“Selamat datang di LINEA,” kata Bramantyo. Suaranya datar, nyaris tanpa nada, tapi Amalia tahu, ini adalah bentuk penerimaan tertinggi dari seorang pria yang membangun dunia dengan ketepatan algoritma dan kedisiplinan mutlak.
Ia mengangguk pelan. Di balik ketenangan wajahnya, darahnya berdetak lebih cepat. Ini langkah pertama. Satu gerakan kecil ke dalam labirin. Tapi setiap labirin punya pusat, dan Amalia berniat mencapai titik itu untuk memahami, mengungkap, dan jika perlu, menghancurkan.
Hari pertamanya dimulai lebih cepat dari yang ia kira.
Di lantai tujuh gedung LINEA, sebuah ruang steril menyambutnya dinding kaca transparan, lampu putih pucat, dan layar-layar besar menampilkan data gelombang otak, ekspresi mikro, grafik emosi manusia yang diurai seperti matematika.
Ziva sudah ada di sana. Duduk bersandar, tangan terlipat di depan dada, menatap Amalia dengan sorot mata tajam namun dingin.
“Kamu serius dengan ini?” tanya Ziva pelan, nyaris seperti bisikan. “Kamu mau ikut menjadi bagian dari semua ini? Dari… eksperimen ini?”
Amalia tak menjawab langsung. Ia menatap grafik-grafik itu, wajah-wajah yang tergambar di layar mereka yang telah dimasukkan ke dalam program “penyelarasan emosi”, proyek andalan Bramantyo yang diselimuti jargon ilmiah namun menyimpan aroma manipulasi halus.
“Aku mau tahu kebenarannya,” jawab Amalia. “Dan satu-satunya cara adalah dari sini.”
Ziva terdiam. Ia tahu kalimat itu jujur tapi ia juga tahu, ketika seseorang masuk terlalu dalam, sering kali sulit keluar dengan utuh.
Di balik cermin satu arah ruang observasi, Bramantyo memperhatikan dua gadis itu. Tangan kirinya menggenggam pena, mengetuk pelan meja logam. “Fase satu berjalan lancar,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Di layar sebelah kanan, tampak nama program terbaru:
S.P.E.K.T.R.A.
Subjek: Amalia K.
Status: Diuji dalam kondisi kontrol sosial dan emosi.
Tujuan: Integrasi. Pengaruh. Perubahan.
Dan seperti seorang maestro, Bramantyo tersenyum tipis, siap mengarahkan simfoni yang telah ia susun sejak bertahun-tahun lalu.
Tapi Amalia pun telah menulis partitur tandingannya dalam diam.
Dengan catatan kecil tersembunyi, dan ingatan akan ibunya yang tak pernah benar-benar padam.
“Jika kau ingin mengubah sistem, pahami dulu nadinya. Lalu sesuaikan detaknya dengan irama hatimu sendiri.”
Dan kini, ia mulai mendengar detak itu. Lembut. Konsisten. Mengundang.
Pertempuran telah dimulai.
Dari dalam.
Dari balik senyum.
Dari balik kata “kerelaan.”
Tiga hari setelah Amalia bergabung dengan LINEA dan mencoba beradaptasi dengan ayahnya dan ziva. Dia memberanikan diri untuk menjelajahi dan memperlajari apa saja yang ada di dalam LINEA. Amalia mencoba memasuki laboratorium penelitian milik LINEA. Disambut hawa dingin dan aroma antiseptik. Dinding kaca membatasi setiap zona, seperti kandang futuristik. Tak ada label di pintu hanya angka dan simbol. Di tengah ruangan, seorang teknisi muda mengenakan jas abu-abu metalik menghampiri. "subyek baru?" tanyanya singkat. Rupanya teknisi muda ini belum mengetahui kalau Amalia adalah anak dari Bramantyo.
"Observer," jawab Amalia. Saya diberi akses oleh Pak Bramantyo ."
Teknisi itu menatapnya selama dua detik lebih lama, lalu mengangguk dan memindai ID Amalia."Silakan. " Tapi jangan sentuh apapun kecuali diperintah." Pintu kaca terbuka otomatis.
Amalia melangkah masuk, sepatu bot kulitnya beradu pelan dengan lantai logam yang licin. Pintu kaca menutup di belakangnya dengan desis pelan. Cahaya putih kebiruan dari lampu-lampu langit-langit membuat segalanya tampak bersih, nyaris steril secara tak wajar. Suara mesin berdesing lembut, konstan, seakan menjadi detak jantung dari tempat ini.
