Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinderella And The Bad Prince
MENU
About Us  

Gulali. Senyum itu manis seperti gulali yang ditambah satu kilo gula lagi. Terlampau manis. Bahkan aku mengira bakal diabetes. 

 

Tatapku mengerjap menyaksikan cowok itu melempar bola ke anak-anak club basket. "Hati-hati, Bro, kalau main. Bahaya, bisa benjol kepala orang!" serunya lantang. 

 

Tubuh tinggi itu lantas menoleh padaku. "Masih syok? Nih, minum." Tangannya mengulurkan minuman isotonik berukuran kecil. 

 

Melihat itu kesadaranku kembali. Dengan cepat aku menggeleng. "Enggak, makasih. Yang tadi juga makasih, ya." 

 

Setelah mengatakan itu aku bergegas kabur. Pasalnya berhadapan dengan cowok asing itu membuat dadaku berdebar-debar. Eh, tunggu! Dadaku berdebar lantaran bola basket yang hampir menyasarku, bukan karena cowok itu. 

 

"Tunggu!" 

 

Aku tersentak saat ternyata cowok itu mengejar. Astaga, mau ngapain? Ketika aku berbelok ke belakang kelas XII IPS, dia berhasil menjegal langkahku. Sontak kakiku mengerem mendadak. 

 

"Buru-buru amat, sih?"

 

Muka ganteng itu sekarang di depanku lagi, bikin grogi setengah mati. Aneh, seumur-umur aku nggak pernah grogi begini pada lawan jenis. Grogiku biasanya saat ngadepin audience yang memperhatikan aku lomba pidato bahasa Inggris, bukan karena cowok asing yang nggak pernah aku lihat sebelumnya. 

 

"Itu ... gue mau balik. Udah sore." 

 

"Oh." Cowok itu mengangguk, tapi nggak mau menyingkir dari depanku. Malah dia mengulurkan tangan. "Aku Regan." 

 

Tanpa diminta, cowok itu mengenalkan diri. Tentu saja aku nggak langsung menyambut. Aku menatap tangannya yang terulur, dan sialnya lagi-lagi aku dibikin grogi sama senyumnya. 

 

"Gue Sindy," sahutku akhirnya, dan menyambut ragu uluran tangan itu. 

 

"Salam kenal, ya. Sori, kita pake sapaan aku-kamu aja bisa?"

 

Heh! Aku yakin wajahku sekarang merah padam. Bukannya apa, sapaan aku-kamu di sini biasanya digunakan buat orang yang memiliki hubungan spesial. Lah dia? Kenal aja barusan.

 

"Aku nggak terbiasa pake lo-gue," ujarnya lagi seolah menjawab kekagetanku. 

 

Aku meringis, lantas mengangguk. Apa boleh buat? 

 

"Kalau gitu, aku balik dulu. Bye." Aku mengangkat tangan ragu dan segera beranjak ke parkir sepeda. 

 

Hingga aku menaiki sepeda dan keluar dari lingkungan sekolah lewat pintu belakang, Regan masih berdiri di tempatnya seraya mengawasiku. Cowok itu kenapa, sih? 

 

 

*** 

 

"Woy, ban sepeda lo bocor tuh!" teriak Prince dari atas motornya. 

 

Spontan aku menunduk dan meneliti dua roda sepeda. Benar. Ban belakang kempes. Aku mendengus sebal. Pasalnya ini sudah terlalu siang, kalau harus mengurusi ban sepeda dulu, bisa-bisa aku telat. 

 

"Jam segini bengkel belum ada yang buka. Selamat jalan kaki ...," ejek Prince dengan nada suara menyebalkan sambil tertawa. Setelahnya, dan tanpa perasaan dia pergi dengan motornya, meninggalkan asap yang mengepul, mengganggu pernapasan. 

 

Manusia itu bener-bener, ya!

 

Aku melepas napas panjang dan terpaksa mengembalikan sepeda ke tempatnya di samping rumah. 

 

"Loh kok belum berangkat, Neng?" tanya Bi Tuti melihatku masih berada di sekitar rumah besar Suganda. 

 

"Ban sepedaku bocor, Bi. Ya udah, aku berangkat dulu, Bi."

 

Aku melesat keluar dari pintu samping rumah. Berlari cepat menapaki halaman luas taman sebelum menyelinap keluar gerbang rumah mewah ini. 

 

"Neng Sindy, jangan lari-lari nanti jatuh," seru Pak Gito yang sudah stand by di pos jaga. Aku hanya melambaikan tangan sebelum lanjut berlari. 

