Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ikhlas Berbuah Cinta
MENU
About Us  

Sekarang aku berdiri di depan gang menunggu angkot yang melintas, sampai sekarang belum satu pun yang lewat. Sebuah mobil mengklakson membuatku terlonjak kaget. Aku menoleh siapa yang datang. Melihat kendaraan itu seperti tidak asing. Ternyata benar, Bang Rizal keluar dari mobilnya.

"Eh, Dhira nunggu angkot, ya?" tanyanya sambil jalan mendekat. 

"Iya, Bang," jawabku singkat. Mungkin dia menyadari kalau mataku bengkak habis menangis, hingga tidak bertanya banyak hal seperti biasanya yang excited.

"Kalau begitu, ayok kuantar. Atau mau jalan-jalan dulu," tanyanya menawarkan. 

Aku tidak menolak, mungkin ada baiknya juga pergi dengannya. Toh, aku juga cukup dekat dengan Bang Rizal.

Tiba di depan Masjid Al Mukaromah, aku meminta Bang Rizal menghentikan mobilnya untuk menunaikan Salat Ashar. 

"Aku sudah salat. Jadi, aku nunggu di sini saja, ya," ujarnya. 

"Gak usah ditungguin. Bang Rizal duluan aja. Beneran. Aku gak pa-pa kok," kilahku. 

"Sana salat," ujarnya sebagai jawaban. 

Akhirnya, aku menuju gerbang masjid dan yakin pasti nantinya Bang Rizal akan pergi juga. 

Walaupun wajahku harus dicuci, tidak masalah kalau riasannya menjadi pudar. Nyatanya air wudhu mampu membuat wajah lebih bersinar. 

Aku menunaikan Salat Ashar empat rakaat. Suasana masjid sudah sepi. Di tempat suci ini aku merasakan ketenangan. Terlepas dari segala gundah-gulana.

Saat berdoa, aku menangis sejadi-jadinya. Awalnya mencurahkan, mengadukan semuanya kepada Allah. Walaupun aku merasa takdir ini tidak adil, tetapi aku berusaha menerimanya. 

Aku yakin Allah memberikan cobaan ini kepadaku karena aku dipandang mampu. Allah sedang mengujiku dan melihat bagaimana caraku untuk mengatasinya tanpa melupakan jati diri sebagai hamba yang lemah.

Untuk beranjak dari sini rasanya sangat sulit apalagi Maghrib sebentar lagi. tapi berlama-lama di masjid ini malah akan membuatku bosan. Aku harus jalan-jalan sore di sekitar sini atau paling tidak ke taman kota

"Udah selesai?" Pertanyaan itu mengagetkanku.

Ya, aku terkejut mendengar suara Bang Rizal. Tenyata, masih menungguku.

"Ke-kenapa belum pulang, Bang?" tanyaku balik.

“Tadi udah bilang mau nungguin kamu. Ya, udah. Aku tunggu, kan," jawabnya. 

"Gimana? apa Dhira mau jalan-jalan? Biar refreshing dikit," tanyanya lagi yang aku sambut dengan anggukan. 

"Ya udah kita jalan-jalan dulu, tapi sebelumnya kita makan di sana dulu, ya," tunjuk Bang Rizal ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. 

Aku kira Bang Rizal tidak suka makan di warung kecil. Nyatanya dia sesederhana itu walaupun anak orang kaya. Ini merupakan sisi baik dari sifatnya yang biasanya suka membantah.

Dari pengamatanku, sepertinya Bang Rizal sudah kenal betul tempat ini, ibu-ibu pemilik warung tampak akrab dengannya.

"Nak Rizal sama siapa nih? Pacarnya kah? Atau calon istri, Cantik sekali, Nak," tanya si ibu sambil mengerlingkan matanya, sepertinya sengaja menggoda. Bang Rizal malah tersenyum.

"Doakan saja, Bu." 

Jawaban Bang Rizal membuatku bingung. Ternyata, Bang Rizal menyadari kalau aku sedikit tidak nyaman dan akhirnya dia memesan bakso.

