Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Namun, ia justru berakhir di meja kafe seberang sekolah, berseberangan dengan Soni dan Yasmin, kira-kira satu jam kemudian.

"Gimana sih, Soya?” Soni berdecak. “Udah masuk jurusan paling nggak mutu, malah nggak dapat peringkat pula. Kamu tuh niat sekolah apa nggak?”

Soya menunduk, tenggelam dalam hawa panas yang menguar dari wajahnya. Mendapat peringkat delapan berarti dianggap tidak punya peringkat.

“Nggak niat belajar, ya?” Yasmin menghela napas. “Daftar les aja, deh. Jurusan Bahasa mana mungkin masuk kriteria SBMPTN?”

Les. Mendengar satu kata singkat itu saja membuat perut Soya mulas. Seolah tugas sekolahnya tidak cukup menyita waktu istirahat, dan waktu istirahat Soya gunakan untuk mencuri waktu bermain ponsel—sebab kapan lagi ia bisa menghibur diri?

Kalau ia mesti les, itu berarti tidak hanya belajar berbagai mata pelajaran khusus jurusan Bahasa, tapi juga matematika yang lebih sulit dan sebagainya. Bisa berasap otaknya!

Soya baru saja mau membuka mulut, tetapi Yasmin menyela lagi. Sambil membanting gelas plastik berisi iced matcha latte yang hampir habis, ibunya berkata:

“Minimal kalau nggak pintar tuh masuk jurusan yang aman-aman aja. Sekolahmu udah bagus, unggulan malah. Tapi, tetap aja jurusan Bahasa mereka nggak bikin ada jalur bahasa di SBMPTN! Paham?”

Putri sulung mereka hanya bisa menunduk lebih dalam. Ia malu. Tidak tahu apakah suara keras Yasmin bakal mengganggu ketenangan orang-orang yang menyesap latte di kafe itu, tapi yang jelas Soya tidak mau menjadi pusat perhatian. Jarinya meremas-remas rok cokelat pramuka, sementara pandangannya hanya tertuju pada rapor yang terhampar lebar-lebar di meja.

Sastra Indonesia, dengan KKM 78, dia pun mendapat nilai 78. Bukan hanya pelajaran itu saja, mata pelajaran Bahasa Jepang dan Antropologi juga tidak tertolong.

“Kenapa nilai kamu jelek, coba?” Soni memicingkan mata. Ia mengetuk-ketukkan jari pada kolom Sastra Indonesia. “Apa bedanya sama mapel Bahasa Indonesia?”

Soya menelan ludah. “Beda, Pa. Itu ... banyak prakteknya. Harus belajar huruf Arab-Melayu juga.”

“Apa prakteknya?”

Mengerut Soya kala mengingat kejadian beberapa minggu lalu, tepat sebelum ujian akhir semester. “Baca ... baca naskah.”

Menggelegarlah amarah dan keluhan kedua orang tuanya. Soya menunduk lagi, menyembunyikan wajahnya di balik rambut, sementara Soni dan Yasmin mulai tertawa setengah kesal, sekaligus tak habis pikir bagaimana gadis berusia tujuh belas tahun tak bisa membaca. Membaca!

“Emang kamu buta? Nggak bisa baca tulis?” Soni menepuk kepala.

“Sudah, Pa, jangan keras-keras!” Yasmin mendesis. “Malu didengar orang!”

Seolah ingin memastikan ucapan ibunya, dengan takut-takut Soya mengintip ke arah lain, melewati tirai rambutnya yang halus. Di antara orang-orang yang mencoba mengabaikan kerusuhan orang tuanya, ia menangkap ada satu sosok yang sama muramnya, yang juga mengenakan seragam pramuka.

Itu Kaspian, bintang redup dari jurusan IPA, yang pernah menjadi teman sekelasnya di tahun pertama. Bedanya Kaspian tidak menunduk, melainkan tetap duduk tegak seolah mempertahankan harga diri ketika wanita paruh baya di seberangnya membolak-balik halaman rapor. Di sebelahnya, ada murid perempuan seusia yang belum Soya kenal, yang tetap menyunggingkan senyum.

“Soya! Dengar Mama bilang apa?”

Gadis itu tersentak. Ia menatap ibunya lagi dengan napas pendek dan wajah memerah padam. “A-apa, Ma ...?”

“Mama daftarkan kamu ke tempat les!” kata Yasmin. “Nggak boleh protes. Ini hukuman kamu karena udah mengecewakan Papa Mama!”

 

Soya kira mereka akan pulang setelah itu, tetapi sepertinya Soni dan Yasmin kebal rasa malu terhadap seisi kafe setelah mengomeli putrinya. Justru Soni mendapat telepon dari klien. Kalau sudah begini, bakal menghabiskan waktu lama. Yasmin mengeluarkan ponsel dan mulai menggulir layar, sementara Soya termangu di kursi.

Tak sanggup duduk berlama-lama dengan kedua orang tuanya, ia pamit ke toilet. Ia tidak benar-benar kebelet, hanya ingin cari udara segar.

