Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Ami dibawa ke salah satu tenda di belakang panggung yang menjadi pusat kesehatan di acara itu. Ami yang pura-pura pingsan pun sesekali membuka sebelah mata–pelan-pelan dan sangat hati-hati agar tidak ketahuan saat mengamati keadaan. Satu-satunya yang menemaninya sekarang hanyalah Ron yang dengan sok romantisnya menggenggam tangan Ami. Apakah Ron sekhawatir itu? Ami terus menyadarkan dirinya dalam batin: Sadar, Ami! Ini hanya mimpi! Ron itu sebenarnya nggak suka lo!

Ami memejamkan mata rapat-rapat saat Ron memusatkan perhatian padanya. Dia kabur dari keadaan bukan karena tidak senang–bukan karena tidak menginginkannya. Justru sebaliknya. Awalnya, Ami benar-benar ingin mimpinya menjadi nyata. Tapi kini, ia mulai sadar: mimpi tetaplah mimpi. Mimpi & Co. memang mewujudkan keinginannya, tapi tidak sepenuhnya nyata. Mereka hanya menunjukkan gambaran–bagaimana rasanya jika yang diinginkannya benar-benar terjadi.

Di dunia mimpi yang berlatar dunia nyata ini, Ami perlahan belajar membedakan ilusi dan kenyataan. Ia menyadari bahwa dicintai tidak sesederhana disukai banyak orang. Cinta yang nyata melibatkan sebab dan akibat, rasa dan proses, yang membentuk pertemuan dan akhirnya membuka hati untuk saling memilih. Ternyata, Ami banyak belajar dari Mimpi & Co. Masih berpura-pura pingsan, Ami mendengar langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, seorang pria masuk ke dalam tenda yang sama dengannya.

“Ron! Sorry gue telat. Udah tampil, ya? Katanya pacar lo pingsan di panggung? Sumpah lo beneran nembak di panggung? Gila!”

Suara itu … Ami merasa mengenalnya. Ami kembali membuka sedikit satu matanya kemudian dia mendapati Ron yang berdiri membelakanginya dan tengah berbincang dengan temannya yang baru datang. Saat melihat lawan bicara Ron saat ini, Ami terkejut. Aidan! Ya. Aidan Caessa Gaharu, senior Ami di kampus yang beberapa hari yang lalu menawari Ami untuk berteman. Aidan ini juga salah satu mimpinya, kan? Apakah tidak masalah kalau dua mimpinya bertemu? Karena tidak tahu risiko apa yang akan terjadi kalau Aidan tahu Ami ada di sana, Ami lebih memilih membuat risiko baru yang sekiranya lebih bisa ia atasi. Saat Ron dan Aidan sibuk mengobrol, diam-diam Ami nekat berguling turun dari tempat tidur pasien, menjauh ke arah yang berlawanan dari posisi kedua pria itu. Ia lalu berjalan mengendap-endap, menunduk serendah mungkin agar tak terlihat dari balik ranjang. Dengan susah payah, Ami mencari celah untuk kabur. Setelah menemukannya, ia menyelinap keluar di antara tenda-tenda, lalu berlari sekencang mungkin melewati deretan tenda hingga akhirnya benar-benar keluar dari area acara. Di tepi jalan, tanpa pikir panjang, Ami langsung menghentikan sebuah taksi. Hari yang berat bersama Ron pun akhirnya selesai.

Ami tidak langsung pulang ke rumahnya. Dia pergi mengunjungi Pak Guska–itu adalah niat awalnya sebelum ia diculik Ron. Di Mimpi & Co., Ami menceritakan segalanya termasuk saat Ron menyatakan cinta di panggung konser di hadapan ratusan penonton.

“Bukankah seharusnya menyenangkan?” respons Pak Guska seraya membaca koran berbahasa Prancis.

“Saya pura-pura pingsan, Pak!” tegas Ami.

“Kamu mulai pandai hidup di dalam mimpi.”

“Tapi tiba-tiba saya jadi ngerasa bersalah.”

