegasnya, sorot matanya penuh harap. "Sekarang, kamu harus ikut aku ke ruang tamu. Orang yang nunggu kamu ada di sana. Jangan teriak, jangan gigit ya. Kamu harus baik sama mereka," perintahnya.

 

Dengan tatapan penuh harap dan sedikit ketakutan, Arsya mengangguk. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan yang mendalam, namun dalam benaknya terpatri satu tujuan untuk tidak kembali ke tempat yang penuh rasa sakit ini.

 

Alana menariknya bangkit dari kasur. Sebenarnya, rasa pusing di kepalanya semakin parah. Badannya menggigil hebat, dan wajahnya memerah karena demam yang semakin meninggi. Tapi Arsya tak punya keinginan untuk menolak. Beberapa hari terakhir ini, dia hanya bisa menuruti Alana, melakukan apapun yang diminta anak itu. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya terikat pada Alana, meskipun dalam hatinya dia merasa ada sesuatu yang salah.

 

Arsya mengikuti arah tarikan Alana dengan pasrah. Tak ubahnya seperti boneka yang digerakkan oleh tangan orang lain, dia menerima semua perintah Alana tanpa sedikitpun menolak. Walaupun pandangannya semakin kabur, ia tetap berjalan. Setiap langkah terasa berat, namun suara Alana yang terdengar di telinganya seolah menjadi satu-satunya kompas yang bisa dia ikuti.

 

"Apakah ini yang disebut hidup?" pikirnya dalam kebingungan, sebelum suara beberapa orang dewasa mulai terdengar samar-samar. Semakin Arsya mendekati ruang tamu, suara itu semakin jelas.

 

"Nah, itu anaknya," ujar salah satu dari mereka. Arsya mengenali suara itu-suara ibu panti yang lembut, sebenarnya Arsya suka suaranya. Tapi Arsya tidak suka tempat ini. Dan Ibu panti yang memilikinya. Andai tempat ini dikelola lebih baik lagi, rasanya tidak akan begitu menakutkan.

 

"Duduk di sini, Kakak temani. Kamu tidak usah takut," kata Alana sambil berusaha menenangkan Arsya. Namun, kata-kata itu terasa begitu hampa di telinga Arsya, seolah hanya gema kosong yang berputar-putar dalam kepalanya.

 

Takut? Arsya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan takut. Perasaan itu sudah lama terkikis oleh kesedihan yang dalam, oleh kepasrahan yang mencekik. Di hatinya, hanya ada kegelapan yang tak berujung, di mana rasa sakit dan kecewa telah mengakar begitu dalam, menghapus semua rasa takut yang dulu pernah ada.

 

Seseorang mendekatinya. Arsya merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya yang panas. Ada sesuatu yang ganjil tentang kehadiran orang itu, tapi Arsya terlalu lelah untuk peduli. Semua yang ia inginkan hanyalah agar semuanya berhenti-semua rasa sakit, kepedihan, dan kebingungan yang tiada akhir ini.

 

"Arsya," sapa suara itu lembut, seperti sebuah bisikan dari masa lalu yang hampir terlupakan. Arsya hanya diam, matanya terpaku pada retakan di lantai. Demamnya semakin menjadi-jadi, dan napasnya semakin terasa panas.

 

"Arsya..." panggilnya lagi. Panggilan itu terasa asing di telinganya, seperti sebuah nama yang dulu pernah dia kenal, tapi sekarang terasa jauh dan tak nyata. Sudah lama sekali ia tidak mendengar namanya sendiri. Di tempat ini, nama hanya sebuah label, yang mudah diganti dan dilupakan. Kadang ia dipanggil "Heh", "Botak", atau "Anak Aneh". Selain itu, Ibu panti belum sempat membuatkan nama untuknya, dan nama "Arsya" seolah-olah sirna sejak ia menginjakkan kaki di panti asuhan.

 

"Orang itu kayaknya manggil kamu deh, kamu harus melihat wajah orang yang memanggilmu," perintah Alana lagi, suaranya kini lebih tegas.

