Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

“Soya, kamu beneran les di bimbel itu, nggak, sih?”

Pertanyaan Yasmin mengirimkan serangan kejut di Minggu pagi. Walau lewat telepon, debar ketakutan yang dirasakan Soya sama besarnya ketika bertatapan langsung. Suara sang ibu sama jelasnya seperti sedang berbicara dalam satu ruangan, padahal ada suara obrolan riuh dan klakson bersahutan di belakang suara Yasmin.

“Kamu ingat teman Mama yang merekomendasikan tempat bimbel itu? Anaknya, kan, juga les di sana! Waktu Mama ngobrol sama teman Mama itu, katanya anaknya nggak pernah lihat kamu di sana. Jadwal lesnya juga sama seperti kamu.”

Mampus! Soya tak pernah mempertimbangkan alasan sejauh itu. Otaknya berputar cepat memikirkan kebohongan baru. 

“E-eeh … beda kelas, Ma. Kan, meski tempat bimbelnya nggak besar, tapi kelasnya banyak dan muridnya sedikit,” jawabnya asal, mengandalkan ingatan tentang luas tiap ruang yang dulu dilihatnya sepintas. “Lagi pula, aku juga jarang beli jajan di luar. Jadi … nggak pernah ketemu murid kelas lain.”

Yasmin mengeluarkan gumaman “ooh” panjang. “Ajak kenalan, dong,” kata sang ibu akhirnya. “Masa nggak kenalan sama sekali dengan teman lain? Ajak ngobrol. Anak itu dari SMA unggulan juga, loh. Siapa tahu kamu dapat inspirasi untuk jurusan kuliah nanti.”

Sembari mendengarkan ibunya bercerita, Soya menghela napas lega. Nyaris saja. Meski begitu, suasana hatinya terlanjur buruk. Semoga nanti Yasmin tidak melanjutkan topik ini setelah tiba di rumah. Soya mesti mempersiapkan diri untuk acara penggalangan dana dadakan.

**

Suasana pertigaan yang dipilih Sastra padat oleh kendaraan yang keluar masuk kota. Cukup jauh dari lokasi SMA Surya Cendekia, Sastra sengaja memilih tempat yang lengang dari pengawasan preman, dan kecil potensinya untuk bertemu wajah-wajah familiar. Ia tahu murid-muridnya lebih semangat tampil tanpa dikenal tetangga. 

Minggu itu tetap mendung seperti biasa, meski tak tercium aroma hujan. Angin berembus cukup kencang, memaksa para cewek untuk menguncir rambut atau terancam mengalami bad hair day di muka umum. 

Soya, Juni, dan Kaspian memeluk kardus penggalangan, sementara Daru, Nova, dan Sastra memastikan puisi-puisi yang siap mereka baca di ponsel masing-masing. Ketika lampu lalu lintas berubah merah, dan satu per satu mobil serta motor membentuk empat baris di belakang garis penyeberangan, Daru melompat duluan. Di hadapan wajah-wajah penat yang menanti tujuh puluhan detik untuk berlalu, cowok gundul itu tiba-tiba membacakan puisi Chairil Anwar sambil berputar pada satu kaki. 

Itu janjinya karena Soya kemarin sungguhan datang lebih awal daripada dirinya. 

Sambil menahan tawa, ketiga remaja yang lain bergegas menyebar, menyusup di antara sela mobil dan motor sambil mengacungkan kotak sumbangan. Juni, dengan senyum menawan, mampu membuat sebagian besar orang merogoh saku tanpa pikir panjang. Ketampanan Kaspian membuat ibu-ibu dan para kakak memilih dua ribu daripada sekadar recehan. Soya yang harus berjuang lebih keras, sebab ia mengatupkan bibir malu-malu dan orang-orang mengabaikannya. 

Aduh. 

Kalau begini caranya, ia takkan bisa membantu menggalang dana. Sudah malu, hanya dapat recehan pula. Ketika lampu lalu lintas berubah hijau dan mereka kembali berkumpul di trotoar, Soya merasa miris melihat Juni dan Kaspian berhasil mengumpulkan hampir dua puluh ribu dalam sekali edar. Ia hanya mendapat dua ribu tujuh ratus perak.

Kala Sastra mengintip isi kotak Soya, cewek itu menunduk sungkan. Sang guru pun menepuk pundaknya. “Udah terlanjur basah, sekalian menyelam, yuk.”

Soya mengangguk. Benar, ia tidak mau malu lebih daripada ini! Semalam, ia sudah berhasil berakting di hadapan kawan-kawannya. Tak ditertawakan. Saat ini pun, para pengendara itu juga takkan bertemu dengannya lagi. Mereka tidak akan mengingat Soya. Tak ada gunanya malu.

Maka, saat tiba giliran Sastra unjuk gigi, Soya bergegas menghampiri pengendara mobil terdekat. Ia mengacungkan dan berusaha menyunggingkan senyum. “Permisi …!” ujarnya. “Mohon bantuannya, Kak—terima kasih!” 

Soya berbinar-binar saat seseorang menjulurkan tangan dari sela-sela kaca mobil, melempar selembar seribuan kepadanya. Bukan lagi receh!

Dalam waktu dua jam saja, mereka sudah berhasil mengumpulkan cukup banyak uang. Kelima anak itu berbinar. 

“Ayo, semangat!” Daru menunjukkan antusiasmenya. Ia bersemangat jika menyangkut uang. “Kita bisa!”