“Kenapa?” Pak Guska akhirnya melipat korannya dan menatap Ami.

“Kenapa sih Mimpi & Co. harus ngelibatin cowok-cowok nyata? Kan kesannya jadi kayak saya yang ngehipnotis mereka biar suka sama saya.”

 “Kalau bukan oleh manusia nyata, kamu maunya dipacarin sama siapa? Cowok fiksi? Yang gepeng, gitu? Atau yang nggak punya wujud? Bukannya malah seram, ya?”

“Ya saya sih nggak tahu sistemnya Mimpi & Co. kayak gimana, tapi saya jadi kayak manfaatin cowok-cowok itu cuma buat muasin mimpi saya.”

“Tapi itu memang betul. Kami, Mimpi & Co., meminjam dunia nyata untuk mewujudkan mimpi costumer–karena dunia nyata lebih mudah dikendalikan daripada dunia mimpi itu sendiri. Dunia mimpi itu mengandung absurditas yang tidak main-main. Dengan kata lain, seluruh keanehan yang kamu lihat pada pria-pria ini belum apa-apa.”

Lalu pertanyaan lain terlintas begitu saja, “Apa Mimpi & Co. bisa membawa seseorang ke dunia mimpi?”

“Sebenarnya bisa, tapi itu bukan bagian dari bisnis kami karena risikonya terlalu besar. Dunia mimpi memiliki arus yang sulit ditebak. Jika ada yang terjebak di dalam mimpi, kami khawatir tidak akan bisa menyelamatkannya.”

Ami mengangguk seolah mengerti, padahal dia tidak mengerti.

Pak Guska melanjutkan, “Sekarang kamu mau gimana? Lanjutkan atau mau diakhiri? Ini udah setengah jalan lho–dan kamu belum bayar.

Ami terkekeh. “Makasih sudah mengingatkan ya, Pak?”

“Tolong diusahain, ya? Besok, bisa?”

“Saya cari barangnya dulu deh di rumah.”

Maka malam itu, sebelum tidur, Ami menggunakan waktunya untuk menggeledah kamar. Dia mencari di setiap lemari dan laci. Dia mengumpulkan yang sekiranya ia anggap penting: buku diari, kuas lukis pertama yang ia beli, dan sepatu rusak yang merupakan pemberian terakhir dari ibunya–yang ia simpan sedemikian rupa tanpa sepengetahuan ayahnya. Semua barang itu kemudian ia bawa ke Mimpi & Co. pada keesokkan paginya.

Ami berangkat kuliah satu jam lebih awal karena ingin mampir ke Mimpi & Co. terlebih dahulu. Setibanya di sana, Pak Guska ternyata sudah menyiapkan sebuah timbangan antik. Katanya, timbangan itu akan menentukan apakah bayaran dari Ami cukup setimpal atau tidak. Bayaran dianggap diterima jika bobotnya lebih berat. Anehnya, saat buku diari milik Ami diletakkan di salah satu mangkuk timbangan, mangkuk yang satunya dibiarkan kosong. Yang lebih mengejutkan, buku diari itu justru tampak lebih ringan.

“Kok bisa?” tanya Ami heran.

“Ini artinya, buku diari kamu tidak cukup bernilai di matamu sendiri,” jawab Pak Guska sambil mengambil barang berikutnya.

Kuas bekas milik Ami kemudian ditimbang, namun hasilnya sama–masih lebih ringan. Pak Guska lalu menoleh saat Ami menyodorkan sepasang sepatu mungil yang sudah usang.

“Masih ada sepatu, Pak. Ini peninggalan terakhir ibu saya waktu saya masih SMP,” ucap Ami pelan.

Ucapan itu membuat raut wajah Pak Guska berubah muram, namun ia tampak yakin–mungkin sepatu ini bisa menjadi bayaran yang tepat. Namun saat sepatu itu diletakkan di timbangan, hasilnya justru mengejutkan: mangkuk dengan sepatu terangkat tinggi. Bobotnya ternyata jauh lebih ringan daripada buku diari maupun kuas bekas tadi.

