Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Sedikit penjelasan

 

 

  Naln duduk diam dengan dagu bertumpu pada tangan kanannya. Tatapannya sedari tadi tak berpaling sedikit pun dari mata ular yang tepat di depannya. Nafasnya pelan dan dalam, seolah sedang menyelam jauh ke dalam pikirannya sendiri.

  Di sampingnya, Lenard duduk dengan posisi yang jauh lebih santai. Tapi dari wajahnya, jelas bahwa ia sudah mulai bosan. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya sambil menatap kakaknya yang belum bergerak dari posisi itu sejak beberapa menit lalu.

  "Berapa lama lagi sih?" gumam Lenard setengah malas, tapi cukup pelan agar tidak mengganggu konsentrasi Naln. Naln tidak menjawab. Karena ya... yang sedang ia lakukan bukan hal biasa.

  Naln sedang berusaha mengembalikan hipnotisnya kepada ular-ular itu. Ya, kalian tidak salah baca. Ia mencoba mengembalikan kesadaran ular itu. Dan merencanakan untuk membebaskan mereka semua. Tapi semua yang berusaha Naln lakukan tidak semudah yang kita bayangkan.

   “Kakak, ga bosen apa liatin ular mulu? Ga takut di gigit?” Dengon polosnya Lenard bertanya. Ia belum tahu bahwa ular itu sedang dalam kendali kakaknya.

  Naln akhirnya menoleh. Setelah sekian lama matanya terpaku pada mata ular itu, baru kali ini ia berpaling, dan menatap wajah Lenard yang sedari tadi menampilkan ekspresi bosan, jelas sudah lelah menunggu kakaknya yang entah sedang melakukan apa.

   "Nggak, ular itu nggak bakal gigit kakak," jawab Naln sambil mengukir senyuman tipis di bibirnya.

   "Kok kakak kedengarannya yakin banget? Terus tadi... sebenarnya kakak lagi ngomong sama siapa? Untung yang lihat cuma aku. Kalau ada orang lain, kakak bisa dikira gila," sahut Lenard santai, meski jelas masih ada rasa penasaran di balik suaranya. Naln terkekeh.

   "Terserah kamu." Lenard mengangkat bahu, lalu memutar pandangan ke arah sepuluh ular yang masih melingkar tak jauh dari mereka. Matanya memperhatikan satu per satu dengan seksama.

 “Oh ya, Kak... Kalau nggak salah, bukannya warna mata ular itu merah? Kok sekarang biru? Mirip warna mata kakak lagi." Naln spontan menoleh ke salah satu ular yang sempat ia tatap lama sebelumnya. Ia mengingat jelas warna mata itu... biru langit. Warna yang sama persis seperti saat ia bercermin. Mata yang... sebelum ini berubah menjadi merah menyala.

  Mungkin ini pengaruh dari hipnotis yang Naln berikan tanpa sadar. Mata ular itu, yang awalnya merah, telah menjadi biru. Sama persis dengan mata Naln... sebelum kekuatannya muncul.

  "Kakak belum jawab pertanyaan aku, loh. Sekarang pertanyaannya udah nambah satu," kata Lenard sambil melipat tangan. Naln diam sejenak, masih memperhatikan mata ular itu. Lalu perlahan, kepalanya menoleh kembali ke arah Lenard.

  "Memangnya apa pertanyaanmu?" tanya Naln. Lenard menghela napas kesal. Padahal tadi ia sudah menyampaikan pertanyaannya dengan cukup jelas. Mungkin Naln memang tidak terlalu memperhatikan... atau justru sengaja menghindar?

  "Kakak emang nggak denger? Nih, aku ulang ya. Satu, kakak tadi sebenarnya ngomong sama siapa? Dua, kenapa mata ular yang awalnya merah jadi biru? Tiga, kenapa ular-ular itu nggak nyerang kakak atau aku?" Naln mengangkat alis.