Di sisi kiri ruangan, terdapat deretan kapsul transparan yang berdiri seperti kepompong raksasa, masing-masing dihubungkan dengan kabel dan tabung ke panel-panel kendali. Di dalam beberapa kapsul itu, samar terlihat bayangan tubuh manusia, diam dan tertidur—atau mungkin dipaksa tidur. Tubuh-tubuh itu diselimuti cahaya samar dalam warna berbeda: ungu, hijau zamrud, biru tua, bahkan merah terang yang tampak gelisah. Aura.
Amalia mendekat ke salah satu kapsul yang kosong. Sebuah scanner di atasnya menyala ketika ia berada dalam radius dua meter. Layar digital di sebelah kapsul menampilkan gelombang warna yang berubah-ubah, dan simbol-simbol aneh yang menyerupai notasi kimia bercampur pola matematis.
“Aura manusia direkam seperti gelombang frekuensi,” gumam teknisi muda yang rupanya mengikuti Amalia dari belakang. “Tiap individu punya spektra unik, seperti sidik jari. Tapi hanya sedikit yang punya spektrum bercabang.”
“Seperti...?” Amalia bertanya hati-hati, walau ia sudah menebak arahnya.
“Seperti kamu,” jawabnya datar. Dia menunjuk ke arah monitor besar di tengah ruangan, di mana grafik berwarna ungu keemasan muncul dalam pola tak beraturan tapi konsisten. “Ini dari rekaman kamu dua malam lalu. Saat kamu lewat koridor selatan. Sensor otomatis membacanya. Tidak ada subyek lain dengan pola resonansi ganda sepertimu.”
Amalia menelan ludah. Ia tak ingat pernah dimonitor, tapi tentu saja ia diawasi.
“Ini bukan sekadar warna. Ini... bahasa,” lanjut teknisi itu sambil membuka file lain. “Aura-mu bukan cuma menunjukkan emosi atau intensitas energi. Ini mengandung semacam struktur. Seperti... percakapan. Seperti sistem berpikir yang memecah satu intuisi jadi dua kemungkinan.”
Amalia menatap layar itu dalam diam. Warna-warna di grafik itu terasa seperti sesuatu yang asing namun akrab. Bagian dari dirinya yang belum pernah ia kenali.
“Apakah ayah saya tahu tentang ini?”
Teknisi itu ragu. “Kami tidak semua diberi akses ke laporan lengkap. Tapi jika beliau menyuruhmu masuk ke sini... kemungkinan besar, dia sedang menunggu apa yang akan kamu lakukan berikutnya.”
Amalia berpaling. Pandangannya kini tertuju pada salah satu kapsul yang warnanya paling gelap: biru tua bercampur abu-abu perak. Aura yang nyaris beku, tapi tetap hidup. Di atas kapsul itu, tertera simbol yang sama dengan kalung kecil yang diam-diam ia temukan di kamar ayahnya semalam.
Seketika, rasa dingin antiseptik ruangan itu berubah jadi desakan misteri.
Amalia sadar: tempat ini bukan sekadar laboratorium. Ini adalah tempat di mana identitasnya ditelanjangi dan dimaknai ulang. Dan ia harus tahu lebih banyak, sebelum orang lain menggunakannya lebih dulu.
Amalia belum sempat bertanya lebih jauh saat suara langkah sepatu berat bergema dari arah lorong utama. Pintu geser terbuka pelan, dan sosok tinggi berjas hitam memasuki ruangan , Bramantyo.
Wajahnya seperti biasa: tenang, tersusun rapi, nyaris tak menyimpan emosi. Tapi matanya,mata itu mengamati Amalia dengan intensitas berbeda. Bukan sebagai anak. Tapi sebagai sesuatu yang telah ditunggu.
“Kamu akhirnya datang ke sini,” ucap Bramantyo tanpa basa-basi.
Amalia menegakkan tubuhnya.
Bramantyo berjalan pelan ke salah satu meja panel. Ia mengambil sebuah benda kecil dari laci kaca bentuknya seperti bros logam, berbentuk spiral dengan permata hitam di tengahnya. Ia menatapnya sejenak, lalu menunjukkannya pada Amalia.