"Siap, untuk Nak Rizal dan calon istri akan dibuat porsi spesial," kata si ibu, beliau berlalu untuk menyiapkan bakso pesanan. 

Bang Rizal masih tersenyum, lalu menatapku.

"Aku sering ke sini. Biasanya bareng teman-teman sih, karena ini kedai milik orang tuanya temanku," ujar Bang Rizal menjelaskan. 

Aku mengangguk paham.

"Oh, ya. Tadi kamu ke pernikahan Mawar, kalau boleh tau kamu kenalannya atau gimana?" tanya Bang Rizal sambil meneguk minuman yang telah disediakan.

"Dia adikku," jawabku singkat. 

Bang Rizal tersedak mendengar jawabanku.

"Ap-apa? Adik? Adik kandung?" tanyanya heran. 

Aku tidak tersinggung kalau ada orang yang terkejut jika kukatakan kami bersaudara. Nyatanya tidak bisa dipercaya, dari segi apapun kami terlihat jauh berbeda. 

"Maaf, bukan maksud membuatmu tersinggung hanya saja aku sangat terkejut," jawab Bang Rizal. 

"Banyak yang tidak percaya. Dari segi apapun kami beda jauh. Entah secara fisik maupun keadaan," ujarku berusaha tegar. 

"Kamu selalu membuat terkejut Dhira. Kemarin Abang sekarang adik. Maaf aku memang tidak tahu banyak tentangmu, jadi aku menanggapi berlebihan," ujarnya merasa bersalah.

"Tidak apa, santai saja, Bang. Aku udah biasa, " ujarku agar terlihat tetap baik-baik saja.

"Abang kenal Mawar? Karena hadir juga tadi?" tanyaku penasaran.

"Kenal. Dia itu juniorku di kampus. Tapi, aku sedikit kenal dengannya. Dia pernah bilang cuma punya tiga abang dan dia anak terakhir. Semua tentang saudaranya dia cerita makanya aku terkejut kalau dia juga punya kakak perempuan," ucapnya menjelaskan. 

“Bahkan dia juga pernah bilang kalau tidak punya kakak," lanjut Bang Rizal. 

Penjelasan Bang Rizal membuat hatiku jauh lebih sakit sekarang. Setega itu Mawar kepadaku. Aku benar-benar tidak dianggap.

"Aku ketua BEM di kampus, dan Mawar adalah yang paling terkenal di urusannya. Dia juga bergabung ke BEM, makanya sedikit akrab antar-sesama pengurus. Tanpa kuminta, dia bercerita dan berusaha akrab denganku. Namun, aku tidak terlalu suka dengannya yang aku rasa berlebihan," cerita bang Rizal. 

"Dia bercerita harus mencukupi kebutuhan kuliahnya karena dari orang tua sudah tidak ada. Apalagi mendapat beasiswa, maka otomatis IPK tidak boleh turun. Mawar belajar keras untuk mempertahankan IPK dan popularitasnya." 

"Ehh tunggu, Bang." 

Aku memotong penjelasan Bang Rizal.

"Mawar dapat beasiswa?" tanyaku memastikan. 

"Iya, sejak semester awal dia sudah dapat beasiswa. Kenapa Ra?" tanya Bang Rizal heran. 

Aku tertawa hambar, bahkan ingin menangis di sela-sela tawaku, atau bahkan ingin berteriak.

"Jadi uang yang setiap semester dia minta buat bayar SPP itu dia apakan? Bahkan tiap harinya dia meminta uang padaku," ujarku tanpa sadar. Aku yakin meski suaraku pelan, Bang Rizal pasti bisa mendengar suaraku.

Ternyata, hampir empat tahun Mawar memerasku. Hidupnya berkecukupan dengan beasiswa yang dia terima. Belum lagi uang yang secara sukarela kuberikan padanya kapan pun dia minta. 

Aku tidak bercerita lagi dan memilih melahap bakso yang sudah tersaji di depanku. Walaupun sebenarnya aku sudah tidak ada selera makan sama sekali. Namun, aku juga sangat lapar mengingat tadi tidak sempat makan. Bang Rizal pun tidak bertanya lagi. Kembali fokus menyantap bakso di hadapannya. 