  "Katanya tadi nambah satu pertanyaannya. Harusnya jadi dua. Kok ini tiga?"

  "Nambah dua maksudnya, hehe," sahut Lenard sambil nyengir. Naln menghela napas pelan. Ia diam sejenak, memikirkan... bagaimana caranya menjelaskan tentang sihir, kekuatan, dan segala hal aneh ini kepada adiknya, tanpa membuatnya takut.

  "Hmm... Tapi... kakak takut kamu malah jadi menghindar dari kakak, karena... tahu kekuatan yang kakak miliki." Naln menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

  "Nggak, aku menerima kakak apa adanya," jawab Lenard sambil tersenyum. Tampak... tulus. Naln menatap senyum itu dalam diam. Oh, Lenard... kamu masih kecil. Kenapa kamu bisa setulus ini? batin Naln. Naln menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

  “Baiklah..." katanya akhirnya.

  "Kakak tadi... sebenarnya sedang berbicara dengan Alam. Mungkin ini terdengar mustahil, tapi itulah kenyataannya. Hanya kakak yang bisa mendengar suaranya."Naln menunduk sejenak, lalu melanjutkan.

 "Suaranya keluar tanpa wujud, tapi terasa nyata... seolah-olah, wujud itu ada di sekitar kita. Dekat. Sangat dekat." Naln diam sejenak saat ia menyaksikan ekspresi Lenard yang kurang menyakinkan. Mata nya berkedip, tetapi masih terpaku pada Naln. Mulutnya sedikit terbuka, Naln khawatir ada seekor lalat yang masuk kedalamnya. Tetapi Naln segera menjawab pertanyaan lainnya.

  "Pertanyaan kedua dan ketiga itu... masih nyambung, sebenarnya." Naln mulai menjelaskan, meski suara dan nada bicaranya agak ragu.

  "Mata ular itu yang awalnya merah jadi biru... itu karena kakak tanpa sadar menghipnotis mereka. Tepat di detik-detik sebelum ular-ular itu mendarat ke punggung kakak." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan,

  "Penjelasan ini... kakak dapat dari Alam juga, sih. Jadi itu sekaligus menjawab dua pertanyaanmu, ya, Lenard." Naln menatap adiknya. Wajah Lenard masih kosong. Bengong. Tak ada respons, tak ada komentar. Kecemasan perlahan merayap ke tubuh Naln. Ia mulai takut. Takut kalau Lenard akan menjauh. Takut kalau adiknya tak lagi memandangnya seperti dulu. Ternyata Naln salah...

  Respons Lenard terhadap penjelasannya sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan.

  "Wooh!" Lenard tiba-tiba bangkit dengan wajah semringah. Matanya berbinar, takjub dengan apa yang baru saja ia dengar dari sang kakak. Senyum lebar terukir di bibirnya.

  “Kakak bisa ngehipnotis ular!? Terus kakak bisa ngomong sama Alam juga!? KEREN!" Lenard langsung meraih tangan kakaknya dan menggoyang-goyangkannya, seperti sedang berjabat tangan memberi ucapan selamat.

  Naln hanya bisa terpaku, menatap adiknya dengan heran, dan perlahan, senyum tipis tapi hangat merekah di wajahnya.

  Tadi ia sempat berpikir buruk... mengira Lenard akan ketakutan, akan menjauh. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Meski begitu, di balik senyuman itu, seberkas pikiran melintas dalam benaknya.

  Lenard masih kecil... pikirannya belum sepenuhnya dewasa.
Mungkin saja dia menganggap semua ini seperti kisah dari kartun, tentang tokoh-tokoh yang bisa mengendalikan orang lain lewat "hipnotis".

  "Selain itu, kakak bisa apa lagi?" Pertanyaan Lenard membuat Naln terdiam sejenak. Ia menarik napas pelan, mencoba menyelami pikirannya, seperti seseorang yang sedang scorll galeri di ponsel, mencari foto atau video kenangan masa lalu.

