Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Seventeen
MENU
About Us  

Aku mengirim pesan berisi SOS kepada Ansel sekitar satu jam yang lalu, ketika benakku begitu penuh dan siap meledak kapan saja. Aku butuh pelampiasan. Aku enggak bisa sendirian, lama-lama aku bisa gila karena dibikin rumit oleh pemikiranku sendiri.

Ketukan di jendela kamar membuatku terlompat dari kasur. Dengan setengah berlari, aku menuju jendela dan membukanya. Cengiran lebar di wajah Ansel langsung menyambutku.

Berbanding terbalik dengan wajahnya yang cerah, aku yakin penampilanku kusut banget.

“Lo baru pulang?”

Ansel mengangguk. “Abis bikin tugas di rumah Theo, sekalian jemput Tante Lea dari rumah muridnya yang searah rumah Theo.”

Aku membuka jendela kian lebar, tapi Ansel menolak masuk. Akhirnya, aku duduk di bingkai jendela sementara Ansel berdiri di luar sambil berpangku tangan di jendela kamarku.

“Udah lama lo enggak ngirim chat SOS ke gue. Apanya yang emergency kali ini?”

Kalau dipikir-pikir, apa jadinya kalau enggak ada Ansel di hidupku?

Kali pertama mengirim pesan itu ketika aku baru punya handphone. Iseng aja, sih, karena pengin mengobrol bareng Ansel. Akhirnya itu jadi salah satu kebiasaanku dengan Ansel. Setiap kali ingin curhat, cukup kirim pesan SOS.

Sampai sekarang, lebih sering aku yang mengirim pesan itu. Sekalinya Ansel mengirim pesan SOS, itu ketika dia bingung mau pakai baju apa dan aku membantunya. Baru belakangan aku tahu kalau itu momen first date dengan Nashila.

“Gimana teater? Udah keluar hasilnya?”

Perlahan aku menganggukkan kepala.

“Dapet?”

Sekali lagi, aku menganggukkan kepala.

Ansel menatapku dengan kening berkerut. “Kenapa enggak happy? Harusnya, lo happy.”

Tanpa sadar, aku menghela napas panjang. Membuat kerutan di kening Ansel jadi makin dalam.

“Harusnya gue happy kalau aja gue enggak tahu ada niat lain di balik penunjukan gue.” Aku memainkan jari-jari tanganku. “Kayaknya cuma lo deh, yang enggak ambil keuntungan dari gue. Cuma lo yang tulus temenan sama gue.”

Meski berkata pelan, nyaris berbisik, aku yakin Ansel mendengarkanku dengan jelas.

“Kenapa?”

Dari mulutku, meluncur percakapan antara Tammy dan Ririn yang enggak sengaja kudengar. Juga penjelasan Tammy dan Trin.

“Capek, An. Ke mana pun gue lihat, bawaannya curiga mulu. Kenapa enggak ada yang tulus sama gue?” tutupku.

Ansel menunjuk dirinya sendiri. “Lo enggak lupain gue, kan?”

Aku tertawa kecil. “Beda, An. Lo … gimana ya? Gue tahu kalau lo enggak akan manfaatin gue. Buat apa juga, kan?”

Alih-alih ikut tertawa, Ansel menatapku dengan wajah serius. Kalau melihatnya seperti ini, aku enggak yakin dia masih delapan belas tahun. Ansel terlihat jauh lebih dewasa. Dia memberikan kesan bisa diandalkan. Seakan-akan enggak ada masalah yang enggak akan selesai, kalau Ansel sudah turun tangan.

Dia begitu bisa dipercaya, membuatku tanpa sadar menggantungkan apa pun kepadanya.

“Gue capek, An. Tapi, orang-orang malah mikir gue ungrateful atau munafik karena nerima semua kemudahan ini, tapi juga mengeluh.” Aku kembali berkeluh kesah.

“Ya kalau pakai pola pikir begitu, kita enggak boleh mengeluh sedikit pun karena akan selalu ada orang lain yang lebih menderita. Tapi, kan, struggle tiap orang beda. Struggle lo dan gue beda. Lo dan Arisha beda. Enggak ada yang lebih berat karena semuanya sama aja.” Ansel tertawa kecil. “Itu kata nyokap gue, sih.”