“Satu kali lagi,” kata Sastra sambil tersenyum. “Setelah ini kita istirahat.”

Kali ini giliran Nova untuk tampil kembali. Sembari ia melompat ke depan para pengendara—bahkan seseorang mengacungkan ponsel untuk merekam—Soya dan kedua kawannya yang lain menyebar. Cewek itu, seperti biasa, menyasar ke arah mobil karena orang-orang lebih suka bersembunyi di balik kaca mobil, sehingga ia tak perlu overthinking bertatapan. 

“Permisi!” katanya, kali ini mengacungkan kotak penggalangan dengan lebih percaya diri. Senyumnya lebar membayangkan jumlah uang yang terkumpul. 

Namun, alih-alih ditolak, atau dilempari uang, kaca mobil bergulir turun, menampilkan wajah seorang sopir van dan Soni di jok penumpang depan.

Ayahnya.

“Soya?”

Mata cewek itu membeliak. Belum sempat ia bereaksi, dunia bergerak lebih cepat. Pintu di belakang si pengemudi menjeblak terbuka. Yasmin melompat turun dengan wajah panik. 

“Soya!” Soni tahu-tahu keluar dari van dan melangkah lebar ke arahnya. “Apa-apaan ini?”

Soya terperanjat. “Pa—Ma—aku—”

Melihat kotak berisi uang yang digenggam erat-erat sang anak, apalagi di pertigaan bak seorang pengemis, memerahlah wajah Soni. 

“PULANG SEKARANG!”

Sebelas detik yang tersisa di pertigaan itu penuh dengan keriuhan. Soya didorong ayahnya masuk ke van, menyusul sang ibu yang menutup wajahnya dengan malu karena menjadi tontonan orang-orang. Nova batal berpuisi—ia terbengong-bengong di lintasan penyeberangan hingga Daru menariknya menjauh, sebab motor-motor di jalur terdepan sudah bersiap untuk ngegas. 

Sastra melompat menghampiri seraya mengacungkan tas Soya, tetapi lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, dan mobil-mobil membunyikan klakson nyaring. Pria itu disentak Juni menepi ke pembatas jalan sebelum mobil terdepan menyerempetnya. 

Selama sesaat, tak ada yang bersuara. Semua mata tertuju pada van yang melaju kencang, seolah ayah Soya baru saja menyuruh sopirnya mengebut pulang. Tak ada yang tahu apa yang tepatnya terjadi di balik kaca van yang gelap itu.

Bulu kuduk Nova dan Daru merinding. Karena mereka pernah menemui ayah Soya langsung, mereka langsung bertukar tatap dengan wajah pucat.

“Gawat.” Daru menelan ludah.

“Mampus.” Nova mengacak rambutnya. “Gimana, nih? Pak?”

Empat pasang mata tertuju pada Sastra, tetapi sang guru tidak cepat menjawab. Pandangannya terpaku pada ke mana arah van yang membawa Soya pergi. Dadanya berdebar kala benaknya memutar kenangan yang begitu mirip, dua puluhan tahun lalu. 

Bedanya yang menyeret Sastra bukanlah sepasang orang tuanya. Melainkan hanya sang ibu. Sehingga, melihat hal serupa terjadi pada Soya, pria itu menelan ludah.

Jika menghadapi satu orang tua saja Sastra kepayahan, bagaimana dengan Soya?

Tanpa pikir panjang lagi, ia berbalik menghadap para muridnya. “Kita … kita hentikan penggalangan sampai sini dulu.” Ia tak percaya suara yang meluncur dari mulutnya hampir terdengar gemetaran. Ia menelan ludah bulat-bulat. 

Tidak, ia tidak boleh terlihat terguncang di hadapan murid-murid!

“Soya … saya akan menyusul ke rumahnya.” Sastra mencengkeram selempang tas Soya di genggaman. “Saya akan jelaskan ke orang tuanya.”

Keempat murid itu bertukar tatap. Kecemasan menghantui setiap jengkal wajah, tak peduli hubungan apapun yang mereka miliki dengan Soya. Ide-ide bermunculan di antara mereka, tapi pada akhirnya, Sastra menghentikan anak-anak itu untuk berpikir lebih jauh. 

Jangan sampai ada Soya kedua. Atau Sastra kedua. 

“Pulanglah,” katanya. “Kaspian, antar teman-temanmu.”

Cowok itu mengangguk. Dengan enggan, ia merogoh saku celana untuk memastikan kunci mobilnya masih ada di sana. “Ayo, guys.”

Good luck, Pak.”

Kata-kata itu menyertai Sastra, walau siapapun tahu, bahwa ia membutuhkan lebih dari sekadar keberuntungan. 

Sepanjang pria itu menempuh perjalanan ke rumah Soya, yang menghantuinya justru sosok lain. 

Apakah ibunya akan mendengar soal ini?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2436      815     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Kenangan Hujan
570      423     0     
Short Story
kisah perjuangan cinta Sandra dengan Andi
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
1535      1014     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Konspirasi Asa
3093      1166     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
The War Galaxy
13707      2963     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
490      383     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
LUCID DREAM
538      388     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Eagle Dust
797      526     0     
Action
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya mengapa. Sejak itu, seorang pria berwibawa yang kupanggil Tn. Van Yallen datang dan membantuku menemukan kekuatan yang membuat tiga panca inderaku menajam melebihi batas normal. Aku Eleanor Pohl atau yang sering mereka...
Dari Sahabat Menjadi...
566      397     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
It Takes Two to Tango
488      361     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...