 

Kalau nggak lari aku bisa telat. Angkutan umum ada di depan komplek dan jaraknya lumayan jauh. Peluh di dahi mulai bercucuran lantaran matahari makin meninggi. Napasku sedikit tersengal dengan jantung terpacu lebih cepat. Aku benci telat, jadi sekuat tenaga mengayunkan kaki agar cepat-cepat keluar gedung perum untuk mencegat angkutan. Sebuah mobil yang melintas dengan cepat pun nggak aku hiraukan. 

 

Senyumku terbit saat pos penjaga gerbang perum sudah terlihat. Aku mempercepat lari. Namun, sebuah mobil yang jauh di depanku tiba-tiba bergerak mundur. Refleks aku mundur dan menepi, membiarkan mobil itu lewat. Ah, tidak, mobil itu tiba-tiba berhenti. Aku yang tadi juga sempat berhenti sesaat kembali melangkah cepat. Bodo amat, keburu telat. 

 

"Sindy!" 

 

Aku yang ingin buru-buru sampai gerbang berhenti seketika saat sebuah suara dari dalam mobil tersebut meneriakkan namaku. Spontan aku menoleh, dan melihat mobil itu bergerak menjajari langkahku. 

 

"Mau ke sekolah, kan? Yuk, bareng aja," ucap si pengemudi. 

 

Yang membuatku tercengang, ternyata sosok di balik kemudi adalah cowok kemarin sore yang senyumnya semanis gulali. Regan. Saat ini pun dia sedang tersenyum, bikin dadaku kebat-kebit menjijikkan. 

 

Aku masih memaku di tempat. Ini dia nawarin gue? 

 

Seumur-umur aku belum pernah naik mobil pribadi, tapi kalau lihat sering. Mobil majikan ibu, alias keluarga Suganda yang sering seliweran hanya bisa dilihat dan disentuh, tapi nggak bisa dinaiki.

 

"Yuk, nanti telat lho."

 

Aku tersentak mengingat waktu yang terus berdetak. Kulihat Regan mencondongkan badan ke samping dan membuka pintu mobil yang paling dekat dengan tempatku berdiri. 

 

"Yuk, masuk." 

 

Aku tersenyum canggung sebelum menurutinya. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Nggak peduli dibilang norak, tapi ini memang baru pertama kalinya aku naik mobil pribadi, seringnya angkot, dan paling banter ojek. Bahkan aku mikir seribu kali buat naik taksi online. 

 

Regan mengenakan jaket yang resletingnya terbuka, membuat seragam yang dia kenakan menyembul. Dia memakai seragam yang sama denganku. 

 

"Kamu sekolah di Dwi Warna juga?" tanyaku. Harusnya aku bisa menebak saat kemarin bertemu di sekolah. 

 

Cowok itu mengangguk dan lagi-lagi melempar senyum maut. Melihat tampangnya yang begitu cute aku yakin Kara dan Meysa bakal putar haluan jadi ngefans sama Regan, bukan Prince lagi. 

 

"Ini hari pertama aku masuk. Sebenarnya tanggung banget sih pindah, karena aku udah kelas XII, tapi ibuku maksa." 

 

Aku menoleh cepat mendengar penuturannya. "Kakak kelas dong. Harusnya aku panggil kamu kakak, ya." 

 

Regan tertawa kecil, dan itu makin menambah kadar ketampanannya. "Nggak perlu begitu. Cukup panggil nama aja." 

 

Dari wajahnya dia terlihat pintar. Pembawaannya tenang dan nggak pecicilan seperti Prince. Meskipun sama-sama ganteng, aku yakin kepribadian mereka sangat bertolak belakang.

 

"Jadi, kamu mau kan jadi temanku?" tanya Regan begitu dia berhasil memarkirkan mobil di halaman parkir sekolah. Berkat dia aku nggak jadi telat.

 

Nggak ada yang bisa aku jawab selain mengangguk. "Regan, makasih, ya buat tebengannya," ujarku sebelum beranjak turun. 

 

"Sama-sama."

 

Tapi ... Ini gimana cara bukanya? 

 

Regan tiba-tiba mencondongkan badan ke arahku. Kepalanya melewati wajahku, membuatku refleks mundur dan menahan napas. Aku sempat menghidu aromanya yang wanginya maskulin banget. Benar-benar—

 

"Begini cara bukanya," ucapnya lantas membuka pintu di sampingku. 

 

Aku meringis, jujur malu. Wajahku pasti terlihat bego sekarang. Adegan membuka pintu mobil padahal sudah sering aku lihat di TV-TV, tapi pas dihadapkan realita malah bengong dan katrok. 

 

"Sekali lagi makasih, ya," ucapku sebelum lari terbirit-birit menjauhi lahan parkir mobil. Malu! 