Kami makan dalam hening. Hingga makanan ludes, aku masih belum buka suara. Aku selalu bertanya dalam hati kenapa Mawar sejahat itu? Selain dia mengambil semuanya dariku, dia juga memerasku, bahkan tidak pernah menganggapku ada. 

"Abang pulang saja. Aku masih ingin Salat Maghrib di sini," kataku setelah berada di depan mobilnya.

"Ya udah, aku juga Salat Maghrib di sini saja," jawab Bang Rizal. 

Aku tidak dapat mengelak lagi. Memasuki halaman masjid dan perlahan menuju tempat wudhu wanita.

***

Aku sudah berusaha menolak, tapi Bang Rizal keukeuh ingin mengantarku. Aku pasrah saja. Untuk membuang kebosanan selama perjalanan, aku menghidupkan ponselku. Ternyata, dalam sehari ini aku belum pernah memeriksanya.

Saat menghidupkan data seluler, banyak chat dan panggilan tidak terjawab. Pesan teratas dari Zahra yang mengatakan permohonan maaf karena pulang duluan. Chat itu dia kirimkan pukul dua siang tadi. 

Selanjutnya chat dari Bang Rasyid yang menanyakan kabarku. Ada juga panggilan tidak terjawab darinya. Saat aku hendak mematikan ponselku sebuah pesan masuk dari Bang Randi. 

Aku heran kenapa dia tiba-tiba mengirimkan pesan. Padahal, sepertinya dia tipe orang yang tidak terlalu menyukai komunikasi lewat chat? 

[Kamu sudah di mana? Pemasukan hari ini belum dihitung.] 

Aku mengerutkan kening. Pemasukan dari mana? Bukannya kafe tutup hari ini?

Bang Rizal menyadari perubahan wajahku, dia bertanya.

"Kenapa, Ra?"

"Ini chat dari Bang Randi. Dia bilang pemasukan belum dihitung, tapi kan kafe tutup hari ini, karena sibuk menyiapkan katering" imbuhku.

"Pemasukan dari katerig maksudnya kali, Ra," tebak bang Rizal. 

"Tidak biasanya juga Bang Randi begitu. Maksudnya selama ini bahkan komunikasi kami tidak terlalu banyak. Bukankah dia tipe orang yang jarang bicara?" ujarku masih dengan nada heran. 

"Dia memang seperti itu, kamu harus banyak bersabar," pesan Bang Rizal. 

Chat masuk dari Zahra yang menanyakan keberadaanku. Kenapa orang-orang jadi khawatir kepadaku?

Aku pun menjawab chat dari Zahra. 

[Di jalan mau pulang, kenapa Ra?] 

Balasku cepat. Chat hanya dibaca. Ada panggilan masuk dari nomor Putra, waiters di The Hans Kafe.

"Halo, Kak Dhira. Kakak di mana?"

"Lagi di jalan. Kenapa Putra, ada apa?" jawabku sedikit panik karena mendengar suaranya yang panik.

"Kak Zahra, Kak. Cepat datang ke kafe ya, Kak!" 

Suaranya tergesa-gesa membuatku semakin panik.

"Zahra kenapa? Haloo..." tanyaku dengan banyak pikiran. 

Aku kecewa karena sambungan telepon sudah dimatikan. Hal ini membuatku makin tidak tenang. Nomor HP nya mendadak tidak aktif, bahkan aku juga menelpon Bang Randi dan sama sekali tidak diangkat. 

"Bang, kita ke kafe!" ucapku ternyata sudah menangis. 

Dalam pikiranku, apakah dia terjatuh dari tangga karena akhir-akhir ini sering ke lantai dua. Aku membuang jauh-jauh pikiran itu. Bang Rizal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha menenangkanku. Kendaraan membelah jalanan kota dengan cepat. 

Sekarang aku benar-benar panik. Aku tidak mau hal buruk terjadi dengan Zahra. Dia adalah keluarga, sahabat, teman, dan semuanya bagiku. Aku tidak mau dia kenapa-napa.