  Sampai akhirnya, sebuah ingatan muncul.

  Naln teringat kejadian di kelas. Saat ia kesal karena dijahili, dengan sebuah ember tiba-tiba mendarat di kepalanya, menutupi pandangan. Tapi yang aneh... adalah reaksinya setelah itu.

  Ia teringat bagaimana dirinya tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapan Zen, si pelaku keisengan. Biasanya, untuk mencapai jarak sejauh itu, seseorang butuh satu atau dua detik berjalan cepat. Tapi saat itu... ia sampai di sana dalam waktu yang terasa kurang dari satu detik.

  Cepat. Sangat cepat. Dan yang paling membuat tercengang, Naln tidak sadar bagaimana ia bisa melakukannya. Aneh kan?

  "Kayaknya aku pernah ngelakuinnya juga, tapi sama, tanpa sadar," Naln mengakui pelan.

  "Apa itu, Kak? Coba jelasin dong," kata Lenard dengan mata berbinar-binar, penuh antusiasme.

  Ia sekarang benar-benar tertarik dengan hal-hal tentang sihir dan kekuatan. Rasa penasarannya makin menggebu ingin tahu, apa lagi sihir atau kemampuan yang dimiliki kakaknya. Sepertinya sekarang Lenard berpikir ingin mempunyai kekuatan yang serupa dengan sang kakak.

  "Umm... Yang seharusnya butuh beberapa detik buat dicapai, tapi yang kakak alami waktu itu... kurang dari satu detik. Seolah-olah... berpindah tempat? Maybe..." Naln mengernyit, mencoba menjelaskan.

  Lenard menaruh jari di dagunya, ikut berpikir. "Itu berarti... kakak lagi pakai sihir berpindah tempat kali, ya?" Tiba-tiba, suara tanpa wujud menyela, menjelaskan dengan nada datar namun jelas.

  "Itu sihir teleportasi. Biasanya kekuatan itu muncul sebagai refleks. Dan umumnya, di gunakan  saat penggunanya terpojok atau terancam oleh musuh. Pikiran yang samar tentang lokasi aman langsung diproses oleh sihir itu, dan tubuh pun berpindah."

  "Hah?" Naln spontan mengeluarkan suara bingung, menoleh ke sekeliling. Lenard memandang kakaknya heran Padahal sedari tadi mereka berdua sedang berpikir bareng, berusaha menebak-nebak jawaban.

  "Teleportasi...? Tapi waktu itu aku lagi emosi, bukan terancam atau terpojok," ujar Naln, masih bingung.

  "Itu bisa aja terjadi," jawab suara Alam dengan tenang.

  "Teleportasi nggak selalu muncul saat terancam. Emosi kuat juga bisa jadi pemicunya. Lagipula, sihir ini bebas digunakan kapan saja, mau buat menyerang, bertahan, atau... lari ke sekolah biar nggak telat pun bisa."  Naln berkedip.

  "Hah...? Serius?"

 "Serius. Tapi kamu harus tahu batas maksimalnya. Kemampuan teleportasi itu tergantung jarak maksimal yang bisa dicapai. Kalau tujuannya jauh, kamu harus teleportasi beberapa kali. Jadi... siap-siap latihan biar nggak nyasar." Naln menelan ludah mendnegarnya.

  Naln menghela napas panjang, pasrah. Ia mulai menerima kenyataan bahwa dirinya harus terus berlatih... mengembangkan kekuatan yang entah sejak kapan mulai tumbuh dalam dirinya. Ia tahu, semakin lama ia menolak, semakin besar kemungkinan kekuatan itu lepas kendali.

  Tapi tunggu...

  Tiba-tiba, ingatannya melompat ke satu hal. Tawaran dari pria berambut putih.
Berlatih... dengannya... di hutan ‘Deringle’.