 

Kakiku baru saja menginjak lantai kelas saat Kara dan Meysa jejeritan sambil berlari menghampiriku. Keduanya langsung menggaet tanganku. 

 

"Lo tau nggak, katanya ada murid baru yang gantengnya ngalahin Prince loh," cerocos Kara dengan wajah penuh binar. 

 

Berita tentang murid baru ganteng ternyata cepat menyebar.

 

"Katanya kemarin sore sempat ada di sini, Sin. Tapi kok kita nggak liat, ya. Padahal kan kita pulang sore," imbuh Meysa. 

 

Kita? Dia aja kali. Aku merasa beruntung karena menjadi orang pertama yang menjadi temannya di sekolah ini. 

 

"Tau, namanya Regan," responsku sambil melepas tas selempang dari pundak, lalu duduk di bangku kesayangan. 

 

"Demi! Kok lo nggak kasih tau gue, sih?" 

 

Aku mengernyit mendengar pekikan Kara. Dua cewek centil ini selalu saja berisik kalau urusan cowok. 

 

"Lo tau dari mana?" tanya Meysa yang sudah duduk di sampingku dengan wajah penasaran. Kara di sisi lainnya pun tak kalah heboh. 

 

"Kemarin gue liat kok, dan sempat kenalan juga."

 

"Sindy!" seru Kara dan Meysa bersamaan, membuat isi kelas kompak menoleh ke meja kami. 

 

"Astaga, kalian kenapa sih?" Aku menatap keduanya dengan kesal. Nggak cukup sampai di situ sekarang mereka mengguncang-guncang lenganku. 

 

"Kenalin, gue juga mau kenalan!" seru Meysa. 

 

Bola mataku berotasi. "Kalau mau kenalan ya udah kenalan aja sendiri."

 

"I-ih, lo tuh curang. Kenalan sama cowok ganteng nggak ngajak-ngajak." Kara mendorong bahuku sambil cemberut. Apaan, sih. 

 

"Jangan konyol deh kalian. Apanya yang ganteng, mata kalian rabun ya?" 

 

Seseorang yang baru saja masuk tiba-tiba menyambar. Serta-merta kami menoleh ke sumber suara dan menemukan Prince lengkap dengan bola basket dan para centengnya. 

 

"Di sekolah ini nggak ada yang bisa nyaingin kegantengan Prince," ujar Marcell si pemilik suara, salah satu centeng Prince sekaligus ketua kelas di sini.

 

Kara beranjak berdiri dan bersedekap tangan menatap mereka. 

"Oh ya? Padahal seru loh kalau Prince ada saingan. Tapi denger-denger sih, dia memang ganteng. Wah, lumayan lah buat nambah stok cowok the most wanted di Dwi Warna."

 

Aku bisa melihat wajah Prince memberengut. 

 

"Gue udah lihat, kok. Dan dia memang ganteng," ucapku seraya melirik tampang Prince yang asem, ngalahin keteknya yang penuh keringat sehabis main basket. 

 

Prince nggak berkomentar apa pun. Dia berjalan melewati kami begitu saja. 

 

Namun, beberapa saat kemudian terdengar seruannya yang begitu lantang. "Percuma kalau ganteng nggak bisa main bola. Lemah syahwat itu namanya." 

 

Sontak seluruh isi kelas geger menertawakan kata-katanya yang—serius, itu nggak lucu. 

 

============

Yuk jangan lupa like dan komen ya, Gaes.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • kori

    Colokin aja tuh daun ke matanya

    Comment on chapter Bab 2
  • kori

    Prince tipe yang kudu ditampol dulu

    Comment on chapter Bab 1
  • shasa

    Bakal seru ini wkwk...

    Comment on chapter Bab 1
  • jewellrytion

    Bener-bener bad Prince!! Sesuai dengan judulnya. Baru baca Bab 1 aja udah bikin spaneng sama kelakuannya πŸ˜©πŸ˜‚πŸ˜‚

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
Koude
3716      1330     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
JUST RIGHT
202      174     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Infatuated
951      627     0     
Romance
Bagi Ritsuka, cinta pertamanya adalah Hajime Shirokami. Bagi Hajime, jatuh cinta adalah fase yang mati-matian dia hindari. Karena cinta adalah pintu pertama menuju kedewasaan. "Salah ya, kalau aku mau semuanya tetap sama?"
G E V A N C I A
1240      692     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Senja di Balik Jendela Berembun
59      53     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Gebetan Krisan
522      372     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Arghβ€”tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Metamorf
166      137     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
Kamu
4764      1798     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
853      524     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Dua Warna
743      510     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...