 

Arsya menurutinya seperti orang yang kehilangan arah, ia mengangkat pandangannya dengan lambat. Kepala yang berat dan pandangan yang semakin kabur membuatnya sulit memastikan ekspresi orang itu. Ia hanya tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan-sesuatu yang diinginkan orang lain darinya.

 

"Nak, kamu demam?" tanya orang itu tiba-tiba, suaranya penuh perhatian. Dia mendekatkan punggung tangannya ke dahi Arsya. Arsya terperanjat, dan dengan cepat menepis tangan orang itu, gerakan refleks yang tak bisa ia kendalikan.

 

Alana terlihat marah karena perbuatan Arsya "Hei, sudah Kakak bilang. Kamu tnggak boleh nakal!" bentak Alana, suaranya terdengar tajam.

 

Arsya tersentak, tubuhnya seketika menegang. Ia menatap tajam ke arah Alana, mata mereka bertemu sejenak. Tapi, Alana hanya membalas dengan tatapan sinis, seolah memandang Arsya sebagai anak yang tidak tahu diri.

 

"Tidak apa-apa, Nak. Arsya hanya terkejut," ucap laki-laki di depan Arsya, mencoba menenangkan Alana. Dia lalu berlutut, sejajar dengan Arsya, dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Arsya, ini Dokter Nata," ujarnya perlahan, seolah nama itu sendiri bisa menjadi penyembuh.

 

Dahi Arsya berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Dokter Nata?" ulangnya pelan, seolah sedang menguji kata-kata itu di bibirnya, mencoba mengingat sesuatu yang lama hilang.

 

"Iya, ini Dokter Nata," jawab laki-laki itu lagi, suaranya penuh kepastian dan kehangatan.

 

"Hah?" Arsya hanya bisa melenguh, sebelum senyum sinis tersungging di bibirnya. "Ternyata aku masih mimpi," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.

 

"Kamu tidak bermimpi. Aku sungguh Dokter Nata," kata laki-laki itu, suaranya lembut namun tegas, berusaha menembus keraguan yang menyelimuti pikiran Arsya.

 

"Bukan mimpi?" Arsya mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi suara batinnya penuh keraguan, seolah tidak berani berharap lebih.

 

Arsya mencoba fokus, suara laki-laki di depannya memang tidak asing. Walau Arsya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi hatinya seakan yakin kalau di hadapannya dokter Nata. Tangan Arsya mulai bergetar hebat, seakan ada badai kecil yang mengamuk di dalam dirinya. Jantungnya berdetak liar, irama tak beraturan yang menghantam dadanya. Dinding pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Air mata mulai mengalir deras tanpa bisa ia cegah, membasahi wajahnya yang memerah karena demam.

 

"Kamu lelah sekali, ya, Arsya?" Suara lembut Dokter Nata memecah lamunan Arsya, suaranya seolah membawa kehangatan yang menenangkan. "Maaf kami terlambat," ucapnya pelan sambil menyeka air mata Arsya dengan lembut, seolah setiap tetes air mata itu adalah bukti penderitaan yang telah dialami Arsya.

 

Arsya tertegun, baru saat itu ia menyadari dirinya menangis. Bingung dan tak percaya bercampur aduk dalam hatinya. "Ini... ini nyata?" tanyanya lirih, matanya mulai mencari-cari kebenaran di wajah Dokter Nata. Sulit bagi Arsya untuk mempercayai bahwa mimpi buruknya akhirnya berakhir.

 

"Iya, Nak. Ini nyata. Dokter akan membawa kamu pulang," ucap Dokter Nata, suaranya sedikit bergetar, penuh emosi yang tertahan. Matanya berkaca-kaca, dia kemudian menyeka air mata dari wajahnya sendiri.

 

Arsya menatapnya, tak percaya. "Beneran? Ini... ini beneran Dokter? Bukan mimpi?" tanyanya lagi, seolah masih takut bahwa semuanya hanyalah ilusi.