Setibanya di jajaran wastafel, Soya disapa dengan pemandangan Kaspian tengah mencuci wajah dengan brutal. Kedua tangannya menggosok-gosok muka hingga air bermuncratan.

Sepertinya cowok itu sama stresnya.

“Kamu nggak apa-apa?” refleks Soya bertanya. Padahal sudah lama sejak terakhir mengobrol dengan Kaspian. Pernah duduk di kelas sepuluh yang sama tidak membuat mereka serta-merta akrab.

Kaspian menutup kran. Dengan air menetes-netes dari dagu, ia menatap Soya dengan tatapan muram.

“Kenapa sih, Ya, hal-hal abstrak kayak seni tuh harus dinilai dengan angka kayak fisika?” keluhan itu meluncur begitu saja. “Bukannya seni itu nggak bernilai, ya?”

Soya sempat terbengong sesaat. Tak tahu mesti menjawab apa.

Meski begitu tampaknya Kaspian tidak butuh respons. Jarinya yang basah menyugar rambut dengan frustrasi. “Sekarang, bayangin, kamu harus praktek adegan sedih. Masa satu-satunya bukti kesedihan adalah menangis?”

Ah, ternyata ia membicarakan mata pelajaran Sastra Indonesia. Soya heran kenapa lagi-lagi dipertemukan dengan topik ini.

Cowok itu terus menyerocos. “Padahal orang berduka nggak selalu menangis. Ada yang bisanya cuma bengong. Masa yang dianggap sedih cuma yang bisa nangis aja? Sinting. Kalau ada seorang anak yang nggak nangis saat bapaknya meninggal, tapi bengong bertahun-tahun, apa itu bukan sedih? Sinting, ah.”

“Kamu ngomongin Pak Sastra?”

“Siapa lagi?” kali ini Kaspian menyambar tisu dan menggosok kulit wajahnya hingga kemerahan.

Soya mencoba mencari respons yang tepat untuk keluhan Kaspian. Ia merasa mereka berada di posisi yang mirip, walau kasusnya berbeda. Soya tahu Kaspian adalah anggota teater Layar Surya milik sekolah yang juga diampu Sastra. Itu sudah pengetahuan umum, mengingat masa lalu si cowok.

“Kamu aktor, kan ...? Dulu, maksudku?”

Kaspian menekuk wajah. “Kenapa memangnya?” balasnya. “Iya, nilai ekskulku jelek. Banget. Bukan berarti karena aku pernah jadi aktor cilik lalu nilaiku bisa bagus terus! Emang sinting Pak Sastra itu.”

Saat ada pengunjung kafe lain yang memasuki wilayah toilet, Kaspian mendengus jengkel. Ia pun melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Soya memutuskan untuk mengekorinya. Bergegas ia menjajari langkah Kaspian. “Pak Sastra emang gila,” ia membeo. "Bukannya menuntun murid, malah mengolok-olok."

Curhatan Soya membuat Kaspian berhenti melangkah. Cowok itu menoleh menatapnya. Tak ada keterkejutan di sana, selain tatapan “oh-korban-baru-lagi?” yang jemu.

“Kamu diolok?” tanyanya, yang dibalas dengan anggukan. Kaspian memutar bola mata. “Emang bapak itu sikapnya nggak kayak guru. Aneh. Kok bisa, sih, dia jadi guru?”

Mereka harus berpisah. Meja keluarga Soya berada di sebelah kiri, sementara meja pihak Kaspian berada di ujung kanan dekat pintu keluar. Setelah membisikkan semangat untuk satu sama lain yang lesu, mereka kembali ke meja masing-masing.

Akhirnya Soni dan Yasmin beranjak juga. Waktunya pulang, menjemput adik Soya dari rumah kawannya setelah pembagian rapor sekolah dasar yang tidak membebani.

“Mama barusan tanya informasi ke kelompok arisan Mama,” ucapan Yasmin mengiringi langkah menuju mobil. “Ada bimbel yang menyediakan kelas selama liburan. Daripada kamu nggak ngapa-ngapain, mending persiapkan belajar materi IPA mulai sekarang!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Temu Yang Di Tunggu (up)
20255      4375     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
ADRI
571      426     1     
Short Story
Untuk yang terlambat jatuh cinta.
PALETTE
552      304     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Cinta dibalik Kebohongan
830      572     2     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.
Aranka
4641      1578     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Dialog Hujan
595      422     3     
Short Story
Tak peduli orang-orang di sekitarku merutuki kedatanganmu, aku akan tetap tersenyum malu-malu. Karena kau datang untuk menemaniku, untuk menenangkanku, untuk menyejukkanku. Aku selalu bersyukur akan kedatanganmu, karena kau akan selalu memelukku di dalam sepiku, karena kau selalu bernyanyi indah bersama rumput-rumput yang basah untukku, karena kau selalu menyebunyikan tangisku di balik basahmu.
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2392      778     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
976      593     9     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
Golden Cage
519      304     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Unframed
1926      1095     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...