He’s right. Namun ketika menghadapinya langsung, sulit untuk menanamkan pemikiran seperti itu.

“Soal teater, gue setuju sama Arisha. Kalaupun lo dapat privilege, kenapa? Bukan salah lo, kan?” Ansel menatapku serius. “Lo punya nama besar yang dikenal karena usaha.”

Aku mendengkus. “Usaha apanya?”

“Dapetin foto bagus yang layak di-post di Instagram itu juga usaha, An.”

Aku mengangkat bahu. “Tapi di mata orang-orang, I’m famous for being nothing.”

Ansel mengibaskan tangan di depanku, kebiasaannya setiap kali tidak setuju dengan pendapatku.

“Pernah enggak lo sengaja cari gara-gara terus viral dan terkenal?” tanyanya, yang kujawab dengan gelengan kepala. “So? Lo sama sekali enggak famous for being nothing. Mungkin … famous for being pretty?”

Refleks aku tersenyum ketika mendengar ucapan itu. Ansel memang enggak memujiku cantik, tapi rasanya kayak dipuji. Dan, mendapat pujian dari Ansel adalah hal yang membahagiakan.

“Kecuali konten bareng pacar lo, tapi itu, kan, bukan keinginan lo.”

Senyum di wajahku langsung lenyap ketika Ansel menyinggung Dafa. “Nah, itu juga, sih.”

Ansel mengulurkan tangannya dan meraih tanganku, membuatku berhenti memainkan jari-jariku sendiri. “Kalau lo memang capek, selalu ada option buat berhenti.”

Ucapan itu terdengar sangat mudah untuk dilakukan, tapi juga sangat sulit untuk diwujudkan.

“Mama enggak bakal setuju,” bisikku.

“Lo mau selamanya ikutin kata nyokap lo?” tanya Ansel.

Aku menarik napas berat, tapi rasanya sudah tidak sesesak tadi. Mungkin karena kehadiran Ansel. Mungkin juga karena genggaman Ansel yang terasa hangat.

“Ya enggak, sih, An. Tapi, kan…”

Ansel memotong penyangkalan. “Bukannya gue menyuruh lo buat jadi anak durhaka yang enggak ngikutin apa kata orangtua. Kalau Mama Nica nyuruh masuk jurang, lo mau?”

Aku tergelak, sekaligus bingung dengan ucapannya yang tiba-tiba ngelantur. “Apaan, sih, An?”

“Enggak mau, kan?” tanyanya, yang kujawab dengan gelengan. “Lo coba ngomong sama Mama Nica, gimana pun dia nyokap lo. Pasti ngertilah.”

Aku mendengkus. “Mama ngertinya cuma adsense dan endorse.”

Ansel tertawa kecil. “Kalau belum dicoba, hasilnya masih 50:50. Bisa ngerti, bisa enggak.”

Sekali lagi, Ansel menunjukkan kalau dia benar. Namun, aku masih ragu mengikuti sarannya itu.

“Seringnya, lo dipenuhi asumsi. Belum dicoba, tapi udah mikir hasil terburuk. Kenapa enggak mikirin kemungkinan hasil yang baik?” tanya Ansel lagi. “Contohnya soal teater tadi. Lo mikirin kalau orang-orang bakal meledek karena privilege. Padahal bisa aja lo mikir orang-orang akan terpukau dan mengakui kalau lo hebat?”

Bukannya aku mau menjadi seseorang yang selalu dipenuhi pikiran negatif. Tentu saja aku mau memikirkan hal seperti Ansel atau Arisha. Namun, aku sudah terlalu lama membiarkan pemikiran negatif dan penuh curiga menguasai benak, sehingga rasanya wajar kalau aku selalu melihat ada hal buruk yang akan menimpaku.

Aku juga tahu kalau aku enggak bisa selamanya begini.

Ansel benar, kalau belum dicoba, setiap hasil memiliki kemungkinan 50:50.

Mungkin Ansel juga benar, begitu pementasan teater itu selesai, aku akan mengubah persepsi orang yang meremehkanku. Atau, bisa saja bukan teater. Bisa saja, Promises Promises yang membuatku bisa mengubah persepsi publik, kalau aku bukan famous for being nothing.