 

Dokter Nata mengangguk mantap, tatapannya penuh keyakinan. Ia lalu menarik Arsya ke dalam pelukannya, erat dan penuh kehangatan. Tangis kecil Arsya pecah, dan perlahan tangisannya semakin keras, seolah suara hatinya yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan keluar. Tangannya meremat erat bagian belakang baju Dokter Nata, mencoba meraih sepotong kelegaan dari penderitaan yang selama ini ia rasakan. Dalam pelukan itu, Arsya melampiaskan semua rasa sakit, ketakutan, dan kesepian yang telah menghantuinya selama ini.

 

Tangisan Arsya menggema, mengundang simpati dari semua orang di sekitar. Dokter Nata membiarkan Arsya meluapkan emosinya, meskipun hatinya teriris melihat perubahan drastis pada bocah itu. Ingatannya melayang pada saat pertama kali Arsya datang.

 

Arsya ditarik paksa oleh seorang anak perempuan, terlihat rapuh dan tak berdaya. Hatinya terasa remuk, dipenuhi keinginan yang tak tertahankan untuk berlari, menarik Arsya ke dalam pelukannya, melindungi anak itu dari segala ketidakadilan yang menghimpitnya. Namun, langkahnya tertahan. Di tengah gelombang emosinya, sebuah kenyataan pahit terlintas dalam benaknya-bahwa ada seseorang yang memiliki hak lebih besar atas Arsya daripada dirinya.

 

Kakek Arsya juga terguncang saat melihat cucunya dalam kondisi seperti ini. Dengan berat hati, ia menyentuh paha Dokter Nata. "Tolong temui anak itu... Aku sekarang hanya orang asing baginya," ujarnya, menahan tangis.

 

Kilasan masa lalu Arsya terlintas dalam benak Dokter Nata. Dulu, walau senyuman Arsya terlihat canggung, senyuman itu selalu menular. Dokter Nata selalu merindukan senyum itu saat Arsya hilang. Namun sekarang, senyuman itu menghilang. Mata Arsya redup, pandangannya kosong, seakan kehilangan semangat hidup. Ia seperti boneka tanpa jiwa yang dipaksa mengikuti arus.

 

Kemarahan bergemuruh di dada Dokter Nata. Ia ingin sekali menuntut siapa pun yang telah merampas senyum Arsya. Namun kemudian, kesadarannya menyeruak-kelalaian yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan orang lain. Tangan yang seharusnya menuntun, malah sempat terlepas. Kepercayaannya yang sempat teralihkan kini berbalik menghunus dirinya sendiri.

 

Perlahan, tangisan Arsya mulai mereda, suaranya yang tadinya pecah kini berubah menjadi bisikan lemah. Genggaman kecilnya pada baju Dokter Nata mengendur, tubuhnya perlahan melemah, kehilangan kekuatannya.

 

"Nak..." panggil Dokter Nata dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran. Rasa takut yang mendalam menghantamnya saat tubuh kecil Arsya perlahan meluruh, hampir jatuh ke kursi. Dengan sigap, Dokter Nata menahan kepala Arsya agar tidak terbentur.

 

"Arsya..." bisiknya, mencoba membangunkan anak itu, namun yang ia dapat hanyalah keheningan. Mata Arsya terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan napasnya terasa begitu tipis, hampir tak terasa.

 

"Arsya, Nak. Bangun, Nak," pinta Dokter Nata, suaranya bergetar menahan duka yang menyelusup ke dalam hatinya. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh pipi Arsya, seolah berharap sentuhan itu bisa membangkitkan anak yang kini berada di ambang kesadaran. Namun, Arsya tak kunjung merespons. Matanya tetap terpejam, seakan telah menyerah pada dunia, memilih tenggelam dalam kegelapan yang semakin dalam.

 

Di dalam benaknya, Arsya merasa seperti mengulang adegan ini berkali-kali. Namun kini, dia bersama orang yang tepat. Dia merasa tenang. Di sini, bersama Dokter Nata, ia menemukan kedamaian yang pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Arsya telah bertahan, seperti yang diperintahkan oleh seseorang dalam mimpinya. Di ujung kesadarannya, Arsya mulai memahami sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik lapisan keputusasaan yang begitu tebal. Selama ini, ia merasa terkuras oleh harapan yang terus menerus menggerogoti jiwanya. Setiap detik, setiap napas, seperti membawa beban yang semakin berat. Ia merasa telah melepaskan semua keinginan, menyerah pada nasib yang membawa dirinya entah ke mana.