"Kamu tenang, Ra. Semoga Zahra baik-baik saja," hibur Bang Rizal menenangkan. Namun aku sama sekali tidak bisa tenang

Kami sampai di kafe. Begitu Bang Rizal memarkirkan mobilnya, aku langsung keluar begitu saja. Kenapa gelap sekali? Pikirku. Bahkan, di parkiran juga sangat gelap. Aku terus berjalan dengan bantuan senter dari ponsel sambil berpikir, apakah kafe sudah langsung tutup? Dan semua karyawan sudah pulang?

 Tapi tadi Putra mengatakan kalau mereka masih di kafe. Aku terus berjalan hingga tepat di depan panggung kafe, langsung berhenti karena lampu tiba-tiba dihidupkan. Aku mengamati sekeliling. Tadinya aku kira kafe sudah kosong, ternyata masih begitu ramai.

Terdengar alunan music dari keyboard menyanyikan lagu ulang tahun yang ditujukan untukku. Aku hanya bisa terdiam mencerna apa semua ini. Bahkan tanpa sadar air mataku menetes karena ada rasa haru yang mendalam.

Tepat di hadapanku ada Zahra yang memegang kue ulang tahun. Di sampingnya berdiri Bang Randi. Bahkan, semua karyawan The Hans ada di sana. 

Lebih mengharukan lagi, ada Bapak Rafli beserta Ibu, tak ketinggalan Kak Rena dan Mala. Kini pandanganku tertuju pada seseorang yang sejak tadi hanya tersenyum. Ya, Bang Leo juga berdiri di sana sambil tersenyum. Aku berlari ke arahnya, lalu memeluknya erat. Menangis saking terharunya, Bang Leo mengusap pundakku. 

"Selamat ulang tahun Dek. Semoga kedepannya makin lebih baik." 

Aku beralih memeluk Zahra yang berdiri di sampingnya.

"Uluhh uluhh cengengnya Dhira kami. Selamat ulang tahun kebanggaanku. Harus tetap tegar dan perkuat rasa sabar," ujarnya sambil memelukku erat. 

Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya mampu menghadirkan senyum kegembiraan untuk semua orang yang sudah membuatku bahagia di hari kelahiranku. Lagu selamat ulang tahun masih mengalun sembari mereka menyalamiku, tidak lupa memberikan kado.

Mereka bergantian mengucapkan selamat, bahkan Bang Rizal juga ikut nimbrung.

"Wah, selamat ulang tahun, Dhira. Kalau saja tadi kamu bilang sedang ulang tahun pasti aku udah traktir sepuasnya," kata Bang Rizal. 

"Main traktir apaan, kerja yang benar dulu!" Hardik Pak Rafli. Semua yang mendengar terkekeh.

Suasana kafe sangat meriah dan sungguh ramai. Seluruh karyawan berkumpul untuk merayakan ulang tahunku. Kafe dihias dengan banyak balon aneka warna. Kulihat ada spanduk ucapan selamat ulang tahun terpajang di dinding. Aku sangat terharu di usia ke-24 ini, aku bisa merasakan kehangatan dari orang-orang yang sangat peduli. 

"Gimana? Suka?" tanya Zahra yang kini duduk di sampingku. Setelah acara potong kue, saat ini semuanya tampak menikmati hidangan makan malam yang telah disediakan. Entah kapan semua ini disiapkan, aku juga tidak tahu. Yang jelas, perayaan malam ini, benar-benar kejutan yang membahagiakan. 

"Ini idemu, Ra?" tanyaku sambil memandang Zahra dalam-dalam.

"Sebenarnya iya, tetapi aku cuma minta ke semua pegawai kafe sekedar kue dan ucapan saja. Justru Bang Randi yang ngusulin seperti ini," ujar kata Zahra. 

"Bang Randi?"

Aku sedikit terkejut jika ide ini dari Bang Randi yang super cuek itu. Apalagi harus mendatangkan semua pegawai The Hans kemari.