“Kok bisa?” giliran Pak Guska yang menanyakan itu.

Tidak ada jawaban. Kali ini Ami hanya tersenyum tipis. Tanpa menjelaskan apapun, Ami pamit pergi ke kampus.

Sebenarnya Ami sudah menduganya bahwa sepatunya memang tidak lebih berharga dari barang-barangnya yang lain–lalu kenapa dia menyimpannya? Mungkin yang tersimpan di sepatu itu bukanlah kenangan atau cinta, tapi kebencian dan harapan kosong karena enam tahun yang lalu, ibunya lebih memilih membangun keluarga dengan orang lain daripada dengan ayah Ami. Hal inilah yang membuat Ami sulit untuk mempercayai orang lain–karena ibu yang seharusnya selalu ada pun tidak bersedia berada di sisinya.

Seraya menenteng sepatu lama yang sudah tak layak pakai, Ami menyeka air mata yang keluar di sudut mata. Dia sudah menahan air matanya sekuat tenaga selama perjalanan menuju kampusnya, tapi ternyata dirinya tak sekuat itu. Saat akhirnya menatap ke depan, langkah Ami terhenti karena Ron menghadang jalannya.

Saat ini Ami sedang tidak siap berhadapan dengan mimpi. Saat ini emosinya sedang tidak stabil. Namun, dia tahu kalau Ron tidak semudah itu untuk ditinggalkan–apalagi pria itu pasti marah karena kemarin Ami meninggalkannya tanpa pamit. Saat Ami ingin berjalan melewatinya begitu saja, Ron akan bergeser melangkah ke samping untuk menghalangi jalan.

“Kenapa nangis?” tanya Ron seraya mengamati sepasang mata Ami masih berkaca-kaca.

Ami menjawab dengan jawaban klise perempuan: “Nggak apa-apa.”

Ron bertanya lebih tegas, “Kalau nggak apa-apa, kenapa nangis?!”

“Kak, aku ada kuliah,” Ami menengadah menatap Ron yang lebih tinggi darinya. “Marahin akunya nanti aja, boleh?”

“Yang mau marah siapa? Sok tahu!”

“Aku salah udah ninggalin Kak Ron.”

“Lo nolak gue? Lo ingat kemarin gue nembak lo, kan?”

“Bisa bahas nanti aja nggak?”

“Kenapa? Lo mau kabur lagi?”

“Kak!” Ami benar-benar sudah lelah meladeni. “Kak Ron tuh nggak benar-benar suka sama aku!”

Ron mengerutkan kening heran. “Ngomong apa sih? Sok tahu banget. Kan gue yang ngerasain–bukan lo!”

Ron tidak salah. Ami sangat sadar soal itu. Namun, pernyataan Ron itu justru membuat Ami semakin merasa bersalah karena semuanya yang terjadi akhir-akhir ini terjadi gara-gara dirinya. Baik di dunia nyata maupun di mimpi, Ami ternyata sama saja: suka menyalahkan diri sendiri. Karena Ron masih tidak mau menyingkir, antara marah dan merasa bersalah, Ami melempar sepasang sepatu lamanya ke arah Ron. Ron tidak menyingkir dan membiarkan sepasang sepatu itu menghantamnya. Setelah itu, Ron melihat air mata Ami berlinang lagi. Ami kemudian mendorong Ron agar menyingkir lalu meninggalkannya berlari seraya menangis. Ami pun kabur untuk ke sekian kalinya. Namun, sepertinya Ron hanya membiarkannya kabur untuk sementara.

Selepas kelas, Ami mendapati Ron berdiri di luar kelasnya. Beberapa saat setelah tatapan mereka bertemu, Ron berpaling lebih dulu lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Hal serupa terjadi lagi di jadwal berikutnya di kelas yang lain. Setiap selesai kelas, Ami akan melihat Ron berdiri di depan kelas kemudian pergi setelah melihatnya–seolah hanya ingin memastikan kalau Ami baik-baik saja.