“Kita semua memancarkan aura, tapi sangat sedikit yang bisa menjadi ‘penyalur.’ Apalagi host.”
“Host?”
“Energi mental manusia, jika dipadatkan dalam bentuk aura stabil, bisa mempengaruhi orang lain. Dalam konsentrasi tinggi, bisa membelokkan persepsi, bahkan niat,” jelas Bramantyo tanpa tedeng aling-aling. “Dan kamu, Amalia, adalah satu dari segelintir manusia yang punya struktur aura multi-frekuensi. Aura yang bisa ‘diprogram.’”
Amalia bergeming. “Jadi... kamu ingin mengubahku jadi semacam alat kendali pikiran?”
“Bukan alat. Katalis,” koreksi Bramantyo dengan tenang. “Kamu akan masuk ke fase transduksi, auramu akan disalin, disalurkan ke dalam wadah ini.” Ia mengangkat bros spiral itu. “Setelah itu, kamu tidak perlu melakukan apapun. Cukup ‘ada’. Selebihnya, aura-mu yang akan bekerja.”
Amalia mundur selangkah. “Dan kalau aku menolak?”
Tatapan Bramantyo tetap datar. “Ini bukan soal pilihan. Ini adalah kelanjutan dari siapa kamu. Dari siapa aku.”
Teknisi di belakang mereka tiba-tiba terlihat gugup, menyadari percakapan ini telah menyimpang dari prosedur biasa. Tapi Bramantyo tetap tak bergeming. Ia meletakkan bros itu ke meja, seolah tahu benda itu akan memilih jalannya sendiri cepat atau lambat.
“Kau akan paham, Amalia. Ketika dunia mulai mendengar suaramu, tanpa kau harus mengucapkan sepatah kata pun.”
Amalia menatap benda itu. Aura keemasannya, yang memancar dari monitor, kini terasa bukan sebagai anugerah—tapi kutukan.
Di balik keheningan laboratorium, Amalia memutuskan: ia harus membongkar proyek ini. Bukan hanya karena dirinya dipertaruhkan. Tapi karena ia mulai melihat ayahnya menciptakan sistem di mana kehendak manusia bisa dikompresi… dan dikendalikan.
Nanti ikut aku rapat, aku akan menguji coba alat ini, dan kamu. Ucap Bramantyo.
Amalia diam , dia harus bisa masuk makin dalam ke rencana ayahnya. Sampai bisa menghancurkan nya tanpa sisa.
Amalia menyusup ke ruang data menggunakan celah jadwal shift malam. Hanya teknisi level atas yang punya akses penuh, tapi ia sudah mempelajari pola akses melalui pantulan layar supervisor Ziva.
Terminal utama menyala. Ia mengetik cepat:
Keyword: S.P.E.K.T.R.A – Protokol Integrasi
Layar menampilkan beberapa file standar. Tapi satu folder terkunci dengan simbol berbeda—bukan gembok, tapi ikon spiral berwarna merah: CLASSIFIED: E.S.T.
Amalia menatapnya. Lalu mengetik override script yang ia pelajari diam-diam dari log sistem:
#bypass_layer3.cmd /echo_hidden
Folder terbuka. Di dalamnya hanya satu file audio-video: [Protokol S.P.E.K.T.R.A // ECHO BRANCH – Simulasi Integratif]
Ia klik.
Layar menampilkan presentasi internal rekaman dari ruang briefing tertutup. Bramantyo berdiri di depan, mengenakan jas hitam dan wajah netral.
“S.P.E.K.T.R.A adalah platform integrasi afeksi. Tapi ECHO adalah langkah berikutnya.”
“Alih-alih hanya memetakan emosi subjek, kita mendesain pemancar afektif terarah. Dengan ini, satu subjek dengan emosi tertentu bisa menularkan pola afektif ke populasi sekitarnya tanpa mereka sadari.”
Slide berganti. Menampilkan gambar wearable devices: kacamata, anting, lensa kontak.
“Dibungkus sebagai alat bantu mindfulness, padahal itu pemancar. Kita bisa memilih profil emosi: pasrah, patuh, euforia ringan, rasa puas. Lalu tanamkan ke populasi target.”
“Subjek primer akan disebut Host. Populasi lain disebut Echo Layer.”
Jadi ini yang dimaksud ayah. Mengerikan. Amalia bergidik.