"Pak Rafli juga, sih, pokoknya mereka semua ikut andil," tambah Zahra menjelaskan. 

Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Semua yang dihadirkan malam ini sudah lebih dari cukup bagiku sampai-sampai kebahagian malam ini mampu membuatku tidak mengingat lagi rasa sakit hati dari keluargaku. 

Pak Rafli tampak menuju panggung. Dia memegang microphone dan memulai suaranya dengan salam dan puji syukur. 

"Alhamdulillah pada malam hari ini semua pegawai The Hans bisa berkumpul di kafe ini. Semoga semuanya dalam keadaan sehat wal afiat. Aamiin ya rabbal alamin. Pada kesempatan yang bahagia ini, saya ingin mengucapkan Selamat ulang tahun untuk Nak Nadhira Assyifah. Semoga kedepannya terus menjadi pribadi yang diberkahi Allah, tetap menebar kebaikan, dan manfaat untuk orang banyak." Demikian, pidato pembukaan dari Bapak Rafli-bos kami.

Beliau melanjutkan sambutannya. 

"Jujur, setiap melihat Nak Dhira, saya selalu kagum. Dia selalu bisa memberikan ide-ide yang bagus dan bermanfaat. Sejak berdirinya The Hans terutama The Hans Bakery, Nak Dhira adalah salah seorang saksi atas berjalannya perusahaan yang saya dirikan dengan kerja keras dan disiplin, serta dukungan para karyawan yang setia dan luar biasa, The Hans telah mencapai kemajuan yang sangat berarti. 

Dalam lima tahun The Hans mampu mendirikan bakery, swalayan, butik, bahkan kafe. Ini semua tidak lepas dari usaha dukungan dan berbagai usaha juga ide dari Nak Dhira. Banyak ide-idenya yang kami jalankan sukses hingga kita sampai di tahap ini. 

Apalagi untuk kafe ini yang Alhamdulillah setiap hari selalu ramai berkat ide-ide dan inovasinya. Idenya yang paling membuat saya salut sampai sekarang adalah harus tetap berbagi pada anak yatim, anak panti, dan mereka yang membutuhkan. 

Berlatar pemahaman bahwa dengan berbagi, tidak akan mengurangi harta kita. Malahan, kita sedang menabung untuk bekal di akhirat kelak. Tetap sehat selalu untuk nak Dhira, kami selalu mendukung dan memberikan doa terbaik untukmu ke depannya. 

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Nak Dhira. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." 

Kemudian, Pak Rafli mengakhiri sambutannya. Tanpa sadar aku menangis hingga Zahra mengusap punggungku.

Desakan dari banyak orang membuat aku harus maju untuk memberikan ucapan sebagai respon atas sambutan Pak Rafli. Tidak lupa mengucapkan salam dan muqaddimah.

"Terima kasih kepada semuanya yang berada di kafe kebanggaan kita bersama. Terima kasih saya sampaikan juga untuk orang-orang yang luar biasa yang telah menyiapkan semua ini dengan susah payah. Saya mengucapkan pula terima kasih yang tak terhingga untuk Bapak Rafli beserta keluarga. 

Sungguh saya merasa tersanjung karena ulang tahun saya dirayakan di sini dan semewah ini. Khususnya terima kasih juga saya ucapkan kepada Bang Leo yang sudah hadir. Selain itu, ucapan terima kasih yang tidak terhitung saya sampaikan untuk sahabat saya, Zahra. Terima kasih untuk semuanya sampai saat ini. Saya merasa bersyukur telah memiliki keluarga seperti kalian--"

Aku menjeda ucapanku dengan diam sejenak, tidak sanggup menahan air mata.

The Hans adalah alasan saya untuk terus bangkit dan berbenah diri. The Hans juga alasan saya untuk tetap kuat dan berusaha mencoba melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Kita semua adalah satu keluarga, bahkan saya sangat bersyukur memiliki keluarga seperti kalian. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, waalaikumsalam."

 Begitu sambutan selesai, aku segera turun dari panggung menuju meja di mana Zahra duduk. Di sana, bukan cuma Bang Leo dan Zahra, tetapi juga Tante Mia dan Om Radit, orang tuanya Zahra, ada Lukman juga yang baru tiba.