Terakhir adalah saat kelas sore. Kali ini Ron tidak langsung pergi. Dia menghampiri Ami. Mereka berhadapan dan saling menatap sebentar. Kemudian, satu-satunya yang bicara adalah Ron.

“Gue bakal nurut kalau lo emang nggak mau ketemu gue dulu. Gue bakal jauh-jauh dari lo sampai lo mau ketemu gue lagi. Nanti gue yang bakal datengin lo.” Kemudian salah satu tangan Ron mengusap lembut rambut Ami dilanjutkan menepuk pelan bahu Ami kemudian dia melangkah pergi melewati Ami.

Apa ini? Jika Ron bisa memahami setiap keinginan Ami melalui apa yang dipikirkan, apakah itu berarti Ron juga tahu penyebab yang membuat Ami menangis tadi pagi? Ami menoleh menatap punggung Ron yang semakin menjauh. Saat ini, bukankah Ami seharusnya berterima kasih? Namun, jika Ron bisa membaca pikirannya, Ron seharusnya sudah tahu, kan? Perlakuan lembut Ron yang murni tanpa penghakiman itu membuat Ami terharu dan ingin menangis lagi. Memang tidak ada satupun orang di dunia yang akan melakukan itu, tapi setidaknya Ami merasakan mimpinya secara nyata. Sekarang Ami tahu rasanya.

Pada akhirnya, Ami melangkah ke arah berlawanan dengan Ron. Masing-masing mereka saling menciptakan jarak. Sepasang mata Ami benar-benar berkaca-kaca dan Ami tidak ingin Ron melihatnya. Ron sepertinya menyadarinya. Setelah Ami memutuskan untuk melangkah pergi, Ron menoleh untuk menyaksikan kepergian Ami. Ami tidak mengetahui itu karena dia tidak menoleh lagi sampai sosoknya hilang dari pandangan Ron.

Setibanya di rumah, Ami mendapati sepatu bekasnya–yang tadi pagi ia lempar ke arah Ron–sudah tergeletak rapi di depan pintu rumahnya. Ron ternyata mengantarkannya pulang.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
XIII-A
1936      1260     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Sebelah Hati
2801      1354     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Rumah?
114      106     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Sebelas Desember
5577      1785     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
[END] Ketika Bom Menyulut Cinta (Sudah Terbit)
2257      1130     5     
Action
Bagaimana jika seorang karyawan culun tiba-tiba terseret dalam peristiwa besar yang mengubah hidupnya selamanya? Itulah yang dialami Maya. Hari biasa di kantor berubah menjadi mimpi buruk ketika teror bom dan penculikan melanda. Lebih buruk lagi, Maya menjadi tersangka utama dalam pembunuhan yang mengejutkan semua orang. Tanpa seorang pun yang mempercayainya, Maya harus mencari cara membersihka...
Sebab Pria Tidak Berduka
263      221     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Monologue
1478      1040     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Unseen (Rika's Universe Series 1)
4      2     0     
Mystery
Rika, seorang gadis remaja berusia 16 tahun yang tinggal di sebuah perpustakaan antah-berantah. Ia merupakan seorang penulis cerita, mulai dari novel, puisi maupun cerita pendek. Ia tidak tinggal sendiri, ia tinggal bersama dengan 3 entitas yang muncul sendiri di wilayahnya. Mereka datang tanpa tahu siapa mereka, asal mereka dan bagaimana mereka bisa sampai di tempat itu bersama. Mereka datang ta...
NADI
6505      1881     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
The Killing Pendant
3172      1336     2     
Mystery
Di Grove Ridge University yang bereputasi tinggi dan terkenal ke seluruh penjuru kota Cresthill, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa kriminalitas sesepele penyebaran kunci jawaban ujian akan terjadi di kelas angkatan seorang gadis dengan tingkat keingintahuan luar biasa terhadap segala sesuatu di sekitarnya, Ophelia Wood. Ia pun ditugaskan untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semua itu, ke...