Begitu pemahaman itu memenuhi benakku, rasanya seperti ada beban yang diangkat dari pundakku. Pun ketika aku mencoba tersenyum, rasanya sudah lama aku enggak tersenyum lepas seperti ini.

Ansel ikut tersenyum, sepertinya dia menyadari perubahan suasana hatiku.

“Lo mau ikut gue hunting foto?” tanyanya tiba-tiba.

Aku belum pernah ikut Ansel hunting foto dan ajakan itu terdengar begitu menggiurkan. Jadi aku langsung mengangguk mengiakan tawaran itu. “Ke mana?”

“Keliling-keliling aja, rencananya mau ke Pasar Lama dan sekitaran situ sih.”

“Berdua aja?” tanyaku penuh harap.

“Bareng Nashila, kecuali kalau lo mau ajak Dafa.”

Refleks aku mendengkus. Entah apa yang membuatku lebih kesal, karena ada Nashila, atau karena Ansel membawa nama Dafa.

“Oke, tapi enggak usah ajak Dafa.”

“Berantem?” tanya Ansel dengan tatapan penuh selidik.

Aku mengangkat bahu. “Dia ciuman sama Ghania.”

“Oh.”

Tanggapan Ansel yang apa adanya membuatku berjengit.  “Gitu doang tanggapannya?”

“Lo mau tanggapan kayak gimana?” Ansel balas bertanya, dengan ekspresi geli di wajahnya.

“Yang lebih bersimpati gitu.”

“Lo mau gue nonjok dia?”

Aku berjengit, kembali teringat kejadian di Bali ketika Ansel menonjok Dafa. Sampai sekarang, Dafa masih mengungkit kejadian itu. Padahal, aku yakin tonjokan itu enggak seberapa. Lagian, dia pantas dapetin lebih dari sekadar tonjokan.

Melihat Dafa ditonjok jadi sesuatu yang pantas, tapi aku engak mau Ansel terlibat masalah lebih jauh dengan Dafa. Jadi, aku menggeleng.

“Enggak usah, ntar lo dituntut. Perawatan mukanya mahal, kalau ditonjok ntar dia dapat alasan biar bisa sekalian operasi plastik. Mau mancungin hidung katanya.” Aku tergelak.

“Pacar lo drama.”

Tawaku semakin lepas. “Kalau enggak drama, dia enggak punya konten buat vlog, terus dia enggak dapat duit, deh.”

Ansel ikut tertawa bersamaku. Dia tampak geli, mungkin dia benar-benar enggak bisa terima kalau ada orang sedrama Dafa.

“Asal lo jangan ikut-ikutan drama aja kayak dia,” tukasnya.

“Drama hidup gue udah banyak, An. Gue enggak perlu sengaja nyari masalah kayak Dafa.”

Ansel berhenti tertawa. Kini, dia menatapku dengan wajah serius. Tatapannya memaku, membuatku merasa jengah ketika dia enggak berkata apa-apa, hanya menatapku lekat-lekat. Ansel memerangkapku dengan tatapannya, dan dia enggak tahu kalau saat ini, jantungku rasanya seperti marching band saking hebohnya.

“Besok, sehari aja, lupain semua drama hidup lo. Just being you. No judgement. No expectation. Just being a 17 years old girl. A normal girl, not someone with millions followers.” Ansel berkata tegas, dengan tatapan tajam yang menuntutku memberikan jawaban yang diinginkannya.

Dan aku mengangguk. “Oke.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
595      451     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
591      405     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Perahu Jumpa
427      336     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Kama Labda
562      356     2     
Romance
Kirana tak pernah menyangka bahwa ia bisa berada di jaman dimana Majapahit masih menguasai Nusantara. Semua berawal saat gadis gothic di bsekolahnya yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Dan entah bagaimana, semua ramalan yang dikatakannya menjadi kenyataan! Kirana dipertemukan dengan seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah raja. Akankah Kirana kemba...
Perjalanan Tanpa Peta
80      75     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Dear Vienna
389      297     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
214      184     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Survive in another city
230      187     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
I'il Find You, LOVE
6340      1715     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Hello, Me (30)
22535      1580     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...