  "Haduuh... kenapa juga harus keinget bagian itu sih?" gerutu Naln pelan. Ia menggeleng cepat, lalu menepuk-nepuk kepalanya ringan, seolah mencoba menyingkirkan mimpi buruk itu dari pikirannya.

  "Apa kata Alam, Kak?" tanya Lenard tiba-tiba.

  Sekarang ia tahu, kalau kakaknya tampak berbicara sendiri, itu berarti Naln sedang berbicara dengan Alam, suara tanpa wujud yang hanya bisa didengar oleh kakaknya. Lenard masih belum paham bagaimana cara kerjanya, tapi ia cukup cerdas untuk mengerti, kalau Naln mendadak diam lalu menjawab sesuatu yang tidak terdengar, pasti itu ulah "Alam".

  Naln menghentikan tangannya yang sedari tadi menepuk-nepuk kepala. Pikirannya kini beralih ke pertanyaan Lenard.

  "Alam bilang... itu teleportasi. Kekuatan berpindah tempat," jawabnya pelan. Lenard terdiam sejenak, lalu matanya membulat.

  "Wow! Makin keren!" serunya sambil mengangkat kedua tangan seolah sedang merayakan sesuatu.

  Naln tersenyum kecil melihat respons adiknya yang begitu polos dan kagum. Namun, jauh di dalam pikirannya, ia tahu, bahkan kekuatan sesimpel teleportasi pun bisa menjadi berbahaya. Jika berada di tangan yang salah, ia bisa menjadi senjata mematikan. Tapi jika dipakai dengan benar… kekuatan itu bisa menyelamatkan banyak hal.

  "Kakak mau berlatih? Aku temenin deh," ujar Lenard dengan senyum lebar. Dari raut wajahnya, jelas ia serius. Tak ada sedikit pun keraguan atau keluhan, tak seperti sebelumnya saat ia terlihat bosan menunggu Naln yang hanya menatap mata ular tanpa banyak gerakan. Maklum... ia belum tahu kalau itu bersangkutan dengan kekuatan yang kakaknya miliki.

  "Lain kali aja. Kita hampir lupa, loh, kasih kayu bakar ini ke Ibu." Naln menyeringai, seolah-olah sedari tadi memang memikirkan urusan kayu bakar… padahal baru kepikiran sekarang. Lenard langsung menepuk dahinya.

  "Oh iya, Kak. Aku juga lupa!" Tanpa mereka sadari, matahari mulai tenggelam perlahan di balik cakrawala.

  Karena, yah... matahari memang nggak bisa berenang.
Makanya nggak ada istilah matahari berenang, adanya matahari tenggelam.

  Naln bangkit, lalu mengangkat ikatan kayu bakar yang lumayan banyak. Ia mengikatnya ke punggung dengan cekatan. Lenard pun meniru sang kakak, walau kayu yang ia bawa jauh lebih ringan.

  "Bentar... terus, gimana sama ular-ular ini?" Lenard menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang.

  "Biarin aja di sini, Kak. Suruh mereka diem. Kakak kan bisa ngendaliin mereka sekarang?"

  "Oh iya..." Naln mengangguk pelan, lalu mengerutkan kening.

  "Tapi... gimana caranya?"

  "Ucapkan saja dalam hati." Suara itu datang tiba-tiba. Singkat. Jelas. Cukup untuk membuat Naln terkekeh. Lenard menatap kakaknya heran.

  "Lama-lama beneran gila juga nih Kakak ku...Eh…bukan kakak ku." pikir Lenard sambil menggeleng kecil, meski senyum geli masih menempel di wajahnya.

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langit Tak Selalu Biru
155      136     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Unframed
2320      1342     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
I Found Myself
108      97     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
2678      1109     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Liontin Semanggi
3203      1897     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
806      545     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Ada Apa Esok Hari
325      252     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Trying Other People's World
350      282     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
721      572     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Jalan Menuju Braga
1234      801     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...