"Selamat ulang tahun, Sayang," ujar Tante Mia sambil memelukku. Kemudian Beliau menyerahkan sebuah paper bag. 

"Terima kasih, Tante," jawabku penuh haru.

Kemudian, aku juga menyalami Om Radit.

Suasana masih diramaikan dengan nyanyian beberapa karyawan. Semua terlihat kompak dan akrab. Ada sekitar 60 orang karyawan The Hans dari bakery, butik, swalayan dan kafe yang semuanya memakai seragam yang sama. Aku baru ingat perayaan ulang tahun Kak Rena tidak seramai ini waktu bulan lalu. Hal ini membuatku merasa makin tidak enak dengan Kak Rena. 

Mulai sekarang aku bertekad untuk tidak bersedih lagi karena banyak orang yang mendukung dan menyayangiku dalam keadaan apapun.

Saatnya foto bersama. Zahra memakaikan sebuah mahkota di kepalaku. Memoleskan sedikit bedak dan lipstik agar sedikit cantik saat difoto, katanya. Kata Pak Rafli untuk dokumentasi The Hans juga. 

Sesi foto yang pertama adalah bersama pegawai Bakery dan keluarga Pak Rafli, pegawai swalayan, butik kemudian kafe, selanjutnya berfoto dengan semua karyawan The Hans. Terakhir, aku berfoto bersama Zahra dan Bang Leo. 

Diam-diam aku memperhatikan Bang Leo. Walaupun baru sebulan mondok, tetapi kali ini aura wajahnya tampak bersinar. Dia juga pernah bercerita kalau dirinya sudah berhenti merokok walaupun katanya sangat susah. Tapi aku menyadari bahwa Bang Leo sangat ingin berubah ke arah yang lebih baik.

 Selesai acara sesi foto, beberapa tamu mulai pada pulang, Zahra juga pamit barusan. Kami akan membereskan kafe terlebih dahulu, tapi mereka melarangku untuk ikut. Jadilah aku ke ruang kasir hendak menyusun beberapa kado pemberian mereka. 

Sambil menunggu karyawan membereskan kafe, aku duduk di depan komputer berniat menghitung pemasukan dari katering, termasuk menghitung pengeluaran untuk membeli persediaan besok.

"Assalamualaikum." 

Terdengar ucapan salam dan ketukan di pintu. 

Aku menoleh ke sumber suara, Bang Randi berdiri di depan pintu.

"Waalaikumsalam, Bang," jawabku segera sambil melepaskan pandangan dari layar komputer. 

"Kenapa tidak langsung pulang?" 

Pertanyaan sederhana sebenarnya, tapi jika diucapkan oleh orang yang jarang bicara, terasa sedikit berbeda.

"Sebentar lagi, Bang. Ini masih ada kerjaan. Nanggung," jawabku kembali menatap layar. 

"Ini kado untukmu," ujarnya sambil menyodorkan sebuah bungkusan. 

Aku masih menatap sebuah kotak kecil dari Bang Randi. Aku heran, tidak biasanya bersikap demikian. Apalagi dikenal sebagai orang yang cuek, dingin, dan tidak peduli dengan orang lain. Aku tetap menerimanya. Bagaimanapun sudah memberikannya dengan ikhlas.

"Terima kasih, Bang," jawabku dengan senyum tulus. Biasanya aku mengembangkan bibir hanya biar terlihat profesional, tetapi kali ini beda.

Setelah itu, dia keluar dari ruang kasir. Aku kembali menyelesaikan tugas yang sempat tertunda. Setelah semuanya beres, aku bergegas pulang.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
82      73     1     
True Story
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
705      483     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
My First love Is Dad Dead
100      91     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Langkah yang Tak Diizinkan
327      271     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Behind The Spotlight
4283      2165     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
72      67     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Langit Tak Selalu Biru
135      119     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
421      333     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Ada Apa Esok Hari
294      228     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Ameteur
167      147     2     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...