 

Arsya pikir, dirinya sudah tidak peduli lagi-bahwa ia telah mati rasa, tidak lagi menginginkan apapun. Namun, kenyataannya berbeda. Di balik dinding ketidakpedulian yang ia bangun untuk melindungi dirinya, hatinya masih menggemakan harapan yang begitu kuat. Dan kini, di saat-saat genting ini, Arsya mulai menyadari bahwa mimpi-mimpi yang selama ini menghantui tidurnya, bukan kekadar mimpi biasa.

 

Mimpi itu, yang awalnya ia anggap sebagai fatamorgana di tengah padang keputusasaan, ternyata lebih dari sekadar ilusi-itu adalah pantulan dari harapan yang selama ini tersembunyi jauh di lubuk hatinya. Harapan yang terlalu takut untuk muncul ke permukaan, kini mulai mengungkapkan dirinya. Arsya ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Di dalam hatinya yang remuk, ia mendambakan seseorang yang akan menguatkannya, yang akan memegang tangannya dan membimbingnya keluar dari kegelapan yang telah lama membelenggunya. Dalam keheningan dan ketakutan, ia mulai memohon, meski dalam ketidaksadarannya, agar ada kebangkitan dari keputusasaan yang menggerogotinya. Arsya berharap, di balik semua rasa sakit dan kebingungan ini, ada sesuatu yang indah yang menantinya-sesuatu yang mampu membawanya kembali ke kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan.

 

Saat kesadarannya perlahan mulai menghilang, di tengah keletihan yang begitu berat, ia mendengar sebuah suara lembut yang memanggilnya. Suara itu seperti sebuah pelukan yang tak terlihat, membalut hatinya yang terluka dan memberikan kehangatan yang sangat ia rindukan.

 

"Terima kasih, sayang. Kamu sudah bertahan dengan baik. Tidurlah! Kamu akan membaik setelahnya."

 

Kata-kata itu perlahan mulai memudar, seperti bayangan yang menjauh, namun meninggalkan jejak yang tak terlupakan. Belaian lembut dari suara itu meresap ke dalam pikiran Arsya yang kelelahan, membawa rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dalam hatinya, ia merasa seperti ada sesuatu yang akhirnya menyerah-bukan pada kegelapan, tetapi pada kenyamanan yang perlahan-lahan mulai mengisi ruang-ruang kosong di jiwanya. Dan dalam ketenangan yang baru ia temukan ini, Arsya merasa untuk pertama kalinya, bahwa mungkin, hanya mungkin, segala penderitaan ini akan berakhir dengan keindahan yang selama ini ia cari.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Public Enemy
1      1     0     
Fantasy
Ziora dianggap orang yang menyebalkan oleh semua orang karena tingkahnya, entah saat di lingkungan rumah atau di lingkungan Kartel sekolah sihirnya. Namun, bagaimana pun sudut pandangnya dan sudut pandang mereka berbeda. Semua hal yang terjadi dan apa yang Ziora rasakan berbeda. Mereka selalu berpikir, dialah dalangnya, dialah pelakunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Kenapa ia...
Survive in another city
305      236     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Catatan Takdirku
2412      1250     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
TITANICNYA CINTA KITA
0      0     0     
Romance
Ketika kapal membawa harapan dan cinta mereka karam di tengah lautan, apakah cinta itu juga akan tenggelam? Arka dan Nara, sepasang kekasih yang telah menjalani tiga tahun penuh warna bersama, akhirnya siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, jarak memisahkan mereka saat Arka harus merantau membawa impian dan uang panai demi masa depan mereka. Perjalanan yang seharusnya menjadi a...
Trying Other People's World
318      257     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
In Her Place
2013      1119     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Penantian Panjang Gadis Gila
569      431     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Sweet Seventeen
3116      1687     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
A Sky Between Us
108      93     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
1001      667     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...